Saturday, December 24, 2022

Makalah Permasalahan / Problematika Pembelajaran PAI di Sekolah


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok o
1
 
rang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan  manusia itu sendiri. Dalam penididkan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan. Namun, semua hal tersebut belum dapat menghasilkan atau meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaiman masalah pelaksanaan dan kendala Pendidikan Agama islam di sekolah umum ?
2.      Bagaimana upaya mengatasi problematika pendidikan agama di sekolah umum ?

C.     Tujuan
1.      Bagaiman masalah pelaksanaan dan kendala Pendidikan Agama islam di sekolah umum ?
2.      Bagaimana upaya mengatasi problematika pendidikan agama di sekolah umum ?











3
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Problematika Pendidikan Agama di Sekolah
Tiga hal menurut Hidayat yang bisa dikemukakan untuk membuktikan kekurang-tepatan orientasi pendidikan dimaksud, yaitu:[1]
1.      Pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama.
2.      Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, justru terlewatkan, misalnya pelajaran keimanan/tauhid.
3.      Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya.
Dari berbagai seminar dan simposium yang dilakukan, baik oleh Departemen Agama, PTAI, maupun lembaga swadaya masyarakat lainnya, dapat dihimpun berbagai faktor penyebab kurang efektifnya pendidikan agama di sekolah sebagai berikut:
a)      Faktor internal, yaitu faktor yang muncul dari dalam diri guru agama, yang meliputi: kompetensi guru yang relatif masih lemah, penyalahgunaan manajemen penggunaan guru agama, pendekatan metodologi guru yang tidak mampu menarik minat peserta didik kepada pelajaran agama, solidaritas guru agama dengan guru non-agama masih sangat rendah, kurangnya waktu persiapan guru agama untuk mengajar, dan hubungan guru agama dengan peserta didik hanya bersifat formal saja.
b)      Faktor Eksternal, yang meliputi: sikap masyarakat/orangtua yang kurang concern terhadap pendidikan agama yang berkelanjutan, situasi lingkungan sekitar sekolah banyak memberikan pengaruh yang buruk, pengaruh negatif dari perkembangan teknologi, seperti internet, play station dan lain-lain.
c)      Faktor Institusional yang meliputi sedikitnya alokasi jam pelajaran pendidikan agama Islam, kurikulum yang terlalu overloaded, kebijakan kurikulum yang terkesan bongkar pasang, alokasi dana pendidikan yang sangat terbatas, alokasi dana untuk kesejahteraan guru yang belum memadahi dan lain sebagainya.
Pendidikan Agama Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Agama Islam sebagai lembaga; diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran; diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value); yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul ketika diterapkan di sekolah. Diantara problem tersebut adalah:[2]
1.      Problem Anak Didik                                                                              
Problem yang berkaitan dengan anak didik perlu diperhatikan, dipikirkan, dan dipecahkan, karena anak didik merupakan pihak yang dibina untuk dijadikan manusia yang seutuhnya, baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun dalam masyarakat.
Pengertian anak didik adalah anak yang belum mencapai kedewasaan, baik fisik maupun psikologis yang memerlukan usaha serta bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai hamba Tuhan serta sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara. Peserta didik dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan dan pengajaran. Pendidik tidak mempuyai arti apa apa tanpa kehadiran peserta didik sebagai subyek pembinaan. Dalam perspketif pedagogis, peserta didik adalah sejenis makhluk yang menhajatkan pendidikan.
Sistem pendidikan Islam selama ini hanya mengandalkan kekuasaan pendidikan, tanpa memperhatikan pluralisme subyek didik, yang sudah saatnya harus dirubah agar tercipta masyarakat madani, yakni peserta didik yang aktif, membiasakan berpendapat dengan penuh tanggung jawab serta membangun norma-norma keberadaban.[3]
Selama ini memang dirasakan bahwa proses pendidikan Islam terkesan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi yang kognitif dan motorik yang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologi peserta didik.
Adapun problem-problem yang terdapat pada anak didik antara lain:
a.       Problem kemampuan ekonomi keluarga.
b.      Problem intelegensia.
c.       Problem bakat dan minat.
d.      Problem perkembangan dan pertumbuhan.
e.       Problem kepribadian.
f.        Problem sikap.
g.       Problem sifat.
h.       Problem kerajinan dan ketekunan.
i.         Problem pergaulan.
j.        Problem kesehatan.
Dalam rangka memenuhi keselarasan antara jasmani dan rohani peserta didik maka terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya problem bagi peserta didik yang perlu diperhatikan. Faktor penyebab kesulitan belajar yang dirasakan oleh peserta didik dikarenakan adanya pengaruh dari dalam diri peserta didik itu sendiri, yang meliputi:

