BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Diantara kewajiban setiap muslim yang dilakukan setiap hari adalah melaksanakan sholat lima waktu , yaitu
dzuhur, ashar, magrib, isya’, dan subuh. Sedangkan pada hari jum’at terdapat
salah satu sholat yang pelaksanaannya berbeda dengan hari-hari biasanya, yaitu
sholat dzuhur yang menjadi sholat jum’at. Pada sholat ini hanya terdiri dari
dua rakaat, tidak seperti sholat dzuhur yang yang terdiri dari empa rakaat.
Selain itu juga terdapat khutbah yang wajib dilakukan sebelumnya. Mengenai sholat jum’at ini sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah dalam QS. al-Jumu’ah ayat 9.
Pada pembahasan kali ini akan dikupas mengenai permasalahan sholat
jum’at dari sejarah pelaksanaannya, yaitu semenjak Nabi berada di Mekkah,
asbabun nuzul dan penafsiran QS. Al-Jumu’ah ayat 9 dalam kitab tafsir al-Munir
karya Wahbah Zuhaili, tinjauan fiqih yang meliputi syarat sholat jum’at ,
fardhu sholat jum’at, syarat khutbah, sunnah sholat jum’at, serta berbagai
perbedaan pendapat para ulama’ mengenai pemasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan sholat jum’at.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, pembahasan yang akan
dijelaskan dalam tulisan ini akan menjawab pertanyaan berikut:
1. Bagaimana Sejarah
sholat jum’at?
2. Bagaimana Asbabun
nuzul?
3. Bagaimana Penafsiran
QS. AL-Jumu’ah ayat 9 dalam kitan tafsir al-Munir?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
menatetahui Sejarah sholat jum’at
2. Untuk
menatetahui Asbabun nuzul
3. Untuk
menatetahui Penafsiran QS. AL-Jumu’ah ayat 9 dalam kitan tafsir al-Munir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Shalat Jum’at
Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fiqh Islam Wa Adillatuhu mengatakan
bahwa: “shalat jum’at di fardhukan di Makkah sebelum hijrah, hal ini
berdasarkan hadis yang diriwayatkan Daruquthni dari Ibnu Abbas yang menyatakan:
روى الدارقطني عن ابن عباس قال: «أذن للنبي صلّى الله
عليه وسلم في الجمعة قبل أن يهاجر، فلم يستطع أن يجمع بمكة، فكتب إلى مصعب بن
عمير: «أما بعد، فانظر إلى اليوم الذي تجهر فيه اليهود بالزبور لسبتهم، فاجمعوا
نساءكم وأبناءكم، فإذا مال النهار عن شطره عند الزوال من يوم الجمعة، فتقربوا إلى
الله بركعتين»
“Telah diizinkan (diperintahkan)
kepada nabi SAW shalat jum’at sebelum beliau hijrah, tapi beliau tidak kuasa
melaksanakannya di Makkah. Maka beliau menulis surat kepada Mus’ab bin ‘Amir,
bunyinya: “ Amma ba’du, maka perhatikanlah hari yang dinyatakan oleh
orang-orang yahudi az-Zabur untuk hari sabtu mereka, lalu kumpulkanlah
perempuan-perempuan dan anak-anakmu apabila matahari telah tergelincir dari
puncaknya mendekati terbenampada hari jum’at, dekatkanlah dirimu kepada Allah
dengan melakukan shalat dua rakaat.”
Adapun orang yang
pertama kali menyelenggarakan shalat jum’at di Madinah sebelum nabi hijrah
adalah As’ad bin Zuharah. Ia melaksankannya di sebuah kampung yang berdekatan
dengan kota Madinah. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh
Abdurrahman bin Ka’ab, anak dari Ka’ab bin Malik yang mana ia mengatakan di
saat ayahnya mendengar adzan pada hari jum’at ia selalu memintakan rahmat
kepada Allah untuk As’ad bin Zurarah.[1]
Kemudian Abdurrahman bertanya
kepada ayahnya: Mengapa ayah apabila mendengar adzan pada hari jum’at selalu
memintakan rahmat untuk As’ad bin Zuharah ? Ayahnya menjawab: Karena dialah
orang yang pertama kali mengadakan shalat jum’at bersama kami di Hazmin Nabit,
salah satu kampung Bani Bayadlah di Naqi’ yang biasa disebut Naqi’ul Khadlimat.
