Monday, December 24, 2018

Makalah Sistem Keuangan dalam Perspektif Ekonomi Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Uang merupakan inovasi besar dalam peradaban perekonomian dunia. Posisi uang sangat strategis dalam satu sistem ekonomi, dan sulit digantikan dengan variabel lainnya. Bisa dikatakan uang merupakan bagian yang terintegrasi dalam satu sistem ekonomi. Sepanjang sejarah keberadaannya, uang memainkan peran penting dalam perjalanan kehidupan modern. Uang berhasil memudahkan dan mempersingkat waktu transaksi pertukaran barang dengan uang.
Ketika jumlah manusia semakin bertambah, maka peradabannya pun semakain maju sehingga kegiatan dan transaksi antar sesama manusia semakin beragam. Maka dari itu, diperlukan alat tukar yang dapat diterima semua pihak untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Alat tukar ini lah yang disebut dengan uang.
Uang merupakan inovasi besar dalam peradaban perekonomian dunia. Posisi uang sangat strategis dalam satu sistem ekonomi, dan sulit digantikan dengan variabel lainnya. Bisa dikatakan uang merupakan bagian yang terintegrasi dalam satu sistem ekonomi. Sepanjang sejarah keberadaannya, uang memainkan peranan penting dalam perjalanan kehidupan modern. Uan gberhasil memudahkan dan mempersingkat waktu transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang dalam sistem ekonomi memungkinkan perdagangan berjalan secara efisien.
Ketika jumlah manusia semakin bertambah, maka peradabannya pun akan semakin maju sehingga kegiatan dan interaksi antarsesama manusia pun akan meningkat. Jumlah dan jenis kebutuhan manusia juga akan semakin beragam. Maka dari itu, diperlukan alat tukar yang dapat diterima semua pihak untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Alat tukar inilah yang disebut dengan uang.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana konsep uang dalam Islam?
2.      Bagaimana ekonomi makro dan perubahan dan fungsi uang?
3.      Bagaimana konsep time of money vs economic value of time?
4.      Bagaimana teori permintaan dan penawaran dalam Islam?
  
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui konsep uang dalam Islam
2.      Untuk mengetahui ekonomi makro dan perubahan dan fungsi uang
3.      Untuk mengetahui konsep time of money vs economic value of time
4.      Untuk mengetahui teori permintaan dan penawaran dalam Islam
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Konsep Uang dalam Islam
Konsep uang dalam ekonomi islam sangatlah berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi islam, konsep uang itu sangatlah jelas  dan tegas bawa uang itu adalah uang, uang bukan capital. Berikutnya, dengan konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi islam tidak jelas. Istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan secara bolak balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.[1]
Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam ekonomi islam, uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan capital adalah sesuatu yang bersifat stock concept, sedangkan dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian. Frederic S. Mishkim, mengungkapkan konsep Irving Fisher  menyatakan bahwa:
MV = PT
Keterangan:
M = jumlah uang                      P = tingkat harta barang
V = tingkat perputaran uang    T = jumlah barang yang diperdagangkan
Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa semakin cepat perputaran uang (V), maka semakin besar income yang diperoleh. Persamaan ini juga berarti bahwa uang adalah flow concept. Fisher juga mengatakan bahwa tidak ada sama sekali korelasi antara kebutuhan memegang uang (demand for holding money) dengan tingkat suku bunga. Konsep fisher ini hampir sama dengan konsep yang ada dalam ekonomi islam, bahwa uang adalah flow concept, bukan stock concept.
Pendapat lain yang diungkapkan oleh Mishkin adalah konsep dari marshall pigou dari Cambridge, yaitu:
M = KPT
Keterangan:
M = jumlah uang                      P = tingkat harga barang
K = 1/v                                     T = jumlah barang yang diperdagangkan
Walaupun secara matematis k dapat dipindahkan kekiri atau kekanan, secara filosofis kedua konsep ini berbeda. dengan adanya k pada pemasaran Marshall pigou diatas menyatakan bawa demand for holding money adalah ssuatu proporsi (k) dari jumlah pendapatan (PT).  semakin besar daman for holding money (M) , untuk tingkat pendapatan tertentu (PT).   Konsep ini berarti Marshall pigou mengatakan bahwa uang adalah salah satu cara untuk menyimpan kekayaan (store of wealth).[2]
Dari urain diatas, jelas kita tidak boleh gegabah untuk mengatakan bahwa perbedaan islam dan konvensional adalah islam memandang uang sebagai flow concept, dan konvensional memandang uang sebagai stock concept.  Uang yang ketika mengalir adalah public goods (flow concept), ketika mengendap kepemilikan seseorang (stock concept), uang tersebut menjadi milik pribadi (private good).
Adapun perbedaan antara konsep uang dalam Islam dengan konvensional:
KONSEP ISLAM
KONSEP KONVENSIONAL
1.      Uang tidak identik dengan modal
2.      Uang adalah public goods
3.      Modal adalah private goods
4.      Uang adalah flow koncept
5.      Modal adalah stock concept
1.       Uang sering kali diidentikkan dengan modal
2.      Uang (modal) adalah private goods
3.      Uang (modal) adalah flow concept bigi fisher
4.      Uang (modal) adalah stock concept bagi cambridge school




