BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pergaulan
erat kaitannya dengan sikap dan prilaku yang baik terhadap sesama manusia yang
setiap hari melakukan kegiatan komunikasi sosial. Pengetahuan tentang tata
pergaulan adalah salah satu hal yang penting diketahui untuk diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari, kepada sesama manusia umumnya.
Realitas
sosial menunjukkan bahwa hubungan antara sesama umat manusia saat ini sudah
mulai buruk dan cenderung kurang manusiawi. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang tata perlu untuk diketahui guna merakit kembali hubungan horizontal
antar sesama manusia dengan tujuan untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah yang
lebih indah. Karena dengan keadaan itulah kedamaian, keharmonisan, dan
ketenangan hidup bersama dapat dinikmati.
Bergaul
dengan orang banyak di tengah-tengah masyarakat mempunyai nilai keutamaan lebih
dibanding dengan hidup menyendiri menjauh dari mereka dengan syarat mengikuti
mereka dalam kegiatan-kegiatan keagamaan maupun sosial seperti menghadiri
shalat jum’ah, shalat berjamaah, majlis-majlis ta’lim, mengunjungi orang sakit,
mengantar jenazah (ta’ziyah), membantu meringankan beban sebagian anggota
masyarakat yang memerlukan, memberikan bimbingan kepada yang tidak tahu/tidak
mengerti atas suatu persoalan keagamaan maupun sosial serta mampu mengendalikan
diri dari mengikuti hal-hal yang tidak baik dan tabah serta sabar atas segala
gangguan yang mungkin timbul.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
tata pergaulan?
2.
Bagaimana
hadist-hadist yang menjelaskan tentang tata pergaulan?
3.
Bagamana
makna atau penjelasan hadist tersebut?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui tata pergaulan
2.
Untuk
mengetahui hadist-hadist yang menjelaskan tentang tata pergaulan
3.
Untuk mengetahui
makna atau penjelasan hadist tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tata
Pergaulan
1.
Pengertian
Pergaulan
Pergaulan adalah salah satu cara seseorang untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya. Bergaul dengan orang lain menjadi satu
kebutuhan yang sangat mendasar, bahkan bisa dikatakan wajib bagi setiap manusia
yang “masih hidup” di dunia ini untuk mewujudkan ukhwah Islamiyah.
Allah menciptakan kita dengan segala perbedaannya
sebagai wujud keagungan dan kekuasaan-Nya. Maka dari itu, janganlah perbedaan menjadi
penghalang kita untuk bergaul atau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
kita. . Tak ada yang dapat membedakan kita dengan orang lain, kecuali karena ketakwaannya
kepada Allah swt. [1]
2.
Pandangan
Islam Mengenai Pergaulan
Manusia diharuskan untuk memelihara dua bentuk hubungan
yaitu hubungan dengan Allah (habluminallah) dan hubungan sesama manusia
(habluminannas). Agama islam menyeru dan mengajak kaum muslimin melakukan
pergaulan diantara kaum muslimin. Karena dengan pergaulan, kita dapat saling berhubungan
mengadakan pendekatan satu sama lain, bisa saling tunjang menunjang dan saling
isi mengisi dalam kebutuhan. Juga dengan pergaulan kita dapat mencapai sesuatu
yang berguna untuk kemaslahatan masyarakat yang adil dan makmur, dalam membina
masyarakat yang berakhlakul karimah. Kemaslahatan masyarakat yang dilandasi
dengan akhlakul karimah tidak akan terwujud kecuali dengan kebaikan pergaulan
antara mereka.
Dalam kaitannya dengan pergaulan, agama menetapkan
rambu-rambu yang dapat memelihara umatnya agar tidak terjerumus ke dalam lembah
perzinaan. Larangan bagi yang bukan mahram untuk berduaan, apalagi di tempat
yang di duga dapat mengundang lahirnya pelanggaran agama, merupakan salah satu
contoh dari rambu pembatas itu.
Akhlak Pergaulan yang baik ialah melaksanakan pergaulan
menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Hukum syara’,
serta memenuhi segala hak yang berhak mendapatkannya masing-masing menurut
kadarnya.
Kita di galakan untuk saling mengenali antara satu sama
lain dan ini amat bertepatan dengan firman Allah swt dalam surat Al-Hujarat
ayat 13 yang berbunyi : “wahai umat manusia, sesungguhnya kami telah
menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami telah menjadikan kamu
berbagai bangsa bersuku pula, supaya kamu saling kenal-mengenal.