a)      Intelengensi peserta didik
Setiap peserta didik sejak lahirnya memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, antara satu dengan yang lainya. Kemampuan peserta didik dalam kelas tidak sama, hal ini mengakibatkan adanya hambatan bagi pendidik dalam menyampaikan pelajaran (transfer knowledge). Jika pendidik hanya memperhatikan peserta didik yang memiliki intelengensi yang tinggi, maka keadaan kelas tidak akan harmonis yang pada akhirnya akan menimbulkan kecemburuan di hati peserta didik yang berintelegensi rendah karena merasa tidak diperhatikan, sehingga pada akhirnya tujuan intruksional khusus tidak tercapai.
b)      Minat peserta didik.
Minat pada peserta didik dapat diartikan sebagai rasa senang atau tidak senang dalam menghadapi suatu subjek pelajaran. Prinsip dasarnya ialah bahwa minat peserta didik akan meningkat apabila yang bersangkutan memiliki rasa senang yang tinggi dalam melakukan tindakanya. Minat peserta didik erat kaitannya dengan perhatian yang diberikannya dalam mengikuti proses belajar mengajar. Kefektifan suatu proses pembelajaran akan dipengaruhi oleh kualitas perhatian pendidik terhadap rangsangan.
c)      Motivasi.
Motivasi dapat diartikan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa hasil belajar pada umumya meningkat jika motivasi belajar bertambah baik motifnya dari intrinsik maupun ekstrinsik.
Uraian di atas menjelaskan bahwa perhatian merupakan salah satu faktor psikologis yang dapat membantu terjadinya interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam proses belajar-mengajar. Perhatian merupakan faktor terpenting dalam usaha belajar mengajar pada peserta didik.
2.      Problem Pendidik
Dalam proses pendidikan khususnya pendidikan di sekolah, Pendidik memegang peranan yang paling utama. Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan kata muaddib, muallim dan murabbi. Gambaran tentang hakikat pendidik dalam Islam adalah orang orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi peserta didik, baik affektif, kognitif dan psikomotorik.
Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggung jawab sebagai pendidik yaitu manusia dewasa yang mempuyai hak dan kewajiban dalam mendidik peserta didik. Oleh karena itu, seorang pendidik memikul tanggung jawab yang bersifat personal dalam arti bahwa setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial dalam arti bahwa setiap orang yang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain. Hal ini tercermin dalam firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahriim Ayat 6)[4]

Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua, hal ini disebabkan karena secara alami anak didik pada masa awal kehidupannya berada ditengah tengah ayah dan ibunya. Sedangkan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah disebut dengan guru/dosen.
Sebagai Mu’allim, pendidik akan melakukan transfer ilmu/pengetahuan/nilai ke dalam diri sendiri dan peserta didiknya, serta berusaha membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk mengamalkanya. Sebagai Muaddib seorang pendidik sadar bahwa eksistensi GPAI memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan melalui kegiatan pendidikan.
Diantara problem seorang pendidik adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan. Dan jika muncul issu-issu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Sebagian guru agama nampaknya tidak cukup mempunyai pengetahuan yang komprehensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama. Guru-guru agama di beberapa sekolah selain kurang mendalami materi yang diajarkan, juga sering kali mengajar tanpa memperhatikan didaktik-metodik dan psikologi anak. Agar pendidikan agama dapat mencapai hasil sesuai tujuan yang diharapkan, maka setiap guru agama harus mengetahui dan menguasai berbagai metode pembelajaran dan pendekatan. Namun pada kenyataannya, pelajaran pendidikan agama di sekolah masih dominan menggunakan metode ceramah.
Selain itu, problem sumber daya kependidikan secara umum yang merupakan masalah pokok yang dihadapi pendidikan Islam adalah rendahnya kualitas tenaga pendidik. Indonesia seperti halnya negeri-negeri muslim besar lainnya juga menghadapi masalah pokok dalam modernisasi pendidikan Islam yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan riset, dikarenakan pada gaji yang tidak cukup, kemudian ia mencari pekerjaan tambahan di luar lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupanya tiap bulan. Akibatnya, etos kerjanya sebagai pendidik agama di sekolah sangat menurun.
Pendidik dalam pendidikan agama Islam dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Seseorang dikatakan professional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model model yang sesuai dengan tuntutan zamanya, yang dilandasi oleh kesadaran tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada masa zamanya. [5]
Dalam perspektif pendidikan Agama Islam di Sekolah, guru seringkali mengalami kendala dalam menanamkan pembiasaan ajaran Islam di sekolah. Hal ini semata-mata disebabkan karena guru tidak memiliki kompetensi yang matang, serta juga tidak didukung oleh penguasaan konsep internalisasi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu umum oleh guru-guru bidang studi lainnya.
3.      Problem Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan. Dalam Bahasa Arab kurikulum diistilahkan manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai kehidupan. Sedangkan arti manhaj/kurikulum dalam pendidikam Islam sebagaimana yang terdapat dalam kamus At-Tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Definisi tentang kurikulum juga telah dirumuskan oleh para pakar pendidikan, diantaranya definisi yang dikemukakan oleh M. Arifin yang memandang kurikulum sebagai seluruh mata pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan dalam suatu institusional pendidikan. Nampaknya definisi ini masih terlalu sederhana dan lebih terpaku pada materi pelajaran semata. Sementara, Zakiah Daradjad menganggap kurikulum sebagai suatu program yang direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan tertentu. Definisi kurikulum ini nampaknya lebih luas dari definisi yang pertama, karena kurikulum tidak hanya mencakup pada materi pelajaran semata namun juga mencakup seluruh program di dalam kegiatan pelajaran.
Dalam pandangan dunia pendidikan, keberhasilan program pendidikan sangat tergantung pada perencanaan program kurikulum pendidikan tersebut, karena “kurikulum, pada dasarnya berfungsi untuk menyediakan program pendidikan (bluefrint) yang relevan bagi pencapaian sasaran akhir program pendidikan. Dengan kata lain, Fungsi kurikulum adalah menyiapkan dan membentuk peserta didik agar dapat menjadi manusia yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan orientasi kurikulum dan sasaran akhir program pendidikan. Program kurikulum diorientasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang, apabila kurikulum tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini dan masa akan datang tentu akan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap calon-calon penganggur pada masa yang akan datang.
Dalam hal ini kurikulum pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan-hafalan teks keagamaan yang sudah ada. Proses pendidikan agama Islam, seringkali dapat disaksikan praktek pendidikan yang kurang menarik dari sisi materi dan metode penyampaian yang diaplikasikan. Desain kurikulum pendidikan agama Islam sangat didominasi oleh masalah yang sangat normative, apalagi materi pendidikan Islam yang kemudian disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan atau menekankan ortodoksi dalam pelajaran mata agama yang diidentikkan dengan keimanan, dan bukan ortopraksis yaitu bagaimana mewujudkan iman dalam tindakan nyata operasional.
Amin Abdullah misalnya, salah seorang pakar keislaman non tarbiyah, juga telah menyoroti kurikulum dan kegiatan pendidikan Islam yang selama ini berlangsung di sekolah, antara lain sebagai berikut:
a)      Kurikulum Pendidikan Islam lebih banyak terkosentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata.
b)      Kurikulum Pendidikan Islam kurang konsen terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara dan media.
c)      Kurikulum Pendidikan agama Islam lebih menitik beratkan pada aspek korespondensi tekstual, yang lebih menitikberatkan pada hafalan teks keagamaan yang sudah Ada
d)      Sistem evaluasi, bentuk -bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada aspek kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna“ spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupann sehari hari.
