BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi
ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi
apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan
diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik
berarti memlihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha manusia
untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok o
rang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada
hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam penididkan
terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah
pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi
dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi
interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
|
Untuk
meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak
pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi
mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli
itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Beberapa
penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun
masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya
adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan
lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan,
Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya
(BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan
Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid
(BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa
pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu
sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan. Namun, semua hal tersebut belum
dapat menghasilkan atau meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaiman
masalah pelaksanaan dan kendala Pendidikan Agama islam di sekolah umum ?
2.
Bagaimana
upaya mengatasi problematika pendidikan agama di sekolah umum ?
C.
Tujuan
1.
Bagaiman
masalah pelaksanaan dan kendala Pendidikan Agama islam di sekolah umum ?
2.
Bagaimana
upaya mengatasi problematika pendidikan agama di sekolah umum ?
|
PEMBAHASAN
A.
Problematika Pendidikan Agama di Sekolah
Tiga
hal menurut Hidayat yang bisa dikemukakan untuk membuktikan kekurang-tepatan
orientasi pendidikan dimaksud, yaitu:[1]
1. Pendidikan agama saat ini lebih berorientasi
pada belajar tentang agama.
2. Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan
materi-materi pendidikan agama sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil
yang seharusnya dipelajari lebih awal, justru terlewatkan, misalnya pelajaran
keimanan/tauhid.
3. Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam
atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering
ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit dan
konteksnya.
Dari berbagai seminar dan simposium yang
dilakukan, baik oleh Departemen Agama, PTAI, maupun lembaga swadaya masyarakat
lainnya, dapat dihimpun berbagai faktor penyebab kurang efektifnya pendidikan
agama di sekolah sebagai berikut:
a)
Faktor
internal, yaitu faktor yang muncul dari dalam diri guru agama, yang meliputi:
kompetensi guru yang relatif masih lemah, penyalahgunaan manajemen penggunaan
guru agama, pendekatan metodologi guru yang tidak mampu menarik minat peserta
didik kepada pelajaran agama, solidaritas guru agama dengan guru non-agama
masih sangat rendah, kurangnya waktu persiapan guru agama untuk mengajar, dan
hubungan guru agama dengan peserta didik hanya bersifat formal saja.
b)
Faktor
Eksternal, yang meliputi: sikap masyarakat/orangtua yang kurang concern
terhadap pendidikan agama yang berkelanjutan, situasi lingkungan sekitar
sekolah banyak memberikan pengaruh yang buruk, pengaruh negatif dari
perkembangan teknologi, seperti internet, play station dan lain-lain.
c)
Faktor
Institusional yang meliputi sedikitnya alokasi jam pelajaran pendidikan agama
Islam, kurikulum yang terlalu overloaded, kebijakan kurikulum yang terkesan bongkar
pasang, alokasi dana pendidikan yang sangat terbatas, alokasi dana untuk
kesejahteraan guru yang belum memadahi dan lain sebagainya.
Pendidikan
Agama Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi
tiga hal. Pertama, Pendidikan Agama Islam sebagai lembaga; diakuinya keberadaan
lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai mata
pelajaran; diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib
diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam
sebagai nilai (value); yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam
sistem pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika
yang muncul ketika diterapkan di sekolah. Diantara problem tersebut
adalah:[2]
1.
Problem Anak Didik
Problem yang berkaitan
dengan anak didik perlu diperhatikan, dipikirkan, dan dipecahkan, karena anak
didik merupakan pihak yang dibina untuk dijadikan manusia yang seutuhnya, baik
dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun dalam masyarakat.
Pengertian anak didik adalah anak yang belum mencapai
kedewasaan, baik fisik maupun psikologis yang memerlukan usaha serta bimbingan
orang lain untuk menjadi dewasa guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai hamba
Tuhan serta sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara. Peserta didik
dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan dan pengajaran.
Pendidik tidak mempuyai arti apa apa tanpa kehadiran peserta didik sebagai
subyek pembinaan. Dalam perspketif pedagogis, peserta didik adalah sejenis
makhluk yang menhajatkan pendidikan.
