Sunday, April 29, 2018

MAKALAH KAEDAH-KAEDAH FIKIH YANG KHUSUS DI BIDANG FIKIH QADHA (PERADILAN DAN HUKUM ACARA)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kaidah-kaidah fikih yang khusus di bidang fikih qadha sejak dahulu sampai saat ini hampir tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan kaidah-kaidah ini dalam kajian ilmu syariah (fiqh). Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan dibawah kaidah fiqh yang bersifat khusus di bidang ini dan memberikan peluang bagi ummat yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dipahami. Kaidah-kaidah fiqh di bidang ini adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak yang dari akademisi yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali  apa itu kaidah-kaidah fiqh yang khusu di bidang fiqh qadha.
 Oleh karena itu, kami ingin menerangkan tentang pengertia fiqh qadha dan kaidah-kaidah apa saja yang termasuk dalam bidang fiqh qadha ini. Kaidah-kaidah fiqh qadha  merupakan alat untuk memutuskan perkara-perkara yang belum terdapat nashnya baik dalam Al-qur’an maupun hadits, termasuk pada ibarat nash yang masih umum atau lafadh ammiyah. Kaidah-kaidah fiqh di bidang ini masih wasilah, jembatan penghubung antara dalil-dalil dan hukum.
Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan di zaman modern ini, maka dari itu hendaklah kita memahami secara baik tentang kaidah-kaidah ini, karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum islam..
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari fikih qadha ?
2.      Apa saja kaidah-kaidah yg khusus di bidang fikih qadha?
3.      Bagaimana contoh penerapan kaidah-kaidah ini?
1

 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Fikih Qadha
Di dalam fiqih, istilah qadha dipakai pada dua tempat yaitu dalam arti lembaga peradilan dan qadha dalam arti pelaksanan kewajiban, khususnya ibadah.Qadha dalam pengertian yang pertama secara bahasa mempunyai arti: menyelesaikan, menunaikan, dan memutusakan hukum atau membuat suatu ketetapan. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh, qadha bearti Lembaga Hukumdan perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umumatau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut Sallam Madkur qadha disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil[1].
Karena adanya berbagai pengertian dari kata qadha itu, maka ia bisa digunakan dalam arti memutuskan perselisishan oleh hakim. Orang yang melakukanya disebut qadhi. Menurut para ahli fiqh, terminologi syariat dari kata qadha adalah memutuskan perselisihan dan memnghindarkan perbedaan serta konflik-konflik.[2]
Dengan definisi tersebut diatas dapat dikatakan bahwa tugas qadha (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menetapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
Menurut Hukum islam, ada enam unsur peradilan menurut hukum islam, yaitu hakim (qadhi), hukum, mahkum bihi, mahkum ‘alaihi, mahkum lahu dan sumber hukum (putusan). Hakim (qadhi) adalah orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan. 
2

 