B.     Ekonomi makro dengan uang
Menurut Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.
1.      Uang sebagai ukuran harga
Abu Ubaid (w. 224 H) menyatakan bahwa dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatau, sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga keduanya. Imam Ghazali (w. 505 H) menegaskan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penekah diantara seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Ibn al-Qayyim (w. 752 H) mengungkapkan bahwa dinar dan dirham adalah nilai harga barang komoditas. Nilai harga adalah ukuran yang dikenal untuk mengukur harta maka wajib bersifat spesifik dan akurat, tidak meninggi (naik) dan tidak menurun. Karena kalau unit nilai harga bisa naik dan turun seperti komoditas sendiri, tentunya kita tidak bisa lagi mempunyai unit ukuran yang bisa dikukuhkan untuk mengukur nilai komoditas.
2.      Uang Sebagai Media Transaksi
Uang yang menjadi media transaksi yang sah dan yang harus diterima oleh siapapun bila ditetapkan oleh negara maka, perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti cek. Yang berlaku juga sebagai cek alat pembayaran karena penjual dan pembeli sepakat menerima cek sebagai alat bayar. Begitu pula dengan kartu debet, kartu kredit dan alat bayar lainnya, pihak yang dibayar dapat saja monolak penggunaan cek atau kartu kredit sebagai alat bayar, sedangkan uang berlaku sebagai alat pembayaran karena negara mesahkannya.[3]
3.      Uang Media Penyimpan Nilai
Kemudian diperlukan jenis harta yang bertahan lama karena kebutuhan yang terus-menerus. Jenis harta yang bertahan lama adalahbarang tambang. Maka dibuatlah uang dari emas, perak, dan logam. Ibn Khaldun juga mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan. Kemudian Allah ta’ala menciptakan dua dari barang tambang, emas, dan perak, sebagai nilai untuk setiap harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang didunia kebanyakannya.

C.     Perubahan Fungsi Uang
1.      Uang Barang (Commodity Money)
Uang barang adalah alat tukar yang memiliki nilai komoditas atau bisa diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan sebagai uang. Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga kondisi utama agar suatu barang bisa dijadikan uang. Tiga hal tersebut yaitu:
a)      Kelangkaan (scarcity) yaitu persediaan barang tersebut harus terbatas.
b)      Daya tahan (durability), yaitu barang tersebut harus tahan lama.
c)      Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam melakukan transaksi.
Plihan terhadap barang-barang yang bisa digunakan sebagai uang yaitu logam mulia seperti emas dan perak. Emas dan perak memiliki nilai yang tinggi, kelangkaan, dan dapat diterima di masyarakat umum sebagai alat tukar. Selain itu, emas dan perak juga dapat dibagi menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa mengurangi nilainya, dan juga tidak mudah susut dan rusak.[4]
2.      Uang Tanda/Kertas (Token Money)
Ada beberapa pihak yang melihat kesempatan untuk meraih keuntungan  dari kepemilikan atas uang logam mulia, dimana pandai emas (goldsmith) dan bankir melihat bukti peminjaman, penyimpanan atau penitipan emas dan perak yang akan menghasilkan keuntungan. Apabila harga emas batangan naik, maka logam mereka akan melebur koin tersebut menjadi bentuk batangan atau apabila harga di luar negeri lebih mahal daripada di dalam negeri maka mereka akan menjual ke luar sehingga akan memperoleh keuntungan.
Dari hal tersebut, pandai emas dan para bankir mengeluarkan surat (uang kertas) dengan nilai yang besar dari emas dan perak yang dimilikinya., karena kertas ini didukung oleh kepemilikan atas emas dan perak, masyarakat umum menerima uang kertas ini sebagai alat tukar. Jadi, dengan diterimanya uang kertas dalam masyarakat secara luas dan umum maka uang kertas menjadi alat tukar yang sah.
Kegiatan ini berlanjut sampai uang kertas menjadi alattukar yang dominan dan menjadi alat tukar yang utama dalam sistem perekonomian. Beberapa keuntungan dari penggunaan uang kertas yaitu biaya pembuatannya yang rendah, pengirimannya mudah, penambahan dan pengurangan lebih mudah dan cepat, serta dapat dipecahkan dalam jumlah berapapun. Diantara kelebihan yang dimilikinya, uang kertas juga memiliki kekurangan yaitu tidak bisa dibawa dalam jumlah yang besar dan uangnya lebih cepat rusak karena terbuat dari kertas.
3.      Uang Giral (Deposit Money)
Uang giral adalah uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang giral merupakan simpanan nasabah di bank yang dapat diambil setiap saat dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain untuk mrlakukan pembayaran, maksudnya cek dan giro yang dikeluarkan oleh bank manapun bisa digunakan sebagai alat pembayaran barang, jasa dan utang. Adapun kelebihan dari uang giral yaitu :
a)      Kalau hilang dapat dilacak kembali sehingga tidak bisa diuangkan oleh yang tidak berhak.
b)      Dapat dipindahtangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah.
c)      Tidak diperlukan uang kembali sebab cek dapat ditulis sesuai dengan nilai transaksi.
Dibalik kelebihan yang dimiliki, tersimpan bahaya besar dalam uang giral. Kemudahan perbankan dalam menciptakan uang giral akan membuka peluang terjadinya uang beredar yang lebih besar daripada transaksi riilnya.[5]