Sistem pendidikan Islam selama ini hanya mengandalkan
kekuasaan pendidikan, tanpa memperhatikan pluralisme subyek didik, yang sudah
saatnya harus dirubah agar tercipta masyarakat madani, yakni peserta didik yang
aktif, membiasakan berpendapat dengan penuh tanggung jawab serta membangun
norma-norma keberadaban.[3]
Selama ini memang dirasakan bahwa proses pendidikan
Islam terkesan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta
didik dengan informasi-informasi yang kognitif dan motorik yang kurang relevan
dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologi peserta didik.
Adapun problem-problem yang terdapat pada
anak didik antara lain:
a.
Problem kemampuan ekonomi keluarga.
b.
Problem intelegensia.
c.
Problem bakat dan minat.
d.
Problem perkembangan dan pertumbuhan.
e.
Problem kepribadian.
f.
Problem sikap.
g.
Problem sifat.
h.
Problem kerajinan dan ketekunan.
i.
Problem pergaulan.
j.
Problem kesehatan.
Dalam rangka memenuhi keselarasan antara
jasmani dan rohani peserta didik maka terdapat beberapa faktor penyebab
timbulnya problem bagi peserta didik yang perlu diperhatikan. Faktor
penyebab kesulitan belajar yang dirasakan oleh peserta didik dikarenakan adanya
pengaruh dari dalam diri peserta didik itu sendiri, yang meliputi:
a)
Intelengensi
peserta didik
Setiap
peserta didik sejak lahirnya memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, antara satu
dengan yang lainya. Kemampuan peserta didik dalam kelas tidak sama, hal ini
mengakibatkan adanya hambatan bagi pendidik dalam menyampaikan pelajaran (transfer
knowledge). Jika pendidik hanya memperhatikan peserta didik yang memiliki
intelengensi yang tinggi, maka keadaan kelas tidak akan harmonis yang pada
akhirnya akan menimbulkan kecemburuan di hati peserta didik yang berintelegensi
rendah karena merasa tidak diperhatikan, sehingga pada akhirnya tujuan
intruksional khusus tidak tercapai.
b)
Minat
peserta didik.
Minat
pada peserta didik dapat diartikan sebagai rasa senang atau tidak senang dalam
menghadapi suatu subjek pelajaran. Prinsip dasarnya ialah bahwa minat peserta
didik akan meningkat apabila yang bersangkutan memiliki rasa senang yang tinggi
dalam melakukan tindakanya. Minat peserta didik erat kaitannya dengan perhatian
yang diberikannya dalam mengikuti proses belajar mengajar. Kefektifan suatu
proses pembelajaran akan dipengaruhi oleh kualitas perhatian pendidik terhadap
rangsangan.
c)
Motivasi.
Motivasi
dapat diartikan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk belajar. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa hasil belajar
pada umumya meningkat jika motivasi belajar bertambah baik motifnya dari
intrinsik maupun ekstrinsik.
Uraian
di atas menjelaskan bahwa perhatian merupakan salah satu faktor psikologis yang
dapat membantu terjadinya interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam
proses belajar-mengajar. Perhatian merupakan faktor terpenting dalam usaha
belajar mengajar pada peserta didik.
2.
Problem Pendidik
Dalam proses pendidikan khususnya pendidikan di sekolah,
Pendidik memegang peranan yang paling utama. Dalam konteks pendidikan Islam,
pendidik disebut dengan kata muaddib, muallim dan murabbi. Gambaran tentang
hakikat pendidik dalam Islam adalah orang orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi peserta didik,
baik affektif, kognitif dan psikomotorik.
Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggung
jawab sebagai pendidik yaitu manusia dewasa yang mempuyai hak dan kewajiban
dalam mendidik peserta didik. Oleh karena itu, seorang pendidik memikul
tanggung jawab yang bersifat personal dalam arti bahwa setiap orang bertanggung
jawab atas dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial dalam arti bahwa setiap
orang yang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain. Hal ini tercermin
dalam firman Allah :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan
(QS. At-Tahriim Ayat 6)[4]
Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua, hal
ini disebabkan karena secara alami anak didik pada masa awal kehidupannya
berada ditengah tengah ayah dan ibunya. Sedangkan pendidikan di lembaga
pendidikan sekolah disebut dengan guru/dosen.
