Sunday, September 22, 2019

Makalah Tafsir Sasaran Dakwah (Q.S. At Tahrim: 6, Q.S. Asy Syu'ara: 214, Q.S. At taubah : 122)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam berdakwah, tentu materi dan sasaran berdakwah di dalam al-Quran sangatlah penting untuk menjadi acuan berdakwah kita sekarang. sejatinya berdakwah adalah aktivitas mengajak mad’u kepada jalan Allah, dengan cara amar ma’ruf dan nahi munkar. Terkait ini pada zaman Rasulullah pun, Allah telah menyeru terkait sasaran dakwah yang diperintahkan kepada Nabi pada saat itu, yaitu berdakwah kepada ahlul kitab dan kepada keluarga kita sendiri supaya keluarga kita terhindar dari panasnya api neraka. Materi dakwahpun tidak terlepas dari unsur terpenting dari syariat yang Allah turunkan kepada manusia secara keseluruhan, yaitu tauhid dengan mengesakan Allah dan tidak menyekutukannya dengan apapun.
Maka disini pemakalah akan menyajikan bagaimana materi dan sasaran dalam berdakwah yang tertera di dalam al-Quran, supaya pembaca ataupun pemakalah lebih faham terhadap apa yang harus menjadi acuan kita dalam berdakwah. Dan juga sebagai cambuk agar kita lebih giat dalam berdakwah dan meningkatkan lagi keimanan dan ketakwaan kita.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana tafsir dari Q.S. Tahrim: 6?
2.      Bagaimana tafsir dari Q.S. Asy Sura’a: 214?
3.      Bagaimana tafsir dari Q.S. At taubah : 122?

C.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui tafsir dari Q.S. Tahrim: 6
2.      Untuk mengetahui tafsir dari Q.S. Asy Sura’a: 214
3.      Untuk mengetahui tafsir dari Q.S. At taubah : 122



BAB II
PEMBAHASAN

A.    QS At-Tahrim: 6
1.      Ayat dan Terjemahnya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu (dari) api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia (yang kafir) dan batu (yang disembah), yang diatasnya ada malaikat-malaikat yang kasar lagi keras yang mereka tidak mendurhakai Allah (terhadap) apa yang telah Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka

2.      Kosakata



يايها         : Wahai
الذين        : orang-orang yang
امنوا           : meraka beriman
قوا             : peliharalah
انفسكم        : diri kalian
واهليكم       : dan keluarga kalian
نارا            : api/neraka
وقودها       : bahan bakarnya
الناس         : manusia
والحجارة   : dan batu-batu
عليها          : atasnya
ملئكة          : malaikat
غلاظ         : yang kasar
شداد         : yang keras