Adapun shalat jum’at
pertama yang dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabatnya ialah di perut
lembah Ranuna di kampung Bani Salim bin ‘Auf, suatu tempat antara Quba dan
Madinah, tapi masuk wilayah Madinah. Peristiwa ini terjadi dalam perjalanan
hijrah beliau pada 23 September 622 Masehi. Jumlah jamaah ketika itu tidak
disebutkan, namun menurut catatan sejarah pada waktu meninggalkan Quba setelah
4 hari istirahat Rasulullah diikuti oleh 100 orang kaum muslimin.[2]
B. Asbabun
Nuzul
Adapun asbabun nuzul surah al-Jumu’ah ayat 9 ini ialah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh abdur razak bin hamid dari Ibnu Sirin berkata bahwa: penduduk
Madinah telah berumpul pada hari jum’at sebelum adanya perintah dari Rasulullah
SAW, sebelum ditetapkan hari jum’at, orang-orang yahudi memiliki satu hari
tersendiri di mana dalam seminggu mereka berkumpul, dan begitu juga dengan
orang-orang nasrani.
Maka orang-orang muslim mencari satu hari yang akan mereka pergunakan
untuk berkumpul pada hari itu guna berdzikir kepada Allah dan bersyukur
kepadanya, Lalu mereka mengatakan: “Hari sabtu milik umat yahudi, hari ahad
milik umat nasrani, maka dijadiakanlah hari ‘arubah sebagai hari milik umat
muslim.” Maka berkumpullah mereka, kemudian mereka menemui As’ad bin Zuharah,
lalu dia mengerjakan shalat dua raka’at bersama-bersama pada hari ‘Arubah itu.
Maka dinamakanlah hari itu dengan hari Jumu’at, karena ketika itu mereka
berkumpul. Maka kemudian mereka menyembelih kambing untuk makan siang dan makan
malam. Itulah permulaan shalat Jum’at dalam Islam. Kemudian setelah peristiwa
itu Allah menurunkan ayat: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ
الآية[4]
Selanjutnya mengenai asbabun nuzul surah al-jumu’ah ayat 11 ada banyak
riwayat yang menyebutkan, diantaranya dari hadis Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Ibnu Katsir dari Abu Ya’la dengan sanad yang sampai kepada Jabir bin
Abdullah. Bahwa ia berkata:
“ Ketika Nabi SAW sedang berkhutbah di hari jum’at tibalah khafilah ke
Madinah, kemudian para sahabat Rasulullah bergegas menuju khafilah tersebut
sehingga tidak ada yang tertimggal bersama Rasulullah, kecuali dua belas orang.
Kemudian Rasulullah bersabda: Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya,
kalau kamu ikuti mereka sehingga tidak ada seorang pun yang tertinggal tentu
akan mengalir kepadamu lembah yang penuh api. Kemudian turunlah ayat ini: Wa
Idzaa Roauw Tijaratan...” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Abu Hayan meriwayatkan dalam tafsirnya Bahru al-Muhith, bahwa yang
menyebabkan mereka bubar adalah karena penduduk Madinah pada saat itu ditimpa
musim paceklik, dan harga barang dan kebutuhan sangat tinggi. Menurut kebiasaan
adat mereka, jikalau ada kafilah yang masuk kota diharuskan untuk memukul
gendang dan bunyi-bunyian lainnya. Dan begitulah ketika kafilah masuk kota dengan
bunyi-bunyiannya maka mereka pun bubar untuk menontonnya, sedangkan pada saat
itu Rasulullah SAW tengah berdiri di atas mimbar (khutbah), dan pada saat itu
yang tinggal bersama Rasulullah SAW hanya tinggal dua belas orang. Jabir
berkata: “Aku termasuk salah seorang di antara mereka yang tinggal.” Kemudian
turunlah ayat ini: Wa Idzaa Roauw Tijaratan dst.
