Tuesday, July 31, 2018

Makalah Pembaharuan Dan Modernisasi Dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Keduanya diyakini sebagai kebenaran tunggal ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah sebagai watak dan ciri khas adanya dinamika intelektual dalam Islam. Di dalamnya dimuat postulat-postulat yang mendorong umat Islam untuk terus mengkaji dan meneliti tentang prinsip dasar universalitas ajaran Islam yang sempurna namun tidak semuanya disampaikan dengan bahasa yang jelas dan terinci. Oleh karena itu, interpretasi diperlukan untuk memahami maksud dan makna bunyi ayat dan mengamalkannya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Apalagi yang berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan, Islam memberikan pedoman yang masih bersifat umum.
Selama dua setengah abad sepeninggal Nabi SAW. dalam kaitannya pengalaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Ortodoksi Sunni mengalami kristalisasi setelah bergulat  dengan aliran Mu’tazilah (rasionalisme dalam Islam), aliran Syi’ah, dan kelompok-kelompok Khawarij. Pergulatan ini sesungguhnya masih terus berlangsung sampai abad ke-13. Pada abad ini sufisme berkembang di Dunia Islam dalam bentuk pelbagai kelompok persaudaraan (thariqah), yang sedikit banyak berbau mistik karena tidak jarang gerakan-gerakan sufi mengalami pembauran dengan budaya-budaya lokal yang sudah ada. Jadi tidak aneh bila praktek-praktek sufi kadang kala bertentangan dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah karena mengarah pada bid’ah dan khurafat.
Dalam situasi  umat  yang seperti itu, tampillah seorang pembaru Islam pada peralihan abad ke-13 dan ke-14 yaitu Ibnu Taimiyah di Damaskus. Pembaruan yang dilakukan oleh  tokoh yang sering dianggap sebagai bapak tajdid (reformasi Islam) ditujukan pada tiga sasaran utama yaitu  sufisme, filsuf yang mendewakan rasionalisme dan teologi Asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu diserta seruan kepada umat Islam agar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan memahami kembali kedua sumber Islam itu dengan landasan ijtihad. Pintu ijtihad yang seolah-olah sudah ditutup pada waktu itu didobrak oleh Ibnu Taimiyah sambil menandaskan bahwa rekonstruksi Islam hanya dapat dilakukan dengan menghidupkan semangat ijtihad. Menurutnya bahwa manusia harus dapat memahami kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Pada masa-masa selanjutnya bermunculanlah tokoh-tokoh pembaru lainnya yang pada awalnya bertujuan sama untuk memperbaiki kondisi umat Islam yang pada waktu itu mengalami degenerasi dan dekadensi akidah hanya saja tekanan dari masing-masing pembaharuan berbeda, dari satu generasi kepada generasi yang lain, dan juga dari satu tempat ke tempat yang lainnya.  Dalam pada itu yang diperbaharui oleh para pembaharu itu hanyalah penafsiran dan interpretasi dari ajaran yang bersifat  tidak muntlak.             Fazlur  Rahman salah seorang pemikir Islam terkemuka  menilai bahwa gerakan-gerakan reformasi Islam yang muncul pada abad ke-17 sampai ke-19 pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama seperti gagasan pokok Ibnu Taimiyah yaitu mengedepankan rekonstruksi sosio-moral masyarakat Islam dan sekaligus mengoreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.
Kebangkitan di dunia Barat  pada masa antara akhir abad ke-16 dan akhir abad ke-18 telah terjadi transformasi budaya yang membawa masyarakat Barat menuju modernitas. Secara Historis , Galileo Galilei  (1564-1642) dianggap sebagai pahlawan modernitas yang hidup pada masa Renaissans, masa ketika para pemikir mendapatkan diri dalam kebebasan pribadi dan dengan akal sehat mereka mendobrak dogma gereja, sehingga mereka mampu menemukan pelbagai pemecahan dan penemuan baru di bidang ilmiah. Pada masa ini merupakan masa pencerahan terhadap akal pemikiran  atau masa pencerahan  ( Aufklarung) terutama tahun 1650 – 1800 M., yang selanjutnya diikuti oleh Revolusi Industri di Inggris dan  Revolusi Perancis (1789 – 1799) yang telah membangun norma-norma baru dalam hubungan sosial umat manusia. Sejak saat itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern melaju dengan pesat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan anak kandung modernitas pada abad ke-19 menyerbu dunia Islam dengan pintu masuk pendudukan Napoleon Bonaparte di Mesir yang dalam sejarah Islam disebut sebagai permulaan Periode Modern. Kontak dengan dunia Barat modern ini selanjutnya menimbulkan pelbagai ide baru di dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, sekularisme dan sebagainya yang kelak menimbulkan pelbagai persoalan baru, juga sekaligus menumbuhkan kembali dinamika intelektual kaum muslimin dengan cara membersihkan agama dari subversi syirk, khurafat, dan bid’ah serta mengadopsi pemahaman dan metodologi baru yang dikembangkan oleh orang-orang Barat. Dalam keadaan demikian inilah. Dunia  Islam bangkit dan muncul kesadaran  bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Karena itu muncullah ulama dan para pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat   sehingga dunia Islam pun memasuki periode modern.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan Modernisasi Dan Pembaruan  Di Dunia Islam?
2.      Apa saja latar  belakang dan dasar pembaruan dan        modernisasi di dunia islam
3.      Apa saja bentuk pembaharuan yang dihasilkan?
4.      Siapa saja tokoh-tokoh pembaruan dan upaya – upaya yang telah dilaksanakan  di dunia islam?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Modernisasi Dan Pembaruan  Di Dunia Islam
2.      Untuk mengetahui latar  belakang dan dasar pembaruan dan        modernisasi di dunia islam
3.      Untuk mengetahui bentuk pembaharuan yang dihasilkan
4.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh pembaruan dan upaya – upaya yang telah dilaksanakan  di dunia islam
    