dengan sendiri. Nabi sendiri juga pernah mengutus beberapa penggantinya untuk menjadi hakim. Hukum ialah putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Adakalanya hal ini dilakukan dengan suatu perkataan dan adakalanya dengan pebuatan, misalnya pembagian secara paksa dan menolak gugatan.[3]
Mahkum bihi adalah sesuatu yang diharuskan oleh qadhi untuk dipenuhi oleh suatu hak. Hak itu adakalanya dipandang sebagai hak murni bagi Allah atau bagi hamba dan adakalanya hak yang dipersekutukan antara keduanya tapi salah satu lebih berat. Diharusakan hak yang merupakan mahkum bihi dikeal oleh kedua belah pihak.[4]
Unsur berikutnya adalah mahkum ‘alaihi atau si terhukum, yaitu orang yang dijatuhi hukuman atasnya. Mahkum ‘alaihi dalam hukum syara’ adalah orang yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya, baik dia orang yang tergugat (tertuduh dalam perkara pidana) atau bukan. Mahkum’alaihi ini boleh satu orang atau lebih.
Selanjutnya adalah mahkum lahu (si pemenang perkara), yaitu orang yang menggugat suatu hak atau menuduhkan sesuatu dalam perkara pidana. Hak itu bisa hak murni baginya, ataupun sesuatu yang terdapat padanya, tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini haruslah dia mengajukan gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri ataupun dengan perantara wakilnya (kuasa hukumnya). Dalam persidangan, boleh dia sendiri ataupun wakilnya yang menghadiri.
Unsur terakhir dalam peradilan adalah sumber hukum (putusan) dalam suatu perkara. Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan leh seseorang terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu sesuatu yang bukan merupakan satu peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu masuk ke dalam bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.
B.       Kaidah-Kaidah Fikih yang Khusus Di Bidang Fikih Qadha (Peradilan dan Hukum Acara )
Lembaga peradilan pada zaman Umar bin Khatab dibagi menjadi peradilan perdata dan diangkat petugas khusus yang bertugas menyelesaikan persengketaan di bidang perdata. Sedangkan di bidang pidana masih tetap di pegang oleh khalifah dan para penguasa di daerah yaitu gubernur untuk wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaanya.[5]
Kemudian di bentuk wilayah al-mazhalim pada zaman kekhalifahan Abbasiyah, yang mempunyai tugas untuk mengadili para pejabat yang zalim atau menzalimi rakyat, mirip dengan pengadilan tata usaha negara. Selanjutnya, lahir dewan hisbah yang mengurusi pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar di masyarakat. Dewan hisbah inilah yang kemudaian berkembang menjadi peradilan pidana di dunia islam.[6]
Dalam islam dikenal pembidangan fikih, seperti fiqh ahwal al-syahksiyyah dan  muamalah yang apabila ada persengketaan ditangani oleh Peradilan Perdata. Di Indonesia, khusus bidang ahwal al-syakhsiyyah dan wakaf ditangani oleh Peradilan Agama. Fiqh jinayah, yang apabila ada kejahatan ditangi oleh peradilan pidana. Fiqh siyasah ditangani oleh wilayah al-mazhalim, sekarang oleh lembaga tata usaha negara.[7]
Lembaga peradilam sekarang sudah berkembang lebih jauh lagi, baik dalam bidangnya, seperti ada Mahkamah Konstitusi, maupun tingkatannya mulai dari daerah sampai ke Mahkamah Agung. Dalam islam, hal semacam ini sah-sah saja selama sesuai dengan perkembanagan masyarakat dan kemaslahatan manusia.[8]




Di antara kaidah-kaidah fikih di bidang ini adalah :
1.       

“Hukum yang di putuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad menghilangkan perbedaan pendapat”
Kaidah diatas sesungguhnya  berlaku pula untuk semua keputusan dari pemegang kekuasaan. Tetapi, menurut al-Qurafi, kaidah tersebut hanya berlaku di bidang peradilan.[9]
Maksud kaidah tersebut adalah apabila seseorang hakim menghadapi perbedaan pendapat di kalangan ulama, kemudian dia mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama tersebut, maka bagi orang-orang yang berpekara harus menerima keputusan tersebut. Orang yang berpekara tidak bisa menolak keputusan hukum tersebut dengan alasan ada pendapat lain yang berbeda dengan hasil ijtihad hakim. Sudah barang tentu, keputusan yang tidak boleh ditentang bukan tanpa syarat, yaitu tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip syariah, seperti kemaslahatan dan keadilan.[10]
Pada masa sekarang, keputusan yang harus diterima adalah keputusan hakimyang sudah tetap. Artinya sudah tidak da peluang usaha hukum lain yang bisa mengubah keputusan tersebut. Misalnya, dengan nik banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan, keputusan MA saja di Indonesia, bisa diubah dengan Peninjauan Kembali (PK) atas keputusan MA. Di satu sisi, hal ini memberi peluang kepada para pencari keadilan, tetapi di sisi lain menyebabkan perkaranya menjadi berlarut-larut penyelesainnya.[11]
Kaidah diatas sesuai dengan kaidah:


“Tidak boleh menentang keputusan hakim setelah diputuskan (dengan keputusan yang tetap)”

1.                    
“Membelanjakan harta atas perintah hakim seperti membelanjaknnya atas perintah pemilik”
Kaidah ini menegaskan bahwa perintah hakim yang diputuskannya dalam pengadilan wajib ditaati, sebab memiliki kedudukan yang sama dengan perintah si pemilik harta. Termasuk dalam kaidah ini adalah boleh menyita barang atas dasar keputusan pengadilan yang sudah tetap. Demikian pula orang yang menemukan barang temuan boleh menggunakannya atas perintah hakim.[12]
Dalam kasus jinayah, keputusan hakim yang memerintahkan terdakwa mengembalikan harta hasil korupsi adalah sama dengan perintah dari negara yang memilki harta tersebut. Sedangkan dalam contoh pencurian atau perampokan, keputusan hakim sama dengan perintsh dari si pemilik harta.[13]