3.      Tafsir Q.S. At Tahrim: 6
Sebelum turun surat at-Tahrim ayat 6, Allah sempat memperingatkan istri-istri nabi agar tidak melakukan kesalahan dan tipu daya lagi terhadap nabi, dengan ancaman akan dithalaq. Kemudian setelah itu Allah memberikan peringatan kepada kaum Mu’min untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Yang dimana api neraka itu menyala dengan kayu bakar manusia dan berhala-berhala. Mari kita simak firman Allah QS At-Tahrim: 6:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ini merupakan seruan dari Allah kepada orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya dari api neraka yang bisa melahap apapun di dunia ini, terlebih bahwa manusialah yang menjadi kayu bakar dari menyalanya api neraka tersebut. Maka cara supaya menjauhkan diri dari api neraka tersebut adalah dengan taat kepada Allah dan menuruti perintah-Nya. Kemudian Allah pun memerintahkan agar kita menjaga keluarga kita dari api neraka pula, yaitu dengan mengajarkan dan mendidik kepada mereka tentang kebaikan dan kebenaran agar mereka terjaga dari api neraka. Ayat ini diperkuat dengan surat Thaha: 132:[1]
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)­G=Ï9 ÇÊÌËÈ  
Dalam sebuah hadist Umar bertanya kepada Rasulullah disaat setelah ayat itu turun, “wahai Rasulullah, kita menjaga diri kita sendiri. Tapi bagaimana cara kita menjaga keluarga kita?” Rasulullah SAW bersabda “kamu melarang mereka mengerjakan apa yang dilarang Allah untukmu dan kamu perintahkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah kepadamu, itulah penjagaan antara diri mereka dan neraka”
Rasulullah sudah dengan sangat jelas mengatakan bahwa cara untuk kita ataupun menjaga keluarga kita adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Disini ibnu i’mundzir dan alhakim menjelaskan tentang menjaga keluarga yaitu “Ajarilah dirimu dan keluargamu kebaikan dan didiklah mereka”[2]
Di dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan bahwa yang termasuk al-ahl (keluarga) adalah:
1)      Istri/suami
2)      Anak
3)      Budak Laki-laki
4)      Budak Perempuan
Dalam ayat inipun disebutkan tentang malaikat penjaga neraka yang kasar dan keras, yang disana mereka mengurusi penghuni neraka dan menyiksa mereka. Karena kedaan malaikat itu adalah taat dan tidak menyalahi perintah dari Allah, ketika Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menjadi yang baik hati maka mereka akan menuruti, juga ketika Allah memerintahkan mereka untuk menjadi bengis dan kasar terhadap penghuni neraka.
Karena di dalam neraka manusia sama derajatnya seperti batu yang dijadikan kayu bakar neraka, sama rendahnya dan sama hinanya. Maka disini Allah menyuruh kepada orang yang beriman untuk menjaga dirinya dan keluarganya agar tidak sampai merasakan panasnya api neraka. Menjaga sebelum terlambat, sebelum tidak mempunyai kesempatan lagi, sebelum semua alasan dan semua uzur tidak bisa lagi diutarakan.[3]
4.      Isi Kandungan Surat At Tahrim Ayat 6
Ayat enam diatas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula di rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan puasa) yang juga tertuju kepada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orangtua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggungjawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.
Berikut adalah beberapa pelajaran yang dapat diambil dari surat at-tahrim ayat 6:
a)      Perintah Taqwa Kepada Allah SWT dan berdakwah
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Api neraka disediakan bagi para kafir / pendurhaka yang tidak mau taat kepada Allah dan yang selalu berbuat maksiat.
Oleh karena itu kita diwajibkan oleh Allah untuk taat kepada-Nya supaya selamat daripada siksa-Nya. Caranya membina diri kita terlebih dahulu dalam mendalami akidah dan adab islam kemudian setelah kita mampu melaksanakan maka kita wajib mendakwahkan kepada yang lain yaitu orang-orang terdekat kita / keluarga yaitu orang tua, istri, anak, adik, kakak dan karib kerabat.
b)      Anjuran menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka
Banyak sekali amalan shalih yang menjadikan seseorang masuk surga dan dijauhkan dari api neraka, misalnya bersedekah, berdakwah, berakhlaq baik, saling tolong menolong dalam kebaikan dan sebagainya. Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan shalat dan bersabar.
c)      Pentingnya pendidikan islam sejak dini 
Anak adalah aset bagi orang tua dan di tangan orangtualah anak-anak tumbuh dan menemukan jalan-jalannya. Banyak orang tua “salah asuh” kepada anak sehingga perkembangan fisik yang cepat diera globalisasi ini tidak diiringi dengan perkembangan mental dan spiritual yang benar kepada anak sehingga banyak prilaku kenakalan-kenalakan oleh para remaja.
Sebagai orang tua yang proaktif kita harus memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan sang buah hati, amanah Allah. Rasulullah juga memeberitahu betapa pentingnya / Urgensi mendidik anak sejak dini, dalam hadits Rasulullah SAW : “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka hanya kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang yahudi atau seorang nasrani atau seorang majusi”. (HR.Bukhari)
Dari hadits di atas jelaslah bahwa setiap bani adam yang terlahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah (dalam keadaan islam), karena sesungguhnya setiap bani adam sebelum ia terlahirkan ke dunia (masih dalam kandungan), ia sudah berikrar dengan kalimat syahadat yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Sedangkan yang menjadikan anak itu menjadi seorang yahudi, nasrani, dan majusi melainkan itu semua karena peranan dari kedua orang tuanya.

