Thursday, May 9, 2019

Makalah Hadist Etika Pergaulan


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Pergaulan erat kaitannya dengan sikap dan prilaku yang baik terhadap sesama manusia yang setiap hari melakukan kegiatan komunikasi sosial. Pengetahuan tentang tata pergaulan adalah salah satu hal yang penting diketahui untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, kepada sesama manusia umumnya.
Realitas sosial menunjukkan bahwa hubungan antara sesama umat manusia saat ini sudah mulai buruk dan cenderung kurang manusiawi. Oleh karena itu, pengetahuan tentang tata perlu untuk diketahui guna merakit kembali hubungan horizontal antar sesama manusia dengan tujuan untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah yang lebih indah. Karena dengan keadaan itulah kedamaian, keharmonisan, dan ketenangan hidup bersama dapat dinikmati.
Bergaul dengan orang banyak di tengah-tengah masyarakat mempunyai nilai keutamaan lebih dibanding dengan hidup menyendiri menjauh dari mereka dengan syarat mengikuti mereka dalam kegiatan-kegiatan keagamaan maupun sosial seperti menghadiri shalat jum’ah, shalat berjamaah, majlis-majlis ta’lim, mengunjungi orang sakit, mengantar jenazah (ta’ziyah), membantu meringankan beban sebagian anggota masyarakat yang memerlukan, memberikan bimbingan kepada yang tidak tahu/tidak mengerti atas suatu persoalan keagamaan maupun sosial serta mampu mengendalikan diri dari mengikuti hal-hal yang tidak baik dan tabah serta sabar atas segala gangguan yang mungkin timbul.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana tata pergaulan?
2.      Bagaimana hadist-hadist yang menjelaskan tentang tata pergaulan?
3.      Bagamana makna atau penjelasan hadist tersebut?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui tata pergaulan
2.      Untuk mengetahui hadist-hadist yang menjelaskan tentang tata pergaulan
3.      Untuk mengetahui makna atau penjelasan hadist tersebut




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Tata Pergaulan
1.      Pengertian Pergaulan
Pergaulan adalah salah satu cara seseorang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Bergaul dengan orang lain menjadi satu kebutuhan yang sangat mendasar, bahkan bisa dikatakan wajib bagi setiap manusia yang “masih hidup” di dunia ini untuk mewujudkan ukhwah Islamiyah.
Allah menciptakan kita dengan segala perbedaannya sebagai wujud keagungan dan kekuasaan-Nya. Maka dari itu, janganlah perbedaan menjadi penghalang kita untuk bergaul atau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar kita. . Tak ada yang dapat membedakan kita dengan orang lain, kecuali karena ketakwaannya kepada Allah swt. [1]
2.      Pandangan Islam Mengenai Pergaulan
Manusia diharuskan untuk memelihara dua bentuk hubungan yaitu hubungan dengan Allah (habluminallah) dan hubungan sesama manusia (habluminannas). Agama islam menyeru dan mengajak kaum muslimin melakukan pergaulan diantara kaum muslimin. Karena dengan pergaulan, kita dapat saling berhubungan mengadakan pendekatan satu sama lain, bisa saling tunjang menunjang dan saling isi mengisi dalam kebutuhan. Juga dengan pergaulan kita dapat mencapai sesuatu yang berguna untuk kemaslahatan masyarakat yang adil dan makmur, dalam membina masyarakat yang berakhlakul karimah. Kemaslahatan masyarakat yang dilandasi dengan akhlakul karimah tidak akan terwujud kecuali dengan kebaikan pergaulan antara mereka.
Dalam kaitannya dengan pergaulan, agama menetapkan rambu-rambu yang dapat memelihara umatnya agar tidak terjerumus ke dalam lembah perzinaan. Larangan bagi yang bukan mahram untuk berduaan, apalagi di tempat yang di duga dapat mengundang lahirnya pelanggaran agama, merupakan salah satu contoh dari rambu pembatas itu.
Akhlak Pergaulan yang baik ialah melaksanakan pergaulan menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Hukum syara’, serta memenuhi segala hak yang berhak mendapatkannya masing-masing menurut kadarnya.