C. Penafsiran
Wahbah Zuhaili terhadap QS. al-Jumu’ah Ayat 9 dalam Kitab Tafsir al-Munir
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا
فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10) وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا
إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ
وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (11)
Wahbah Zuhaili menjelaskan inti dan
maksud dari QS al-Jumu’ah ayat 9-11 ini yaitu mengenai dua hukum, yakni
kewajiban Salat Jum’at dan kebolehan mengerjakan amal perbuatan setelah
pelaksanaan Salat Jum’at.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9)
Kata جُمُعَةٌ disebutkan karena pada hari
itu umat Muslim berkumpul di Masjid untuk melaksanakan salat. Penafsiran Wahbah Zuahili mengenai ayat 9
secara umum mengenai panggilan azan dan implikasinya untuk segera menuju
masjid. Menurut beliau, bahwa panggilan (إذا نودي) yang dimaksud ayat ini ialah azan kedua yang dahulu dilakukan
oleh muazin di depan Nabi SAW pada saat Nabi SAW telah duduk di atas mimbar
sebelum berkhutbah. Adapun azan yang
pertama, merupakan penambahan dari Kahlifah ‘Utsman ibn Affan untuk menunggu
para sahabat yang berada jauh dari masjid, karena wilayah Madinah telah meluas.
Tepatnya, terjadi di Kampung az-Zaura’, yaitu kampung tertinggi di Madinah yang
berada dekat dengan masjid. Dan tambahan azan yang ketiga bermakna iqamah. Nabi
SAW bersabda:[3]
عن عبد الله بن مغفّل قال النبي صلي الله عليه و سلم: بين كل أذانين صلاة
لمن شاء
“ Dari Abdullah ibn Mughaffil,
berkata Nabi SAW: Di antara setiap dua azan, terdapat salat, bagi yang
menginginkannya.” Maksudnya adalah azan dan iqamah.
Lebih lanjut, Wahbah
Zuhaili memberikan penafsiran mengenai implikasi dari seruan azan Salat Jum’at.
Menurutnya, apabila azan telah dikumandangkan, maka hendaklah bergegas dengan
sungguh-sungguh atau bergegas untuk pergi mengingat Allah dalam artian
mendengarkan khutbah dan melaksanakan Salat Jum’at di masjid-masjid yang
melaksanakan Salat Jum’at. Namun, setiap muslim harus sudah dalam keadaan siap
sebelum menuju masjid untuk beribadah dan telah melaksanakan mandi, wudhu,
memakai wewangian atau parfum, dan memakai baju baru atau yang putih bersih dan
lain sebagainya. Artinya, ketika azan telah dikumandangkan, seorang muslim
harus sudah dalam keadaan siap untuk beribadah kepada Allah, dan bergegas
menuju masjid. Selanjutnya, implikasi yang kedua apabila azan telah
dikumandangkan yakni harus meninggalkan proses jual-beli dan seluruh bentuk
mu’amalah seperti ijarah, syarikah, atau yang semisal. Dan semua itu merupakan
suatu bentuk usaha untuk mengingat Allah, dan meninggalkannya itu lebih baik
daripada mengerjakannya. Karena di dalam kepatuha terdapat balasan dan pahala.
Lafadz من bisa
berarti في,
sehingga bermakna di hari Jum’at, atau berarti تبعيضية yang bermakna pembagian, sehingga bermakna hanya untuk Salat
Jum’at saja. Selanjutnya, Wahbah Zuhaili menafsirkan kata البيع yang disebutkan secara
khusus. Menurutnya, alasan penyebutan kata tersebut secara khusus karena jual
beli merupakan suatu hal yang sangat menyibukkan seseorang pada siang hari
karena merupakan sumber kehidupan dan penghidupan. Dan di dalamnya terkandung
isyarat untuk meninggalkan segala bentuk jual-beli. Dan pengkhususan hari
Jum’at dengan kewajibannya untuk umat Muslim, sepadan dengan hari Sabtu bagi
Umat Yahudi. Dan bukanlah yang dimaksud dengan السعي itu berarti berjalan dengan cepat. Kata tersebut menunjukkan
pentingnya hari itu, sehingga harus dilaksankan dengan sungguh-sungguh.