3.
Kunci
Utama dalam Pergaulan
Tiga kunci utama untuk mewujudkan pergaulan yaitu
ta’aruf, tafahum, dan ta’awun. Inilah tiga kunci utama yang harus kita lakukan
dalam pergaulan :[2]
a.
Ta’aruf
Ta’aruf
atau saling mengenal menjadi suatu yang wajib ketika kita akan melangkah keluar
untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dengan ta’aruf kita dapat membedakan
sifat, kesukuan, agama, kegemaran, karakter, dan semua ciri khas pada diri
seseorang. Dengan saling mengenal maka ukhuwah Islamiyah akan lebih mudah
terwujud.
b.
Tafahum
Memahami
merupakan langkah kedua yang harus kita lakukan ketika kita bergaul dengan
orang lain. Setelah kita mengenal seseorang pastikan kita tahu juga semua yang
ia sukai dan yang ia benci. Inilah bagian terpenting dalam pergaulan. Dengan
memahami kita dapat memilah dan memilih siapa yang harus menjadi teman bergaul
kita dan siapa yang harus kita jauhi, karena mungkin sifatnya jahat. Sebab,
agama kita akan sangat di tentukan oleh agama teman dekat kita. ketika kita
bergaul dengan orang-orang shalih akan banyak sedikit membawa kita menuju
kepada keshalihan. Dan sebaliknya, ketika kita bergaul dengan orang yang
akhlaknya buruk, pasti akan membawa kepada keburukan perilaku (akhlakul
majmumah).
c.
Ta’awun
Sikap
ta’awun yakni sikap saling tolong menolong. Karena inilah sesungguhnya yang
akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seseorang kepada kita. Bahkan islam
sangat menganjurkan kepada umatnya untuk saling menolong dalam kebaikan dan
takwa. Rasulullah saw telah mengatakan bahwa bukan termasuk umatnya orang yang
tidak peduli dengan urusan umat islam yang lain.
Ta’aruf,
tafahum, dan ta’awun telah menjadi bagian penting yang harus kita lakukan.
Tapi, semua ini tidak ada artinya jika dasarnya bukan ikhlas karena Allah.
Ikhlas harus menjadi sesuatu yang utama, termasuk ketika kita mengenal,
memahami dan saling menolong. Selain itu, tumbuhkan rasa cinta dan benci karena
Allah. Karena cinta dan benci karena Allah akan mendatangkan keridhoan Allah
dan seluruh makhluknya.
4.
Macam-Macam
Pergaulan
a.
Pergaulan antara
manusia dengan Allah
Apabila
seseorang mempunyai hubungan baik dengan Allah, maka hal itu akan memberikan
pengaruh bagi kehidupananya. Allah akan membuat kehidupannya teratur. Salah
satunya dalam berhubungan dengan sesama manusia.
b.
Pergaulan
dengan dirinya sendiri
Manakala
manusia telah menyucikan dirinya sendiri, maka dia akan mampu mempersiapkan
modal yang baik untuk berbuat dan bertindak secara bijak dan lurus dalam
kehidupan ini, khususnya untuk pergaulan dan hubungannya dengan sesama manusia.
c.
Pergaulan
dengan keluarga
Pergaulan
dengan keluarga merupakan sesuatu hal yang dituntut, juga merupakan titik tolak
dalam hubungan dengan sesame manusia. Karena anggota keluarga adalah manusia
yang paling dekat seseorang, maka tentunya hubungan sosial itu berpijak atas
dasar yang kokoh.
Namun
tidak semua pergaulan dengan keluarga itu di bolehkan, misalnya pergaulan
antara seseorang perempuan dengan kaka ipar laki-laki . Karena keduanya tidak
memiliki hubungan mahram. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
peringatan keras terhadap hubungan interaksi antar-saudara ipar.
Interaksi
dengan kakak ipar bisa menjadi sebab timbulnya maksiat dan kehancuran. Karena
orang bermudah-mudah untuk bebas bergaul dengan iparnya, tanpa ada pengingkaran
dari orang lain. Sehingga interaksinya lebih membahayakan daripada berinteraksi
dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga. Kondisi semacam ini
akan memudahkan mereka untuk terjerumus kedalam zina.
d.
Pergaulan
dengan sesama manusia (masyarakat)
Memelihara
pergaulan dengan sesama manusia sangat penting. Karena itu manusia dituntut
utuk bergaul dan berhubungan dengan sesamanya guna untuk kebahagian hidupnya,
dicintai oleh sesamanya, dan diridhai oleh Allah SWT.[3]
e.