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Modernisasi Dan Pembaruan  Di Dunia Islam
 “Modernisasi” secara etimologis berasal  dari kata modern yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaruan. Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain  sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Modernisasi atau pembaruan dapat diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh penerima pembaruan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Dengan demikian modernisasi merupakan proses perubahan untuk memperbaiki keadaan, baik dari segi cara, konsep dan serangkaian metode yang bisa diterapkan dalam rangka mengantarkan keadaan yang lebih baik.[1]
Sedangkan dalam kosakata Islam term “pembaruan” digunakan kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanisme, revivalisme dan fundamentalisme. Disamping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata “ishlah”. Kata “tajdid” biasa diterjemahkan sebagai “pembaruan” dan  “ishlah” sebagai “perubahan”. Kedua kata  tersebut  secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktik-praktiknya dalam komunitas kaum muslim.
Berkaitan dengan hal tersebut, pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera zaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan serta semangat zaman.
Adapun penggunaan istilah “modernisasi”  atau “pembaruan” di dunia Islam oleh para ahli masih terdapat perbedaan pendapat, demikian pula dalam pemaknaan  dan isi pembaruan itu sendiri. Harun Nasution  menyebut pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaruan terhadap tradisi yang ada sebagai “Gerakan Pembaruan Islam”, bukan “Gerakan Modernisme Islam”. Menurutnya, modernisme memiliki konteks  sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat untuk menggantikan ajaran agama Katholik dengan sains dan filsafat modern yang berpuncak pada proses sekularisasi dunia Barat. Sedangkan Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada pembauran degan alasan bahwa penggunaan istilah pembaruan tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam  modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan Muslim, sebaliknya yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi.[2]
Dengan demikian harus kita pahami bahwa pembaharuan dalam tradisi Islam yang disebut konsep tajdid tidak sama dengan modernisasi dalam Islam.Yang diperlukan sekarang adalah usaha penggalian kembali konsep-konsep dalam Islam yang telah terkaburkan karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.  Kesenjangan ini terjadi di antaranya disebabkan oleh ketidakmampuan menangkap semangat ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dalam menghadapi  gerak dan perkembangan hidup manusia yang mengakibatkan pengamalannya menjadi padam dan ketiadaan ilmu yang cukup dapat berakibat pengamalan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah menyimpang dari semangatnya.  Dengan demikian antara tajdid (pembaruan)  dan  modernisasi di dunia Islam berbeda secara etimologis maupun konseptual, namun dalam praktiknya keduanya tidak terpisahkan. Perbedaan ini dapat kita telusuri dari segi historis lahirnya kedua istilah tersebut.      
Ada beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktivitas dikatakan sebagai aktivitas pembaruan, antara lain: pertama,  baik pembaruan maupun modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan, kedua, dalam upaya melakukan suatu pembaruan niscaya akan ada pengaruh yang kuat antara ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaruan dilakukan juga dilakukan secara dinamis, inovatif, dan progresif sejalan dengan perubahan cara berpikir seseorang. Ketiga komponen ini dalam pelaksanaannya selalu terkait tidak dapat dipisahkan.