B.     Q.S. Asy Sura’a ayat 214
1.      Ayat dan Terjemahnya as-syu’ara 214
وا نذ رعشير تك الأ قربين[3]
Arti kata:
ا نذر
berilah peringatan
عشير
anggota suku yang terdekat
 الأ قربين
orang-orang yang dekat dari mereka yang terdekat.


Artinya:  “Dan berilah peringatan kepada kerabat kerabatmu (muhammad) yang terdekat”.
Bagi ibnu asyur ayat ini tertuju kepada nabi Muhammad SAW. Ia adalah uraian khusus setelah ayat sebelumnya merupakan uraian umum menyangkut siapa saja. Demikian tulisnya.
Kata ( عشير ه) à anggota suku yang terdekat, diambil dari kata ( عا شر) à saling bergaul karena anggota suku yang terdekat atau keluarga adalah orang-orang  yang sehari-hari bergaul.[4]
Kata ( الأ قربين ) à yang menyifati kata (عشير ه) merupakan penekanan sekaligus guna mengambil hati mereka sebagai orang-orang yang dekat dari mereka yang terdekat.
Setelah memerintahkan nabi muhammad SAW. Menghindari kemusyrikan, yang tujuan utamanya adalah semua yang berpotensi disentuh oleh kemusyrikan, kini ayat diatas berpesan lagi kepada beliau bahwa:  hindarilah segala hal yang dapat mengundang murka allah dan berilah peringatan kepada kerabat kerabatmu yang terdekat tanpa pilih kasih dan Takut takutilah kerabatmu yang terdekat dengan azab dan siksa allah yang keras bagi orang yang kafir kepadanya dan yang menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Seruan rasulullah agar berhati-hati dengan syirik. Allah memerintahkannya untuk mengingatkan kerabatnya yang dekat agar bertawakkal kepada allah yang selalu memperhatikan dan menjaganya. Ketika rasulullah termasuk dalam orang-orang yang diancam akan adzab bersama orang-orang yang mendustakan, bila beliau ikut pula menyeru tuhan lain selain allah, itu hanyalah hipotesis untuk mendekatkan pemahaman. Kalau rasulullah saja termasuk orang-orang yang diancam, lantas bagaimana dengan orang-orang lainnya. Disini menunjukkan bahwa tuha tidak pilih kasih sama sekali.[5]
Setelah rasulullah memperingatkan diri sendiri, beliau diperintahkan untuk mengingatkan kekeluarganya, agar selain mereka mendapat pelajaran darinya bahwa merekapun sesungguhnya terancam denga adzab bila ttap berada dalam kemusyrikan dan tidak mau beriman.
Begitu juga ayat ini menyuruh supaya dipertakuti dengan siksa dan hukuman karib kerabatmu sendiri dan tidak akan terlepas dari hukuman dan siksaan itu, meskipun anakmu, bapakmu, ibumu, saudaramu, dsb. Semuanya itu dihukum bila bersalah dan berdosa. Maka tidak ada familisme dan kawanisme dalam islam. Melainkan semuanya itu tunduk kepada hukum yang satu dengan tiada memandang bulu. Inilah keadilan yang mutlak dalam islam. Dengan keadilan semacam inilah kaum muslimin dahulu kala memerintahi dunia. Begitu juga allah menyeru nabi supaya jangan berlaku sombong terhadap orang-orang mukmin yang menjadi pengikutnya. Hal ini patut ditiru oleh kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin.
Demikian ayat ini mengajarkan kepada rasul SAW dan ummatnya agar tidak mengenal pilih kasih/ memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal pemberian peringatan. Ini berarti nabi dan keluarga beliau tidak kebal hukum, tidak juga terbebaskan dari kewajiban. Mereka tidak memiliki hak berlebih atas dasar kekerabatan kepada rasul SAW. karena semua adalah hamba alla, tidak ada perbedaan antara keluarga / orang lain. bila ada kelebihan yang berhak mereka peroleh, maka itu disebabkan karena keberhasilan mereka mendekat kepada allah dan menghiasi diri dengan ilmu serta akhlak mulia.
Pemberian peringatan yang khusus ini adalah sebagian dari pemberian peringatan umum yang untuk itu rasulullah SAW diutus, sbgai firman :

ولتنذ را م القرى ومن حو لها
“ Dan agar kamu memberi peringatan kepada penduduk makkah dan orang orang yang berada diluar lingkungannya” (an’am, 6:92)

لتبشربه المتقين وتنذربه قوما لدا
“… agar kamu dapat member kabar gembira dengan al-qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa dan agar kamu member peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang”.