D.    Time Value Of Money Vs Economic  Value Of Time
Time value of money atau dalam bahasa indonesianya disebut dengan nilai waktu uang yaitu merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa nilai uang sekarang akan lebih berharga dari pada nilai uang masa yang akan datang atau suatu konsep yang mengacu pada perbedaan nilai uang yang disebabkan karena perbedaan waktu. Atau Time value of money adalah konsep yang menyatakan bahwa nilai uang sekarang akan lebih tinggi nilainya mengikuti faktor waktu dan bunga yang terjadi. Dan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai waktu uang yaitu tingkat inflasi yang terjadi, perubahan suku bunga bank, kebijakan pemerintah dalam hal pajak, dan lain-lain.
Menurut Willian R. Lasher mengemukakan bahwa time value of money didasarkan pada gagasan bahwa sejumlah uang di tangan seseorang saat ini bernilai lebih dari jumlah yang sama dijanjikan pada beberapa waktu di masa depan.
Time value of money didasarkan pada konsep nilai uang yang dimiliki saat ini adalah lebih berharga dibandingkan dengan nilai uang yang akan diterima satu dolar dimasa yang akan datang. Uang yang dipegang saat ini bernilai lebih karena dapat berinvestasi dan mendapatkan bunga atau nilai uang yang berubah (cenderung menurun) dengan berjalannya waktu. Sejumlah uang yang diterima oleh investor untuk penggunaannya diluar modal awal itu dinamakan bunga (interest), sedangkan modal awal yang diinvestasikan sering disebut dengan participal. Konsep ini dikembangkan oleh Von Bhom Bawerk dalam capital interest dan positive theory of capital memang menyebutkan bahwa positive time preference merupakan pola ekonomi yang normal, sistematis dan rasional. Diskonto dalam positive time preference ini biasanya didasarkan pada tingkat suku bunga.
Konsep utama dari Time Value of Money yaitu bahwa nilai uang permintaan pembayaran di masa depan dapat dikonversi kedalam nilai yang setara pada hari ini. Sebaliknya Anda dapat menentukan nilai uang yang akan tumbuh dimasa yang akan datang. Dapat dihitung nilai kelima jika diberi empat dari: Suku bunga, jumlah periode, pembayaran, present value, dan future value.
1.      Bunga
Bunga adalah biaya untuk meminjam uang,biasanya dinyatakan sebagai presentase dari jumlah pinjaman selama jangka waktu tertentu. Bunga dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:
a)      Bunga flat yaitu Bunga dihitung sama pada satu periode waktu
b)      Bunga compound yaitu Bunga dihitung setiap periode pada jumlah pinjaman yang asli ditambah semua bunga yang belum dibayar terakumulasi hingga saat ini
2.      Jumlah Periode
Periode rata-rata interval waktu,setiap interval harus sesuai dengan priode percikan untuk satu atau jumlah periode pembayaran dalam satu anuitas.
3.      Pembayaran
Merupakan aliran keluar masuk kas yang terdiri dari pendebetan atau pengkreditan
4.      Future Value
Present value adalah nilai uang dimasa yang akan datang dari uang yang diterima atau dibayarkan pada masa sekarang dengan memperhitungkan tingkat bunga pada setiap periode selama jangka waktu tertentu.
5.      Present Value (nilai sekarang)
Present value adalah nilai uang sekarang yang akan diperoleh atau dibayar dimasa yang akan datang dengan tingkat suku bunga tertentu pada setiap periode.