2.               
“Kesalahan seorang hakim ditanggung oleh Bait al-Mal”
Seorang hakim yang dengan tidak sengaja salah dalam keputusannya sehingga menyebabkan dia harus menanggung kerugian berupa harta, maka harta tersebut diambil dari Bait al-Mal (perbendaharaan negara), bukan diambil dari harta milik si hakim. Karena hakim hanyalah pelaksana hukum dan mewakili negara dalam melaksanakan tugasnya dalam menegakkan keadilan.[14]
Contohnya: seorang hakim menjatuhkan hukuman kepada si A, tetapi kemudian ternyata bukan si A yang melakukan kejahatan tetapi si B. Selanjutnya si A menuntut balik kepada si hakim untuk memberikan ganti rugi kepadanya. Maka ganti rugi tersebut diambil dari Bait al- Mal.[15]
Kaidah ini juga menunjukkan bagaimanasi hakim dalam menegakkan keadilanharus telii dan hati-hati disertai bukti-bukti yang meyakinkan agar tidak salah dalam menjatuhkan hukuman.[16]
Kesalahan seorang hakim setidaknya da tiga macam kemungkinan: pertama, salah dalam hukumnya sendiri yaitu bertentangan dengan nash. Kedua, salah dalam sebabnya hukum seperti mengambil pembuktian dengan saksi palsu. Ketiga, salah dalam prosedur seperti harusnya diputuskan dalam majelis hakim tetapi diputuskan sendiri. Dalam hal ini, keputusan hakim bisa ditolak dan tidak jadi tanggungan Bait al-Mal.[17]

3.                           
“Bukti wajib diberikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari”
Seseorang yang menggugat orang lain dengan gugatan yang berbeda dengan kenyataan lahirnya, maka kepadanya diwajibkan mengajukan bukti-buktinya. Adapun bagi si tergugat dapat menolak atau mengingkari gugatan tadi. Dalam hal ini, dimungkinkan bohongnya si tergugat dalam mengingakari gugatan tadi. Oleh karena itu, si tergugat dapat diminta  mengucapakan sumpah apabial diminta penggugat.[18]
Kaidah yang sama maksudnya dengan kaidah tersebut di atas adalah:

“Bukti adalah untuk menetapkan yang berbeda dengan keadaan lahirnya dan sumapah untuk menetapkan keadaan asalnya”[19]

4.                           
“Bukti adalah hujjah (alasan hukum) berdampak kepada orang lain sedangkan pengakuan adalah hujjah yang hanya berlaku bagi orang yang mengakuinya saja”
Pengakuan adalah pernyataan dari seseorang yang menyatakan tentang adanya hak orang lain pada dirinya. Sedangkan bukti seperti  yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim (w.751 H) adalah sesuatu yang menjelaskan tentang kebenaran. Ini artinya lebih luas daripada alat bukti yang dijelaskan para fuqaha bahwa bukti adalah persaksian dan sumpah. Sementara Salam Madkur menyebutkan baha tidak kuarang dari sepuluh alat bukti yang dipraktikkan di pengadilan-pengadialn di dunia Islam.[20]
Maksud kaidah tersebut adalah bahwa suatu kasus yang dibuktikan dengan alat-alat bukti, maka lat-alat bukti tadi bisa melibatkan orang lain,  baik itu berupa saksi maupun keterangan ahli. Bahakan saksi apabila ada bukti-bukti lain tentang keterlibatannya dalam suatu perkara pidana, bisa berubah statusnya menjadi tersangka. Sedangkan pengakuan hanya melibatkan diri orang yang mengaku saja, tidak bisa melibatakan diri orang lain. Contohnya: apabila seseorang mengaku berzina, maka pengakuan tersebut hanya berlaku bagi dirinya sendiri. Sedangkan orang lain yang diakuinya berzina, tidak bisa dilibatkan apabila dia menyangkalnya, selama tidak ada bukti lai n yang menguatkan pengakauan tadi.[21]

5.                           
“Pertanyaan itu terulang dalam jawaban”
Maksud kaidah ini adalah bahwa hukum dari jawaban itu terletak pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada tergugat (dalam hal ini suamai): Apakah engkau telah menalak istrimu? Dijawab: Ya. Maka bagi istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.[22]

6.                           
“Orang yang dipercaya, perkataanya dibenarkan dengan sumpah”
Seseorang yang bermaksud membebaskan diri dari tanggungan dan tuduhan, maka agar hal itu bisa dipercaya, harus dikuatkan dengan sumpah. Contohnya: Orang yang meminjamkan barang menggugat peminjam bahwa barang pinjamannya belum dikembalikan. Sedangkan si peminjam memngatakan bahwa barang pinjamannya telah dikembalikan. Maka untuk membenarkan perkataannya, dia harus bersumpah.[23]