Kita di galakan untuk saling mengenali antara satu sama lain dan ini amat bertepatan dengan firman Allah swt dalam surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi : “wahai umat manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa bersuku pula, supaya kamu saling kenal-mengenal.
3.      Kunci Utama dalam Pergaulan
Tiga kunci utama untuk mewujudkan pergaulan yaitu ta’aruf, tafahum, dan ta’awun. Inilah tiga kunci utama yang harus kita lakukan dalam pergaulan :[2]
a.       Ta’aruf
Ta’aruf atau saling mengenal menjadi suatu yang wajib ketika kita akan melangkah keluar untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dengan ta’aruf kita dapat membedakan sifat, kesukuan, agama, kegemaran, karakter, dan semua ciri khas pada diri seseorang. Dengan saling mengenal maka ukhuwah Islamiyah akan lebih mudah terwujud.
b.      Tafahum
Memahami merupakan langkah kedua yang harus kita lakukan ketika kita bergaul dengan orang lain. Setelah kita mengenal seseorang pastikan kita tahu juga semua yang ia sukai dan yang ia benci. Inilah bagian terpenting dalam pergaulan. Dengan memahami kita dapat memilah dan memilih siapa yang harus menjadi teman bergaul kita dan siapa yang harus kita jauhi, karena mungkin sifatnya jahat. Sebab, agama kita akan sangat di tentukan oleh agama teman dekat kita. ketika kita bergaul dengan orang-orang shalih akan banyak sedikit membawa kita menuju kepada keshalihan. Dan sebaliknya, ketika kita bergaul dengan orang yang akhlaknya buruk, pasti akan membawa kepada keburukan perilaku (akhlakul majmumah).
c.       Ta’awun
Sikap ta’awun yakni sikap saling tolong menolong. Karena inilah sesungguhnya yang akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seseorang kepada kita. Bahkan islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa. Rasulullah saw telah mengatakan bahwa bukan termasuk umatnya orang yang tidak peduli dengan urusan umat islam yang lain.
Ta’aruf, tafahum, dan ta’awun telah menjadi bagian penting yang harus kita lakukan. Tapi, semua ini tidak ada artinya jika dasarnya bukan ikhlas karena Allah. Ikhlas harus menjadi sesuatu yang utama, termasuk ketika kita mengenal, memahami dan saling menolong. Selain itu, tumbuhkan rasa cinta dan benci karena Allah. Karena cinta dan benci karena Allah akan mendatangkan keridhoan Allah dan seluruh makhluknya.
4.      Macam-Macam Pergaulan
a.       Pergaulan antara manusia dengan Allah
Apabila seseorang mempunyai hubungan baik dengan Allah, maka hal itu akan memberikan pengaruh bagi kehidupananya. Allah akan membuat kehidupannya teratur. Salah satunya dalam berhubungan dengan sesama manusia.
b.      Pergaulan dengan dirinya sendiri
Manakala manusia telah menyucikan dirinya sendiri, maka dia akan mampu mempersiapkan modal yang baik untuk berbuat dan bertindak secara bijak dan lurus dalam kehidupan ini, khususnya untuk pergaulan dan hubungannya dengan sesama manusia.
c.       Pergaulan dengan keluarga
Pergaulan dengan keluarga merupakan sesuatu hal yang dituntut, juga merupakan titik tolak dalam hubungan dengan sesame manusia. Karena anggota keluarga adalah manusia yang paling dekat seseorang, maka tentunya hubungan sosial itu berpijak atas dasar yang kokoh.
Namun tidak semua pergaulan dengan keluarga itu di bolehkan, misalnya pergaulan antara seseorang perempuan dengan kaka ipar laki-laki . Karena keduanya tidak memiliki hubungan mahram. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan keras terhadap hubungan interaksi antar-saudara ipar.