B.     Latar  Belakang Dan Dasar Pembaruan Dan        Modernisasi Di Dunia Islam
Pembaruan  dan Modernisasi di  dunia Islam dilatarbelakangi  oleh beberapa factor berikut ini:
1.      Faktor Internal; faktor dari dalam Islam itu sendiri di antaranya :
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan – kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat , pemujaan terhadap orang-orang yang dianggap suci, dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan.[3]
Oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, maka tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaruan yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidak akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju karena  adanya persatuan dan kesatuan atau persaudaraan yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaruan.
2.      Faktor Eksternal yaitu  hasil kontak yang terjalin antara dunia Islam dengan dunia Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat.
Pembaruan dan Modernisasi di Dunia Islam dilandasi oleh tiga hal berikut:
a)      Landasan  Teologis
Menurut Achmad Jainuri – landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu :
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (universalisme Islam). Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada  setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia dengan tidak membatasi diri pada suatu  bahasa, tempat, masa,  atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme  itu tidak bisa dibatasi oleh formalism dalam bentuk apapun. Kedua,keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT yang memuat semua prinsip moral dan agama untuk semua manusia atau finalitas fungsi kenabian Muhammad SAW. sebagai Rasul Allah. Sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Hamid,   Maulana Muhammad Ali  dalam buku The Religion of Islam menyatakan bahwa dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin  bahwa Islam adalah agama akhir yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti bahwa pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai agama yang terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan sebelumnya.[4]
b)      Landasan Normatif
Yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari tek-teks nash, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis. Dasar-dasar dari Al-Qur’an tentang modernisasi menurut Nurcholish Madjid sebagai berikut:
1)      Allah menciptakan seluruh alam  ini dengan haq (benar) bukan bathil (palsu) (QS. Al-Nahl [16]:3, Shad [38]:27).
2)      Dia mengaturnya dengan peraturan Ilahi (Sunnatullah) yang menguasai dan pasti (QS. Al-A’raf [7]:54, al-Furqan [25]:2).
3)      Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta, alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan harmonis    (QS. Al-Anbiya [21]:27, Al-Mulk [67]:3).
4)      Manusia diperintahkan Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya (Qs. Yunus [10]:101).
5)      Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaannya,sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi hanya golongan manusia yang berpikir atau rasional yang mengerti dan kemudian memanfaatkan karunia itu (QS.Al-Jatsiyah [45]:13.
6)      Karena adanya perintah untuk menggunakan akal pikiran (rasio) itu, Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata cara generasi sebelumnya (QS. Al-Baqarah [2]:170, al-Zukhruf [43]:22-25.
c)      Landasan Historisnya adalah sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.

C.    Bentuk Pembaruan
Gerakan pembaruan Islam telah melewati sejarah panjang. Menurut Fazlur Rahman secara historis, perkembangan pembaruan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap. Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaruan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemodernan yang telah cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus berekspansi hingga sekarang. Tahap-tahap gerakan pembaruan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Tahap pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish).  Golongan Revivalis (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika Barat. Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan seksama untuk melakukan transformasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”.Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka kembali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaru. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah..
Tahap kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Gerakan Modernis ini dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (w.1897) di seluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w.1898) di India, dan Muhammad Abduh (w.1905) di Mesir. Di sini pembaruan Islam termanifestasikan dalam pembaruan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaru pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin santer untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena meninggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaruan politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan pembaruan. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.
Tahap ketiga, gerakan pembaruan Islam disebut revivalisme, pascamodernis   (posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Gerakan ini mempunyai corak modern namun agak reaksioner, di mana A’la al-Maududi dengan Jemaat Islaminya menjadi model tipikal bagi gerakan ini. Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentuasi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern  dibedakan dengan madrasah yang tradisional juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya. Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan di kalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus “pembaratan” di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.[5]
Tahap keempat yang disebut neo-modernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai “pengibar bendera” neo-modernisme menegaskan bahwa  gerakan ini dilancarkan berdasarkan kritik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurutnya neo-modernisme mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis di satu sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik di sisi yang lain. Ini merupakan prasyarat utama bagi renaissance Islam.

