BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagai seorang muslim yang telah mengucap dua kalimah syahadat dan
memahami maknanya serta mengimani rukun iman, maka langkah selanjutnya yang
harus ditempuh seorang muslim adalah shalat. Shalat adalah tiang agama yang harus
ditegakkan karena seluruh amal diibaratkan seperti dinding dan atap yang takkan
tesusun tanpa adanya tiang.
Untuk melakukan setiap amal maka seseorang harus mempunyai ilmu tentang
apa yang diperbuatnya, karena tidak akan diterima setiap amalan seseorang yang
ia tidak memiliki ilmu tentang itu. Demikian pula dengan shalat, untuk
melakukan shalat maka seseorang harus tahu apa hukum shalat, bagaimana caranya,
apa rukun, syarat dan sunnahnya, hal-hal yang membatalkannya dan semua hal-hal
yang berkaitan dengan praktik shalat. Dalam hal pewajiban shalat, Allah
berfirman dalam Al-Quran bahwa shalat itu adalah wajib bagi setiap muslim.
Berikut akan dijelaskan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan shalat
yaitu Al-Isra’ : 78, Hud : 114,
Al-Baqarah : 238-239, An-Nisa : 101-103, dan Al-Jumu’ah : 9-11.
B. Rumusan
Masalah
Beberapa
rumusan masalah untuk ayat-ayat tersebut antara lain :
1. Bagaimana
penafsiran terhadap kosa kata kunci pada ayat tersebut ?
2. Apa saja pokok
kandungan ayatnya ?
3. Bagaimana
Asbabun Nuzul ayat-ayat itu ?
4. Bagaimana
hubungan ayat itu dengan ayat lain atau dengan hadits ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui penafsiran terhadap kosa kata kunci pada ayat tersebut
2. Untuk
mengetahui pokok kandungan ayatnya
3. Untuk
mengetahui Asbabun Nuzul ayat-ayat itu
4. Untuk mengetahui
hubungan ayat itu dengan ayat lain atau dengan hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A. Q. S.
Al-Isra : 78
Artinya
: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan
(oleh malaikat).
Tafsir
Mufradat
دُلُوْكُ
الشَّمْس : Tergelincirnya matahari
غَسَقُ
الَّيْلِ : Kegelapan malam yang pekat
قُرْاٰنُ
الْفَجْر : Shalat shubuh
Penafsiran Ayat
Ayat ini menjelaskan
tentang waktu-waktu shalat wajib. Tegasnya dirikanlah sembahyang lima waktu
sejak tergelincir matahari yaitu permulaan waktu zuhur dan matahari itu sesudah
tergelincir di tengah hari dari pertengahan siang akan condong terus ke Barat
sampai dia terbenam. Oleh sebab itu dalam kata “tergelincir matahari”
termasuklah Zuhur dan Ashar, sampai ke gelap gulita malam. Artinya apabila
matahari telah terbenam ke ufuk Barat, datanglah waktu Maghrib. Bertambah
matahari terbenam ke balik bumi hilanglah syafaq yang merah, maka seketika itu masuklah
waktu Isya.[1]
Kemudian disebutkanlah
Quranul Fajri yang secara harfiah berarti bacaan di waktu fajar, tetapi karena
ayat ini berbicara dalam konteks kewajiban shalat, maka semua penafsir
Sunnah/Syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Shubuh. Penggunaan
istilah khusus ini untuk shalat fajar karena ia mempunyai keistimewaan
tersendiri, yaitu disaksikan malaikat. Sebagaimana sabda Rasul SAW : “Shalat
shubuh itu disaksikan oleh para malaikat malam dan para malaikat siang”
(H.R.Tirmidzi).
Shalat Shubuh disebut
dengan Quranul Fajri karena, di waktu Shubuh hening pagi itu dianjurkan membaca
ayat-ayat Al-Quran agak panjang dari
waktu lain.
Pokok Kandungan Ayat :
1. Perintah untuk
mendirikan shalat lima waktu
2. Petunjuk
waktu-waktu shalat wajib
3. Informasi bahwa
keutamaan shalat shubuh itu disaksikan malaikat siang dan malaikat malam.
B. Q. S. Hud :
114
Artinya
: Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.
Tafsir
Mufradat
زُلَفًا مِّنَ
الَّيْلِ : bagian dari awal malam
طَرَفَيِ
النَّهَارِ : tepi siang, maksudnya Shubuh dan
Ashar
Penafsiran Ayat
Ayat ini mengajarkan
laksanakanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan , rukun,
syarat, dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang, yakni apgi dan petang, atau
Shubuh dan Zuhur dan Ashar (diriwayatkan dari Al-Hasan Qatadah dan Ad-Dahak,
bahwa yang dimaksud ialah shalat Shubuh dan Ashar, pendapat lain mengatakan
bahwa yang dimaksud dua tepi siang adalah shalat Shubuh dan Zuhur, Ashar,
Maghrib) dan pada bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya.[2]
Kata zulafan adalah
bentuk jamak dari kata zulfah yaitu waktu-waktu yang saling berdekatan.