Sedangkan berjalan cepat menuju masjid merupakan hal yang dilarang oleh
Rasulullah SAW.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إذا سمعتم
الإقامة، فامشوا إلى الصلاة، وعليكم السكينة والوقار، ولا تسرعوا، فما أدركتم
فصلوا، وما فاتكم فأتموا ( رواه البخاري و المسلم )
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Jika kalian mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah
menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang berwibawa dan jangan
tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang
kalian tertinggal maka sempurnakanlah.”
Kemudian pada ayat
selanjutnya Allah membolehkan Umat Muslim untuk beramal dan bekerja untuk dunia
mereka setelah pelaksaan Salat Jum’at telah selesai. Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)
Allah membolehkan Umat Muslim,
apabila telah selesai melaksanakan salat, maka diizinkan dan dibolehkan untuk
menyebar dan berpisah di muka bumi untuk berjual-beli sesuai dengan kebutuhan
kehidupan. Dan hendakhlah mengharapkan dan mencari keutamaan Allah dalam artian
mencari rezeki-Nya yang ia rezekikan kepada hamba-Nya yang berguna dan
memberikan keuntungan dalam mu’amalah. Allah juga memerintahkan agar selama
beramal atau berjual-beli untuk banyak-banyak mengingat Allah sebagai rasa
syukur atas petunjuk-Nya yang berkenaan dengan hal duniawi maupun ukhrawi.
Zuhaili juga memberikan contoh zikir yang bisa mendekatkan diri kepada Allah,
seperti Tahmid, Tasbih, Takbir, Istighfar, dan sebagainya. Agar memperoleh
keuntungan baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian Allah mencela
orang-orang Mukmin yang meninggalkan Khatib yang sedang berkhutbah pada hari
Jum’at untuk menuju perdagangan. Maka Allah berfirman:
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ
قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ
وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (11)
Maksud Allah tersebut
yakni apabila orang-orang mukmin yang sedang mendengarkan khutbah Jum’at,
mereka melihat rombongan unta yang membawa barang dagangan dari negara lain.
Atau apabila mereka (orang-orang beriman itu) melihat permainan, seperti
penabuhan gendang, atau tiupan seruling dalam suatu pesta pernikahan atau sebagainyna.
Mereka keluar dan berpisah lalu menuju tempat-tempat tersebut. Namun Allah
melalui ayat ini tetap memerintahkan Nabi SAW untuk berkhutbah. Allah juga
memerintahkan kepada Nabi SAW untuk memperimgati mereka dan memberitahu mereka
bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak ada balasan dan pahala dari-Nya.
Sesungguhnya pahala akhirat itu lebih baik daripada kepentingan dunia. Dan
sesungguhnya Allah akan memberi mereka rezeki yang besar apabila mereka
mencarinya di waktu yang tepat.[4]
Dan asbabun nuzul dari
ayat ini yaitu ketika di Madinah, banyak penduduk yang kekurangan dan
membutuhkan makanan. Dan ketika Nabi sedang berkhutbah di hari Jum’at, datang
serombongan kafilah dagang yang ingin menuju Syam. Maka para jama’ah bergegas
menuju kafilah tersebut hingga hanya tersisa dua belas orang di masjid, dan
tujuh wanita. Dan sebagian yang lain meninggalkan khutbah karena mendengar
suara hiburan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan تِجَارَةً أَوْ
لَهْوًا
ialah untuk menunjukkan sebagian jama’ah yang keluar karena mendengar dan
melihat hiburan, dan sebagiannya yang keluar karena melihat kafilah dagang yang
lewat sebab mereka kekurangan bahan makanan.