Sebagai Mu’allim, pendidik akan melakukan
transfer ilmu/pengetahuan/nilai ke dalam diri sendiri dan peserta didiknya,
serta berusaha membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk mengamalkanya.
Sebagai Muaddib seorang pendidik sadar bahwa eksistensi GPAI memiliki peran dan
fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan melalui
kegiatan pendidikan.
Diantara problem seorang pendidik adalah
keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan jika muncul
issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan
baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu
memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup
mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab
permasalahan-permasalahan tersebut.
Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang
mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang
tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama. Guru-guru agama di beberapa
sekolah selain kurang mendalami materi yang diajarkan, juga sering kali
mengajar tanpa memperhatikan didaktik-metodik dan psikologi anak. Agar
pendidikan agama dapat mencapai hasil sesuai tujuan yang diharapkan, maka
setiap guru agama harus mengetahui dan menguasai berbagai metode pembelajaran
dan pendekatan. Namun pada kenyataannya, pelajaran pendidikan agama di sekolah
masih dominan menggunakan metode ceramah.
Selain itu, problem sumber daya kependidikan
secara umum yang merupakan masalah pokok yang dihadapi pendidikan Islam adalah
rendahnya kualitas tenaga pendidik. Indonesia seperti halnya negeri-negeri
muslim besar lainnya juga menghadapi masalah pokok dalam modernisasi pendidikan
Islam yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan
riset, dikarenakan pada gaji yang tidak cukup, kemudian ia mencari pekerjaan
tambahan di luar lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupanya tiap
bulan. Akibatnya, etos kerjanya sebagai pendidik agama di sekolah sangat
menurun.
Pendidik dalam pendidikan agama Islam dituntut untuk
komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan
professional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi
terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta
sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan
memperbaharui model model yang sesuai dengan tuntutan zamanya, yang dilandasi
oleh kesadaran tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi
penerus yang akan hidup pada masa zamanya. [5]
Dalam perspektif pendidikan Agama Islam di Sekolah, guru
seringkali mengalami kendala dalam menanamkan pembiasaan ajaran Islam di
sekolah. Hal ini semata-mata disebabkan karena guru tidak memiliki kompetensi
yang matang, serta juga tidak didukung oleh penguasaan konsep internalisasi
keilmuan antara ilmu agama dan ilmu umum oleh guru-guru bidang studi lainnya.
3.
Problem Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat
menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk
mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan
pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Dalam Bahasa Arab kurikulum
diistilahkan manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui oleh manusia pada
berbagai kehidupan. Sedangkan arti manhaj/kurikulum dalam pendidikam Islam
sebagaimana yang terdapat dalam kamus At-Tarbiyah adalah seperangkat
perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam
mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Definisi tentang kurikulum juga telah dirumuskan oleh
para pakar pendidikan, diantaranya definisi yang dikemukakan oleh M. Arifin
yang memandang kurikulum sebagai seluruh mata pelajaran yang disajikan dalam
proses pendidikan dalam suatu institusional pendidikan. Nampaknya definisi ini
masih terlalu sederhana dan lebih terpaku pada materi pelajaran semata.
Sementara, Zakiah Daradjad menganggap kurikulum sebagai suatu program yang
direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah
tujuan pendidikan tertentu. Definisi kurikulum ini nampaknya lebih luas dari
definisi yang pertama, karena kurikulum tidak hanya mencakup pada materi
pelajaran semata namun juga mencakup seluruh program di dalam kegiatan
pelajaran.