Tsa’labi mengatakan bahwa arti zulafan ialah permulaan malam. Al-Akhfasy
mengatakan arti zulafan ialah seluruh saat-saat malam, tetapi beliau mengakui
asal makna dari zulafan adalah dekat. Memanglah Maghrib dan Isya itu masih
permulaan dari malam.
Innal hasanata
yudzhibnas sayyiaat ditafsirkan yakni perbuatan-perbuatan baik yang didasari
oleh keimanan dan ketulusan akan dapat membentengi diri seseorang sehingga
dengan mudah ia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Selain itu juga dapat
ditafsirkan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan
amal-amal shaleh. Sebagaimana yang tertuang dalam Q. S .An-Nisa : 31 yang
artinya “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu, dan Kami
masukkan kamu ke tempat yang mulia”. Juga seperti yang disabdakan Rasul : “Dan
iringilah keburukan dengan kebaikan, sesungguhna kebaikan itu menghapus
keburukan”.
Al-hasanat ada yang
memahaminya secara khusus yakni shalat dan istighfar, tetapi pendapat yang
lebih baik adalah yang memahaminya secara umum, yaitu seluruh kebajikan. Namun
demikian kata sayyiaat harus dipahami dalam bentuk khusus yakni, keburukan
(dosa) kecil.
Pokok Kandungan Ayat :
1. Perintah
mendirikan shalat wajib dan petunjuk waktu-waktunya
2. Perintah untuk
selalu berbuat baik karena dapat menghapus dosa
Asbabun Nuzul :
Seorang laki-laki telah
melakukan dosa dengan memegang-megang wanita
dengan nafsu birahi saat dia sedang mengobati wanita itu. Lalu ia merasa
bersalah dan mengadukan hal itu pada Umar dan Abu Bakar, dan mereka berdua
menasihati bahwa hal tersebut dirahasiakan saja, sebab Allah pun telah menutup
rahasia itu. Namun karena masi merasa bersalah, lalu ia datang kepada Rasul
seraya berkata : ”Itulah kesalahanku yang aku telah terlanjur melakukannya.
Inilah aku ya Rasulullah ! Hukumah aku bagaimana baiknya !”. Namun Rasul diam
saja sehingga laki-laki itu pergi dengan muka muram. Kemudian Rasulullah
mengikutinya dan dipanggilnya kembali laki-laki itu, lalu membacakan ayat ini.
C. Q. S.
Al-Baqarah : 238-239
{حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238) فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239) }
Artinya
: (238). Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk. (239). Jika kamu dalam
keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.
Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana
Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Tafsir
Mufradat :
حَافِظُوْا : melaksanakan shalat dari waktu ke
waktu dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya
فَرِجَالً : maka berjalanlah
رُكْبَانًا : berkendara
Asbabun Nuzul :
Zaid Ibnu Arqam
menceritakan : Kami (para sahabat) sering berkata-kata dalam shalat, dimana
seorang dari kami berbicara kepada kawannya yang berada di sampingnya dalam
keadaan melaksanakan shalat sehingga turunlah ayat ini. Kemudian Nabi SAW
memerintahkan kami agar berlaku tenang dan melarang kami berbicara. (H.R.
Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Pokok Kandungan dan Hukum dalam Ayat
:
1. Perintah
memelihara shalat wajib secara teratur
2. Perintah
melakukan shalat dengan khusyu’,
Sebagaimana disabdakan
Rasul SAW : “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jikka engkau
tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu”.
1. Mengindikasikan
bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun meskipun dalam
keadaan berperang dan dihukumkan boleh shalat dengan cara berjalan atau
berkendara jika dalam keadaan bahaya, namun keringanan itu hilang seiring
dengan hilangnya sebab.
Ayat ini diapit oleh ayat-ayat yang membicarakan tetang pernikahan,
talak, cerai, iddah, ruju’ serta nafkah sehingga menimbulkan kebingungan karena
munculnya ayat tentang shalat secara tiba-tiba. Tentang ini Sayyid Quthub
berkomentar : “Ketentuan-ketentuan yang diceritakan Allah sebelum ayat ini,
semuanya disatukan oleh ibadah kepada Allah. Ibadah kepada-Nya dalam
perkawinan, ibadah kepadanya dalam hubungan seks dan meneruskan keturunan,
ibadah kepada-Nya dalam merujuk isteri atau menceraikan dengan baik sehingga
dapat dipahami bahwa ketentuan-ketentuan itu serupa dengan shalat dari segi
ketaatan kepada Allah SWT.”
D. Q. S.
An-Nisa : 101-103
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا (١٠١) وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (١٠٢) فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (١٠٣)
101. dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar[343] sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.
Penafsiran
:
Ayat ini merupakan dasar tentang bolehnya mengqashar shalat dalam
perjalanan baik dalam keadaan takut maupun tidak. Sebagaimana yang disabdakan
Rasul saat ditanyai tentang mengqashar shalat jika tidak dalam keadaan takut :
“Itu adalah sedekah yang disedekahkan
Allah kepada kamu.[3]
Maka, terimalah sedekah-Nya” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan lain-lain).
