Tuesday, June 11, 2019

Tafsir Ayat tentang Shalat


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sebagai seorang muslim yang telah mengucap dua kalimah syahadat dan memahami maknanya serta mengimani rukun iman, maka langkah selanjutnya yang harus ditempuh seorang muslim adalah shalat. Shalat adalah tiang agama yang harus ditegakkan karena seluruh amal diibaratkan seperti dinding dan atap yang takkan tesusun tanpa adanya tiang.
Untuk melakukan setiap amal maka seseorang harus mempunyai ilmu tentang apa yang diperbuatnya, karena tidak akan diterima setiap amalan seseorang yang ia tidak memiliki ilmu tentang itu. Demikian pula dengan shalat, untuk melakukan shalat maka seseorang harus tahu apa hukum shalat, bagaimana caranya, apa rukun, syarat dan sunnahnya, hal-hal yang membatalkannya dan semua hal-hal yang berkaitan dengan praktik shalat. Dalam hal pewajiban shalat, Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa shalat itu adalah wajib bagi setiap muslim. Berikut akan dijelaskan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan shalat yaitu Al-Isra’ : 78, Hud : 114,  Al-Baqarah : 238-239, An-Nisa : 101-103, dan Al-Jumu’ah : 9-11.
B.     Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah untuk ayat-ayat tersebut antara lain :
1.      Bagaimana penafsiran terhadap kosa kata kunci pada ayat tersebut ?
2.      Apa saja pokok kandungan ayatnya ?
3.      Bagaimana Asbabun Nuzul ayat-ayat itu ?
4.      Bagaimana hubungan ayat itu dengan ayat lain atau dengan hadits ?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui penafsiran terhadap kosa kata kunci pada ayat tersebut
2.      Untuk mengetahui pokok kandungan ayatnya
3.      Untuk mengetahui Asbabun Nuzul ayat-ayat itu
4.      Untuk mengetahui hubungan ayat itu dengan ayat lain atau dengan hadits

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Q. S. Al-Isra : 78
Artinya : Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Tafsir Mufradat
دُلُوْكُ الشَّمْس          : Tergelincirnya matahari
غَسَقُ الَّيْلِ             : Kegelapan malam yang pekat
قُرْاٰنُ الْفَجْر             : Shalat shubuh
Penafsiran Ayat
Ayat ini menjelaskan tentang waktu-waktu shalat wajib. Tegasnya dirikanlah sembahyang lima waktu sejak tergelincir matahari yaitu permulaan waktu zuhur dan matahari itu sesudah tergelincir di tengah hari dari pertengahan siang akan condong terus ke Barat sampai dia terbenam. Oleh sebab itu dalam kata “tergelincir matahari” termasuklah Zuhur dan Ashar, sampai ke gelap gulita malam. Artinya apabila matahari telah terbenam ke ufuk Barat, datanglah waktu Maghrib. Bertambah matahari terbenam ke balik bumi hilanglah syafaq yang merah, maka seketika itu masuklah waktu Isya.[1]
Kemudian disebutkanlah Quranul Fajri yang secara harfiah berarti bacaan di waktu fajar, tetapi karena ayat ini berbicara dalam konteks kewajiban shalat, maka semua penafsir Sunnah/Syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Shubuh. Penggunaan istilah khusus ini untuk shalat fajar karena ia mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu disaksikan malaikat. Sebagaimana sabda Rasul SAW : “Shalat shubuh itu disaksikan oleh para malaikat malam dan para malaikat siang” (H.R.Tirmidzi).
Shalat Shubuh disebut dengan Quranul Fajri karena, di waktu Shubuh hening pagi itu dianjurkan membaca ayat-ayat Al-Quran  agak panjang dari waktu lain.
Pokok Kandungan Ayat :
1.      Perintah untuk mendirikan shalat lima waktu
2.      Petunjuk waktu-waktu shalat wajib
3.      Informasi bahwa keutamaan shalat shubuh itu disaksikan malaikat siang dan malaikat malam.