Pergaulan
dengan sahabat
Pergaulan
dengan sahabat yaitu pergaulan dengan orang-orang yang paling dekat dengan
dengan kita. Persahabatan adalah sesuatu yang harus dibangun yang didasarkan
karena Allah. Karena akhlak yang utama, sifat rendah hati, kemauan, kesabaran,
pengendalian diri, dan nurani yang sehat.
5.
Rambu-Rambu
Pergaulan
Diantara
aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia adalah aturan mengenai tata cara
pergaulan antara pria dan wanita. Dalam kaitannya dengan tata pergaulan, agama
menetapkan rambu-rambu yang dapat memelihara umatnya agar tidak terjerumus ke
dalam lembah perzinaan. Larangan bagi yang bukan mahram untuk berduaan, apalagi
di tempat yang di duga dapat mengundang lahirnya pelanggaran agama, merupakan
salah satu contoh dari rambu pembatas itu.
Berikut
rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh setiap muslim agar mereka terhindar
dari perbuatan zina yang tercela:
a.
Hendaknya
setiap muslim menjaga pandangan matanya dari melihat lawan jenis secara
berlebihan.
b.
Hendaknya
setiap muslim menjaga auratnya masing-masing dengan cara berbusana islami agar
terhindar dari fitnah dan menjaga kehormatan.
c.
Tidak
berbuat sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada perbuatan zina (QS. 17: 32)
misalnya berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis yang bukan mahram.
d.
Menjauhi
pembicaraan atau cara berbicara yang bisa ‘membangkitkan selera’.
e.
Hendaknya
tidak melakukan ikhtilat, yakni berbaur antara pria dengan wanita dalam satu
tempat.
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa
pria dan wanita memang harus menjaga batasan dalam pergaulan. Dengan begitu
akan terhindarlah hal-hal yang tidak diharapkan.
B.
Beberapa
Hadist Tentang Etika Bergaul
1.
Larangan
Berdua-Duaan Tanpa Mahram
وَعَنْهُ رَضِى اللهُ َعْنهُ قَالَ :
سَمِعْتُ رسول اللهِ صلى الله عليه و سلم َيخْطُبُ يَقُوْلُ : لاَيَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ اِلاَّوَمَعَهَاذُوْمَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ
ِالاَّمَعَ ِذيْ مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ. فقال:يارسول الله، ِإنَّ ِإمْرَأَتِى
خَرَجَتْ حَا جَّةً وَ ِإنِّى ِاكْتَتَبْتُ فِى غَزْوَةٍ كَذَاوَكَذَا، فَقَالَ :
اِنْطَلِقْ فَحَجِّ مَعَ إِ مْرَأَتِكَ. (متفق عليه)
a)
Terjemahan Hadis :
"Ibnu Abbas
berkata : "Saya mendengar Rasulullah SAW berkotbah, "Janganlah
seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah)
besertanya (ada) mahramnya, dan janganlah bersafar (bepergian) seorang
perempuan, melainkan dengan mahramnya. "Seorang berdiri dan berkata : Ya
Rasulullah, istri saya keluar untuk haji, dan saya telah mendaftarkan diri pada
peperangan anu dan anu." Maka beliau bersabda, "Pergilah dan berhajilah
bersama istrimu." (Mutatafaq’alaih)[4]
b)
Tinjauan
Bahasa
Sedang berkhutbah : َيخْطُبُ
Menyendiri : يَخْلُوْ
Muhrim, orang yang haram
dinikahi : مَحْرَمٍ
Mengadakan perjalanan : تُسَافِرُ
Keluar mengerjakan haji : خَرَجَتْ حَا جَّةً
Menulis, mendaftar : ِاكْتَتَبْتَ
Perang :
غَزْوَةٌ
Pergi berangkat. : اِنْطَلِقَ
c)
Penjelasan
Hadits
Larangan
tersebut, antara lain dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan
jenis demi menghindari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang
menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan merupakan salah satu
pembeda antara manusia dengan binatang seakan-akan hilang. Hal ini karena
kesenangan dan kebebasan dijadikan sebagai rujukan utama. Akibatnya, perzinahan
sudah bukan hal yang aneh, tetapi sudah biasa terjadi, bahkan di tempat-tempat
umum sekalipun. Kalau demikian adanya, apa bedanya antara manusia dengan
binatang ?