E.     Teori Permintaan Dan Penawaran Uang Dalam Ekonomi Islam
1.      Permintaan Uang dalam Islam
Permintaan akan uang dalam suatu sistem perekonomian yang islami akan dipengaruhi oleh motif seorang muslim dalam memegang uang. Menurut Metwally ada dua motif utama seorang muslim dalam memegang uang, yaitu: (1) Motivasi transaksi, (2) Motivasi berjaga-jaga. Dengan 2 motif ini jelas, bahwa permintaan uang untuk tujuan spekulasi sebagaimana yang dikemukakan Keynes, tidak akan ada dalam suatu sistem perekonomian yang Islami. Permintaan uang dalam ekonomi islam menurut Metwally juga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan.[6]
Besarnya persediaan uang tunai akan berhubungan dengan tingkat pendapatan, dan frekuensi pengeluaran. Mazhab Iqtishaduna, permintaan uang hanya ditujukan untuk dua tujuan pokok, yaitu transaksi dan berjaga-jaga atau untuk investasi. Secara matematik formula permintaan uang dapat dituliskan sebagai berikut:
Md = Mdtrans + Md prec
Permintaan uang untuk transaksi merupakan fungsi dari tingkat pendapatan yang dimiliki oleh seseorang. Dimana semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka permintaan uang untuk memfasilitasi transaksi barang dan jasa juga akan meningkat. Fungsi permintaan uang untuk motif berjaga-jaga (meliputi juga permintaan uang untuk investasi dan tabungan) ditentukan oleh besar kecilnya harga barang tangguh untuk pembelian barang tidak tunai. Pada masa Rasulullah, permintaan uang hanya ada dua yaitu untuk transaksi dan berjaga-jaga. Md = Mdtr + Mdpr apabila Mdpr maka Mdtr
Mazhab Mainstrem, landasan filosofis dari teori dasar permintaan uang ini adalah islam mengarahkan sumber-sumber daya untuk dialokasikan secara maksimum dan efisien. Pelarangan hoarding money atau penimbunan kekayaan merupakan “kejahatan” penggunaan uang yang harus diperangi. Pengenaan pajak terhadap aset produktif yang menganggur merupakan strategi utama yang digunakan oleh mazhab ini. Dues of idle cash atau pajak atas aset produktif yang menganggur bertujuan untuk mengalokasikan setiap sumber dana yang ada pada kegiatan usaha produktif. Pengenaan kebijakan ini akan berdampak pada pola permintaan uang untuk motif berjaga-jaga. Semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap aset produktif yang anggurkan maka permintaan terhadap aset ini akan berkurang. Secara sederhana dapat dianalogikan sebagai berikut, Ahmad yang memiliki kekayaan berupa tanah dan kemudian tanah tersebut hanya dianggurkan saja sehingga tidak ada nilai tambah kekayaannya, maka kebijakan yang dikenakan terhadap Ahmad agar tanah tersebut memiliki nilai tambah adalah mendorong Ahmad mendorong Ahmad untuk bersedia mengelola kekayaannya pada kegitan yang produktif. Instrumen yang digunakan adalah pajak terhadap pengangguran tanah tersebut. Sehingga Ahmad akan terkena risiko pembayaran pajak apabila tanah miliknya tetap dianggurkan.
Md = Mdtrans +Md prec
Mdtrans = f(Y)
Mdprec&inv= f(Y,µ)
Secara matematis, permintaan uang untuk mazhab ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Tingkat dues if idle fund diwakili oleh nilai µ, semakin tinggi nilai µ, maka semakin kecil permintaan uang untuk motif berjaga-jaga karena pada tingkat µ yang tinggi biaya risiko yang harus dikeluarkan untuk membayar pajak terhadap uang kas tersebut menjadi naik.dalam kondisi seperti ini seseorang akan berusaha memperkecil pajak yang dia bayarkan kepada pemerintah dengan cara mengurangi kekayaan yang idle. Begitu juga sebaliknya apabila nilai µ relatif rendah, maka memegang atau menyimpan uang kas relatif tidak memiliki risiko yang tinggi.[7]