Wahbah Zuhaili juga
menambahkan di tafsirnya hukum-hukum yang diambil dari QS al-Jumu’ah ayat 9-11,
diantaranya:
1. Salat Jum’at
hukumnya wajib, dan bersegera untuk melaksanakannya juga merupakan sebuah
kewajiban. Dan tujuan pada kata يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا merupakan khusus kepada
orang-orang mukallaf sesuai kesepakatan. Maka tidak dituntut untuk
melaksanakannya orang yang sakit, orang-orang musafir, hamba sahaya, dan
perempuan. Imam Abu Hanifah menambahkan ke dalamnnya orang yang buta dan orang
tua yang tidak mampu berjalan kecuali dituntun. Sebagaimana Rasulullah SAW
bersabda: [5]
عن جابر: أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فعليه الجمعة يوم الجمعة إلا مريض أو
مسافر أو امرأة أو صبي أو مملوك، فمن استغنى بلهو أو تجارة استغنى الله عنه، والله
غني حميد. (أخرجه الدارقطني)
Sedangkan ulama Malikiyah dan selain mereka
berkata: tidak ada yang berbeda pendapat mengenai Salat Jum’at bagi orang yang
tidak mungkin untuk mendatanginya karena adanya uzur. Seperti sakit yang
menghalangi seseorang untuk pergi, karena jika pergi salat, ditakutkan akan
bertambah sakitnya itu. Atau takut dengan kezaliman penguasa. Sehingga
dibolehkan untuk tidak pergi melaksanakan Salat Jum’at. Dan juga hujan yang
sangat lebat apabila tidak reda.
2. Pada ayat ini,
Allah mengkhususkan kewajiban Salat Jum’at kepada orang-orang yang berada di
dekat masjid yang mendengar suara seruan azan. Adapun orang yang jauh, yang
tidak mendengar seruan azan, mereka tidak termasuk dalam khitab pada ayat: إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ .
3. Pada ayat: إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهmenunjukkan bahwa Salat Jum’at tidak sah jika
tidak dengan seruan azan. Dan azan tidak dilakukan kecuali apabila telah
masuknya waktu. Nabi SAW bersabda:
عن أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل
الشمس (رواه البخري)
4. Shalat jumat
hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, dan ini menurut pendapat mayoritas
imam berdasarkan firman Allah: اذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا
الى ذكر الله و ذروا البيع
. Di dalam sunan ibnu majah juga terdapat sabda nabi yang mengatakan “siapa
yang meninggalkan shalat jum’at dengan menganggap remeh perkara tersebut, maka
Allah telah menutup hatinya”. Dan ini semua merupakan dalil yang jelas terkait
kewajiban shalat jumat bagi setiap muslim.
5. Allah
mewajibkan untuk berusaha melaksan shalat jumat secara mutlak tanpa ada syarat.
Namun ada satu syarat yang memang wajib dilakukan pada semua shalat yaitu
wudhu’ (al-Maidah: 6). Adapun mandi di hari jumat hukumnya sunnah, bukan wajib.
Berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim yang
mengatakan jika telah datang kepadamu hari jumat maka hendaklah kamu mandi. Dan disunnahkan juga untuk berpakaian
yang paling bagus dan bersih, bersiwak dan memperindah diri.
6. Tidak gugur
kewajiban jumat karena keadaannya yang bertepatan dengan hari ‘ied. Namun
berbeda dengan pendapat imam hanbali yang mengatakan “ apabila hari jumat dan
hari ‘ied bertemu, maka gugurlah kewajiban shalat jumat, karena telah didahului
oleh shalat ied dan orang-orang pun sibuk ketika itu.
7. Para ulama
berbeda pendapat mengenai awal penetapan shalat jum’at dalam Islam, salah
satunya sebagaimana yang diriwayatkan oleh abdur razak bin hamid dari Ibnu
Sirin berkata bahwa: penduduk Madinah telah berumpul pada hari jum’at sebelum
adanya perintah dari Rasulullah SAW, sebelum ditetapkan hari jum’at,
orang-orang yahudi memiliki satu hari tersendiri di mana dalam seminggu mereka
berkumpul, dan begitu juga dengan orang-orang nasrani.