Oleh
karena itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi
lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan
lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah.
Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah
preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh
agama dan yang telah disepakati masyarakat.
Adapun
larangan kedua, tentang wanita yang bepergian tanpa mahram, terjadi perbedaan
pendapat di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa larangan tersebut
sifatnya mutlak. Dengan demikian, perjalanan apa saja, baik yang dekat maupun
yang jauh, harus disertai mahram. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan
tersebut adalah perjalanan jauh yang memerlukan waktu minimal dua hari. Ada
pula yang berpendapat bahwa larangan tersebut ditujukan bagi wanita yang masih
muda-muda saja, sedangkan bagi wanita yang sudah tua diperbolehkan, dan masih
banyak pendapat lainnya.
Sebenarnya,
kalau dikaji secara mendalam, larangan wanita mengadakan safar adalah sangat
kondisional. Seandainya wanita tersebut dapat menjaga diri dan meyakini tidak
akan terjadi apa-apa. Serta merasa bahwa ia akan merepotkan mahramnya setiap
kali akan pergi. Maka perjalanannya dibolehkan. Misalnya pergi untuk kuliah,
kanotr dan lain-lain yang memang sudah biasa dilakukan setiap hari, apabila
kalau kantor atau tempat kuliahnya dekat. Namun demikian, lebih baik ditemani
oleh mahramnya, kalau tidak merepotkan dan menganggunya.
Dengan
demikian, yang menjadi standar adalah kemaslahatan dan keamanan. Begitu pula
pergi haji, kalau diperkirakan akan aman, apalagi pada saat ini telah ada
petugas pembimbing haji yang akan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
kelancaran para jamaah haji, maka seorang wanita yang pergi haji tidak disertai
mahramnya diperbolehkan kalau memang dia sudah memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan ibadah haji.
2.
Sopan
Santun Duduk Dijalan (AN : 29)
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ
رَضِيَ الله ُعَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوْا : مَالَنَابُدٌّ
إِنَّمَاهِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ : فَإِذَاأَبَيْتُمْ إِلاَّ
الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوْاالطَّرِيْقَ حَقَّهَا قَالُوْا : وَمَاحَقُّ الطَّرِيْقِ
؟ قَالَ : غَضُّ اْلبَصَرِوَكَفُّ اْلاَذَى وَرَدُّ السَّلاَم ِوَأَمْرٌ
بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ. (رواه البخاري ومسلم وأبوداود)
a)
Terjemahan
Hadits :
"Dari Abu Said
Al-Khudry r.a. Rasulullah SAW. bersabda, Kami semua harus menghindari untuk
duduk di atas jalan (pinggir jalan)-dalam riwayat lain, di jalan – mereka
berkata, "Mengapa tidak boleh padahal itu adalah tempat duduk kami untuk
mengobrol. Nabi bersabda, "Jika tidak mengindahkan larangan tersebut
karena hanya itu tempat untuk mengobrol, berilah hak jalan." Mereka
bertanya, "Apakah hak jalan itu?" Nabi bersabda, "Menjaga
pandangan mata, berusaha untuk tidak menyakiti, menjawab salam, memerintahkan
kepada kebaikan dan larangan kemunkaran." (H.R
Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)[5]
b)
Tinjauan
Bahasa
الطُّرُقَاتُ Jama
dari الطُّرُقُ yang juga merupakan jama’
yang berarti jalan. :
الطُّرُقٌ
Memejamkan, menundukkan,
menahan pandangan mata. : غَضُّ
Mencegah, menjauhkan dari : كَفٌّ
Bahaya, sesuatu yang
membahayakan atau merugikan. : َاْلاَذَى
c)
Penjelasan
Hadits
Rasulullah
SAW melarang duduk di pinggir jalan, baik di tempat duduk yang khusus, seperti
diatas kursi, di bawah pohon, dan lain-lain. Sebenarnya larangan tersebut bukan
berarti larangan pada tempat duduknya, yakni bahwa membuat tempat duduk di
pinggir jalan itu haram. Terbukti ketika para sahabat merasa keberatan dan
berargumen bahwa hanya itulah tempat mereka mengobrol. Rasulullah SAW. pun
membolehkannya dengan syarat mereka harus memenuhi hak jalan, yaitu berikut
ini.
(1)
Menjaga
Pandangan Mata
Menjaga
pandangan merupakan suatu keharusan begi setiap muslim atau muslimat, sesuai
dengan perintah Allah SWT. Dalam al-Qur'an :
Artinya :
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat".