B.     Q. S. Hud : 114

  وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ

Artinya : Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
Tafsir Mufradat
زُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ           : bagian dari awal malam
طَرَفَيِ النَّهَارِ            : tepi siang, maksudnya Shubuh dan Ashar
Penafsiran Ayat
Ayat ini mengajarkan laksanakanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan , rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang, yakni apgi dan petang, atau Shubuh dan Zuhur dan Ashar (diriwayatkan dari Al-Hasan Qatadah dan Ad-Dahak, bahwa yang dimaksud ialah shalat Shubuh dan Ashar, pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dua tepi siang adalah shalat Shubuh dan Zuhur, Ashar, Maghrib) dan pada bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya.[2]
Kata zulafan adalah bentuk jamak dari kata zulfah yaitu waktu-waktu yang saling berdekatan. Tsa’labi mengatakan bahwa arti zulafan ialah permulaan malam. Al-Akhfasy mengatakan arti zulafan ialah seluruh saat-saat malam, tetapi beliau mengakui asal makna dari zulafan adalah dekat. Memanglah Maghrib dan Isya itu masih permulaan dari malam.
Innal hasanata yudzhibnas sayyiaat ditafsirkan yakni perbuatan-perbuatan baik yang didasari oleh keimanan dan ketulusan akan dapat membentengi diri seseorang sehingga dengan mudah ia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Selain itu juga dapat ditafsirkan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal shaleh. Sebagaimana yang tertuang dalam Q. S .An-Nisa : 31 yang artinya “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu, dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. Juga seperti yang disabdakan Rasul : “Dan iringilah keburukan dengan kebaikan, sesungguhna kebaikan itu menghapus keburukan”.
Al-hasanat ada yang memahaminya secara khusus yakni shalat dan istighfar, tetapi pendapat yang lebih baik adalah yang memahaminya secara umum, yaitu seluruh kebajikan. Namun demikian kata sayyiaat harus dipahami dalam bentuk khusus yakni, keburukan (dosa) kecil.
Pokok Kandungan Ayat :
1.      Perintah mendirikan shalat wajib dan petunjuk waktu-waktunya
2.      Perintah untuk selalu berbuat baik karena dapat menghapus dosa
Asbabun Nuzul :
Seorang laki-laki telah melakukan dosa dengan memegang-megang wanita  dengan nafsu birahi saat dia sedang mengobati wanita itu. Lalu ia merasa bersalah dan mengadukan hal itu pada Umar dan Abu Bakar, dan mereka berdua menasihati bahwa hal tersebut dirahasiakan saja, sebab Allah pun telah menutup rahasia itu. Namun karena masi merasa bersalah, lalu ia datang kepada Rasul seraya berkata : ”Itulah kesalahanku yang aku telah terlanjur melakukannya. Inilah aku ya Rasulullah ! Hukumah aku bagaimana baiknya !”. Namun Rasul diam saja sehingga laki-laki itu pergi dengan muka muram. Kemudian Rasulullah mengikutinya dan dipanggilnya kembali laki-laki itu, lalu membacakan ayat ini.
C.     Q. S. Al-Baqarah : 238-239
{حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238) فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239) }
Artinya : (238). Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk. (239). Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Tafsir Mufradat :
حَافِظُوْا         : melaksanakan shalat dari waktu ke waktu dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya
فَرِجَالً          : maka berjalanlah
رُكْبَانًا           : berkendara
Asbabun Nuzul :
Zaid Ibnu Arqam menceritakan : Kami (para sahabat) sering berkata-kata dalam shalat, dimana seorang dari kami berbicara kepada kawannya yang berada di sampingnya dalam keadaan melaksanakan shalat sehingga turunlah ayat ini. Kemudian Nabi SAW memerintahkan kami agar berlaku tenang dan melarang kami berbicara. (H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Pokok Kandungan dan Hukum dalam Ayat :
1.      Perintah memelihara shalat wajib secara teratur
2.      Perintah melakukan shalat dengan khusyu’,
Sebagaimana disabdakan Rasul SAW : “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jikka engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu”.
1.      Mengindikasikan bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun meskipun dalam keadaan berperang dan dihukumkan boleh shalat dengan cara berjalan atau berkendara jika dalam keadaan bahaya, namun keringanan itu hilang seiring dengan hilangnya sebab.
Ayat ini diapit oleh ayat-ayat yang membicarakan tetang pernikahan, talak, cerai, iddah, ruju’ serta nafkah sehingga menimbulkan kebingungan karena munculnya ayat tentang shalat secara tiba-tiba. Tentang ini Sayyid Quthub berkomentar : “Ketentuan-ketentuan yang diceritakan Allah sebelum ayat ini, semuanya disatukan oleh ibadah kepada Allah. Ibadah kepada-Nya dalam perkawinan, ibadah kepadanya dalam hubungan seks dan meneruskan keturunan, ibadah kepada-Nya dalam merujuk isteri atau menceraikan dengan baik sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan-ketentuan itu serupa dengan shalat dari segi ketaatan kepada Allah SWT.”

D.    Q. S. An-Nisa : 101-103
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا (١٠١) وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا    (١٠٢) فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (١٠٣)
101. dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar[343] sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Penafsiran :
Ayat ini merupakan dasar tentang bolehnya mengqashar shalat dalam perjalanan baik dalam keadaan takut maupun tidak. Sebagaimana yang disabdakan Rasul saat ditanyai tentang mengqashar shalat jika tidak dalam keadaan takut : “Itu adalah sedekah yang disedekahkan  Allah kepada kamu.[3] Maka, terimalah sedekah-Nya” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan lain-lain). Sedang yang menjadi syarat adalah jarak dan waktu tempuh musafir. Mazhab Syafi’i dan Maliki menilai bahwa jaraknya lebih dari 77 km, sedang mazhab Hanbali berpendapat 115 km. Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa seseorang tidak lagi dinamai musafir jika berniat tinggal selama empat hari atau lebih di tempat tujuannya, sedangkan Hanafi membolehkan sampai 15 hari.
 وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا    (١٠٢)
Artinya : (102). Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemdian apabila mereka (yang shalat bersama mu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.

Penafsiran Ayat :
Ayat ini berisi tentang cara shalat dalam situasi bahaya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa imam melaksanakan shalat dengan setiap kelompok satu rakaat, tetapi mereka berbeda pendapat tentang cara pembagiannya, serta kapan imam salam.
 فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (١٠٣)
Artinya : (103). Maka apabila kamu telah meyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Penafsiran Ayat :
Ayat ini mewajibkan untuk selalu mengingat Allah SWT setiap saat dalam segala keadaan, bahkan saat duduk, berdiri ataupun berbaring. Kata mauquutan ditafsirkan bahwa setiap shalat mempunyai waktu dalam arti ada masa ketika orang harus menyelesaikannya. Ada juga memahami kata ini dalam arti kewajiban yang bersinambung dan tidak berubah sehingga firman-Nya melukiskan shalat sebagai kitaaban mauquutan berarti shalat adalah kewajiban yang tidak berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur apapun sebabnya.