Dalam pandangan dunia pendidikan, keberhasilan program
pendidikan sangat tergantung pada perencanaan program kurikulum pendidikan
tersebut, karena “kurikulum, pada dasarnya berfungsi untuk menyediakan program
pendidikan (bluefrint) yang relevan bagi pencapaian sasaran akhir program
pendidikan. Dengan kata lain, Fungsi kurikulum adalah menyiapkan dan membentuk
peserta didik agar dapat menjadi manusia yang memiliki kompetensi tertentu
sesuai dengan orientasi kurikulum dan sasaran akhir program pendidikan. Program
kurikulum diorientasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan masa
yang akan datang, apabila kurikulum tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini dan
masa akan datang tentu akan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap
calon-calon penganggur pada masa yang akan datang.
Dalam hal ini kurikulum pendidikan agama Islam lebih
menitik beratkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan
hafalan-hafalan teks keagamaan yang sudah ada. Proses pendidikan agama Islam,
seringkali dapat disaksikan praktek pendidikan yang kurang menarik dari sisi
materi dan metode penyampaian yang diaplikasikan. Desain kurikulum pendidikan
agama Islam sangat didominasi oleh masalah yang sangat normative, apalagi
materi pendidikan Islam yang kemudian disampaikan dengan semangat ortodoksi
keagamaan atau menekankan ortodoksi dalam pelajaran mata agama yang
diidentikkan dengan keimanan, dan bukan ortopraksis yaitu bagaimana mewujudkan
iman dalam tindakan nyata operasional.
Amin Abdullah misalnya, salah seorang pakar keislaman
non tarbiyah, juga telah menyoroti kurikulum dan kegiatan pendidikan Islam yang
selama ini berlangsung di sekolah, antara lain sebagai berikut:
a)
Kurikulum
Pendidikan Islam lebih banyak terkosentrasi pada persoalan-persoalan teoritis
keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata.
b)
Kurikulum
Pendidikan Islam kurang konsen terhadap persoalan bagaimana mengubah
pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan nilai yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara dan media.
c)
Kurikulum
Pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada aspek korespondensi
tekstual, yang lebih menitikberatkan pada hafalan teks keagamaan yang sudah Ada
d)
Sistem
evaluasi, bentuk -bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama
pada aspek kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan
“nilai” dan “makna“ spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupann sehari
hari.
4.
Problem Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu kegiatan pembelajaran yang
sangat penting. Dengan evaluasi, guru dapat mengukur tingkat keberhasilan
pembelajaran yang dilaksanakan. Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang dapat
mengukur segi kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Kebanyakan
evaluasi yang dilakukan selama ini hanyalah mengukur kognitif siswa saja,
sedang afektif dan psikomotoriknya terabaikan. Hasil evaluasi kognitif tersebut
dimasukkan ke dalam raport siswa, maka kemungkinan akan terjadi penilaian yang
kurang obyektif. Adakalanya siswa yang rajin beribadah lebih rendah nilainya
daripada siswa yang malas beribadah.
Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis
dan lengkap oleh guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan
praktik yang dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk
mengevaluasi sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru
pendidikan agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama
Islam secara benar.
5.
Problem Manajemen
Manajemen merupakan terjemahan dari kata management yang
berarti pengelolaan, ketata-laksanaan. Management berakar dari kata to manage
yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, atau mengelola.
Manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai suatu yang
berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral
yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasanya
tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat direalisasikan secara
optimal, efektif dan efesien.
Manajemen pendidikan Islam mengandung arti sebagai suatu
proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka
mewujudkan tujuan pendidikan. Dari kerangka inilah tumbuh kesadaran untuk
melakukan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas menajemen pendidikan, baik
yang dilakukan pemerintah maupun lembaga pendidikan.
Manajemen pendidikan agama Islam merupakan tanggung
jawab Departemen Agama, sehingga hal ini mempuyai dampak pada pendanaan
pendidikan. Artinya anggaran belanja negara bidang pendidikan hanya
dialokasikan kepada lembaga lembaga pendidikan umum yang berada di bawah
Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan pendidikan Islam tidak diambil dari
anggaran negara bidang pendidikan, tetapi dari anggaran bidang agama, sehingga
anggaran pembiayaan pemerintah untuk pendidikan Islam jauh lebih kecil
dibandingkan untuk pendidikan umum.