Di dalam hadist dan ayat tersebut terdapat dalil bahwa kedekatan dalam nasab tidak bermanfaat jika jalan yang ditempuh berbeda. Juga terdapat dalil atas pembolehan orang mu’min mengadakan hubugan dengan orang kafir, serta memberinya petunjuk dan nasehat, berdasarkan sabda rasul: “sesungguhnya kalian mempunyai rahim dan aku membasahinya dengan basahnya”. [6]
2.      Asbabun Nuzul
Ketika ayat ke 214 diturunkan, maka rasulullah memulai dakwahnya kepada keluarga serumah, kemudian baru keluarga yang terdekat. Hal ini menyinggung perasaan kaum muslimin, mereka merasa terabaikan. Sehubungan dengan hal itu, maka allah SWT. Menurunkan ayat 215 sebagai perintah untuk memperhatikan kaum muslimin yang lain. (HR.Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij).
﴿ روي البخاري ومسلم أنه لما نزلت هذه الايۃ أتي النبي صلى الله عليه وسلم الصفا فصعد عليه ثم نادي : يا صاحباه ! فاجتمع الناس إليه بين رجل يجيء اليه وبينﺭجل يبعث رسوله. فقال رسول الله صلى ألله عليه وسلم: يا بني لؤي أرآيتم لوأخبرتكم أن خيلا بسفح الجبل تريدأن تغير عليكم أصدقتموني؟ قالوا: نعم. قال "فائني نذيرلكم بين يدي عذاب شديد" فقال أبولهب: تبالك ساءر اليوم! أما دعوتنا إلا لهذا؟ وأنزل الله: تبت يداأبي لهب وتب... ﴾
Ketika allah SWT menurunkan ayat ke 214 maka rasulullah naik kegunung shafa, seraya mengundang: “wahai saudaraku!” sedang beberapa saat berkumpul umat manusia. Beliau bersabda: wahai bani abdul muthalib, bani fikr, bani luayi, adalah kamu sekalian membenarkan manakala aku mengatakan bahwa unta dipegununan ini akan mengubah nasibmu? Jawab “ ya, percaya”. Rasulullah kemudian bersabda lagi: ”maka sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagimu. Dan bila kamu membangkang maka dihadapku ada siksa yang pedih”. Mendengar sabda nabi ini abu lahab langsung tampil berbicara : celaka kamu Muhammad pada hari ini. Adakah kamu sengaja mengumpulkan kami hanya untuk mendengar ocehanmu itu. Maka allah SWT. Menurunkan ayat-ayat yang terkandung dalam surat al-lahab. (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas Imam Bukhari Muslim Tirmidzi & Nasa’i meriwayatkan dari A’masy).

﴿ وأخرج مسلم بإسناده عن عائشة رضي الله عنها قالت: لما نزلت: " وا نذر عشيرتك الأقربين. قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا فاطمةابنة محمد وياصفية ابنةعبد المطلب. يابني عبدالمطلب لاأملك لكم من الله شيئا سلوني من مالي ماشئتم ﴾

Ketika ayat ke 214 diturunkan, maka rasulullah SAW. Langsung berdiri seraya berkata: “wahai Fatimah binti muhammad, shafiyah binti abdul muthalib, bani abdul muthalib, aku tidak memiliki sesuatu apapun dihadapan allah yang dapat menyelamatkanmu. Ambillah hartaku sekehendak hatimu.” Seruan ini membuat kaum muslimin yang lain merasa disolasikan oleh rasulullah dalam dakwah sehubungan itu maka allah menurunkan ayat ke 215 sebagai perintah untuk berdakwah kepada seluruh kaum muslimin. (HR. ahmad dari aisyah).
﴿ وأخرج مسلم والترمذي بإسناده عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: لما نزلت: "وأنذرعشيرتك الأقربين. دعارسول لله صلى لله عليه وسلم قريشا فعم وخص, فقال: يامعشر بني كعب أنقذواأنفسكم من الناس يامعشربني كعب أنقذواأنفسكم من النار. يافطمة بنت محمد أنقذي نفسك من النار فإني والله لاأملك لكم من الله شيئا إلاأن لكم رحما أبلها ببلالها ﴾