E.     Q. S. Al-Jumu’ah : 9-11
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10) وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (11)
Artinya : (9). Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (10). Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (11). Dan apabila mereka melihat perniagaan atau pemainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah : “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki.
Penafsiran Ayat :
Seruan untuk shalat yang dimaksud di atas dan yang mengharuskan dihentikannya segala kegiatan adalah azan yang dikumandangkan saat khatib naik mimbar. Adapun orang-orang yang diwajibkan pergi shalat Jum’at ialah orang-orang yang berada dalam batas kota enam mil (menurut Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah). Menurut Rabi’ah batas empat mil. Menurut Imam Malik dan Laits batas tiga mil. Menurut Imam Syafi’i ukurannya ialah seorang muazzin yang amat lantang suaranya dan angin tenang dan muazzin itu berdiri di atas dinding kota. Akan tetapi melihat perbuatan sahabat-sahabat Rasul, nyatalah bahwa mereka sejak pagi jari telah bersiap pergi ke mesjid tanpa menunggu suara azan terlebih dahulu. Degnan demikian dapatlah kita fahamkan bahwa terdengar atau tidaknya seruan azan, wajiblah menghadiri shalat Jum’at, karena seruan itu telah ada langsung dari Allah SWT.[4]
Kata dzikrullah yang dimaksud adalah shalat dan khutbah. Kata fas’au pada mulanya berarti berjalan cepat. Akan tetapi bukan itu yang dimaksud karena beliau telah bersabda : “Apabila shalat telah segera akan dilaksanakan, janganlah kamu kesana dengan berjalan cepat tetapi hadirilah dengan tenang.”. Wa dzarul bai’  berarti bagi orang yang sedang bermuamalah haruslah meninggalkannya dan segera pergi shalat Jum’at meski harus menunda mua’malah itu. Rasul bersabda : “Barangsiapa yang meninggalkan Jum’at taiga kali berturut-turut dengan memandang enteng, akan dicap Allah atas hatinya”.

 



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapatlah dirangkum beberapa poin, yaitu :
1.      Shalat wajib lima waktu telah ditentukan waktu pelaksanaannya dalam Al-Quran, begitu pula shalat Jum’at
2.      Keringanan-keringanan melakukan shalat dalam keadaan tertentu mengindikasikan bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apapun
3.      Muslim diperintahkan untuk mendirikan shalat dengan khusyu’ dan sesuai aturan bukan sekedar mengerjakannya
4.      Shalat Shubuh adalah shalat yang utama sebab disaksikan oleh malaikat siang dan malaikat malam
5.      Mendirikan shalat dapat menghapuskan setiap dosa kecil yang dilakukan, karena kebaikan dapat menghapus keburukan
6.      Inti dari shalat adalah mengingat Allah SWT dengan penyerahan hati setulus-tulusnya kepada Allah agar kita menjadi orang-orang yang beruntung.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai tafsir ayat tentang sholat sunnah, semoga bermanfaat bagi kita sekalian, kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.  









DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974).

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007).

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001).



[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007). h. 4100.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001). h. 165.
[3] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974). H. 161
[4] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974). H. 165

Monday, June 10, 2019

Tafsir ayat Shalat Jum'at


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Diantara kewajiban setiap muslim yang dilakukan setiap hari  adalah melaksanakan sholat lima waktu , yaitu dzuhur, ashar, magrib, isya’, dan subuh. Sedangkan pada hari jum’at terdapat salah satu sholat yang pelaksanaannya berbeda dengan hari-hari biasanya, yaitu sholat dzuhur yang menjadi sholat jum’at. Pada sholat ini hanya terdiri dari dua rakaat, tidak seperti sholat dzuhur yang yang terdiri dari empa rakaat. Selain itu juga terdapat khutbah yang wajib dilakukan sebelumnya.  Mengenai sholat jum’at ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam QS. al-Jumu’ah ayat 9.
Pada pembahasan kali ini akan dikupas mengenai permasalahan sholat jum’at dari sejarah pelaksanaannya, yaitu semenjak Nabi berada di Mekkah, asbabun nuzul dan penafsiran QS. Al-Jumu’ah ayat 9 dalam kitab tafsir al-Munir karya Wahbah Zuhaili, tinjauan fiqih yang meliputi syarat sholat jum’at , fardhu sholat jum’at, syarat khutbah, sunnah sholat jum’at, serta berbagai perbedaan pendapat para ulama’ mengenai pemasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sholat jum’at.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, pembahasan yang akan dijelaskan dalam tulisan ini akan menjawab pertanyaan berikut:
1.      Bagaimana Sejarah sholat jum’at?
2.      Bagaimana Asbabun nuzul?
3.      Bagaimana Penafsiran QS. AL-Jumu’ah ayat 9 dalam kitan tafsir al-Munir?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk menatetahui Sejarah sholat jum’at
2.      Untuk menatetahui Asbabun nuzul
3.      Untuk menatetahui Penafsiran QS. AL-Jumu’ah ayat 9 dalam kitan tafsir al-Munir
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Sejarah Shalat Jum’at
Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fiqh Islam Wa Adillatuhu mengatakan bahwa: “shalat jum’at di fardhukan di Makkah sebelum hijrah, hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Daruquthni dari Ibnu Abbas yang menyatakan:
 روى الدارقطني عن ابن عباس قال: «أذن للنبي صلّى الله عليه وسلم في الجمعة قبل أن يهاجر، فلم يستطع أن يجمع بمكة، فكتب إلى مصعب بن عمير: «أما بعد، فانظر إلى اليوم الذي تجهر فيه اليهود بالزبور لسبتهم، فاجمعوا نساءكم وأبناءكم، فإذا مال النهار عن شطره عند الزوال من يوم الجمعة، فتقربوا إلى الله بركعتين»
“Telah diizinkan (diperintahkan) kepada nabi SAW shalat jum’at sebelum beliau hijrah, tapi beliau tidak kuasa melaksanakannya di Makkah. Maka beliau menulis surat kepada Mus’ab bin ‘Amir, bunyinya: “ Amma ba’du, maka perhatikanlah hari yang dinyatakan oleh orang-orang yahudi az-Zabur untuk hari sabtu mereka, lalu kumpulkanlah perempuan-perempuan dan anak-anakmu apabila matahari telah tergelincir dari puncaknya mendekati terbenampada hari jum’at, dekatkanlah dirimu kepada Allah dengan melakukan shalat dua rakaat.”
Adapun orang yang pertama kali menyelenggarakan shalat jum’at di Madinah sebelum nabi hijrah adalah As’ad bin Zuharah. Ia melaksankannya di sebuah kampung yang berdekatan dengan kota Madinah. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Ka’ab, anak dari Ka’ab bin Malik yang mana ia mengatakan di saat ayahnya mendengar adzan pada hari jum’at ia selalu memintakan rahmat kepada Allah untuk As’ad bin Zurarah.[1]
Kemudian Abdurrahman bertanya kepada ayahnya: Mengapa ayah apabila mendengar adzan pada hari jum’at selalu memintakan rahmat untuk As’ad bin Zuharah ? Ayahnya menjawab: Karena dialah orang yang pertama kali mengadakan shalat jum’at bersama kami di Hazmin Nabit, salah satu kampung Bani Bayadlah di Naqi’ yang biasa disebut Naqi’ul Khadlimat.
Adapun shalat jum’at pertama yang dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabatnya ialah di perut lembah Ranuna di kampung Bani Salim bin ‘Auf, suatu tempat antara Quba dan Madinah, tapi masuk wilayah Madinah. Peristiwa ini terjadi dalam perjalanan hijrah beliau pada 23 September 622 Masehi. Jumlah jamaah ketika itu tidak disebutkan, namun menurut catatan sejarah pada waktu meninggalkan Quba setelah 4 hari istirahat Rasulullah diikuti oleh 100 orang kaum muslimin.[2]