Mazhab Alternatif, permintaan uang dalam mazhab ketiga ini, sangat erat kaitannya dengan konsep endogenous uang dalam Islam. Teori endogenous dalam islam secara sederhana dapat diartkian bahwa keberadaan uang pada hakikatnya adalah repsentasi dari volume transaksi yang ada dalam sektor riil. Teori inilah yang kemudian menjembatani dan tidak mendikotomikan antara pertumbuhan uang di sektor moneter dan pertumbuhan nilai tambah uang di sektor riil. Islam menganggap bahwa perubahan nilai tambah ekonomi tidak dapat didasarkan semata- mata pada perubahan waktu. Nilai tambah uang terjadi jika dan hanya jika ada pemanfaatan secara ekonomis selama uang tersebut dipergunakan. Sehinnga tidak selalu nilai uang harus bertambah walau waktu terus bertambah, akan tetapi niali tambahnya akan tergantung dari hasil yang diusahakan dengan uang itu. Secara makroekonomi, nilai tambah uang dan jumlahnya hanyalah repsentasi dari perubahan dan pertambahan di sektor riil.
2.      Penawaran Uang dalam Islam
Mazhab Iqtishaduna, pandangan utama dari mazhab ini adalah jumlah uang yang beredar bersifat elastis sempurna, di mana pemerintah sebagai pemegang otoritas moneter tidak mampu untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Penawaran uang (Ms) ditentukan oleh perdagangan ekspor impor barang. Banyak sedikitnya Ms yang beredar tidak akan berdampak dan berpengaruh terhadap rasio harga tangguh  terhadap harga tunai (Pt/P0), karena dengan perdagangan yang bebas dan tidak adanya bea cukai dari perdagangan tersebut menyebabkan pengontrolan keluar masuk uang akan selalu diseimbangkan nilainya dengan nilai ekonomi barang yang diperdagangkan. Elastis sempurna Ms ini juga didukung oleh kesamaan dari nilai uang dengan nilai intrinsiknya serta tidak adanya suatu institusi tertentu yang melakukan pencetakan uang dan mengontrolnya.[8]
Mazhab Mainstream, menurut mazhab ini penawaran uang dalam Islam sepenuhnya dikontrol oleh negara sebagai pemegang monopoli dari penerbitan uang yang sah (legal tender). Keberadaan bank sentral adalah untuk menerbitkan mata uang dan menjaga nilai tukarnya agar dapat berada pada tingkat harga yang stabil. Oleh karena itu, penawaran uang diasumsikan secara penuh dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral. Mazhab Alternatif, menurut mazhab ini jumlah uang beredar lebih ditentukan oleh actual spending demand dalam kebutuhannya untuk transaksi di pasar barang dan jasa (uang merupakan variabel yang endogen). Asumsi yang digunakan dalam konsep ini yaitu: (1) telah terjadinya globalisasi perekonomian menyebabkan bank sentral tidak lagi mampu melakukan pengontrolan secara penuh terhadap jumlah uang beredar. (2) perekonomian mengarah ke tahap Islamisasi sistem keungannya, sistem ummah yang sudah mulai diberlakuakan dalam sistem perekonomian yang diantut. Sistem ummah yang dimaksud adalah tidak adanya suku bunga dan penggunaan expected rate of profit dalam sistem pembiayaan serta mengarahkan kepada maksimalisasi sumber dana kepada usaha-usaha yang bersifat produktif.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pembahasan yang dijabarkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar menukar/perdagangan. Disetujui adalah terdapat kata sepakat di antara anggota-anggota masyarakat untuk menggunakan satu atau beberapa benda sebagai alat perantara dalam kegiatan tukar menukar.
Perbedaan konsep uang dalam ekonomi Islam dan konvensional terdapat pada uang yang tidak identik dengan modal, uang adalah public goods, modal adalah private goods, uang adalah flow concept, dan modal adalah stock concept dalam konsep uang secara Islam. Sedangkan konsep uang dalam konvensional yaitu uang seringkali diidentikkan dengan modal, uang (modal) adalah private goods, Uang (modal) adalah flow concept bagi Fisher, dan Uang (modal) adalah stock concept bagi Cambridge School.
Kemudian dalam perubahan fungsi uang terbagi menjadi tiga yaitu commodity money atau uang barang, token money atau uang kertas serta deposit money atau uang giral.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai sistem keuangan dan kebijakan moneter dalam perspektif ekonomi Islam. Semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.  