Maka orang-orang muslim mencari satu hari yang
akan mereka pergunakan untuk berkumpul pada hari itu guna berdzikir kepada
Allah dan bersyukur kepadanya, Lalu mereka mengatakan: “Hari sabtu milik umat
yahudi, hari ahad milik umat nasrani, maka dijadiakanlah hari ‘arubah sebagai
hari milik umat muslim.” Maka berkumpullah mereka, kemudian mereka menemui
As’ad bin Zuharah, lalu dia mengerjakan shalat dua raka’at bersama-bersama pada
hari ‘Arubah itu. Maka dinamakanlah hari itu dengan hari Jumu’at, karena ketika
itu mereka berkumpul. Maka kemudian mereka menyembelih kambing untuk makan
siang dan makan malam. Itulah permulaan shalat Jum’at dalam Islam. Kemudian
setelah peristiwa itu Allah menurunkan ayat: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا
نُودِيَ لِلصَّلاةِ الآية
8. Memperhatikan
firman Allah “ Fas’au ila dzikrillah” dalam ayat tersebut menggunakan lafaz
amar, maka mengingat Allah hukumnya wajib. Sedangkan yang dimaksud dengan
“Dzikrullah” dalam ayat tersebut ialah termasuk didalamnya shalat, khutbah dan
mau’izah. Adapun alasan atas wajibnya khutbah itu ialah dilarangnya jual beli,
sebab seandainya khutbah itu tidak wajib maka jual beli tidak akan diharamkan,
karena sesuatu yang Mustahab (Sunnah) tidak akan dapat mengharamkan yang mubah.
Kemudian mengenai jumlah batas
minimal jama’ah saat melakukan shalat jum’at para ulama berbeda pendapat,
diantaranya yaitu:
a) Menurut imam Hanafi,
cukup dengan tiga orang selain imam, walaupun mereka adalah musafir dan orang
sakit, karena minimal jama’ yang sah itu ialah tiga.
b) Golongan
Malikiyah mensyaratkan setidaknya yang menghadiri itu berjumalah dua belas
orang dari penduduk daerah tersebut, Hal
ini sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah di awal
tadi.
c) Sedangkan
menurut golongan Syafi’i dan Hanbali menyatakan minimal empat puluh orang, dan
disyarakan dengan imam yang mukallaf, merdeka, dan mustawthin, dan bukan musafir,
akan tetapi dibolehkan keadaan imam itu musafir apabila jumlah jama’ahnya lebih
dari empat puluh. Sebagaimana hadis nabi SAW:
لما روى البيهقي عن ابن مسعود أنه صلى الله عليه وسلم جمّع بالمدينة،
وكانوا أربعين رجلا. ولم يثبت أنه صلى الله عليه وسلم صلى بأقل من أربعين، فلا
تجوز بأقل منه
9. Mengenai hukum
jual beli pada hari jum’at, Allah SWT telah melarang untuk melakukan hal
tersebut, dan mengharamkan melakukan jual beli pada waktu tersebut, dan yang
dimaksud jual beli di sini ialah segala perbuatan muammalah yang dapat
melalaikan dari shalat seperti perkantoran, pariwisata, pernikahan, dan lain
sebagainya. Dan adapun bagi orang yang tidak berkewajiban menghadiri jum’at
(karena rukhsah atau pengecualian) maka tidak dilarang untuk melakukan kegiatan
bisnis.
10. Berusaha untuk
berzikir kepada Allah dan meninggalkan kegiatan-kegiatan duniawi lebih baik
bagi orang-orang mukmin dan lebih bermanfaat dari semua manfaat-manfaat
keduniaan. Jika mereka ahli ilmu pasti mereka mengetahui kewajiban mereka untuk
menjalankan perintah Allah agar datang ke masjid untuk melaksanakan shalat
jumat.
11. Dibolehkan
ketika telah selesai melaksanakan shalat untuk bertebaran di muka bumi untuk
berdagang dan berpindah-pindah dalam meraih kebutuhan (QS. Al-Jumuah: 9). Dan
perintah ini terdapat setelah larangan, maka ini menunjukkan bahwa itu mubah.
Kita tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan langsung keluar dari masjid
mencari karunia Allah setelah selesai shalat.
12. Allah
mengingatkan dalam firmannya:” berzikirlah kamu kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya”,
dan ini mencakup kepada ketaatan, zikir secara lisan, dan dengan mensyukuri
nikmat Allah berupa taufiqnya untuk melaksanakan segala kewajiban. Said bin Musayyab berkata: “ zikir
itu adalah bentuk ketaatan, maka siapa yang taat kepada Allah berarti ia telah
berzikir, dan siapa yang tidak taat kepada-Nya, maka dia bukan orang yang
berzikir, sekalipun ia merupakan orang yang banyak bertasbih”.