B.     Asbabun Nuzul
Adapun asbabun nuzul surah al-Jumu’ah ayat 9 ini ialah sebagaimana yang diriwayatkan oleh abdur razak bin hamid dari Ibnu Sirin berkata bahwa: penduduk Madinah telah berumpul pada hari jum’at sebelum adanya perintah dari Rasulullah SAW, sebelum ditetapkan hari jum’at, orang-orang yahudi memiliki satu hari tersendiri di mana dalam seminggu mereka berkumpul, dan begitu juga dengan orang-orang nasrani.
Maka orang-orang muslim mencari satu hari yang akan mereka pergunakan untuk berkumpul pada hari itu guna berdzikir kepada Allah dan bersyukur kepadanya, Lalu mereka mengatakan: “Hari sabtu milik umat yahudi, hari ahad milik umat nasrani, maka dijadiakanlah hari ‘arubah sebagai hari milik umat muslim.” Maka berkumpullah mereka, kemudian mereka menemui As’ad bin Zuharah, lalu dia mengerjakan shalat dua raka’at bersama-bersama pada hari ‘Arubah itu. Maka dinamakanlah hari itu dengan hari Jumu’at, karena ketika itu mereka berkumpul. Maka kemudian mereka menyembelih kambing untuk makan siang dan makan malam. Itulah permulaan shalat Jum’at dalam Islam. Kemudian setelah peristiwa itu Allah menurunkan ayat: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ الآية[4]
Selanjutnya mengenai asbabun nuzul surah al-jumu’ah ayat 11 ada banyak riwayat yang menyebutkan, diantaranya dari hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Abu Ya’la dengan sanad yang sampai kepada Jabir bin Abdullah. Bahwa ia berkata:
“ Ketika Nabi SAW sedang berkhutbah di hari jum’at tibalah khafilah ke Madinah, kemudian para sahabat Rasulullah bergegas menuju khafilah tersebut sehingga tidak ada yang tertimggal bersama Rasulullah, kecuali dua belas orang. Kemudian Rasulullah bersabda: Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu ikuti mereka sehingga tidak ada seorang pun yang tertinggal tentu akan mengalir kepadamu lembah yang penuh api. Kemudian turunlah ayat ini: Wa Idzaa Roauw Tijaratan...” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Abu Hayan meriwayatkan dalam tafsirnya Bahru al-Muhith, bahwa yang menyebabkan mereka bubar adalah karena penduduk Madinah pada saat itu ditimpa musim paceklik, dan harga barang dan kebutuhan sangat tinggi. Menurut kebiasaan adat mereka, jikalau ada kafilah yang masuk kota diharuskan untuk memukul gendang dan bunyi-bunyian lainnya. Dan begitulah ketika kafilah masuk kota dengan bunyi-bunyiannya maka mereka pun bubar untuk menontonnya, sedangkan pada saat itu Rasulullah SAW tengah berdiri di atas mimbar (khutbah), dan pada saat itu yang tinggal bersama Rasulullah SAW hanya tinggal dua belas orang. Jabir berkata: “Aku termasuk salah seorang di antara mereka yang tinggal.” Kemudian turunlah ayat ini: Wa Idzaa Roauw Tijaratan dst.