[1] Adiwarman  A. Karim, Ekonomi  Makro Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 77
[2] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Ekonomi Islam: Pengenalan Eksklusif (Jakarta: Kencana, 2010), hlm .240
[3] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Ekonomi Islam: Pengenalan Eksklusif  … hlm .242
[4] Adiwarman  A. Karim, Ekonomi  Makro Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 78
[5] Adiwarman  A. Karim, Ekonomi  Makro Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 79
[6] 8 Naf’an, Ekonomi Makro; Tinjauan Ekonomi Syariah,  (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2014), hlm. 57
[7] Rozalinda, Ekonomi Islam (Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi), (PT Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2014), hlm. 279
[8] Rozalinda, Ekonomi Islam (Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi), (PT Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2014), hlm. 281

Thursday, December 20, 2018

Makalah ushul Fiqih Materi Tentang Mazhab


BAB I
PENDAHUUAN
A.     Latar Belakang
Islam pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As Sunnah dan kepada perkataan sahabat.
Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum Islam). Sehingga seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab. Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaanm adzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan faktor adaptasi perkembangan jaman.
Dalam makalah ini akan membahas tentang apa yang dimaksud madzhab, sebab munculnya madzhab, macam-macam madzhab, taqlid dan ittiba’.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan mazhab?
2.      Apa sebab munculnya mazhab?
3.      Apa dasar-hukum mazhab?
4.      Apa saja macam-macam mazhab?
5.      Apa yang dimaksud dengan taqlid dan ittiba’?

C.     TUjuan
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan mazhab
2.      Untuk mengetahui sebab munculnya mazhab
3.      Untuk mengetahui dasar-hukum mazhab
4.      Untuk mengetahui saja macam-macam mazhab
5.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan taqlid dan ittiba’





BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Madzhab
Secara Bahasa, dalam kamus Al–Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam[1], dijelaskan bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
1.      Kata “madzhab” berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu, dzhaban, madzhaban yang memiliki arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
2.      Madzhab adalah aliran pemikiran atau pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum islam.
Secara bahasa pula dalam wacana modern “madzhab” diartikan sebagai “pendapat” (view, opinion) “kepercayaan” “ideologi” “doktrin” “ajaran” “paham” dan “aliran – aliran hukum”.
Adapun arti “madzhab” menurut istilah para ulama ahli fiqh (fuqaha), sebagai berikut:
1.      Wahbah Az – Zuhaili, memberi batasan “madzhab” sebagai segala hukum yang mengandung berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantarkan pada kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.
2.      Muslim Ibrahim, memberikan definisi “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam islam yang digali dari ayat Al – Qur’an atau Al – Hadits yang dapat diijtihadkan
Madzhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. [2]
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
Berdasarkan uraian di atas, “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pemikiran atau prespektif di bidang fiqh yang dalam proses perjalanannya menjadi sebuah komunitas dalam masyarakat islam di berbagai aspek agama.

B.     Sebab Munculnya Madzhab
Penyebab munculnya madzhab yaitu :
1.      Telah meninggalnya Rasulullah SAW dan banyak perbedaan argumentasi mengenai penyelesaian masalah-masalah baru.
2.      Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di Semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dan lain-lain.
3.      Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
4.      Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi (hakim) dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap permasalahan dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Akhirnya, pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab, yang memiliki daerah wilayah daulah islam yang bertambah luas, hal itu menyebabkan tersebarnya para sahabat dan tabi’in ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti. Dan, mulai terbentuklah madrasah.


C.     Dasar Hukum Mazhab
Dalam menetapkan fatwa-fatwa Sahabat sebagai hujjah, jumhur ulama mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut :
1.      Firman Allah SWT. Yang berbunyi :
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ  
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah, 9:100)
2.      Sabda Rasulullah saw. yang berbunyi :
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) sahabatku, sedangkan sahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh Allah SWT telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti para sahabat. Maka dapat disimpulan bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena itulah fatwa-fatwa mereka dapat juga dijadikan hujjah.
Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Rasulullah saw.), kepercayaan umat kepada sahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bahan rujukan karena keimanan sahabat kepada Rasulullah saw. berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Rasulullah saw.
Sedangkan argumentsi yang bersifat akal atau rasional (dalil aqli) ialah :
1.      Para Sahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah saw. dibanding orang lain, maka tentunya mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, karena mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah saw., serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.
2.      Pendapat-pendapat yang dikeluarkan para Sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Rasulullah saw. dengan alasan mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. Dengan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau penalaran yang rasional, maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash (hadits).
3.      Jika pendapat para Sahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang hidup sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda dengan pendapat Sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para Sahabat karena Rasulullah saw. bersabda :
“Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.