Sedang yang menjadi syarat adalah jarak dan waktu tempuh musafir. Mazhab
Syafi’i dan Maliki menilai bahwa jaraknya lebih dari 77 km, sedang mazhab
Hanbali berpendapat 115 km. Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat
bahwa seseorang tidak lagi dinamai musafir jika berniat tinggal selama empat
hari atau lebih di tempat tujuannya, sedangkan Hanafi membolehkan sampai 15
hari.
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (١٠٢)
Artinya
: (102). Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari
mereka (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemdian apabila mereka (yang
shalat bersama mu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka
pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya
kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu
dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjatamu, jika kamu
mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap
siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir itu.
Penafsiran
Ayat :
Ayat ini berisi tentang cara shalat dalam situasi bahaya. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa imam melaksanakan shalat dengan setiap kelompok satu
rakaat, tetapi mereka berbeda pendapat tentang cara pembagiannya, serta kapan
imam salam.
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (١٠٣)
Artinya
: (103). Maka apabila kamu telah meyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.
Penafsiran
Ayat :
Ayat ini mewajibkan untuk selalu mengingat Allah SWT setiap saat dalam
segala keadaan, bahkan saat duduk, berdiri ataupun berbaring. Kata mauquutan
ditafsirkan bahwa setiap shalat mempunyai waktu dalam arti ada masa ketika
orang harus menyelesaikannya. Ada juga memahami kata ini dalam arti kewajiban
yang bersinambung dan tidak berubah sehingga firman-Nya melukiskan shalat
sebagai kitaaban mauquutan berarti shalat adalah kewajiban yang tidak berubah,
selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur apapun sebabnya.
E. Q. S.
Al-Jumu’ah : 9-11
Artinya
: (9). Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat pada hari
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (10). Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (11). Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau pemainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah :
“Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”,
dan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki.
Penafsiran
Ayat :
Seruan untuk shalat yang dimaksud di atas dan yang mengharuskan
dihentikannya segala kegiatan adalah azan yang dikumandangkan saat khatib naik
mimbar. Adapun orang-orang yang diwajibkan pergi shalat Jum’at ialah
orang-orang yang berada dalam batas kota enam mil (menurut Abdullah bin Umar,
Anas bin Malik, dan Abu Hurairah). Menurut Rabi’ah batas empat mil. Menurut
Imam Malik dan Laits batas tiga mil. Menurut Imam Syafi’i ukurannya ialah
seorang muazzin yang amat lantang suaranya dan angin tenang dan muazzin itu
berdiri di atas dinding kota. Akan tetapi melihat perbuatan sahabat-sahabat Rasul,
nyatalah bahwa mereka sejak pagi jari telah bersiap pergi ke mesjid tanpa
menunggu suara azan terlebih dahulu. Degnan demikian dapatlah kita fahamkan
bahwa terdengar atau tidaknya seruan azan, wajiblah menghadiri shalat Jum’at,
karena seruan itu telah ada langsung dari Allah SWT.[4]
Kata dzikrullah yang dimaksud adalah shalat dan khutbah. Kata fas’au
pada mulanya berarti berjalan cepat. Akan tetapi bukan itu yang dimaksud karena
beliau telah bersabda : “Apabila shalat telah segera akan dilaksanakan, janganlah
kamu kesana dengan berjalan cepat tetapi hadirilah dengan tenang.”. Wa dzarul
bai’ berarti bagi orang yang sedang
bermuamalah haruslah meninggalkannya dan segera pergi shalat Jum’at meski harus
menunda mua’malah itu. Rasul bersabda : “Barangsiapa yang meninggalkan Jum’at
taiga kali berturut-turut dengan memandang enteng, akan dicap Allah atas
hatinya”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapatlah dirangkum beberapa poin, yaitu :
1. Shalat wajib
lima waktu telah ditentukan waktu pelaksanaannya dalam Al-Quran, begitu pula
shalat Jum’at
2. Keringanan-keringanan
melakukan shalat dalam keadaan tertentu mengindikasikan bahwa shalat tidak
boleh ditinggalkan dengan alasan apapun
3. Muslim
diperintahkan untuk mendirikan shalat dengan khusyu’ dan sesuai aturan bukan
sekedar mengerjakannya
4. Shalat Shubuh
adalah shalat yang utama sebab disaksikan oleh malaikat siang dan malaikat
malam
5. Mendirikan
shalat dapat menghapuskan setiap dosa kecil yang dilakukan, karena kebaikan
dapat menghapus keburukan
6. Inti dari
shalat adalah mengingat Allah SWT dengan penyerahan hati setulus-tulusnya
kepada Allah agar kita menjadi orang-orang yang beruntung.
B. Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai tafsir ayat tentang sholat
sunnah, semoga bermanfaat bagi kita sekalian, kritik dan saran sangat pemakalah
harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad
Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974).
Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007).
Shihab, M. Quraish,
Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001).
No comments:
Post a Comment