Hal itu
tidak mungkin dapat dihindari bagi mereka yang sedang duduk dipinggir jalan.
Ini karena akan banyak sekali orang yang lewat, dari berbagai uisa dan berbagai
tipe. Maka bagi para lelaki jangalah memandang dengan sengaja kepada para
wanita yang bukan muhrim dengan pandanagan syahwat. Begitu pula, tidak boleh
memandang dengan pandangan sinis atau iri kepada siapa saja yang lewat.
Pandangan seperti tidak hanya akan melanggar aturan Islam. Tetapi akan
menimbulkan kecurigaan, persengketaan dan memarahan dari orang yang
dipandangnya, apalagi begi mereka yang mudah tersinggung. Oleh karena itu,
mereka yang sedang duduk dipinggir harus betul-betul menjaga pandangannya.
(2)
Tidak
Menyakiti
Tidak
boleh menyakiti orang-orang yang lewat, dengan lisan, tangan, kaki, dan
lain-lain. Dengan lisan misalnya mengata-ngatai atau membicarakannya, dengan
tangan misalnya melempar dengan batu-batu kesil atau benda apa saja yang akan
menyebabkan orang lewat sakit dan tersinggung, tidak memercikkan air, dan
lain-lain yang akan menyakiti orang yang lewat atau menyinggung perasaannya.
(3)
Menjawab
Salam
Menjawab
salam hukumnya adalah wajib meskipun mengucapkan- nya sunnat. Oleh karena itu,
jika ada yang mengucapkan salam ketika duduk dijalan, hukum menjawabnya adalah
wajib. Untuk lebih jelas tentang salam ini, akan dibahas di bawah.
(4)
Memerintahkan
kepada Kebaikan dan Melarang kepada Kemungkaran.
Apabila
sedang duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan sombong
atau sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain,
diwajibkan menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika
tidak mampu, karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, doakanlah dalam hati
supaya orang tersebut menyadari kekeliruan dan kesombongannya.
3.
Menyebarluaskan
Salam
Hadist Pertama
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ قَالَ
: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَااَيُّهَا النَّاسُ، اَفْشُوْا السَّلاَمِ
وَصِلُّوْا اْلأَرْحَامِ وَاَطْعِمُوْا الطَّعَامَ وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَ
النَّاسُ نُيَّامٌ تَدْ خُلُوْ الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.
a)
Terjemahan
Hadits :
"Dari Abdullah
bin Salam ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, "Hai Manusia,
siarkanlah salam dan hubungan kekeluarga-keluarga dan berilah makan dan
shalatl;ah pada malam ketika manusia tidur, niscaya kamu masuk surga dengan
sejahtera." (Dikeluarkan oleh Turmudzi dan ia
sahihkannya)[6]
b)
Tinjauan
Bahasa:
Menjelaskan, tetapi
maksud dalam hadis diatas adalah menyebarkan salam : َاْلإِفْشَاءُ
Kasih sayang, keluarga,
persaudaraan : اْلأَرْحَامُ
Damai, sejahtera : السَّلاَمٌ
Hadits Kedua:
عَنْ
عَيْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م: يَااَيُّهَاالنَّاسُ،
اَفْشَوْا السَّلاَم،َ وَصِلُوْا اْلاَحَامَ وَاَطْعِمُوْ الطَّعَامَ، وَصَلُّوْا
بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَّامٌ، تَذْخُلُوْ الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.
Terjemahan hadits:
“Dari Abdullah bin
Salam, Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: hai manusia! Siarkanlah salam
dan hubungilah keluarga-keluarga dan berikan makan dan sembahyanglah pada malam
ketika manusia tidur, niscaya kamu masuk surga dengan sederhana.