D.    Tokoh-Tokoh Pembaruan Dan Upaya – Upaya Yang Telah Dilaksanakan  Di Dunia Islam
Pada perkembangan Islam abad modern,  umat Islam mulai timbul kesadaran akan pentingnya ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah setelah terjadi banyak penyimpangan dari sumber asalnya. Pada masa ini muncullah para pembaharu yang ingin melakukan pemurnian terhadap ajaran agama Islam yang sesuai dengan ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an dan  Hadis. Berikut tokoh-tokoh  para pembaharu dan upaya-upaya yang telah dilakukan adalah :
1.      Muhammad bin Abdul Wahhab yaitu ulama besar yang produktif lahir di Nejed Arab Saudi pada tahun 1703 M. Beliau telah mempelopori gerakan pemurnian tauhid yang disebut dengan Gerakan Wahabiyah.  Secara umum tujuan gerakan Wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul, bid’ah, khurafat dan bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam yang dinilainya telah keluar dari ajaran Islam  yang  sebenarnya.
2.      Jamaluddin al-Af-Ghani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1835. Ia pendiri perkumpulan Al-Urwah Al-Wutsqa (Ikatan yang Kuat) suatu perkumpulan yang anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari berbagai Negara yang bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Pemikirannya selain ajakan untuk pemurnian kembali ajaran Islam,   ia juga melahirkan ide tentang adanya persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal, kepemimpinan otokrasi supaya diubah menjadi demokrasi . Gerakan politisnya adalah Pan-Islamisme dan anti kolonial. Ia senantiasa berpihak pada kelompok yang menentang kolonialisme Inggris. Ide modernism dalam pembaruan politik kesatuan dunia Islam dan populisme.
3.      Muhammad Abduh dilahirkan di Mesir tahun 1849. Dalam melakukan gerakan pembaruan ia melaksanakannya dengan menulis artikel di media massa seperti di Koran Al-Ahram.Upaya dan pemikirannya dalam pembaruan Islam adalah : untuk menafsirkan kemurnian ajaran Islam harus digunakan cara dengan membuka pintu ijtihad.Setiap umat Islam agar dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern maka harus mau menghargai akal dengan jalan merasionalisasikan ajaran Islam itu sendiri. Negara Islam harus mengakui konstitusi sehingga ada pembatasan kekuasaan dari seorang pemimpin. Dia juga melakukan modernisasi sistem pendidikan di Al-Azhar.
4.      Rasyid Ridha lahir di Qalmoun, Syam tahun 1865 M. Upaya  dan pemikirannya adalah meluruskan pemahaman agama melalui penerbitan majalah dan tafsir Al-Qur’an Al-Manar dan memperbarui system pendidikan dan pengajaran dengan metode baru dengan  menambahkan mata pelajaran umum pada kurikulum madrasah dan sekolah tradisional, di samping mata pelajaran agama. Ia juga telah mendirikan sekolah bernama Al-Madrasah Ad-Dakwah wa Al-Irsyad pada tahun 1912 di Kairo.
5.      Muhammad Ali Jinnah lahir di Karachi pada tahun 1876 sebagai “Bapak Pendiri Pakistan” penerus  gerakan pembaruan sebelumnya Muhammad Iqbal sebagai arsitek, penggerak dan pemikir idealisme. Ia merupakan tokoh penentu tentang kebangkitan Islam India. Dengan segala kegigihan dan keberaniannya  ia terus mewujudkan suatu koloni Islam yang diikat dalam suatu pemerintahan Islam mandiri dan terbebas dari intervensi pihak manapun.
6.      Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi India adalah seorang pembaru yang produktif dengan berbagai karya, di antaranya pemikirannya  tentang sosial politik dengan melakukan asimilasi antara kaum Muslimin dan kebudayaan Inggris dengan menulis sebuah buku yang berjudul Ahkam Ta’am Ahl Al-kitab (Hukum makanan Ahli Kitab). Dalam bidang pendidikan pada tahun 1878 ia mendirikan Muhammaden Anglo Oriental College (MAOC) yang pada tahun 1920 menjadi Universitas Islam Aligarh.Sedangkan pada tahun 1886 mendirikan Muhammaden Education Confrence yang merupakan pendidikan nasional yang seragam di India. Adapun dalam bidang agama cara ia menelaah dan memberi intepretasi terhadap Al-Qur’an dan Hadis cenderung mengarah pada pemikiran rasional.
Dengan memperhatikan upaya-upaya yang dilakukan para tokoh-tokoh tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gerakan-gerakan pembaruan sebelum abad ke-20 ini memiliki beberapa kesamaan dasar yaitu (1) gerakan-gerakan itu datang dari masyarakat Islam itu sendiri, (2) gerakan-gerakan itu pada dasarnya melakukan kritik terhadap sufisme yang cenderung menjauhi tugas-tugas manusia Muslim alam pergumulan social di dunia konkret, (3) gerakan-gerakan ini menekankan mutlak perlunya rekonstruksi  sosio-moral dan sosio-etis masyarakat Islam agar sesuai, atau paling tidak mendekati Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan Sunnah(4)  gerakan-gerakan ini mengobarkan semangat ijtihad yaitu penggunaan akal pikiran untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat Islam dengan referensi utama al-Qur’an dan Hadis.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pembaruan dan modernisasi  dalam Islam adalah upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Al-Qur’an dan Hadis, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Dari tokoh-tokoh yang muncul dan upaya-upaya yang telah dilakukan dapat simpulkan bahwa gerakan pembaruan tersebut mempunyai beberapa tujuan antara lain: (1) memurnikan ajaran al-qur’an dan Sunnah dari berbagai macam unsur luar yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajarannya terutama yang akan berakibat mengotori tauhid, (2) meluruskan pemikiran yang dirasakan menyimpang dari jiwa ajaran al-Qur’an dan Sunnah, (3) menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan Sunnah, (4) mengembangkan pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah seluas mungkin, agar dapat menjawab berbagai persoalan hidup seiring dengan perkembangan zaman, (5) mengembalikan posisi umat Islam dalam percaturan politik agar terlepas dari cengkeraman kekuasaan kaum lain (bangsa Barat), (6) menyajikan kreasi-kreasi dan metode-metode  baru dalam mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dan (7) menggerakkan semangat mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dalam bidang kemasyarakatan menuju wujudnya kesejahteraan hidup lahir bathin, dunia ukhrawi.
Kemunculan gerakan pembaruan Islam tidak bisa dipisahkan dari kondisi obyektif kaum Muslim di satu sisi dan tantangan Barat yang muncul di hadapan Islam di sisi lain. Dari sudut pandang ini Islam memang menghadapi tantangan dua arah, yaitu dari dalam dan dari luar. Selain itu kemunculan gerakan pembaruan ini juga  dilatarbelakangi oleh dua factor yaitu ; factor internal umat Islam: paham tauhid yang telah dinodai dengan praktek-praktek kekufuran, kejumudan yang menyebabkan umat islam berhenti berpikir, perpecahan di kalangan umat Islam   dan factor eksternal sebagi  hasil kontak antara dunia Islam dengan Barat.
Ada tiga landasan pembaruan dan modernisasi dalam Islam yaitu : landasan teologis ; Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (universalisme Islam) dan Kedua,keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT yang memuat semua prinsip moral dan agama untuk semua manusia atau finalitas fungsi kenabian Muhammad SAW , landasan normative landasan yang diperoleh dari tek-teks nash, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis dan  landasan historis; Sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
Banyak tokoh-tokoh pembaru yang telah berhasil dalam upaya memperbarui Islam meliputi aspek sosial keagamaan, politik, pendidikan dan lain sebagainya yang  pemikirannya sangat berpengaruh cukup besar pada kondisi umat Islam di  Indonesia.
Selain itu juga banyak problematika yang muncul dalam proses pembaruan Islam di antaranya; muncul aliran/sekte-sekte atau gerakan sempalan yang sesat, adanya pemahaman-pemahaman menyimpang yang marak belakangan ini tentang, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme serta radikalisme  sebagai dampak kesalahan memaknai tajdid dan kekeliruan dalam mengoperasionalkan ijtihad, timbulnya kelompok tradisionalis dan modernis  yang mempunyai perbedaan dalam orientasi ideologi keagamaan, beberapa praktek ritual keagamaan dan penggunaan symbol,  yang seringkali menimbulkan perselisihan antar pengikutnya, bahkan   tidak jarang konflik fisik pun terjadi hanya karena masalah-masalah yang tidak prinsip.
B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai pembaharuan dan modernisasi dalam islam, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung : Pustaka      Setia, 2010)

Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, (Surabaya : LPAM, 2004)

Agus Hasan Bashori, http://qiblati.com/membongkar-paham-paham-            menyimpang-dari-islam, diakses 2 Nopember

Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung : Mizan,1993)

Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1992)

Amos Sukamto, Agama dan Modernitas: Spiritualis transformative Ala Nurcholish Madjid,


[1] M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1992), h. 118
[2] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), h. 70
[3] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), h. 72
[4] M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1992), h. 120
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press, 1986), h. 93.

Makalah Regulasi Penerapan Kerukunan Melalui Kebijakan Pemerintah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersar dengan keanekaragaman dan kemajemukan agama dan budaya yang dianut, hidup berdampingan ditengah – tengah masyarakat. Pada waktu dahulu bangsa Indonesia pernah mendapat pujian dan sanjungan dari dunia Internasional dan dijadikan model dalam hal kerukunan bagi bangsa-bangsa lain. Hal yang demikian memberikan satu penilaian bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Namun kebanggaan itu, pada akhir-akhir ini seakan sirna dengan munculnya konflik di beberapa bagian wilayah Indonesiadalam bentuk kekerasan dan kerusuhan masa yang dibarengi dengan pengrusakan terhadap rumah – rumah ibadah. Sesungguhnyanya pemicu konflik/kerusuhan tersebut bukan dikarenakan perbedaan agama semata, melainkan lebih disebabkan oleh faktor non agama seperti faktor ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya.
Alasan yang mendasar tentang perlunya pendidikan agama berwawasan kerukunan ini adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa pendidikan agama yang berlangsung selama ini belum secara optimal memberikan sumbangan yang positif bagi terciptanya persaudaraan sejati. Oleh karena itu pendidikan agama berwawasan kerukunan diarahkan untuk mengembangkan sikap dan tindakan peserta didik yang dimotivasi oleh semangat kebaikan. Agama bertugas dalam menjaga kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hukum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya arti kalau dalam situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan prinsip-prinsip yang mengambang di udara.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Arti agama?
2.      Perlukah kita beragama?
3.      Bagaimana pandangan Islam tentang kerukunan antar umat beragama?
4.      Bagaimana landasan hukum mengenai kerukunan beragama?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui Arti agama
2.      Untuk mengetahui kita beragama
3.      Untuk mengetahui pandangan Islam tentang kerukunan antar umat beragama
4.      Untuk mengetahui landasan hukum mengenai kerukunan beragama
  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Arti Agama
Istilah “Agama” mempunyai dua macam pengertian yaitu pengertian secara asal-usul kata (etimologi) dan pengertian secara istilah (terminologi) yaitu:[1]
1.      Agama berasal dari bahasa sansekerta yang diartikan dengan: haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan.
2.      Agama terdiri dari dua kata yaitu: A= tidak, GAMA= kacau balau, tidak teratur. Jadi Agama berarti: tidak kacau balau yang berarti teratur.
Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan,  atau jalan yang telah dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan. Agama bertugas menjaga kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hokum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya arti kalau dalam situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan prinsip-prinsip yang mengambang di udara. Dalam realitas kehidupan terdapat tidak sedikit orang menganut secara formal agama tertentu namun praktek kehidupannya ternyata tidak mencerminkan sikap dan perilaku orang beragama.[2]
Agama sebagai realitas social di dalamnya tidak hanya terkandung ajaran yang bersifat normatif doctrinal melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bagunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya. Dengan demikian bila terjadi konflik antar agama maka terdapat berbagai variabel yang terlibat, yang satu memperkuat yang lain, meski meskipun ada juga aspek ajaran yang menjadi kekuatan pencegah.
Nilai-nilai kegamaan merupakan landasan bagi sebagian besar system nilai-nilai sosial, maka pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah pendidikan agama. Nilai berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan dengan sikap individu. Dalam hampir setiap masyarakat nilai-nilai keagamaan sangat diprioritaskan karena nilai-nilai ini memberikan aturan-aturan yang paling luhur mengenai hubungan antar manusia. Kehidupan yang penuh dengan kedamaian secara idealistis berdasarkan pada keserasian pada dua nilai yakni nilai ketentraman dan nilai ketertiban. Nilai ketentraman menunjuk pada keadaan bebas, sedangkan ketertiban berarti disiplin. Manusia tidak mungkin hidup bebas saja atau disiplin belaka. Dalam kehidupan sehari-hari senantiasa harus ada keserasian antara kebebasan dengan keterikatan.[3]
Paham pluralisme yang membangun semangat kerukunan hidup umat beragama sebaiknya dikembangkan. Lembaga yang paling strategis untuk keperluan tersebut adalah sekolah. Langkah ini amat penting karena selama ini pelajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan formal terkesan lebih banyak mengarah pada semangat misionaris dan dakwah. Alasan yang mendasar tentang perlunya pendidikan berwawasan kerukunan ini adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa pendidikan agama yang berlangsung selama ini belum mampu memberikan kontribusi positif bagi terciptanya persaudaraan sejati. Apalagi Peraturan Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian kerukunan hubungan intern dan antarumat beragama.
Oleh karena itu sudah selayaknya bila segala daya dan upaya pendidikan agama diarahkan untuk mencapai fungsi tersebut. Dalam konteks Indonesia yang majemuk dari segi suku, agama, budaya, bahasa, dan kepentingan politik perlu memikirkan terbentuknya masyarakat yang terbuka. Karakteristik utama masyarakat yang terbuka adalah yang bersandar pada nilai-nilai yang menghargai perbedaan. Kepada peserta didik harus diajarkan bagaimana cara hidup ditengah pluralisme bangsanya, agar mereka mampu hidup, baik dalam internal kelompoknya maupun dalam eksternal kelompok lain. Mereka selalu bias hidup damai dengan lingkungannya. Kepada peserta didik harus diajarkan tentang bagaimana memaknai perbedaan yang dibingkai dalam Bhinneka Tunggal Ika secara bijaksana dan tepat. Pendidikan agama diarahkan untuk membentuk generasi yang mampu beradaptasi dan hidup dengan berbagai golongan yang berbeda namun tetap tidak terlepas dari akar budaya, agama, dan jati dirinya, serta mampu hidup damai dalam masyarakat yang plural.