Upaya lain adalah diundangkan UUSPN 1989 sebagai usaha
untuk menngabungkan (integrasi) sistem pendidikan yang lebih dikenal dengan
istilah pendidikan satu atap. Akan tetapi upaya ini semua sampai saat ini belum
pernah selesai dan terimplementasi dengan baik. Dengan kata lain dalam
menajemen pendidikan di Indonesia, pendidikan Islam belum mengalami
transformasi posisi yang berarti dan diberlakukan sacara sejajar oleh pemerintah
dengan pendidikan umum di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia,
“posisi pendidikan Islam masih dalam posisi marginal.
Inilah realitas yang dihadapi, sehingga menjadikan
pendidikan Islam secara umum kurang diminati dan kurang mendapat perhatian. Hal
ini didukung dengan materi kurikulum dan manajemen pendidikan yang kurang
memadai, kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Lulusannya
kurang memiliki ketrampilan untuk bersaing dalam dunia kerja. Melihat
kenyatatan ini, maka reformasi manajemen pendidikan Islam menjadi suatu
keharusan. Sebab dengan langkah-langkah berusaha pembenahan dan peningkatan
profesionalisme penyelenggaran pendidikan akan mampu menjawab berbagai
tantangan dan dapat memberdayakan pendidikan Islam di masa depan. Dalam hal ini
pendidikan agama Islam menerapkan manajemen berbasis sekolah artinya
pengelolaan pendidikan pendidikan mengarah kepada pengelolaan kepada
pengelolaan manajemen berbasis sekolah.
Bank dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu
diperhatiakan dalam penerapan manajemen berbasis sekolah. Faktor tersebut
berkaitan dengan kewajiban sekolah yang menawarkan keluasan pengelolaan
masyarakat, kebijakan dan prioritas pemerintah sebagai penanggung jawab
pendidikan berhak merumuskan kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama
yang berkaitan dengan program peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan,
peranan orang tua dan masyarakat perlu dihimpun dalam satu badan sekolah yang
dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan sekolah, peranan profesionalisme
kepala sekolah, pendidik, administrasi dalam mengoperasikan sekolah.
6.
Problem Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan agama Islam adalah peralatan dan
perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dalam menunjang proses
pendidikan khususya proses belajar mengajar seperti gedung, ruang kelas, meja,
kursi serta peralatan dan media pengajaran yang lain. Adapun yang dimaksud
dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung
menunjang jalanya proses pendidikan atau pengajaran seperti kebun, halaman,
taman sekolah, jalan menuju sekolah. Zakiah Deradjat menyamakan sarana
pendidikan dengan media pendidikan. Dalam hal ini, Gegne mendefinisikan sarana
pendidikan sebagai alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang
peserta didik untuk belajar.
Sarana pendidikan Agama Islam diharapkan dapat
memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalanya proses pendidikan
Islam. Dengan demikian apabila pendidikan Islam memanfaatkan dan menggunakan
sarana pendidikan, maka peserta didik akan memiliki pemahaman yang bagus
tentang materi yang diperoleh, dan juga diharapkan akan memiliki moral yang
baik.
Sarana dan prasarana pendidikan agama Islam yang baik,
diharapkan dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi dan indah sehingga
menciptakan sekolah yang menyenangkan bagi pendidik maupun peserta didik yang
berada di sekolah.
7.
Problem Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak yang terdapat
dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Kondisi lingkungan
mempengaruhi proses belajar dan hasil belajar. Lingkungan ini dapat berupa
lingkungan fisik/ alam dan lingkungan sosial.
Lingkungan sosial mempuyai peran penting terhadap
berhasil tidaknya pendidikan agama karena perkembangan jiwa peserta didik
sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkunganya. Lingkungan akan dapat menimbulkan
pengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan jiwanya, dalam sikap maupun
perasaan keagamaan. Problem lingkungan ini mencakup:
a)
Suasana
keluarga yang tidak harmonis akan mengkibatkan pengaruh yang kurang baik
terhadap perkembangan peserta didik.
b)
Lingkungan
masyarakat yang tidak/kurang agamis akan menggangu perjalanan proses belajar
mengajar disekolah.
c)
Kurangnya
pemahaman orang tua akan arti nilai-nilai agama Islam akan mempengaruhi
terhadap pendidikan anak.[6]
B.