4.      Problem Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu kegiatan pembelajaran yang sangat penting. Dengan evaluasi, guru dapat mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan. Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang dapat mengukur segi kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Kebanyakan evaluasi yang dilakukan selama ini hanyalah mengukur kognitif siswa saja, sedang afektif dan psikomotoriknya terabaikan. Hasil evaluasi kognitif tersebut dimasukkan ke dalam raport siswa, maka kemungkinan akan terjadi penilaian yang kurang obyektif. Adakalanya siswa yang rajin beribadah lebih rendah nilainya daripada siswa yang malas beribadah.
Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara benar.
5.      Problem Manajemen
Manajemen merupakan terjemahan dari kata management yang berarti pengelolaan, ketata-laksanaan. Management berakar dari kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, atau mengelola.
Manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai suatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasanya tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat direalisasikan secara optimal, efektif dan efesien.
Manajemen pendidikan Islam mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan. Dari kerangka inilah tumbuh kesadaran untuk melakukan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas menajemen pendidikan, baik yang dilakukan pemerintah maupun lembaga pendidikan.
Manajemen pendidikan agama Islam merupakan tanggung jawab Departemen Agama, sehingga hal ini mempuyai dampak pada pendanaan pendidikan. Artinya anggaran belanja negara bidang pendidikan hanya dialokasikan kepada lembaga lembaga pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan pendidikan Islam tidak diambil dari anggaran negara bidang pendidikan, tetapi dari anggaran bidang agama, sehingga anggaran pembiayaan pemerintah untuk pendidikan Islam jauh lebih kecil dibandingkan untuk pendidikan umum.
Upaya lain adalah diundangkan UUSPN 1989 sebagai usaha untuk menngabungkan (integrasi) sistem pendidikan yang lebih dikenal dengan istilah pendidikan satu atap. Akan tetapi upaya ini semua sampai saat ini belum pernah selesai dan terimplementasi dengan baik. Dengan kata lain dalam menajemen pendidikan di Indonesia, pendidikan Islam belum mengalami transformasi posisi yang berarti dan diberlakukan sacara sejajar oleh pemerintah dengan pendidikan umum di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia, “posisi pendidikan Islam masih dalam posisi marginal.
Inilah realitas yang dihadapi, sehingga menjadikan pendidikan Islam secara umum kurang diminati dan kurang mendapat perhatian. Hal ini didukung dengan materi kurikulum dan manajemen pendidikan yang kurang memadai, kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Lulusannya kurang memiliki ketrampilan untuk bersaing dalam dunia kerja. Melihat kenyatatan ini, maka reformasi manajemen pendidikan Islam menjadi suatu keharusan. Sebab dengan langkah-langkah berusaha pembenahan dan peningkatan profesionalisme penyelenggaran pendidikan akan mampu menjawab berbagai tantangan dan dapat memberdayakan pendidikan Islam di masa depan. Dalam hal ini pendidikan agama Islam menerapkan manajemen berbasis sekolah artinya pengelolaan pendidikan pendidikan mengarah kepada pengelolaan kepada pengelolaan manajemen berbasis sekolah.
Bank dunia telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatiakan dalam penerapan manajemen berbasis sekolah. Faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah yang menawarkan keluasan pengelolaan masyarakat, kebijakan dan prioritas pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan berhak merumuskan kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan, peranan orang tua dan masyarakat perlu dihimpun dalam satu badan sekolah yang dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan sekolah, peranan profesionalisme kepala sekolah, pendidik, administrasi dalam mengoperasikan sekolah.
6.      Problem Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan agama Islam adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dalam menunjang proses pendidikan khususya proses belajar mengajar seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi serta peralatan dan media pengajaran yang lain. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalanya proses pendidikan atau pengajaran seperti kebun, halaman, taman sekolah, jalan menuju sekolah. Zakiah Deradjat menyamakan sarana pendidikan dengan media pendidikan. Dalam hal ini, Gegne mendefinisikan sarana pendidikan sebagai alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar.
Sarana pendidikan Agama Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalanya proses pendidikan Islam. Dengan demikian apabila pendidikan Islam memanfaatkan dan menggunakan sarana pendidikan, maka peserta didik akan memiliki pemahaman yang bagus tentang materi yang diperoleh, dan juga diharapkan akan memiliki moral yang baik.
Sarana dan prasarana pendidikan agama Islam yang baik, diharapkan dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi dan indah sehingga menciptakan sekolah yang menyenangkan bagi pendidik maupun peserta didik yang berada di sekolah.
7.      Problem Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak yang terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Kondisi lingkungan mempengaruhi proses belajar dan hasil belajar. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik/ alam dan lingkungan sosial.
Lingkungan sosial mempuyai peran penting terhadap berhasil tidaknya pendidikan agama karena perkembangan jiwa peserta didik sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkunganya. Lingkungan akan dapat menimbulkan pengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan jiwanya, dalam sikap maupun perasaan keagamaan. Problem lingkungan ini mencakup:
a)      Suasana keluarga yang tidak harmonis akan mengkibatkan pengaruh yang kurang baik terhadap perkembangan peserta didik.
b)      Lingkungan masyarakat yang tidak/kurang agamis akan menggangu perjalanan proses belajar mengajar disekolah.
c)      Kurangnya pemahaman orang tua akan arti nilai-nilai agama Islam akan mempengaruhi terhadap pendidikan anak.[6]