D.    Macam-macam Madzhab
1.      Imam Hanafi
Imam Hanafi adalah seorang imam yang agung, yang memiliki nama lengkap Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit Bin Zuutha At-Taimiy Al-Kufiy. Beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80H/699M dan beliau wafat di Baghdad pada tahun 150H/767M.[3] Beliau di gelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak kecil. Gelar ini merupakan berkah do’a dari doa Ali bin Abi Thalib yang mendoakan bahwa kelak keturunan Tsabit akan menjadi orang yang utama di zamanya. Terbukti dengan lahirnya Imam Hanafi. Beliau memperdalam ilmunya dalam belajar Al-Qur’an, aktif mempelajari ilmu fiqh, dan mempelajari hadits. Imam Hanafi dikenal sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik akan jabatan rezmi kenegaraan. Imam Hanafi meinggal saat umur 70 tahun yang bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i. Dan dimakamkan dipemakaman Khirza. Didirikanlah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
2.      Imam Malik
Imam Malik mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amar ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Ashabi al-Madani. Lahir pada 93H. Sebagai tokoh madzhab Maliki. Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Imam Malik sudah hafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, beliau juga menyusun beberapa kitab, kitab yang terkenal adalah kitab Al-Muwatha. Imam Malik mempelajari fiqih, teori-teori kajian hukum dan mempelajari hadis-hadis Nabi. Salah satu dalil hukum yang sering digunakan oleh Imam Malik adalah ijma ulama Madinah. Imam Malik lebih mengutamakan ajma dan amal Madinah daripada qiyah, khabar ahad, dan qaul sahabat.[4]
3.      Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’i gelar beliau abu abdillah. Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam Syafi’i adalah orang yang cakap rupa parasnya. Dalam riwayat hidupnya Imam Syafi’i adalah ulama besar yang mampu mendalami serta menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan Abu Hanifah, beliau sangat hati-hati dalam berfatwa. Pada masa sekarang ini,  madzhab Asy-Syafi’i berkembang di Palestina, Yodania, Libanon, Syiria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, Persia, dan Yaman yang sunni. Sekitar 100 juta umat Islam menganut madzhab Asy-Syafi’i.
4.      Imam Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin Usd bin Idris bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Lahir pada 164 H. Beliau adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan, berwawasan luas, sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Beliau menguasai seluruh ilmu. Dalam pesantrennya, setiap selesai sholat ashar, beliau membiasakan memberi fatwa dan bersama para peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian Al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau wafat pada 241 H.