c)
Penjelasan
Hadits
Hadits
diatas mengandung beberapa pokok bahasan, yaitu sebagai berikut :[7]
(1)
Menyiarkan
(menyebarkan) Salam
Salam
merupakan salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antar
sesama muslim setiap kali bertemu. Mengucapkan salam menurut kesepakatan para
ulama hukumnya sunat mu'akad. Ini dipahami dari ayat 81 surat An-Nisa :
وَ
إِذَاحُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْابِأَحْسَنَ مِنْهَاأَوْرُدُّوْهَاإِنَّ
الله َكَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ حَسِيْبًا (النساء )
Artinya : "Apabila
ada orang memberi hormat (salam) kepada kamu, balaslah hormat (salamnya) itu
dengan cara yang lebih baik, atau balas penghormatan itu (serupa dengan
penghormatannya). Sesungguhnya Tuhan itu menghitung segala sesuatu". (Q.S An-Nisa : 81)
Mengucapkan
salam tidak hanya disunahkan ketika berjumpa dengan orang yang dikenal saja,
tetapi juga bertemu dengan orang yang belum dikenal. Sebagaimana dinyatakan
dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
عَنْ
عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَرَضِى الله ُأَنْهُ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ اْلإِ سْلاَمُ خَيْرٌ ؟ قَالَ : تُطْعِمُ
َوتَقْرَءُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ. (رواه البخارى
ومسلم)
Artinya : "Abdullah
Ibn Umar berkata, bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasulullah SAW,
"Islam seperti apakah yang paling baik ? Nabi Menjawab, "Memberi
makan dan mengucapkan salam, baik kepada kamu kenal mapun kepada orang yang
tidak kamu kenal. (H.R Bukhari da Muslim)
Dengan
hadits lain juga diterangkan tentang siapa yang pertama kali harus mengucapkan
salam, yaitu orang yang dalam kendaraan kepada yang berjalan kaki, orang yang
berjalan kepada yang duduk, kelompok yang sedikit kepada kelompok yang besar.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits :
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى وَ الْمَاشِى عَلىَ
اْلقَاعِدِ وَ اْلقَلِيْلُ عَلَى اْلكَثِيْرِ. متفق عليه وَفِى رِوَاَيةٍ
لِلْبُخَارِىِّ : وَالصَّغِيْرُ عَلَى اْلكَبِيْرِ.
Artinya : "Abu
Hurairah r.a berkata : "Rasulullah SAW bersabda, orang yang berkendaraan
memberi salam kepada yang berjalan, dan yang berjalan memberi salam kepada
orang yang duduk. Dan rombongan yang sedikit memberi salam kepada yang
banyak." (H.R Bukhari dan Muslim)
Dalam
riwayat Bukhari : "Dan yang kecil memberi salam kepada yang besar."
Salam
juga disunahkan diucapkan dalam berbagai situasi, misalnya ketika hendk masuk
rumah orang lain. Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an :
Artinya : "Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-
rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti
memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah,
yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya)
bagimu, agar kamu memahaminya. (Q.S. An-Nur : 61)
Begitu pula ketika meninggalkan suatu tempat
atau rumah disunahkan pula mengucapkan salam. Rasulullah SAW bersabda:
اِذَادَ
خَلْتُمْ بَيْتًافَسَلِّمُوْا عَلَى أَهْلِهِ فَإِذَاخَرَجْتُمْ فَأَوْدَعُوْا
أَهْلَهُ بِسَلاَمِ. (رواه البيهقى)
Artinya: ”Apabila
seorang diantara kamu masuk ke dalam suatu rumah, maka hendaklah ia mengucap
salam. Apabila ia lebih dahulu berdiri meninggalkan rumah itu, hendaklah ia
mengucapkan atau memberi salam pula”. (HR. Al-Baihaqi)
Kesimpulan :
Dari
pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwasanya, larangan berduaan tanpa
mahram disini membahas dua poin.
1)
Larangan
berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan belum resmi menikah.
2)
Larangan
bepergian kecuali dengan mahramnya. Kemudian larangan duduk dipinggir jalan,
disini Rasulullah SAW, membolehkan dengan syarat harus memenuhi hak jalan
antara lain:
a)
Menjaga
pandangan mata
b)
Menjawab
salam
c)
Memerintahkan
kepada kebaikan dan melarang kepada kemunggakaran.
Salam, merupakan salah satu identitas
seorang muslim untuk saling mendoakan antar sesama muslim setiap kali bertemu.[8]
4.
Macam-Macam
Zina Anggota Tubuh
Hadits
tentang macam-macam zina bagi anggota tubuh:
حَدَّثَنَا
إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا
وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُتِبَ عَلَى
ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ
وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ
زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ
Terjemah
Hadits:
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan
kepada kami Abu Hisyam Al Makhzumi telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah
menceritakan kepada kami Suhail bin Abu Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak
mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua
telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berbicara, zina kedua tangan adalah
menyentuh, zina kedua kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah berkeinginan
dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh
kemaluan.”