B.     Upaya Mengatasi Problematika Pendidikan Agama Di Sekolah
Untuk mengatasi problematika pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah dapat diupayakan beberapa solusi yang diharapkan mampu meyelesaikan permasalahan yang dihadapi sebagaimana yang akan diuraikan sebagai berikut:[7]
1.      Upaya Mengatasi Problematika Peserta Didik dalam Pendidikan Agama Islam
Untuk mengatasi berbagai problem peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Solusi terhadap problem yang terdapat pada peserta didik sangat dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai subjek yang melakukan kegiatan belajar baik siap dalam kondisi fisik atau psikis (jasmani atau mental) individu yang memungkinkan dapat melakukan belajar.
b.      Adanya motivasi terhadap peserta didik baik motivasi intrinsik yaitu motivasi yang datang dari peserta didik atau motivasi ekstrintik yaitu motivasi yang datang dari lingkungan di luar diri peserta didik. Dalam hubungan ini motivasi dapat dilakukan dengan jalan menimbulkan atau mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya. Para pendidik diharapkan mampu menumbuhkan dan mengembangkan minat peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian peserta didik akan memperoleh kepuasan dan unjuk kerja yang baik.
c.       Mengingat adanya hambatan terhadap peserta didik tersebut maka sebaiknya pendidik mengadakan test untuk mengetahui kemampuan peserta didik. Apabila mayoritas peserta didik memiliki kemampuan intelegensi tinggi, maka bagi peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan memberikan pelajaran tambahan atau peserta didik yang intelegensi rendah perlu diusahakan dengan cara jalan lain yaitu dengan menempatkan peserta didik pada kelas yang memiliki kemampuan rata rata yang sama.[8]
2.      Upaya Mengatasi Problem Pendidik dalam Pendidikan Agama Islam.
Dalam peningkatan etos kerja dan meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah, maka yang perlu diperhatikan diantaranya adalah:
a)      Penghasilan pendidik dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena rendahnya gaji pendidik akan mengakibatkan terhambatnya usaha dalam meningkatkan profesionalitas kualitas pendidik.
b)      Seorang pendidik memahami tabiat, kemampuan dan kesiapan peserta didik.
c)      Seorang pendidik harus mampu menggunakan variasi metode mengajar dengan baik, sesuai dengan karakter materi pelajaran dan situasi belajar mengajar.
3.      Upaya Mengatasi Problem Kurikulum dalam Pendidikan Agama Islam
Dalam mengatasi problem kurikulum, maka pembuatan kurikulum haruslah memperhatikan kesesuaian kurikulum dengan perkembangan zaman pada masa kini serta masa-masa yang akan datang, sehingga peserta didik memiliki bekal dalam menghadapi kompetisi dalam kehidupan nyata yang cenderung hedonis dan materialis. Pembuatan kurukulum juga harus menyeimbangkan antara teoritis dan praktis dalam keagamaan. Peserta didik harus dilatih bagaimana ia mempraktikan teori yang ada dalam kehidupan sehari-hari sehingga peserta didik mengerti bagaimana ia nantinya harus mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
4.      Upaya Mengatasi Problem Evaluasi dalam Pendidikan Agama Islam
Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara benar.
5.      Upaya Mengatasi Problem Manajemen dalam Pendidikan Agama Islam
Dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah, seharusya terjalin hubungan antara sekolah dengan orang tua peserta didik dimaksudkan agar orang tua mengetahui berbagai kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan di sekolah untuk kepentingan peserta didik dan juga orang tua peserta didik mau memberi perhatian yang besar dalam menunjang program program sekolah.
Terjalinya sekolah dengan masyarakat bertujuan memelihara kelangsungan hidup sekolah dan memproleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka mengembangkan pelaksanan program program sekolah.
6.      Upaya Mengatasi Problem Sarana dan Prasarana dalam Pendidikan Agama Islam
Sarana pendidikan sangat menunjang dalam proses belajar mengajar, hal ini akan menunjang tercapainya tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di madrasah.diantaranya adalah :
a)      Gedung sekolah yang memadai sehingga membuat peserta didik senang dan bergairah belajar di dalam sekolah.
b)      Sekolah harus memiliki perpustakaan dan dimanfaatkan secara optimal baik oleh pendidik atau peserta didik.
c)      Adanya alat alat peraga yang lengkap akan sangat membantu pencapaian tujuan pendidikan.
d)      Adanya alat sarana untuk ibadah.
7.      Upaya Mengatasi Problem Lingkungan dalam Pendidikan Agama Islam
a)      Suasana keluarga yang aman dan bahagia, itulah yang diharapkan akan menjadi wadah yang baik dan subur bagi pertumbuhan jiwa anak didik yang dibesarkan dalam keluarga.
b)      Lingkungan masyarakat agamis akan dapat menunjang keberhasilan pendidikan dan sebaliknya lingkungan yang tidak sehat akan dapat menyebabkan terhambatnya dalam proses belajar mengajar.
c)      Orang tua yang belum memahami arti nilai nilai agama Islam akan mempengaruhi terhadap pendidikan anak.[9]






BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Pendidikan Agama sejak Indonesia Merdeka tahun 1945 telah mulai diberikan disekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI pertama, tahun 1945 oleh menteri P.P.&K. (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama, yakni Alm. Ki Hajar Dewantara yang telah mengirim surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan, bahwa pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang, diperkenankan diganti dengan pelajaran Agama.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan dalam kamus Ilmiah Populer menjelaskan Mutu merupakan baik buruknya sesuatu, kualitas, taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan). Pengertian mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk baik beruapa barang maupun jasa, baik yang dapat dipegang (tangible) maupun yang tidak dapat dipegang (intangible). Sedangkan mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu.
Adapun dalam peningkatan mutu pendidikan, kepala sekolah dapat melaksanakannya dengan melalui beberapa komponen antara lain:
1.      Guru
2.      Rapat Guru
3.      Siswa
4.      Sarana dan Prasarana
5.      Kerjasama dengan Wali Murid

B.     Saran
Demikian pembahasan makalah mengenai problematika pembelajaran PAI di MI/SD. Semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
18
 

 

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro, 2010)

Komaruddin Hidayat dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988)

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)

Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005)

Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang: Universitas Malang, 2004)

Neng Berbagi, Problematika Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Sumber: http://nengberbagi.blogspot.co.id diunggah pada 05/07/2014  pukul 21: 35, dan diakses pada 21/09/2019 pukul 19.30 Wib.


[1] Komaruddin Hidayat dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. xii-8.
[2] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), hal. 36
[3] Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang: Universitas Malang, 2004), hlm.104.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro, 2010)
[5] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 201
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 205
[7] Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 198
[8] Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 200
[9] Neng Berbagi, Problematika Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Sumber: http://nengberbagi.blogspot.co.id diunggah pada 05/07/2014  pukul 21: 35, dan diakses pada 21/09/2019 pukul 19.30 Wib.

No comments:

Post a Comment