7.                      
“Tidak bisa dijadikan hujjah (alasan) keterangan-keterangan yang bertentangan, akan tetapi keputusan-keputusan hakim tetap berlaku”

Kaidah ini berhubungan dengan keterangan saksi yang saling bertentangan di depan sidang pengadilan. Akan tetapi, keputusan hakimyang diucapkan didepan sidang pengadilan tetap berlaku dan tidak menyebabkan rusak dengan kesaksian seorang saksi yang bertentangan.[24]

8.                      
“Seseorang dituntut karena pengakuannya”

Seorang subjek hukum yang telah memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna, harus mempertanggungjawabkan atas ucapannya dan perbuatannya. Demikian pula pengakuan yang dia ucapakan mengikat kepadanya dan harus mempertanggungjawabkannya. Misalnya, seseorang mengakui telah menjual rumah dengan pembayaran diutang. Maka dia wajib menyerahkan rumah tersebut meskipun harga belum dibayar lunas.[25]

9.                           
“Tidak dapat dijadikan hujjah (alasan) dengan danya kemungkinan-kemungkinanyang timbul dari sutau petunjuk”
Dalil itu pegangan pokok dalam menetapkan hukum, karena dalil adalah sutau keterangan yang objektif. Tetapi apabial dalil itu memberi kemungkinan penyimpanagn dari maksudnya, maka tidak bisa dijadikan alasan untuk memutuskan suatu perkara.[26]
Contohnya: ayah dan ibu serta anak-anaknya atau saudaranya dari tergugat atau penggugat, tidak bisa dijadikan saksi karena bisa memberikan keterangan-keterangan yang tidak sebenarnya.[27]

10.                       
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaina yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian diantara penggugat dan tergugat adalah baik dan dibolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Kaidah inilah yang dilakukan oleh hakim, yaitu harus mendamaikan kedua belah pihak. Sesungguhnya perdamaian (al-Shulh) tidak hanya berlaku dalam sidang pengadilan, tetapi berlaku pula dalam hal lainnya,seperti pedamaian Hudaibiyah,dan lain-lain[28]

11.                       
“Apa yang ditetapkan dengan bukti-bukti yang adil seperti yang ditetapkan berdasar kenyataan”[29]

12.                       
“Darimana kamu dapatkan ini”
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam hukum pidana Islam, seseorang tersangka harus membuktikan bahwa harta yang dimilikinaya, bukan dari hasil usaha yang haram, seperti hasil pencurian,perampokan, atau korupsi.[30]

C.      Contoh Penerapan Kaidah
  1. Apabila dalam suatu pernikanan disepakati maharnya berupa pengajaran hafalan surat at-Baqarah dari si suami kepada isterinya. Setelah beberapa waktu si isteri menuduh suaminya belum menunaikannya hanya saja, faktanya si isteri tehah hafal surat al-Baqarah. Penyebab hafalnya si istri ini memiliki beberapa kemungkinan. Mungkin karena diajari suami mungkin juga karena yang lain. Dalam masalah ini penyebab yang zhahir adalah diajari suami, karena mereka tinggal serumah dan diajari suami, sementara penyebab yang lainnya adalah sebab yang belum pasti, atau sekedar dugaan. Berdasarkan kaidah di atas, bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka dalam hal ini ditetapkan, si suami telah menunaikan mahar, dan tuduhan isteri tertolak, kecuali jika ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa suami belum menunaikan mahar tersebut.[31]
  2. Apabila ada seseorang yang sedang dalam keadaan ihram melukai binatang buruan namun tidak mematikan. Beberapa waktu kemudian binatang itu ditemukan dalam keadaan mati dan tidak ada luka lain kecuali luka yang pertama. Dalam hal ini ada dua kemungkinan penyebab kematiannya. Pertama, sebab yang maklum (nampak) yaitu luka. Kedua, sebab yang masih diperkirakan, yaitu sebab-sebablainnya, seperti jatuh, kelaparan dan semisalnya. Berdasarkan kaidah di atas bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka
    berdasarkan ini ditetapkan kematiannya disebabkan oleh luka dari orang yang sedang ihram tersebut. Sehingga, dia berkewajiban menggantinya dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang mati itu.[32]
  3. Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang tidak mematikan. Selang beberapa waktu kemudian temyata orang itu meninggal. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan penyebab kematiannya. Mungkin disebabkan semakin parahnya luka tersebut dan ini adalah sebab yang maklum (nampak); Dan mungkin juga disebabkan perkara lain yang diperkirakan. Sehingga berdasarkan kaidah ini kematiannya disandarkan kepada sebab yang maklum, yaitu semakin parahnya luka tersebut. Maka dalam kasus ini, wajib diterapkan hukum qishosh jika hal itu terjadi karena 'amdun 'udwan (sengaja dan terencana) atau wajib diyat jika hal itu terjadi karena khatha' (tersalah), atau syibhu 'amdin (menyerupai sengaja).6 Namun, dalam kasus seperti ini perlu ada pemeriksaan dari dokter Muslim yang berkompeten yang menegaskan bahwa kematian tersebut memang disebabkan lukanya yang semakin parah.[33]
Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama ushul bahwa qaidah fiqhiyyah itu adalah qaidah-qaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqhi yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Oleh karena itu, dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, seseorang telah memiliki pedoman untuk menetapkan hukum untuk setiap peristiwa fiqhiyyah, seperti bayi tabung, transplantasi organ tubuh dan sebagainya.
 Di samping itu juga berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyyah dan sebagai qoidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang sanggup menguasai qaidah-qaidah fiqhiyyah niscaya mampu menguasai seluruh bagian masalah fiqh dan sanggup menetapkan ketentuan hukum setiap peristiwa yang belum atau tidak ada nashnya. 
 Selain itu, kebutuhan para penggali hokum fiqh untuk menghapal qaidah, dewasa ini semakin mendesak. Hal itu antara lain, karena semakin kompleksnya berbagai masalah dalam kehidupan. 