B.     Agama dan cinta damai
Agama sebagai pembawa damai sudah semestinya dapat hidup berdamai dengan agama-agama yang berbeda. Oleh karena itu, sebagai seorang yang beragama, tidaklah pantas bicara tentang kedamaian tanpa berusaha untuk hidup damai dengan pemeluk agama lain. Usaha untuk membangun  jembatan komunikasi antaragama harusnya tak mengenal putus asa, walau beribu tantangan berat melintang didepannya. Agama, diibaratkan seperti dua mata pisau. Satu sisi dapat mempererat solidaritas, di sisi lain dapat menumbuhkan konflik sosial. Solidaritas bisa terbangun bila komunitas manusia ada dalam satu payung agama serta konflik mudah terpicu di antara komunitas berlainan agama.[4]
Kehidupan yang penuh dengan kedamaian secara idealistis berdasarkan pada keserasian pada dua nilai yakni, nilai ketentraman dan nilai ketertiban. Nilai ketentraman menunjuk pada keadaan bebas, sedangkan ketertiban berarti disiplin. Manusia tidak mungkin hidup bebas saja atau disiplin belaka. Dalam kehidupan sehari-hari senantiasa harus ada keserasian antara kebebasan dengan keterikatan. Namun dewasa ini  tekanan lebih banyak di berikan kepada ketertiban sehingga yang sangat diprioritaskan adalah disiplin. Penekanan pada nilai ketertiban mengakibatkan bahwa aturan-aturan senantiasa harus diawasi pelaksanaannya. Manusia akan mencari peluang terus untuk sekedar bebas, karena yang demikian itu adalah kodrat manusia.
Fungsi agama menunjuk kepada pengertian sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial keagamaan, untuk menjaga keutuhan masyarakat. Dengan kata lain, adalah pada masalah peranan yang telah dan masih dimainkan oleh agama, dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Dari dimensi itu fungsi agama baru dilihat dari fungsi sosial. Padahal agama memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi yang tidak disengaja, yang dilaksanakan dalam bentuk tingkah laku keagamaan tertentu. Oleh para sosiolog disebut sebagai fungsi laten (tersembunyi). Sedangkan fungsi yang disengaja, atau tujuan resmi, disebut sebagai fungsi manifest (nyata). Fungsi laten dalam beberapa hal hampir sama dengan fungsi sosial.[5]
Keragaman yang ada kalanya masih dapat dihimpun dalam bingkai perbedaan adalah rahmat tidak jarang perbedaan tersebut menjurus pada konflik antara kelompok yang cenderung membawa laknat. Keragaman tradisi keagamaan selanjutnya menimbulkan keragaman pula dalam hal merespon perkembangan dan tantangan yang dihadapi. Pada gilirannya keragaman tersebut ditambah dengan makin kompleksnya masyarakat modern yang menimbulkan institusi-institusi yang semakin beragam pula, menjadi sebab terjadinya proses perbedaan struktural dalam suatu agama.