Interaksi dengan kakak ipar bisa menjadi sebab timbulnya maksiat dan kehancuran. Karena orang bermudah-mudah untuk bebas bergaul dengan iparnya, tanpa ada pengingkaran dari orang lain. Sehingga interaksinya lebih membahayakan daripada berinteraksi dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga. Kondisi semacam ini akan memudahkan mereka untuk terjerumus kedalam zina.
d.      Pergaulan dengan sesama manusia (masyarakat)
Memelihara pergaulan dengan sesama manusia sangat penting. Karena itu manusia dituntut utuk bergaul dan berhubungan dengan sesamanya guna untuk kebahagian hidupnya, dicintai oleh sesamanya, dan diridhai oleh Allah SWT.[3]
e.       Pergaulan dengan sahabat
Pergaulan dengan sahabat yaitu pergaulan dengan orang-orang yang paling dekat dengan dengan kita. Persahabatan adalah sesuatu yang harus dibangun yang didasarkan karena Allah. Karena akhlak yang utama, sifat rendah hati, kemauan, kesabaran, pengendalian diri, dan nurani yang sehat.
5.      Rambu-Rambu Pergaulan
Diantara aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia adalah aturan mengenai tata cara pergaulan antara pria dan wanita. Dalam kaitannya dengan tata pergaulan, agama menetapkan rambu-rambu yang dapat memelihara umatnya agar tidak terjerumus ke dalam lembah perzinaan. Larangan bagi yang bukan mahram untuk berduaan, apalagi di tempat yang di duga dapat mengundang lahirnya pelanggaran agama, merupakan salah satu contoh dari rambu pembatas itu.
Berikut rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh setiap muslim agar mereka terhindar dari perbuatan zina yang tercela:
a.       Hendaknya setiap muslim menjaga pandangan matanya dari melihat lawan jenis secara berlebihan.
b.      Hendaknya setiap muslim menjaga auratnya masing-masing dengan cara berbusana islami agar terhindar dari fitnah dan menjaga kehormatan.
c.       Tidak berbuat sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada perbuatan zina (QS. 17: 32) misalnya berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis yang bukan mahram.
d.      Menjauhi pembicaraan atau cara berbicara yang bisa ‘membangkitkan selera’.
e.       Hendaknya tidak melakukan ikhtilat, yakni berbaur antara pria dengan wanita dalam satu tempat.
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa pria dan wanita memang harus menjaga batasan dalam pergaulan. Dengan begitu akan terhindarlah hal-hal yang tidak diharapkan.

B.     Beberapa Hadist Tentang Etika Bergaul
1.      Larangan Berdua-Duaan Tanpa Mahram
وَعَنْهُ رَضِى اللهُ َعْنهُ قَالَ : سَمِعْتُ رسول اللهِ صلى الله عليه و سلم َيخْطُبُ يَقُوْلُ : لاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ اِلاَّوَمَعَهَاذُوْمَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ِالاَّمَعَ ِذيْ مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ. فقال:يارسول الله، ِإنَّ ِإمْرَأَتِى خَرَجَتْ حَا جَّةً وَ ِإنِّى ِاكْتَتَبْتُ فِى غَزْوَةٍ كَذَاوَكَذَا، فَقَالَ : اِنْطَلِقْ فَحَجِّ مَعَ إِ مْرَأَتِكَ. (متفق عليه)
a)      Terjemahan  Hadis :
"Ibnu Abbas berkata : "Saya mendengar Rasulullah SAW berkotbah, "Janganlah seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahramnya, dan janganlah bersafar (bepergian) seorang perempuan, melainkan dengan mahramnya. "Seorang berdiri dan berkata : Ya Rasulullah, istri saya keluar untuk haji, dan saya telah mendaftarkan diri pada peperangan anu dan anu." Maka beliau bersabda, "Pergilah dan berhajilah bersama istrimu." (Mutatafaq’alaih)[4]
b)      Tinjauan Bahasa
Sedang berkhutbah                         : َيخْطُبُ
Menyendiri                                     : يَخْلُوْ
Muhrim, orang yang haram dinikahi : مَحْرَمٍ
Mengadakan perjalanan                              : تُسَافِرُ
Keluar mengerjakan haji                             : خَرَجَتْ حَا جَّةً
Menulis, mendaftar                         : ِاكْتَتَبْتَ
Perang                                                        : غَزْوَةٌ
Pergi berangkat.                                         : اِنْطَلِقَ
c)      Penjelasan Hadits
Larangan tersebut, antara lain dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan jenis demi menghindari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan merupakan salah satu pembeda antara manusia dengan binatang seakan-akan hilang. Hal ini karena kesenangan dan kebebasan dijadikan sebagai rujukan utama. Akibatnya, perzinahan sudah bukan hal yang aneh, tetapi sudah biasa terjadi, bahkan di tempat-tempat umum sekalipun. Kalau demikian adanya, apa bedanya antara manusia dengan binatang ?