13. Orang-orang
bertebaran ketika nabi SAW sedang berkhutbah untuk berdagang, bermain-main dan
bersenang-senang. Maka dhamir “Ha” pada
kata اليها
dalam ayat ini kembali pada kata التجارة.
14. Para ulama
menggunakan dalil وَتَرَكُوكَ قَائِمًا sebagai kewajiban berdiri selama berkhutbah. Sebagaimana juga
yang teahdiriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi SAW tidak berkhutbah
kecuali berdiri. Begitu juga yang dilakukan oleh para khalifah sesudahnya, dan
hal ini terus dilakukan sampai pemerintahan Bani Umayah. Namun, pada masa
pemerintahan Umayah ini, terdapat seseorang yang mempermudah masalah khutbah ini,
sehingga ia berkhutbah dengan cara duduk. Dan khatib pertama yang melakukannya
ialah Mu’awiyah Radhiyallahu’anhu, ketika ia tidak sanggup berdiri. Dan Abu
Hanifah berpendapat bahwa berdiri ketika khutbah hukumnya adalah sunnah. Hal
itu dikarenakan kalaupun khatib berkhutbah sambil duduk, hal itu boleh saja,
karena tetap menyampaikan isi khutbah. Sedangkan pendapat mazhab Maliki, bahwa
hukumnya adalah wajib bukan syarat. Karena apabila duduk, itu berarti bahwa
khutbahnya telah sempurna dan lengkap. Adapun menurut mazhab Syafi’i dan
Hambali, bahwasannya khutbah dengan berdiri merupakan syarat sah, sehingga
tidak sah apabila tidak melakukannya. Para imam mazhab tersebut mengambil
hukum-hukum dalam berkhutbah mengambil dari sunnah Nabi SAW, diantaranya:
a) Sah hukumnya
salat Jum’at tanpa kehadiran imam dan izin darinya. Hal ini pernah dilakukan
oleh para sahabat. Suatu hari, Walid ibn ‘Uqbah sampai di Kufah dengan
terlambat. Maka Ibn Mas’ud salat bersama para jama’ah tanpa adanya izin dari
Walid. Dan diriwayatkan pula bahwa Sayyidina Ali salat jum’at bersama jama’ah
saat Sayyidina Usman ketika beliau terkepung. Dan tidak dinukil dalam riwayat
bahwa beliau meminta izin kepada Sayiidina Usman. Namun, Imam Abu Hanifah
mensyaratkan adanya imam, atau penggantinya, atau izin dari imam. Alasannya,
karena setiap perkumpulan harus ada izin apabila tidak hadir. Dan juga, tidak
bisa dikatakan berkumpul kecuali dengan izin. Dan juga, salat Jum’at merupakan
bagian dari ibadah dalam Islam, maka pelaksanaannya harus dengan cara yang
telah masyhur atau yang telah diketahui umat Islam.
b) Imam Malik
mensyaratkan pelaksanaan Salat Jum’at ini harus di masjid yang tertutup yang
memakai atap. Karena itu menunjukkan terjaganya masjid tersebut. Allah SWt
berfirman:
طَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ [الحج 22/ 26] وقوله: فِي بُيُوتٍ أَذِنَ
اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ [النور 24/ 36]
Dan
yang dimaksud dengan البيت
, yang setiap manusia pasti mengetahuinya, ialah yang memiliki dinding-dinding
dan atap. Begitu juga Imam Abu Hanifah mensyaratkan demikian saat beliau berada
di Mesir. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali tidak mensyaratkan bahwa
Salat Jum’at harus di masjid. Dan semuanya bersepakat bahwa harus dilaksanakan
dalam suatu negara.
c) Jumhur Ulama
sepakat bahwa Khutbah merupakan syarat di setiap pertemuan Salat Juam’at dan
tidak sah hukumnya apabila tanpa adanya khutbah. Hal ini berdasarkan
firman-Nya:
وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
Dalil tersebut bisa menjadi kecaman. Bahkan wajib hukumnya mencela orang
yang meninggalkannya. Karena sesungguhnya Nabi SAW tidak Salat Jum’at kecuali
dengan adanya khutbah. Dan telah berkata Sa’id ibn Jabir bahwa kedudukan
khutbah itu sama dengan dua rakaat Salat Zuhur. Maka apabila meninggalkan
khutbah namun kemudian Salat Jum’at, maka sesungguhnya telah meninggalkan dua
rakaat dari Salat Zuhur. Hasan al-Basri berkata bahwa khutbah merupakan sunnah
mustahabbah, dan bukan kewajiban.