E.     Taqlid dan Ittiba’
1.      Taqlid
a.      Pengertian Taqlid
Taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.
Menurut istilah agama, taqlid yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.[5]
Menurut imam Al ghazali dalam al mustashfa menerangkan bahwa:
التقليد قبول قول بغير حجة وليس طريقا للعلم لافي الاصول ولافي الفروع
Artnya: taqlid adalah menerima perkataan tampa hujjah dan tiadalah taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik urusan ushul maupun dalam usrusan furu’.
Dan juga menurut abu syam, guru annawawi seorang ulama’ terkenal dengan madzhab syafi’i dalam kitab al muammal dikatakan:
والتقليد لغير الرسول صلى الله عليه وسلم حرام
Artinya: bertaqlid kepada selain rasulallah r, haram (diharamkan).
Mengenai berbagai pertanyaan yang terjadi dikalangan umat muslim mengenai bagaimana kalau yang diambil atau yang diterima itu adalah perbuatan, bukan ucapan atau pendapat, maka Al- Mahalli yang mensyarah kitab jam’ul al-jawami’ menjelaskan bahwa menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk perbuatan atau pengalaman tidak dikatakan taqlid. Dan juga menegenai suatu hal dalam penerimaannya ada hujjahnya atau mengetahui dalilnya maka cara tersebut tidak dikatakan taqlid dengan alasan merupakan karya ijtihad yang kebetulan hasilnya bersamaan dengan yang di ikutinya.
Ibnu al-Hummam (dari kalangan ulama’ hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran yaitu beramal dengan pedapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujjah dan tampa mengetahui hujjahnya. Sehubungan dengan definisi ini maka menerima pendapat nabi yang bernilai hujjah dengan sendirinya begitu juga menerima pendapat yang lahir deri kesepakatan dalam ijma’ tidak disebut taqlid meskipun dalam penerimaannya tampa mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat pendapat mujtahid secara perorangan adalah bukan hujjah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid tampa menegetahi dalilnya disebut taqlid.[6]
b.      Macam-macam taqlid serta hukumnya.
Mengenai hukum taqlid itu mutlak batal bahkan menurut Ibnu Haz terlarangnya taqlid itu sudah ijma’ ulama’. Mereka bersandaran ayat alqur’an surat Al-isyra’ ayat 36.
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
 Namun meski begitu dalam pengaplikasikannya terbagi kepada tiga macam, yaitu taqlid yang di perbolehkan dengan syarat, taqlid yang dilarang atau haram dan taqlid yang diwajibkan, yaitu sebagai berikut:
a)      Taqlid yang diperbolehkan atau mubah.
Taqlid yang diperbolehkan atau mubah yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat atau hanya terbatas pada masalah furu’iyah, sedangkan dalam masalah usuluddin kebanyakan uamak berpendapat tidak boleh bertaqlid hal ini dikuatkan oleh Al-razi dengan dalilnya surat muhammad ayat sebagai berikut:
Artinya: “Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan / Tuhan) selain Allah....”
Ayat ini menerangkan bahwa wajib mengetahui Allah. Dalam artian mengetahui kepada keyakinan dan itu hanya dapat diketahui dengan ilmu oleh sebab itu maka menurut Al-razi harus mengetahui dalilnya
Meskipun taqlid jenis ini diperbolehkan namun hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b)      Taqlid yang dilarang atau haram.
Taqlid yang dilarang atau haram yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :
1)      Taqlid buta (tidak mau memperdulikan ayat tuhan lantaran orang tua.
Taqlid buta yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
Artinya : dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk".                               
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.[7]
2)      Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti.
3)      Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat, garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
c)      Taqlid yang diwajibkan.
Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada RasulNya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba` kepadanya.
Dalil untuk bertanya kepada ahli ilmu adalah dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang artinya “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama’) jika kamu tidak mengetahui”.
2.      Ittiba’
a.       Pengetian Ittiba.
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad r dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[8]
Imam Ahmad dalam mendifinisikan ittiba’ berkata:
الاتباع ان يتبع الرجل ماجاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه ثم من ھو من التابعين بخير
Artinya: ittiba’ itu ialah kita mengikuti pendapat yang datang dari rosul r, dari para sahabat, kemudian yang datang dari tabiin yang diberikan kebajikan.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.
b.      Dasar Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum dari padanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak di dapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba’, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang di ikuti.
Ittiba dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah I surahAn-Nahl ayat 43 yang berbunyi:
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”.
Dalam ayat diatas terdapat kalimat “bertanyalah”, yaitu menunjukkan wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Rasulullah r juga bersabda yang artinya, “Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR Abu Daud).[9]
Kata ittiba’ ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid, karena al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada ucapan Ibrahim kepada ayahnya  dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi:
Artinya: “ Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri
Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang saleh yang terkenal denga nama Khidhr. Tentang kisah Musa ini Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Musa telah memohon kepada Khidhr u agar di izinkan untuk mengikutinya dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini menunjukkan bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan bukanlah hal yang tercela.
Berdasarkan firman-firman Allah U yang terdapat dalam al-Quran ini dan juga ada hadis dari Nabi r, maka jelaslah bahwa ittiba ini dianjurkan atau tidak dilarang.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Secara Bahasa, dalam kamus Al–Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam, dijelaskan bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
1.      Kata “madzhab” berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu, dzhaban, madzhaban yang memiliki arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
2.      Madzhab adalah aliran pemikiran atau pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum islam.
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
Taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad r dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.

B.     Saran
Demikian pembahasan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah  selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran,  (Penerbit : Erlangga, Jakarta, 1991), 

Abdullah Haidir, Mazhab fiqh, (King Fahd National Cataloging-In-Publication Data: 2004)

Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya: 2015)

Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),

Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997)


[1] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran,  (Penerbit : Erlangga, Jakarta, 1991),  hal 47
[2] Abdullah Haidir, Mazhab fiqh, (King Fahd National Cataloging-In-Publication Data: 2004) Hlm. 11
[3] Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya: 2015) Hlm. 130
[4] Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah,  … Hlm. 131
[5] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),  hlm. 61.
[6] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, … hlm. 62
[7] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, … hlm. 63
[8] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm., 164.
[9] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam,  … hlm., 165