Tinjauan Bahasa
telah ditentukan : كُتِبَ
nasib perzinaannya :
نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا
kedua mata :
فَالْعَيْنَانِ
melihat :
النَّظَرُ
kedua telinga :
الْأُذُنَانِ
mendengar :
الِاسْتِمَاعُ
lidah :
اللِّسَانُ
berbicara :
الْكَلَامُ
kedua tangan :
الْيَدُ
menyentuh :
الْبَطْشُ
kedua kaki :
وَالرِّجْلُ
melangkah :
الْخُطَا
Hati :
وَالْقَلْبُ
Berkeinginan :
يَهْوَى
berangan-angan :
يَتَمَنَّ
Penjelasan Hadits
Perawi hadis di atas adalah Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu
Hurairah) Ra sedangkan perawi akhirnya adalah Muslim. Hadis tersebut menunjukan
bahwa “zina mata”, “zina lisan”, dan “zina hati” itu tergolong “mendekati
zina”. Namun, disamping tiga macam “zina kecil” ini, masih ada banyak jenis
aktivitas “mendekati zina” lainnya, seperti ‘zina tangan’, ‘zina kaki’, ‘zina bibir’,
dan ‘zina-zina tubuh yang lainnya’, kecuali alat kelamin.
Jika dipahami pengertian zina dalam konteks fiqih islam
dapat disebut sebagai adanya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di
luar nikah yang sah, maka yang dimaksud dengan zina anggota tubuh yaitu
meliputi zina tangan, zina mata, zina lidah dan sebagainya seperti yang disebut
dalam hadits di atas bukanlah makna yang hakiki melainkan makna yang majazi
(kiasan), karena tidak memenuhi kriteria perbuatan zina yang diatur dalam fiqih
islam. Penyebutannya sebagai zina membawa arti sebagai penyebab terjadinya
perbuatan zina. Oleh karena, larangan memandang, menyentuh dan sebagainya
adalah dimaksudkan supaya manusia berhati-hati bergaul dengan lawan jenisnya
karena disaat itu sangat rawan terjadinya perbuatan zina.
Disebut, dosa “mendekati zina” itu tergolong “dosa kecil”.
Sungguhpun demikian, perbuatan dosa yang “kecil” ini cenderung diremehkan oleh
pelakunya. Inilah yang dalam hadis di atas di sebut sebagai “bagiannya dari
zina yang pasti dia (manusia) lakukan”. Padahal, bila di remehkan yang kecil
itu bisa membesar. Ingatlah bahwa perbuatan zina selalu diawali dengan
“mendekati zina” terlebih dahulu. Dengan kata lain, dosa besar ini selalu
diawali dengan dosa-dosa kecil.
Firman Allah:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat". (Q. S. An-Nur: 30)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q. S. Al-Isra: 36)
Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk menjaga pandangan dan menjaga kemaluan. Hal ini menunjukkan bahwa
apabila pandangan tidak terjaga, maka akan berdampak pada tidak terjaganya
kemaluan. Dijelaskan pula bahwa jika seseorang mengobral pandangannya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dia mengetahui
(pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS.
Ghafir: 19).
Hal yang dimaksud yaitu dengan “mata yang
khianat” adalah mencuri pandang. Allah Maha Mengetahui mata yang mencuri
pandang. Allah juga Maha Mengetahui hal-hal yang tersembunyi di dalam dada,
seperti niat baik dan niat jahat. Bahkan Allah Maha Mengetahui dengan bisikan
jiwa dan apa yang dipikirkan oleh seseorang.
Setiap orang akan bertanggungjawab atas
pendengaran (telinganya), baik mendengar perkataan yang diharamkan maupun
mendengar tentang kebaikan.
Demikian pula dengan pandangan (mata), dan
hati. Jadi setiap orang harus dapat menjaga dirinya masing-masing. Yang
tergolong dalam macam-macam zina bagi anggota tubuh itu, yaitu:
1) Zina kedua mata adalah pandangan.
Maksudnya
jika seorang laki-laki memandang seorang wanita meskipun tanpa syahwat,
sedangka wanta tersebut bukan mahrammnya, maka pandangannya ini termasuk salah
satu bentuk zina dan inilah bentuk zina kedua mata.
2)
Zina
telinga
Zina
kedua telinga adalah dengan mendengar. Seorang laki-laki mendengarkan
pembicaraan wanita sambil menikmati merdunya suara wanita itu. Inilah bentuk
zina kedua telinga.
3)
Zina
tangan.
Bentuk
zinanya yaitu dengan meraba, memegang dan lain-lainnya.