C.    Agama dan kerukunan agama
"Rukun" dari Bahasa Arab "ruknun" artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun Islam. Rukun dalam arti sifat  adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda agama. Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua agama, semua warga negara RI. Pada tahun 1967 diadakan musyawarah antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut menyatakan antara lain: "Pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama".  Pada tahun 1972 dilaksanakan dialog antar umat beragama. Dialog tersebut adalah suatu forum percakapan antar tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran bersama dan menjalin hubungan pribadi yang akrab dalam menghadapi masalah masyarakat. Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa.
Kita tahun bahwa semua agama-agama yang ada mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membuat kerusuhan dan kekerasan, nilai-nilai persatuan secara universal. Demikian juga apa yang diamanatkan Undang-Undang dasar negara kita di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 199 yang antara lain disebutkan tentang kebijakan pembangunan agama meliputi antara lain ; memamntapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spritual dan etika dalam penyelenggaraan Negara serta mengupayakan agar segala peraturan perundang undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama. Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beraagama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan melalui dialog antar umat beragama dan pelaksanaan pendidikan agama yang baik dan benar. Banyak tokok-tokoh agama yang menghendaki bahwa untuk mewujudkan terjalinnya kerukunan tersebut diperlukan sikap toleransi, namun bukan hanya sekedar toleransi, tetapi lebih dikembangkan lagi pada tahap apresiasi yang artinya penghargaan dan penghormatan, bahkan mungkin pengakuan terhadap kebenaran dan keselamatan juga ada pada agama yang lain. Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu keadaan yang harmonis atau interaksi harmonis di dalam individu-individu pemeluk agama, dimana tiap-tiap individu penganut agama mau hidup saling hormat menghormati, percaya mempercayai sehingga dalam hubungan interaksi terciptalah suasana yang selaras, tenteram, rukun dan damai. Dasar Dasar Kerukunan dalam ajaran Hindu
Weda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hidu maka ajaran Weda diyakini dan dipedomani oleh umat Hidu sebagai satu satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan. Diyakini sebagai kitba suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang Maha Suci. Dari kitab suci Weda, mengalirkan ajaran Weda kepada kitab-kitab Smerti (Manawadarmasastra), Itihasa, Purana, Kitab-kita Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa yang ada di Indonesia. Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan setelah meninggalnya nanti. Weda menuntun hidup umat manusia, menuntut hidup manusia dalam bermasyarakat. Dalam kitab Manawadharmasastra disebut. “Weda adalah sumber dari segala Dharma, yakni agama kemudia barulah Smerti, disamping sila (kebiasaan atau tingkahlaku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan ajaran Weda) dan kemudian Acara yakni tradisi yang baik dari orang-orang suci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Amatusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggung jawabkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa”. Bagaimana memupuk kerukunan hidup umat beragama menurut Hindu ? dalam konsep Hidup, ada beberapa nilai ajaran yang relevan dengan kerukunan hidup beragama yang diantaranya adalah ajaran : Tat Twan asi, Karmaphala dan Ajaran Ahimsa.
Tatawamasi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan sebaliknya kamu adalah saya dan segala mahluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Kamu dan aku adalah bersaudara, anatara saya dan kamu sesungguhnya adalah bersaudara, hakekat atman yang menjadikan hidup antara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh mahluk hidup ada;ah merupakan percikan terkecil dari Tuhan, Kita sama-sama mahluk ciptaan Tuhan.
Ajaran Tattwamasi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Tattwamasi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar saling asah, asih dan asuh diantara sesama mahluk hidup.“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap mahluk hidup lainnya, orang yang hinapapa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang lain terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu hendaknya sebagai balasannnya, janganlah sekali-sekali membalas dengan perbautan jahat, sebab orang yang berhasrat kejahatan itu pada hakekatnya akan mengahncurkan dirinya sendiri”.
Nilai kerukunan juga termuat dalam ajaran Tata Susila Hindu. Tata Susila merupakan ajaran pengendalian diri dalam pergaulan hidup. manusia sebagai mahluk sosial, ia tidak hidup sendian, ia selalu bersama – sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup bersama – sama dengan orang lain. Hanya dalam hidup bersama, manusia dapat berkembang dengan wajar. Untuk mewujudkan keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud, maka ajaran Tata Susila diapresiasikan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisuda yang artinya tiga prilaku manusia yang disucikan :
1.      Manachika Parisudha, yaitu berpikir yang baik dan benar.
2.      Wacika Parisudha, yaitu berkata yang baik dan benar.
3.      Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan benar.[6]
Jika ketiga hal diatas dapat dikendalikan dengan baik dan benar, maka dengan sendirinya kerukunan sesama mahluk ciptaan Tuhan itui dapat diwujudkan dalam hidup ditengah – tengah masyarakat yang majemuk. Lebih lanjut, nilai kerukunan dapat dilihatdalam ajaran tentang karma Phala. Keyakinan tentang Karma Phala tertuang dalam Sradha yang kelima dari lima Sradha dalam ajaran hindu. Apa yang diperbuat oleh manusia akan menghasilkan akibat dari perbuatannya. Ada akibat yang baik dan ada akibat yang buruk. Akibat dari perbuatan yang baik memberikan rasa senang dan akibat yang buruk memberikan kesusahan ataupun penderitaan. Oleh karena itu ajaran hindu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat yang baik. Karma Phala sebagai hukum sebagai akibat dapat dijadikan suatu pedoman dalam menjalin kerukunan.
Ajaran Ahimsa merupakan salah satu bentuk penerapan nilai – nilai kerukunan antar umat beragama dari sisi pandang hindu. Ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti mahluk lain adalah kebajikan yang utama atau dharma yang paling tinggi . ahimsa adalah perjuangan tanpa kekerasan. Jika melanggar hukum alam, maka akibatnya alam akan berbalik melanggar orang yang melangarnya. Prilaku yang bersifat pengrusakan, mengancam, membakar emosi dan semacamnya bertentangan dengan prinsip Ahimsa karma, termasuk didalamnya menyakiti hati orang lain atau atau agama orang lain yang niatnya tidak baik, maupun kata – kata yang kasar, pedas dan mengupat. Bila perbuatan ini terjadi maka terhambatlah usaha untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Pengembangan Kerukunan Yang Berwawasan Multikultural.