Upaya
Mengatasi Problematika Pendidikan Agama Di Sekolah
Untuk
mengatasi problematika pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah
dapat diupayakan beberapa solusi yang diharapkan mampu meyelesaikan
permasalahan yang dihadapi sebagaimana yang akan diuraikan sebagai berikut:[7]
1.
Upaya
Mengatasi Problematika Peserta Didik dalam Pendidikan Agama Islam
Untuk mengatasi berbagai problem peserta didik
dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, dapat dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
a.
Solusi
terhadap problem yang terdapat pada peserta didik sangat dipengaruhi
oleh kesiapan individu sebagai subjek yang melakukan kegiatan belajar baik siap
dalam kondisi fisik atau psikis (jasmani atau mental) individu yang
memungkinkan dapat melakukan belajar.
b.
Adanya
motivasi terhadap peserta didik baik motivasi intrinsik yaitu motivasi yang
datang dari peserta didik atau motivasi ekstrintik yaitu motivasi yang datang
dari lingkungan di luar diri peserta didik. Dalam hubungan ini motivasi dapat
dilakukan dengan jalan menimbulkan atau mengembangkan minat peserta didik dalam
melakukan kegiatan belajarnya. Para pendidik diharapkan mampu menumbuhkan dan
mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar.
Dengan demikian peserta didik akan memperoleh kepuasan dan unjuk kerja yang
baik.
c.
Mengingat
adanya hambatan terhadap peserta didik tersebut maka sebaiknya pendidik
mengadakan test untuk mengetahui kemampuan peserta didik. Apabila mayoritas
peserta didik memiliki kemampuan intelegensi tinggi, maka bagi peserta didik
yang intelegensi rendah perlu diusahakan memberikan pelajaran tambahan atau
peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan dengan cara jalan lain
yaitu dengan menempatkan peserta didik pada kelas yang memiliki kemampuan rata
rata yang sama.[8]
2.
Upaya
Mengatasi Problem Pendidik dalam Pendidikan Agama Islam.
Dalam peningkatan etos kerja dan meningkatkan kualitas
pendidikan agama Islam di sekolah, maka yang perlu diperhatikan diantaranya
adalah:
a)
Penghasilan
pendidik dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena rendahnya gaji pendidik
akan mengakibatkan terhambatnya usaha dalam meningkatkan profesionalitas
kualitas pendidik.
b)
Seorang
pendidik memahami tabiat, kemampuan dan kesiapan peserta didik.
c)
Seorang
pendidik harus mampu menggunakan variasi metode mengajar dengan baik, sesuai
dengan karakter materi pelajaran dan situasi belajar mengajar.
3.
Upaya
Mengatasi Problem Kurikulum dalam Pendidikan Agama Islam
Dalam mengatasi problem kurikulum, maka pembuatan
kurikulum haruslah memperhatikan kesesuaian kurikulum dengan perkembangan zaman
pada masa kini serta masa-masa yang akan datang, sehingga peserta didik
memiliki bekal dalam menghadapi kompetisi dalam kehidupan nyata yang cenderung
hedonis dan materialis. Pembuatan kurukulum juga harus menyeimbangkan antara
teoritis dan praktis dalam keagamaan. Peserta didik harus dilatih bagaimana ia
mempraktikan teori yang ada dalam kehidupan sehari-hari sehingga peserta didik
mengerti bagaimana ia nantinya harus mempraktekkannya dalam kehidupan
bermasyarakat.
4.
Upaya
Mengatasi Problem Evaluasi dalam Pendidikan Agama Islam
Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis
dan lengkap oleh guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan
praktik yang dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk
mengevaluasi sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru
pendidikan agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama
Islam secara benar.
5.
Upaya
Mengatasi Problem Manajemen dalam Pendidikan Agama Islam
Dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah, seharusya
terjalin hubungan antara sekolah dengan orang tua peserta didik dimaksudkan
agar orang tua mengetahui berbagai kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan
di sekolah untuk kepentingan peserta didik dan juga orang tua peserta didik mau
memberi perhatian yang besar dalam menunjang program program sekolah.