Oleh karena itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang telah disepakati masyarakat.
Adapun larangan kedua, tentang wanita yang bepergian tanpa mahram, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya mutlak. Dengan demikian, perjalanan apa saja, baik yang dekat maupun yang jauh, harus disertai mahram. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan jauh yang memerlukan waktu minimal dua hari. Ada pula yang berpendapat bahwa larangan tersebut ditujukan bagi wanita yang masih muda-muda saja, sedangkan bagi wanita yang sudah tua diperbolehkan, dan masih banyak pendapat lainnya.
Sebenarnya, kalau dikaji secara mendalam, larangan wanita mengadakan safar adalah sangat kondisional. Seandainya wanita tersebut dapat menjaga diri dan meyakini tidak akan terjadi apa-apa. Serta merasa bahwa ia akan merepotkan mahramnya setiap kali akan pergi. Maka perjalanannya dibolehkan. Misalnya pergi untuk kuliah, kanotr dan lain-lain yang memang sudah biasa dilakukan setiap hari, apabila kalau kantor atau tempat kuliahnya dekat. Namun demikian, lebih baik ditemani oleh mahramnya, kalau tidak merepotkan dan menganggunya.
Dengan demikian, yang menjadi standar adalah kemaslahatan dan keamanan. Begitu pula pergi haji, kalau diperkirakan akan aman, apalagi pada saat ini telah ada petugas pembimbing haji yang akan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelancaran para jamaah haji, maka seorang wanita yang pergi haji tidak disertai mahramnya diperbolehkan kalau memang dia sudah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan ibadah haji.
2.      Sopan Santun Duduk Dijalan (AN : 29)
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ الله ُعَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوْا : مَالَنَابُدٌّ إِنَّمَاهِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ : فَإِذَاأَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوْاالطَّرِيْقَ حَقَّهَا قَالُوْا : وَمَاحَقُّ الطَّرِيْقِ ؟ قَالَ : غَضُّ اْلبَصَرِوَكَفُّ اْلاَذَى وَرَدُّ السَّلاَم ِوَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ. (رواه البخاري ومسلم وأبوداود)
a)      Terjemahan Hadits :
"Dari Abu Said Al-Khudry r.a. Rasulullah SAW. bersabda, Kami semua harus menghindari untuk duduk di atas jalan (pinggir jalan)-dalam riwayat lain, di jalan – mereka berkata, "Mengapa tidak boleh padahal itu adalah tempat duduk kami untuk mengobrol. Nabi bersabda, "Jika tidak mengindahkan larangan tersebut karena hanya itu tempat untuk mengobrol, berilah hak jalan." Mereka bertanya, "Apakah hak jalan itu?" Nabi bersabda, "Menjaga pandangan mata, berusaha untuk tidak menyakiti, menjawab salam, memerintahkan kepada kebaikan dan larangan kemunkaran." (H.R Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)[5]
b)      Tinjauan Bahasa
الطُّرُقَاتُ Jama dari  الطُّرُقُ yang juga merupakan jama’ yang berarti jalan. :
الطُّرُقٌ
Memejamkan, menundukkan, menahan pandangan mata. : غَضُّ
Mencegah, menjauhkan dari  : كَفٌّ
Bahaya, sesuatu yang membahayakan atau merugikan. : َاْلاَذَى
c)      Penjelasan Hadits
Rasulullah SAW melarang duduk di pinggir jalan, baik di tempat duduk yang khusus, seperti diatas kursi, di bawah pohon, dan lain-lain. Sebenarnya larangan tersebut bukan berarti larangan pada tempat duduknya, yakni bahwa membuat tempat duduk di pinggir jalan itu haram. Terbukti ketika para sahabat merasa keberatan dan berargumen bahwa hanya itulah tempat mereka mengobrol. Rasulullah SAW. pun membolehkannya dengan syarat mereka harus memenuhi hak jalan, yaitu berikut ini.