D.    Landasan hukum kerukunan
Ada empat landasan hukum kerukunan yaitu:
1.      Landasan Idiil, yaitu Pancasila (sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa).
2.      Landasan Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat 1: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Dan Pasal 29 ayat 2: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
3.      Landasan Strategis, yaitu Ketatapan MPR No.IV tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam GBHN dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000, dinyatakan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual., moral dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana kehidupan yang harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
4.      Landasan Operasional
a.       UU No. 1/PNPS/l 965 tentang larangan dan pencegahan penodaan dan penghinaan agama.[7]
b.      Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI. No.01/Ber/Mdn/1969 tentang pelaksanaan aparat pemerintah yang menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan dan pengembangan ibadah pemeluk agama oleh pemeluknya.
c.       SK. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI. No.01/1979 tentang tata cara pelaksanaan pensyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan swasta di Indonesia.
d.      Surat edaran Menteri Agama RI. No.MA/432.1981 tentang penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan.
Pada tanggal 30 Juni 1980 di bentuk wadah musyawarah antar umat beragama dalam keputusan Menteri Agama RI. No.35 tahun 1980 yang ditanda tangani wakil-wakil dari:
1)      Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari golongan Islam.
2)      Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) dari golongan Kristen Protestan.
3)      Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) dari golongan Katolik.
4)      Prasida Hindu Darma Pusat (PHDP) dari golongan Hindu.
5)      Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) dari golongan Budha.
6)      Sekretaris Jenderal Departemen Agama.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Istilah “Agama” mempunyai dua macam pengertian yaitu pengertian secara asal-usul kata (etimologi) dan pengertian secara istilah (terminologi) yaitu:
1.      Agama berasal dari bahasa sansekerta yang diartikan dengan: haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan.
2.      Agama terdiri dari dua kata yaitu: A= tidak, GAMA= kacau balau, tidak teratur. Jadi Agama berarti: tidak kacau balau yang berarti teratur.
Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan,  atau jalan yang telah dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan. Agama bertugas menjaga kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hokum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya arti kalau dalam situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan prinsip-prinsip yang mengambang di udara. Dalam realitas kehidupan terdapat tidak sedikit orang menganut secara formal agama tertentu namun praktek kehidupannya ternyata tidak mencerminkan sikap dan perilaku orang beragama.
Agama sebagai realitas social di dalamnya tidak hanya terkandung ajaran yang bersifat normatif doctrinal melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bagunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya. Dengan demikian bila terjadi konflik antar agama maka terdapat berbagai variabel yang terlibat, yang satu memperkuat yang lain, meski meskipun ada juga aspek ajaran yang menjadi kekuatan pencegah.
B.     Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan untuk itu kritik dan saran dari para pembaca sekalian sangat diharapkan demi untuk perbaikkan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Lutfhi Assyaukanie,  Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Agama, (Kompas, 2003)

Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991)

Imam Barnadib, Pendidikan Perbandingan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987)

Moh. Rivai, Perbandingan Agama, (Jakarta: Jayamurni, 1964),

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No:55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II, Pasal 2, ayat 1.


[1] Lutfhi Assyaukanie,  Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Agama, (Kompas, 2003)
[2] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991) h. 5.
[3] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991) h. 7
[4] Imam Barnadib, Pendidikan Perbandingan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987) h. 28.
[5] Imam Barnadib, Pendidikan Perbandingan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987) h. 30
[6] Moh. Rivai, Perbandingan Agama, (Jakarta: Jayamurni, 1964), h. 44
[7] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No:55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II, Pasal 2, ayat 1.