C.     Penafsiran Wahbah Zuhaili terhadap QS. al-Jumu’ah Ayat 9 dalam Kitab Tafsir al-Munir
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10) وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (11)
Wahbah Zuhaili menjelaskan inti dan maksud dari QS al-Jumu’ah ayat 9-11 ini yaitu mengenai dua hukum, yakni kewajiban Salat Jum’at dan kebolehan mengerjakan amal perbuatan setelah pelaksanaan Salat Jum’at.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9)
Kata جُمُعَةٌ disebutkan karena pada hari itu umat Muslim berkumpul di Masjid untuk melaksanakan salat.  Penafsiran Wahbah Zuahili mengenai ayat 9 secara umum mengenai panggilan azan dan implikasinya untuk segera menuju masjid. Menurut beliau, bahwa panggilan (إذا نودي) yang dimaksud ayat ini ialah azan kedua yang dahulu dilakukan oleh muazin di depan Nabi SAW pada saat Nabi SAW telah duduk di atas mimbar sebelum berkhutbah.  Adapun azan yang pertama, merupakan penambahan dari Kahlifah ‘Utsman ibn Affan untuk menunggu para sahabat yang berada jauh dari masjid, karena wilayah Madinah telah meluas. Tepatnya, terjadi di Kampung az-Zaura’, yaitu kampung tertinggi di Madinah yang berada dekat dengan masjid. Dan tambahan azan yang ketiga bermakna iqamah. Nabi SAW bersabda:[3]
عن عبد الله بن مغفّل قال النبي صلي الله عليه و سلم: بين كل أذانين صلاة لمن شاء
“ Dari Abdullah ibn Mughaffil, berkata Nabi SAW: Di antara setiap dua azan, terdapat salat, bagi yang menginginkannya.” Maksudnya adalah azan dan iqamah.
Lebih lanjut, Wahbah Zuhaili memberikan penafsiran mengenai implikasi dari seruan azan Salat Jum’at. Menurutnya, apabila azan telah dikumandangkan, maka hendaklah bergegas dengan sungguh-sungguh atau bergegas untuk pergi mengingat Allah dalam artian mendengarkan khutbah dan melaksanakan Salat Jum’at di masjid-masjid yang melaksanakan Salat Jum’at. Namun, setiap muslim harus sudah dalam keadaan siap sebelum menuju masjid untuk beribadah dan telah melaksanakan mandi, wudhu, memakai wewangian atau parfum, dan memakai baju baru atau yang putih bersih dan lain sebagainya. Artinya, ketika azan telah dikumandangkan, seorang muslim harus sudah dalam keadaan siap untuk beribadah kepada Allah, dan bergegas menuju masjid. Selanjutnya, implikasi yang kedua apabila azan telah dikumandangkan yakni harus meninggalkan proses jual-beli dan seluruh bentuk mu’amalah seperti ijarah, syarikah, atau yang semisal. Dan semua itu merupakan suatu bentuk usaha untuk mengingat Allah, dan meninggalkannya itu lebih baik daripada mengerjakannya. Karena di dalam kepatuha terdapat balasan dan pahala. Lafadz من bisa berarti في, sehingga bermakna di hari Jum’at, atau berarti تبعيضية yang bermakna pembagian, sehingga bermakna hanya untuk Salat Jum’at saja. Selanjutnya, Wahbah Zuhaili menafsirkan kata البيع yang disebutkan secara khusus. Menurutnya, alasan penyebutan kata tersebut secara khusus karena jual beli merupakan suatu hal yang sangat menyibukkan seseorang pada siang hari karena merupakan sumber kehidupan dan penghidupan. Dan di dalamnya terkandung isyarat untuk meninggalkan segala bentuk jual-beli. Dan pengkhususan hari Jum’at dengan kewajibannya untuk umat Muslim, sepadan dengan hari Sabtu bagi Umat Yahudi. Dan bukanlah yang dimaksud dengan السعي itu berarti berjalan dengan cepat. Kata tersebut menunjukkan pentingnya hari itu, sehingga harus dilaksankan dengan sungguh-sungguh. Sedangkan berjalan cepat menuju masjid merupakan hal yang dilarang oleh Rasulullah SAW.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إذا سمعتم الإقامة، فامشوا إلى الصلاة، وعليكم السكينة والوقار، ولا تسرعوا، فما أدركتم فصلوا، وما فاتكم فأتموا ( رواه البخاري و المسلم )
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang berwibawa dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.”
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah membolehkan Umat Muslim untuk beramal dan bekerja untuk dunia mereka setelah pelaksaan Salat Jum’at telah selesai. Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)
Allah membolehkan Umat Muslim, apabila telah selesai melaksanakan salat, maka diizinkan dan dibolehkan untuk menyebar dan berpisah di muka bumi untuk berjual-beli sesuai dengan kebutuhan kehidupan. Dan hendakhlah mengharapkan dan mencari keutamaan Allah dalam artian mencari rezeki-Nya yang ia rezekikan kepada hamba-Nya yang berguna dan memberikan keuntungan dalam mu’amalah. Allah juga memerintahkan agar selama beramal atau berjual-beli untuk banyak-banyak mengingat Allah sebagai rasa syukur atas petunjuk-Nya yang berkenaan dengan hal duniawi maupun ukhrawi. Zuhaili juga memberikan contoh zikir yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, seperti Tahmid, Tasbih, Takbir, Istighfar, dan sebagainya. Agar memperoleh keuntungan baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian Allah mencela orang-orang Mukmin yang meninggalkan Khatib yang sedang berkhutbah pada hari Jum’at untuk menuju perdagangan. Maka Allah berfirman:
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (11)
Maksud Allah tersebut yakni apabila orang-orang mukmin yang sedang mendengarkan khutbah Jum’at, mereka melihat rombongan unta yang membawa barang dagangan dari negara lain. Atau apabila mereka (orang-orang beriman itu) melihat permainan, seperti penabuhan gendang, atau tiupan seruling dalam suatu pesta pernikahan atau sebagainyna. Mereka keluar dan berpisah lalu menuju tempat-tempat tersebut. Namun Allah melalui ayat ini tetap memerintahkan Nabi SAW untuk berkhutbah. Allah juga memerintahkan kepada Nabi SAW untuk memperimgati mereka dan memberitahu mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak ada balasan dan pahala dari-Nya. Sesungguhnya pahala akhirat itu lebih baik daripada kepentingan dunia. Dan sesungguhnya Allah akan memberi mereka rezeki yang besar apabila mereka mencarinya di waktu yang tepat.[4]
Dan asbabun nuzul dari ayat ini yaitu ketika di Madinah, banyak penduduk yang kekurangan dan membutuhkan makanan. Dan ketika Nabi sedang berkhutbah di hari Jum’at, datang serombongan kafilah dagang yang ingin menuju Syam. Maka para jama’ah bergegas menuju kafilah tersebut hingga hanya tersisa dua belas orang di masjid, dan tujuh wanita. Dan sebagian yang lain meninggalkan khutbah karena mendengar suara hiburan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا ialah untuk menunjukkan sebagian jama’ah yang keluar karena mendengar dan melihat hiburan, dan sebagiannya yang keluar karena melihat kafilah dagang yang lewat sebab mereka kekurangan bahan makanan.
Wahbah Zuhaili juga menambahkan di tafsirnya hukum-hukum yang diambil dari QS al-Jumu’ah ayat 9-11, diantaranya:
1.      Salat Jum’at hukumnya wajib, dan bersegera untuk melaksanakannya juga merupakan sebuah kewajiban. Dan tujuan pada kata يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا merupakan khusus kepada orang-orang mukallaf sesuai kesepakatan. Maka tidak dituntut untuk melaksanakannya orang yang sakit, orang-orang musafir, hamba sahaya, dan perempuan. Imam Abu Hanifah menambahkan ke dalamnnya orang yang buta dan orang tua yang tidak mampu berjalan kecuali dituntun. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: [5]
عن جابر: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فعليه الجمعة يوم الجمعة إلا مريض أو مسافر أو امرأة أو صبي أو مملوك، فمن استغنى بلهو أو تجارة استغنى الله عنه، والله غني حميد. (أخرجه الدارقطني)
Sedangkan ulama Malikiyah dan selain mereka berkata: tidak ada yang berbeda pendapat mengenai Salat Jum’at bagi orang yang tidak mungkin untuk mendatanginya karena adanya uzur. Seperti sakit yang menghalangi seseorang untuk pergi, karena jika pergi salat, ditakutkan akan bertambah sakitnya itu. Atau takut dengan kezaliman penguasa. Sehingga dibolehkan untuk tidak pergi melaksanakan Salat Jum’at. Dan juga hujan yang sangat lebat apabila tidak reda.
2.      Pada ayat ini, Allah mengkhususkan kewajiban Salat Jum’at kepada orang-orang yang berada di dekat masjid yang mendengar suara seruan azan. Adapun orang yang jauh, yang tidak mendengar seruan azan, mereka tidak termasuk dalam khitab pada ayat: إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ .
3.      Pada ayat:  إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهmenunjukkan bahwa Salat Jum’at tidak sah jika tidak dengan seruan azan. Dan azan tidak dilakukan kecuali apabila telah masuknya waktu. Nabi SAW bersabda:
عن أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس (رواه البخري)
4.      Shalat jumat hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, dan ini menurut pendapat mayoritas imam berdasarkan firman Allah: اذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله و ذروا البيع . Di dalam sunan ibnu majah juga terdapat sabda nabi yang mengatakan “siapa yang meninggalkan shalat jum’at dengan menganggap remeh perkara tersebut, maka Allah telah menutup hatinya”. Dan ini semua merupakan dalil yang jelas terkait kewajiban shalat jumat bagi setiap muslim.
5.      Allah mewajibkan untuk berusaha melaksan shalat jumat secara mutlak tanpa ada syarat. Namun ada satu syarat yang memang wajib dilakukan pada semua shalat yaitu wudhu’ (al-Maidah: 6). Adapun mandi di hari jumat hukumnya sunnah, bukan wajib. Berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim yang mengatakan jika telah datang kepadamu hari jumat maka hendaklah kamu  mandi. Dan disunnahkan juga untuk berpakaian yang paling bagus dan bersih, bersiwak dan memperindah diri.
6.      Tidak gugur kewajiban jumat karena keadaannya yang bertepatan dengan hari ‘ied. Namun berbeda dengan pendapat imam hanbali yang mengatakan “ apabila hari jumat dan hari ‘ied bertemu, maka gugurlah kewajiban shalat jumat, karena telah didahului oleh shalat ied dan orang-orang pun sibuk ketika itu.
7.      Para ulama berbeda pendapat mengenai awal penetapan shalat jum’at dalam Islam, salah satunya sebagaimana yang diriwayatkan oleh abdur razak bin hamid dari Ibnu Sirin berkata bahwa: penduduk Madinah telah berumpul pada hari jum’at sebelum adanya perintah dari Rasulullah SAW, sebelum ditetapkan hari jum’at, orang-orang yahudi memiliki satu hari tersendiri di mana dalam seminggu mereka berkumpul, dan begitu juga dengan orang-orang nasrani.
Maka orang-orang muslim mencari satu hari yang akan mereka pergunakan untuk berkumpul pada hari itu guna berdzikir kepada Allah dan bersyukur kepadanya, Lalu mereka mengatakan: “Hari sabtu milik umat yahudi, hari ahad milik umat nasrani, maka dijadiakanlah hari ‘arubah sebagai hari milik umat muslim.” Maka berkumpullah mereka, kemudian mereka menemui As’ad bin Zuharah, lalu dia mengerjakan shalat dua raka’at bersama-bersama pada hari ‘Arubah itu. Maka dinamakanlah hari itu dengan hari Jumu’at, karena ketika itu mereka berkumpul. Maka kemudian mereka menyembelih kambing untuk makan siang dan makan malam. Itulah permulaan shalat Jum’at dalam Islam. Kemudian setelah peristiwa itu Allah menurunkan ayat: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ الآية
8.      Memperhatikan firman Allah “ Fas’au ila dzikrillah” dalam ayat tersebut menggunakan lafaz amar, maka mengingat Allah hukumnya wajib. Sedangkan yang dimaksud dengan “Dzikrullah” dalam ayat tersebut ialah termasuk didalamnya shalat, khutbah dan mau’izah. Adapun alasan atas wajibnya khutbah itu ialah dilarangnya jual beli, sebab seandainya khutbah itu tidak wajib maka jual beli tidak akan diharamkan, karena sesuatu yang Mustahab (Sunnah) tidak akan dapat mengharamkan yang mubah.
Kemudian mengenai jumlah batas minimal jama’ah saat melakukan shalat jum’at para ulama berbeda pendapat, diantaranya yaitu:
a)      Menurut imam Hanafi, cukup dengan tiga orang selain imam, walaupun mereka adalah musafir dan orang sakit, karena minimal jama’ yang sah itu ialah tiga.
b)      Golongan Malikiyah mensyaratkan setidaknya yang menghadiri itu berjumalah dua belas orang dari penduduk daerah tersebut,  Hal ini sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah di awal tadi.
c)      Sedangkan menurut golongan Syafi’i dan Hanbali menyatakan minimal empat puluh orang, dan disyarakan dengan imam yang mukallaf, merdeka, dan mustawthin, dan bukan musafir, akan tetapi dibolehkan keadaan imam itu musafir apabila jumlah jama’ahnya lebih dari empat puluh. Sebagaimana hadis nabi SAW:
لما روى البيهقي عن ابن مسعود أنه صلى الله عليه وسلم جمّع بالمدينة، وكانوا أربعين رجلا. ولم يثبت أنه صلى الله عليه وسلم صلى بأقل من أربعين، فلا تجوز بأقل منه
9.      Mengenai hukum jual beli pada hari jum’at, Allah SWT telah melarang untuk melakukan hal tersebut, dan mengharamkan melakukan jual beli pada waktu tersebut, dan yang dimaksud jual beli di sini ialah segala perbuatan muammalah yang dapat melalaikan dari shalat seperti perkantoran, pariwisata, pernikahan, dan lain sebagainya. Dan adapun bagi orang yang tidak berkewajiban menghadiri jum’at (karena rukhsah atau pengecualian) maka tidak dilarang untuk melakukan kegiatan bisnis.
10.  Berusaha untuk berzikir kepada Allah dan meninggalkan kegiatan-kegiatan duniawi lebih baik bagi orang-orang mukmin dan lebih bermanfaat dari semua manfaat-manfaat keduniaan. Jika mereka ahli ilmu pasti mereka mengetahui kewajiban mereka untuk menjalankan perintah Allah agar datang ke masjid untuk melaksanakan shalat jumat.