Ketika ayat ke 214 diturunkan, rasulullah segera berdakwah kepada keluarga dengan mengatakan :”wahai orang-orang  quraisy selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai orang-orang  bani hasyim selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai orang-orang bani muthalib selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai Fatimah binti muhammad selamatkanlah dirimu dari api neraka, sebab dihadapan allah aku tidak memiliki apa-apa kecuali dengan kamu hanyalah ikatan keluarga belaka. (HR. ahmad dari abu hurairah imam muslim dan tirmidzi meriwayatkan pula dari abdul malik bin umar).[7]
Pada suatu waktu abu darda berkhutbah dihadapan umat manusia sedangkan anaknya berada disisinya sedangkan kaum keluarganya berada dimasjid sambil bercanda ria. Maka ada seseorang yang mengajukan pertanyaan kepada abu darda bagaimana keadaan manusia yang mencintai ilmu berada disisimu, sementara sanak kerabatmu sendiri bercanda ria? Jawabannya : aku pernah mendengar rasulullah bersabda:” orang yang paling zuhud didunia adalah nabi, dan orang yang paling menentang nabi adalah sanak keluarga.” sehubungan dengan itu maka allah menurunkan ayat ke 214-220 sebagai perintah membina keluarga dan masyarakat dan bila mereka mendurhakai ajaran agama maka itu diluar tanggungjawab rasulullah. (HRibnu asakir dari amrin bin samarrah dari Muhammad bin saaqah dari abdul wahid binti abu bakar as shidiq).
Hadist-hadist menerangkan bagaimana rasulullah menyambut seruan itu dan bagaimana beliau berusaha menyampaikannya kepada kerabatnya yang terdekat. Beliau tidak dapat berbuat apa-apa dalam pembelaan terhadap urusan mereka, dan hanya dapat menyandarkan kepada allah seluruh urusan akhirat mereka. Rasulullah menjelaskan bahwa hubungan kerabat tidak bermanfaat sekali bila tidak diikuti dengan ikut serta dalam amal shaleh. Dijelaskan beliau tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka dari adzab allah, pada hal beliau adalah rasul allah. Inilah islam dan dalam kejelasan dan kemurniannya. Dan ia meniadakan perantara antara hamba dan allah bahkan perantara seorang rasul-nya sekalipun.
3.      Kandungan Ayat
Ayat diatas berpesan hindarilah segala hal yang dapat mengundang murka allah dan berilah peringatan kepada kerabat kerabatmu yang terdekat tanpa pilih kasih dan Takut takutilah kerabatmu yang terdekat dengan azab dan siksa allah yang keras bagi orang yang kafir kepadanya dan yang menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Ayat ini selain menyuruh untuk menghindari kemusyrikan juga mengajarkan kepada rasul SAW dan ummatnya agar tidak mengenal pilih kasih/ memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal pemberian peringatan. Ini berarti nabi dan keluarga beliau tidak kebal hukum, tidak juga terbebaskan dari kewajiban. Mereka tidak memiliki hak berlebih atas dasar kekerabatan kepada rasul SAW. karena semua adalah hamba allah, tidak ada perbedaan antara keluarga / orang lain. bila ada kelebihan yang berhak mereka peroleh, maka itu disebabkan karena keberhasilan mereka mendekat kepada allah dan menghiasi diri dengan ilmu serta akhlak mulia.
Demikianlah allah menerangkan kepada rasul –nya bagaimana seharusnya beliau bermu’amalah dengan orang-orang beriman yang menyambut dakwah yang dibawanya.
Demikianlah allah menerangkan kepada rasul –nya bagaimana seharusnya beliau bermu’amalah dengan orang-orang beriman yang menyambut dakwah yang dibawanya.