Terjalinya sekolah dengan masyarakat bertujuan
memelihara kelangsungan hidup sekolah dan memproleh bantuan dan dukungan dari
masyarakat dalam rangka mengembangkan pelaksanan program program sekolah.
6.
Upaya
Mengatasi Problem Sarana dan Prasarana dalam Pendidikan Agama Islam
Sarana pendidikan sangat menunjang dalam proses belajar
mengajar, hal ini akan menunjang tercapainya tujuan pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di madrasah.diantaranya adalah :
a)
Gedung
sekolah yang memadai sehingga membuat peserta didik senang dan bergairah
belajar di dalam sekolah.
b)
Sekolah
harus memiliki perpustakaan dan dimanfaatkan secara optimal baik oleh pendidik
atau peserta didik.
c)
Adanya
alat alat peraga yang lengkap akan sangat membantu pencapaian tujuan
pendidikan.
d)
Adanya
alat sarana untuk ibadah.
7.
Upaya
Mengatasi Problem Lingkungan dalam Pendidikan Agama Islam
a)
Suasana
keluarga yang aman dan bahagia, itulah yang diharapkan akan menjadi wadah yang
baik dan subur bagi pertumbuhan jiwa anak didik yang dibesarkan dalam keluarga.
b)
Lingkungan
masyarakat agamis akan dapat menunjang keberhasilan pendidikan dan sebaliknya
lingkungan yang tidak sehat akan dapat menyebabkan terhambatnya dalam proses
belajar mengajar.
c)
Orang tua
yang belum memahami arti nilai nilai agama Islam akan mempengaruhi terhadap
pendidikan anak.[9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan
Agama sejak Indonesia Merdeka tahun 1945 telah mulai diberikan
disekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI pertama, tahun 1945 oleh menteri
P.P.&K. (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama, yakni Alm. Ki
Hajar Dewantara yang telah mengirim surat edaran ke daerah-daerah yang isinya
menyatakan, bahwa pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan
Jepang, diperkenankan diganti dengan pelajaran Agama.
Pius A.
Partanto dan M. Dahlan dalam kamus Ilmiah Populer menjelaskan Mutu merupakan
baik buruknya sesuatu, kualitas, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan).
Pengertian mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk baik
beruapa barang maupun jasa, baik yang dapat dipegang (tangible) maupun
yang tidak dapat dipegang (intangible). Sedangkan mutu dalam konteks
hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap
kurun waktu tertentu.
Adapun
dalam peningkatan mutu pendidikan, kepala sekolah dapat melaksanakannya dengan
melalui beberapa komponen antara lain:
1.
Guru
2.
Rapat Guru
3.
Siswa
4.
Sarana dan
Prasarana
5.
Kerjasama
dengan Wali Murid
B.
Saran
Demikian
pembahasan makalah mengenai problematika pembelajaran PAI di MI/SD. Semoga
dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah
harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro, 2010)
Komaruddin
Hidayat dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pemikiran
Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Made Pidarta, Manajemen
Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988)
Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005)
Muhammad Kholid
Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2005)
Zuhairini dan
Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang:
Universitas Malang, 2004)
Neng Berbagi, Problematika
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Sumber: http://nengberbagi.blogspot.co.id diunggah pada 05/07/2014 pukul 21: 35, dan diakses pada 21/09/2019
pukul 19.30 Wib.
[1] Komaruddin Hidayat dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika
Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hal. xii-8.
[2] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan
Nasional: Paradigma Baru, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), hal. 36
[3] Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, (Malang: Universitas Malang, 2004), hlm.104.
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro,
2010)
[5] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 201
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 205
[7] Made
Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
hlm. 198
[8] Made
Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
hlm. 200
[9] Neng Berbagi, Problematika Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Sumber:
http://nengberbagi.blogspot.co.id
diunggah pada 05/07/2014 pukul 21: 35,
dan diakses pada 21/09/2019 pukul 19.30 Wib.
No comments:
Post a Comment