11.  Dibolehkan ketika telah selesai melaksanakan shalat untuk bertebaran di muka bumi untuk berdagang dan berpindah-pindah dalam meraih kebutuhan (QS. Al-Jumuah: 9). Dan perintah ini terdapat setelah larangan, maka ini menunjukkan bahwa itu mubah. Kita tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan langsung keluar dari masjid mencari karunia Allah setelah selesai shalat.
12.  Allah mengingatkan dalam firmannya:” berzikirlah kamu kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya”, dan ini mencakup kepada ketaatan, zikir secara lisan, dan dengan mensyukuri nikmat Allah berupa taufiqnya untuk melaksanakan segala  kewajiban. Said bin Musayyab berkata: “ zikir itu adalah bentuk ketaatan, maka siapa yang taat kepada Allah berarti ia telah berzikir, dan siapa yang tidak taat kepada-Nya, maka dia bukan orang yang berzikir, sekalipun ia merupakan orang yang banyak bertasbih”.
13.  Orang-orang bertebaran ketika nabi SAW sedang berkhutbah untuk berdagang, bermain-main dan bersenang-senang. Maka dhamir “Ha” pada  kata اليها dalam ayat ini kembali pada kata التجارة.
14.  Para ulama menggunakan dalil وَتَرَكُوكَ قَائِمًا sebagai kewajiban berdiri selama berkhutbah. Sebagaimana juga yang teahdiriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi SAW tidak berkhutbah kecuali berdiri. Begitu juga yang dilakukan oleh para khalifah sesudahnya, dan hal ini terus dilakukan sampai pemerintahan Bani Umayah. Namun, pada masa pemerintahan Umayah ini, terdapat seseorang yang mempermudah masalah khutbah ini, sehingga ia berkhutbah dengan cara duduk. Dan khatib pertama yang melakukannya ialah Mu’awiyah Radhiyallahu’anhu, ketika ia tidak sanggup berdiri. Dan Abu Hanifah berpendapat bahwa berdiri ketika khutbah hukumnya adalah sunnah. Hal itu dikarenakan kalaupun khatib berkhutbah sambil duduk, hal itu boleh saja, karena tetap menyampaikan isi khutbah. Sedangkan pendapat mazhab Maliki, bahwa hukumnya adalah wajib bukan syarat. Karena apabila duduk, itu berarti bahwa khutbahnya telah sempurna dan lengkap. Adapun menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, bahwasannya khutbah dengan berdiri merupakan syarat sah, sehingga tidak sah apabila tidak melakukannya. Para imam mazhab tersebut mengambil hukum-hukum dalam berkhutbah mengambil dari sunnah Nabi SAW, diantaranya:
a)      Sah hukumnya salat Jum’at tanpa kehadiran imam dan izin darinya. Hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat. Suatu hari, Walid ibn ‘Uqbah sampai di Kufah dengan terlambat. Maka Ibn Mas’ud salat bersama para jama’ah tanpa adanya izin dari Walid. Dan diriwayatkan pula bahwa Sayyidina Ali salat jum’at bersama jama’ah saat Sayyidina Usman ketika beliau terkepung. Dan tidak dinukil dalam riwayat bahwa beliau meminta izin kepada Sayiidina Usman. Namun, Imam Abu Hanifah mensyaratkan adanya imam, atau penggantinya, atau izin dari imam. Alasannya, karena setiap perkumpulan harus ada izin apabila tidak hadir. Dan juga, tidak bisa dikatakan berkumpul kecuali dengan izin. Dan juga, salat Jum’at merupakan bagian dari ibadah dalam Islam, maka pelaksanaannya harus dengan cara yang telah masyhur atau yang telah diketahui umat Islam.
b)      Imam Malik mensyaratkan pelaksanaan Salat Jum’at ini harus di masjid yang tertutup yang memakai atap. Karena itu menunjukkan terjaganya masjid tersebut. Allah SWt berfirman:
طَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ [الحج 22/ 26] وقوله: فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ [النور 24/ 36]
Dan yang dimaksud dengan البيت , yang setiap manusia pasti mengetahuinya, ialah yang memiliki dinding-dinding dan atap. Begitu juga Imam Abu Hanifah mensyaratkan demikian saat beliau berada di Mesir. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali tidak mensyaratkan bahwa Salat Jum’at harus di masjid. Dan semuanya bersepakat bahwa harus dilaksanakan dalam suatu negara.
c)      Jumhur Ulama sepakat bahwa Khutbah merupakan syarat di setiap pertemuan Salat Juam’at dan tidak sah hukumnya apabila tanpa adanya khutbah. Hal ini berdasarkan firman-Nya:
وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
Dalil tersebut bisa menjadi kecaman. Bahkan wajib hukumnya mencela orang yang meninggalkannya. Karena sesungguhnya Nabi SAW tidak Salat Jum’at kecuali dengan adanya khutbah. Dan telah berkata Sa’id ibn Jabir bahwa kedudukan khutbah itu sama dengan dua rakaat Salat Zuhur. Maka apabila meninggalkan khutbah namun kemudian Salat Jum’at, maka sesungguhnya telah meninggalkan dua rakaat dari Salat Zuhur. Hasan al-Basri berkata bahwa khutbah merupakan sunnah mustahabbah, dan bukan kewajiban.
d)      Seorang khatib berkhutbah dengan menggunakan panah atau tongkat. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang berbunyi:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا خطب في الحرب، خطب على قوس،
وإذا خطب في الجمعة، خطب على عصا.
e)      Jumhur Ulama sepakat bahwa ketika khatib naik ke atas mimbar, maka ia hendaknya mengucapkan salam. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Majah:
عن جابر بن عبد الله: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا صعد المنبر سلّم.
Imam Syafi’i juga berpendapat dalam Qaul Jadidnya bahwa seorang khatib harus suci dari hadas besar dan hadas kecil. Dan itu merupakan syarat menurut Imam Syafi’i. Adapun menurut mazhab Maliki, apabila khatib tidak bersuci, maka itu merupakan ha yang tidak baik. Namun, tetap sah khutbahnya. Dan tidak perlu mengulang baginya apabila Salat dalam keadaan suci.
f)        Seluruh Fuqaha sepakat bahwa paling sedikit, dalam khutbah terdiri dari: Hamdalah (memuji Allah); Shalawat kepada Nabi SAW; wasiat takwa; membaca satu ayat al-Quran; adapun pada khutbah yang kedua, sama seperti empat macam pada khutbah yang pertama, hanya saja diwajibkan doa pada khutbah yang kedua ini, sebagai pengganti bacaan ayat al-Quran pada khutbah yang pertama. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila khatib mencukupkan hanya dengan Tahmid, Tasbih, atau Takbir saja, maka hal itu dibolehkan. Diriwayatkan dari Usman Radhiyallahu’anhu bahwa Nabi SAW naik ke atas mimbar, dan membaca al-Hamdulillah. Dan aku ragu. Maka Nabi SAW bersabda “sesungguhnya Abu Bakar dan Umar ibn Khattab akan menganggap perkataan ini untuk tempat ini. Sesungguhnya kalian lebih membutuhkan imam yang memberi contoh daripada imam yang memberi contoh dengan berbicara. Dan akan datang kepada kalian khutbah. Kemudian Nabi SAW turun dan salat. Dan hal itu dihadiri oleh para sahabat. Dan tidak ada satupun yang mengingkarinya.