C.    Q.S. At Taubah ayat 122
1.      Ayat dan Terjemahnya
۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
2.      Kosakata
الفرقة  - Al- Firqah : kelompok besar
الطائفة – At- Ta’ifah          : kelompok kecil
تفقه – Tafaqqaha                 :berusaha keras untuk mendalami dan memmahami suatu perkara  dengan susah payah untuk memperolehnya.
انذره – Anzarahu               : menakut-nakuti dia.
حذره – Hazirahu               : berhati-hati terhadapnya.
3.      Asbabul Nuzul (sebab turun ayat)
Di riwayatkan oleh Ibn Abi Hatim yang bersumberkan daripada Ikrimah katanya, ketika turun ayat Bermaksud: “Jika kamu tidak pergi beramai-ramai (untuk berperang pada jalan Allah - membela AgamaNya), Allah akan menyesatkan kamu dengan azab siksa yang tidak terperih sakitnya” (at-Taubah:39)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah bahwa pada waktu QS. at- Taubah ayat 39 turun ada beberapa orang yang tidak hadir dalam peperangan karena hidup di daerah pedalaman (Badui). Mereka mengajar kaumnya ilmu agama. Melihat yang demikian, orang-orang munafik mengatakan : "Celakalah penduduk kampung itu, mereka tidak hadir berperang bersama Rasulullah." Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-122 yang memberikan ketegasan bahwa orang-orang yang tidak hadir dalam peperangan karena baru menekuni ilmu agama, mereka tidak berdosa. Jadi, orang yang belajar dan mengajar ilmu agama termasuk jihad.[8]
Dalam satu riwayat yang lain juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim daripada Abdullah bin Abidullah bin Amir berkata: “Orang-orang Islam diberi galakkan supaya berjihad, apabila Rasulullah SAW menghantar bala tentera ke medan perang mereka akan keluar beramai-ramai. Pada masa yang sama mereka meninggalkan Nabi Muhammad SAW. di Madinah dengan beberapa orang sahaja. Lalu ayat itu di turunkan.
Riwayat lain dari Abdillah bin Ubaid bin Umar, oleh karena kaum muslimin berambisi sekali untuk berjihad, maka apabila ada seruan untuk berjihad di medan perang dari Rasulullah SAW . mereka dengan tanpa berpikir panjang langsung berangkat. Tidak jarang mereka berangkat dengan meninggalkan Rasulullah bersama orang-orang dhaif di Madinah. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat 122 sebagai penegasan tentang larangan bagi kaum muslimin berangkat perang secara keseluruhan dan ayat ini memberikan tuntunan agar sebagian kaum muslimin menuntut ilmu agama, sementara yang lain berangkat jihad. Nilai pahala keduanya sama.
4.      Penafsiran surat at-taubah ayat 122
“Dan tidaklah semuanya kaum mukmin itu harus pergi,”(pangkal ayat 122). Sebagai juga ayat 113 dan 120, disini sama bunyi pangkal ayat,yaitu orang beriman sejati tidaklah semuanya turut bertempur berjihad dengan senjata kemedan perang.”tetapi a;angkah biknya keluar dari tiap-tiap goloongan itu,diantara mereka, satu kelompok supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama.”
Dengan susun kalimat falaulaa, yang berarti diangkat naiknya, maka Allah telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut kesanggupan masing-masing, baik secara ringan ataupun secara berat. Maka dengan ayat ini, Allah pun menuntun hendaklah jihad itu dibagikepada jihad bersenjata dan jilhad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama.
Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardu’ain, yang wajib dilaksanakan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rasul SAW sendiri keluar dan mengerahkan kaum mu’min menuju medan perang.[9]
Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi SAW. Mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi ke medan perang semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan suatu kabilah diantara mereka beberapa orang, beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat untuk memperdalam pengetahuan mereka yakni tetap tinggal di tempat mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi SAW. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang, seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi SAW. berangkat ke suatu ghazwah.
Allah SWT telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi perang menurut kesanggupannya masing-masing, baik secara ringan ataupun secara berat. Maka dengan ayat ini allah pun menuntut hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama. Jika yang pergi kemedan perang itu bertaruh nyawa dengan musuh, maka yang tinggal memperdalam fiqh tentang agama,sebab tidaklah kurang penting jihad yang mereka hadapi.
Dalam ayat ini, Allah SWT. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.
Dalam ayat 122 ini masih jelas diterangkan bahwa golongan-golongan itu keluar apabila ada panggilan dari sudah datang. Mereka semuanya datang kepada Rasulullah SAW mendaftarkan dirinya, ringan maupun berat, muda maupun tua. Tetapi hendaklah dari golongan-golongan yang banyak itu datang berbondong kepada Rasulullah, ada satu kelompok (thaifatun), yang bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya tentang agama itu adalah hal agama
5.      Aspek-aspek Tarbawi
a.       Melalui dengan pendidikan diharapkan pula lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, sanggup mengadakan penelitian, penemuan dari seterusnya. Sikap yang demikian itu amat dianjurkan dalam al-Qur’an.
b.      Pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Yaitu pengembangan ilmu pengetahuan yang ditujukan bukan semata-mata hanya untuk pengembangan   ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan untuk membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah dibalik ilmu pengetahun, yaitu rahasia keagungan Allah SWT. Dari keadaan yang demikian itu, maka ilmu pengetahuan tersebut akan memperkokoh akidah, meningkatkan ibadah dan akhlak yang mulia.
c.       Pendidikan harus mampu mendorong peserta didik agar mencintai ilmu pengetahuan, yang terlihat dari terciptanya semangat dan etos keilmuan yang tinggi, memelihara, menambah, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, besedia mengajarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan dirinya, agama, bangsa dan Negara.





BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Setelah memahami terhadap kandungan dari ketiga ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam ayat tersebut yang menjadi sasaran dalam berdakwah kita adalah dari golongan ahlul kitab, diri kita sendiri dan juga dari keluarga kita. Maka di dalam berdakwah kita haruslah berbenah diri terlebih dahulu, jangan sampai menjadi orang yang paling dibenci oleh Allah yang hanya mengatakan akan tetapi tidak melaksanakannya. Maka disini kita sebelum berdakwah seharusnya memperbaiki diri, jangan sampai seruan kita pada akhirnya menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Maka berdakwahlah dengan mengajak bukan dengan mengejek.
Maka terkait dengan materi dakwah dalam ayat ini adalah merupakan tiang terpenting dari Islam itu sendiri, yaitu Tauhid. Mengesakan Allah SWT dan tidak menyekutukannya, mengabdi dan taat kepadanya dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi dari segala larangannya. Semua itu agar supaya kita terjauh dari pedihnya siksaan bagi orang yang tidak taat, dan sehingga kita tidak sampai merasakan panasnya api neraka.

B.     Saran
Demikian pembahasan makalah mengenai sasaran dakwah, semoga dapat bermanfaat bagi rekan pembaca sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.







DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang; PT Karya Toha Putra Semarang, 1993)

Al-maraghi, Musthafa Ahmad. Terjemah Tafsir Al-maraghi 28, CV Toha Putra, 1986)

M Quraish Shihab, Tafsir al misbah, (Jakarta: Lentera hati, 2002)

Mahmud Syaltut, Tafsir Al-qur’anul Karim(Bandung;  CV. Diponegoro, 1990)

Muhammad Nasib AR Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,( Jakarta: Gema Insani Press,2006),

Mustafa Al- Maraghi,  Terjemah Tafsir Al Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993)

Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Terjemahan, Pdf

Usamah abdul karim, Tafsirul wajiz, (Jakarta: Mussasah Darul Faiqoh, 2008 )

Departemen Agam RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro, 2010)



[1] Muhammad Nasib AR Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,( Jakarta: Gema Insani Press,2006), hlm. 751
[2] Al-maraghi, Musthafa Ahmad. Terjemah Tafsir Al-maraghi 28, CV Toha Putra, 1986 hal 272
[3] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Terjemahan, Pdf
[4] M Quraish Shihab, Tafsir al misbah, (Jakarta: Lentera hati, 2002), hal 149.
[5] Usamah abdul karim, Tafsirul wajiz, (Jakarta: Mussasah Darul Faiqoh, 2008 ), hal 377.
[6] Mustafa Al- Maraghi,  Terjemah Tafsir Al Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm 205.
[7] Mustafa Al- Maraghi,  Terjemah Tafsir Al Maraghi,  …. hlm 208
[8] Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang; PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 83
[9] Mahmud Syaltut, Tafsir Al-qur’anul Karim(Bandung;  CV. Diponegoro, 1990), h. 185