4)
Zina kaki
Zina
kedua kaki adalah dengan melangkahkan kaki ke tempat maksiat atau ia mendengar
suara seorang wanita lalu ia pun mendatanginya. Inilah bentuk zina kedua kaki.
5)
Zina Lisan
Yaitu
perkataan yang disertai nafsu birahi. Contohnya : ucapan kotor atau tidak baik.
6)
Zina Hati
Pengertian
zina hati (berzina dalam hati) adalah mengharap dan menginginkan pemenuhan
nafsu birahi atau mengharapkan kesempatan untuk berzina atau memelihara hasrat
untuk berzina. Contohnya : berpikiran kotor atau tidak baik.
Bagi
seseorang yang merasakan adanya pengaruh demikian, sebaiknya ia berusaha untuk
menjauhinya. Hal ini dikarenakan setan berjalan ditubuh manusia layaknya
peredaran darah. Sedangkan pandangan mata adalah salah satu panah iblis yang
beracun. Terkadang ketika pertama kali seorang lelaki memandang seorang wanita,
hatinya masih dapat bertahan dan tidak membuatnya tergoda. Tetapi untuk kedua
dan ketiga kalinya, hatinya bisa tergoda olehnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pergaulan
adalah salah satu cara seseorang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya.
Bergaul dengan orang lain menjadi satu kebutuhan yang sangat mendasar, bahkan
bisa dikatakan wajib bagi setiap manusia yang “masih hidup” di dunia ini untuk
mewujudkan ukhwah Islamiyah.
Wanita
dan pria yang bukan suami istri, dilarang berduaan tanpa mahram dari wanita
itu. Begitu pula wanita dilarang bepergian tanpa mahramnya. Apabila laki-laki
dan bukan perempuan bukan muhrim berduaan, maka yang ketiganya adalah syaitan.
Ipar
(al-hamwu), tetapi rasulullah saw dalam arti lain berarti mati, artinya
bahayanya sangat besar, bisa membawa bahaya yang membawa maut. Rasulullah saw
memperingatkan seorang laki-laki berduaan dengan ipar sebab sering terjadi
karena dianggap sudah terbiasa dan memperingati hal tersebut di kalangan
keluarga, maka kadang-kadang membawa akibat yang tidak baik. Karena berduaan
dengan keluarga itu bahayanya lebih hebat dari pada orang lain dan fitnah pun
lebuh kuat. Sebab memungkinkan dia dapat masuk tempat pertemuaan tersebut tanpa
ada yang menegur. Hal itu berbeda sekali dengan orang lain.
B.
Saran
Semoga
dengan makalah ini kita dapat memahami dan menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari tentang tata pergaulan yang baik, berlaku sopan ketika dipinggir
jalan, dan menyebarkan salam kepada sesama muslim. Penulis mengucapkan mohon
maaf kepada semua pihak khususnya para dosen dan umumnya untuk semua mahasiswa
mengenai kritik dan saran.Karena penulis menyadari dalam penulisan makalah ini
masih sangat jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna perbaikan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Kahar Munsyur, Bulughul
Maram, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
cet. 3)
Khalil
Al-Musawi, Bagaimana Menyuksekan pergaulan Anda, (Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1989)
Masrap Suhaimi,
dkk, Terjemah Bulughul Maram. (Surabaya: Al-Ikhlas,1993)
Muhammad Quraish
Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2007)
Rachmat Syafe'I,
Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum), (Jakarta: PT. Pustaka
Setia, 2003)
Teungku Muhammad
Hasbi Ashshiddieqy, Mutiara Hadits 6. (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2003)
[1] Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama
Al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. 7
[2] Khalil Al-Musawi, Bagaimana Menyuksekan pergaulan Anda,
(Jakarta: PT Lentera Basritama, 1989), h. 5
[3] Khalil Al-Musawi, Bagaimana Menyuksekan pergaulan Anda,
(Jakarta: PT Lentera Basritama, 1989), h. 6
[4] Rachmat Syafe'I, Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum),
(Jakarta: PT. Pustaka Setia, 2003), h.217
[5] Kahar
Munsyur, Bulughul Maram, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, cet. 3), hal.225
[6] Masrap
Suhaimi, dkk, Terjemah Bulughul Maram. (Surabaya: Al-Ikhlas,1993), h.
461
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Mutiara Hadits 6.
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2003), h. 365
[8] Rahman Ritonga, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia.
(Bukit Tinggi: Amelia Surabaya, 2005), h. 168
No comments:
Post a Comment