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa QS. al-Jumu’ah [62]: 9-11 menerangkan tentang ketentuan sholat Jum’at. Menurut Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya, al-Munir, salat Jum’at hukumnya wajib, dan bersegera untuk melaksanakannya juga merupakan sebuah kewajiban. Namun, kewajiban salat Jum’at merupakan kewajiban yang terbatas, karena dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa yang diwajibkan adalah muslim laki-laki, sedangkan perempuan tidak diwajibkan.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari perintah salat Jum’at adalah adanya persatuan antarsesama umat muslim. Salat Jum’at dapat membuat umat muslim berkumpul, berkhidmat dan khusyuk dalam beribadah. Hal ini juga merupakan implikasi dari penegakan tafsir dari QS. al-Jumu’ah, bahwa ketika waktu salat Jum’at tiba, umat muslim diseur untuk meninggalkan segala aktivitas dan menghadap Allah dengan khusyuk.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai  ayat tentang sholat jumat, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghozi, Qasim. Fathul Qorib, Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah.

Romli, A. Chodri. 1996. Permasalahan Shalat Jum’at. Surabaya: Pustaka Progressif.

Zuhaili, Wahbah. 1418. Tafsir al-Munir. Dimsyaq: Daar al-Fikr Ma’asirah.

______________. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Dimsyaq: Daar al-Fikr.



[1] A. Chodri Romli, Permasalahan Shalat Jum’at,(Surabaya: Pustaka Progressif, 1996) hlm 66
[2] A. Chodri Romli, Permasalahan Shalat Jum’at … hlm 69
[3] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Dimsyaq: Daar al-Fikr Ma’asirah, 1418 H) hlm 203-203
[4] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir,  … hlm  204
[5] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir,  … hlm  205