d) Seorang khatib
berkhutbah dengan menggunakan panah atau tongkat. Sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang berbunyi:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا خطب في الحرب، خطب على قوس،
وإذا خطب في الجمعة، خطب على عصا.
e) Jumhur Ulama
sepakat bahwa ketika khatib naik ke atas mimbar, maka ia hendaknya mengucapkan
salam. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Majah:
عن جابر بن عبد الله: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا صعد المنبر سلّم.
Imam
Syafi’i juga berpendapat dalam Qaul Jadidnya bahwa seorang khatib harus suci
dari hadas besar dan hadas kecil. Dan itu merupakan syarat menurut Imam
Syafi’i. Adapun menurut mazhab Maliki, apabila khatib tidak bersuci, maka itu
merupakan ha yang tidak baik. Namun, tetap sah khutbahnya. Dan tidak perlu
mengulang baginya apabila Salat dalam keadaan suci.
f)
Seluruh Fuqaha sepakat bahwa paling sedikit,
dalam khutbah terdiri dari: Hamdalah (memuji Allah); Shalawat kepada Nabi SAW;
wasiat takwa; membaca satu ayat al-Quran; adapun pada khutbah yang kedua, sama
seperti empat macam pada khutbah yang pertama, hanya saja diwajibkan doa pada
khutbah yang kedua ini, sebagai pengganti bacaan ayat al-Quran pada khutbah
yang pertama. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila khatib mencukupkan
hanya dengan Tahmid, Tasbih, atau Takbir saja, maka hal itu dibolehkan.
Diriwayatkan dari Usman Radhiyallahu’anhu bahwa Nabi SAW naik ke atas mimbar,
dan membaca al-Hamdulillah. Dan aku ragu. Maka Nabi SAW bersabda “sesungguhnya
Abu Bakar dan Umar ibn Khattab akan menganggap perkataan ini untuk tempat ini.
Sesungguhnya kalian lebih membutuhkan imam yang memberi contoh daripada imam
yang memberi contoh dengan berbicara. Dan akan datang kepada kalian khutbah.
Kemudian Nabi SAW turun dan salat. Dan hal itu dihadiri oleh para sahabat. Dan
tidak ada satupun yang mengingkarinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa QS.
al-Jumu’ah [62]: 9-11 menerangkan tentang ketentuan sholat Jum’at. Menurut
Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya, al-Munir, salat Jum’at hukumnya wajib, dan
bersegera untuk melaksanakannya juga merupakan sebuah kewajiban. Namun,
kewajiban salat Jum’at merupakan kewajiban yang terbatas, karena dalam kitab
Fath al-Qarib dijelaskan bahwa yang diwajibkan adalah muslim laki-laki,
sedangkan perempuan tidak diwajibkan.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari perintah salat Jum’at adalah
adanya persatuan antarsesama umat muslim. Salat Jum’at dapat membuat umat
muslim berkumpul, berkhidmat dan khusyuk dalam beribadah. Hal ini juga
merupakan implikasi dari penegakan tafsir dari QS. al-Jumu’ah, bahwa ketika
waktu salat Jum’at tiba, umat muslim diseur untuk meninggalkan segala aktivitas
dan menghadap Allah dengan khusyuk.
B. Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai
ayat tentang sholat jumat, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian.
Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghozi, Qasim.
Fathul Qorib, Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah.
Romli, A. Chodri.
1996. Permasalahan Shalat Jum’at. Surabaya: Pustaka Progressif.
Zuhaili, Wahbah. 1418.
Tafsir al-Munir. Dimsyaq: Daar al-Fikr Ma’asirah.
______________. Fiqh
Islam Wa Adillatuhu. Dimsyaq: Daar al-Fikr.
No comments:
Post a Comment