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Di dalam fiqih, istilah qadha dipakai pada dua tempat yaitu dalam arti lembaga peradilan dan qadha dalam arti pelaksanan kewajiban, khususnya ibadah.Qadha dalam pengertian yang pertama secara bahasa mempunyai arti: menyelesaikan, menunaikan, dan memutusakan hukum atau membuat suatu ketetapan. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh, qadha bearti Lembaga Hukumdan perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umumatau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut Sallam Madkur qadha disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil.
Dalam islam dikenal pembidangan fikih, seperti fiqh ahwal al-syahksiyyah dan  muamalah yang apabila ada persengketaan ditangani oleh Peradilan Perdata. Di Indonesia, khusus bidang ahwal al-syakhsiyyah dan wakaf ditangani oleh Peradilan Agama. Fiqh jinayah, yang apabila ada kejahatan ditangi oleh peradilan pidana. Fiqh siyasah ditangani oleh wilayah al-mazhalim, sekarang oleh lembaga tata usaha negara.

B.     Kritik dan Saran
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang kaidah-kaidah fikih yang khusus di bidang fikih qhada’ ini,untuk itu disarankan kepada orang-orang yang lebih mengetahui dan paham tentang hal ini untuk mengadakan sosialisasi kepada masyarakat.
14


 


DAFTAR PUSTAKA

Djazuli.2011.Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana

Imam,Musbikin. 2011. Qawa’id Al-Fiqhiyah.  Jakarta : Raja Grafindo Persada

Jaih Mubarok, 2002. Kaidah Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada


Muchlis Usman, 1999. Kaidah-Kaidah ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada









[1] Imam Musbikin. Qawaid al-fiqhiyah (Jakarta; Raja Grafindo persada, 2001) h.2
[2] Musbikin,Imam. Qawaid al-fiqhiyah...,h.3
[3] Jaih Mubarok. Kaidah Fiqh. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002) h.157
[4] Jaih Mubarok. Kaidah Fiqh...,h. 156
[5] A. Dzajuli. Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: Kencana, 2011) h. 153-154
[6] Dzajuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h. 154
[7] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h. 154
[8] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h.154
[9] Dzajuli, A. Kaidah-Kaidah Fiqh...,h.154-155
[10] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h.155
[11] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h.155
[12] Dzajuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h. 155-156
[13] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h.156
[14] Dzajuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h.156
[15] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h.156
[16] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h.156
[17] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h.156-157
[18] Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih...,h. 157
[19] Djazuli, A.kaidah-Kaidah Fikih..., h.157
[20] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h.158
[21] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h. 158
[22] Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih...,h.158-159
[23] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h.159
[24] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih..., h. 159
[25] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h. 159-160
[26] Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih...,h.160
[27] Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih...,h.160
[28] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h. 160-161
[29] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h. 161
[30] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih...,h. 161
[31] Usman, Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta : Rajawali Pers, 1999), h. 66
[32]Usman, Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, , h. 67
[33]Usman, Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, , h. 69