(1)   Menjaga Pandangan Mata
Menjaga pandangan merupakan suatu keharusan begi setiap muslim atau muslimat, sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam al-Qur'an :
Artinya : "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Hal itu tidak mungkin dapat dihindari bagi mereka yang sedang duduk dipinggir jalan. Ini karena akan banyak sekali orang yang lewat, dari berbagai uisa dan berbagai tipe. Maka bagi para lelaki jangalah memandang dengan sengaja kepada para wanita yang bukan muhrim dengan pandanagan syahwat. Begitu pula, tidak boleh memandang dengan pandangan sinis atau iri kepada siapa saja yang lewat. Pandangan seperti tidak hanya akan melanggar aturan Islam. Tetapi akan menimbulkan kecurigaan, persengketaan dan memarahan dari orang yang dipandangnya, apalagi begi mereka yang mudah tersinggung. Oleh karena itu, mereka yang sedang duduk dipinggir harus betul-betul menjaga pandangannya.
(2)   Tidak Menyakiti
Tidak boleh menyakiti orang-orang yang lewat, dengan lisan, tangan, kaki, dan lain-lain. Dengan lisan misalnya mengata-ngatai atau membicarakannya, dengan tangan misalnya melempar dengan batu-batu kesil atau benda apa saja yang akan menyebabkan orang lewat sakit dan tersinggung, tidak memercikkan air, dan lain-lain yang akan menyakiti orang yang lewat atau menyinggung perasaannya.
(3)   Menjawab Salam
Menjawab salam hukumnya adalah wajib meskipun mengucapkan- nya sunnat. Oleh karena itu, jika ada yang mengucapkan salam ketika duduk dijalan, hukum menjawabnya adalah wajib. Untuk lebih jelas tentang salam ini, akan dibahas di bawah.
(4)   Memerintahkan kepada Kebaikan dan Melarang kepada Kemungkaran.
Apabila sedang duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan sombong atau sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, diwajibkan menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika tidak mampu, karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, doakanlah dalam hati supaya orang tersebut menyadari kekeliruan dan kesombongannya.
3.      Menyebarluaskan Salam
Hadist Pertama
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ :   يَااَيُّهَا النَّاسُ، اَفْشُوْا السَّلاَمِ وَصِلُّوْا اْلأَرْحَامِ وَاَطْعِمُوْا الطَّعَامَ وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نُيَّامٌ تَدْ خُلُوْ الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.
a)      Terjemahan Hadits :
"Dari Abdullah bin Salam ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, "Hai Manusia, siarkanlah salam dan hubungan kekeluarga-keluarga dan berilah makan dan shalatl;ah pada malam ketika manusia tidur, niscaya kamu masuk surga dengan sejahtera." (Dikeluarkan oleh Turmudzi dan ia sahihkannya)[6]
b)      Tinjauan Bahasa:
Menjelaskan, tetapi maksud dalam hadis diatas adalah menyebarkan salam : َاْلإِفْشَاءُ
Kasih sayang, keluarga, persaudaraan : اْلأَرْحَامُ
Damai, sejahtera : السَّلاَمٌ
Hadits Kedua:
عَنْ عَيْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م: يَااَيُّهَاالنَّاسُ، اَفْشَوْا السَّلاَم،َ وَصِلُوْا اْلاَحَامَ وَاَطْعِمُوْ الطَّعَامَ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَّامٌ، تَذْخُلُوْ الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.
Terjemahan hadits:
“Dari Abdullah bin Salam, Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: hai manusia! Siarkanlah salam dan hubungilah keluarga-keluarga dan berikan makan dan sembahyanglah pada malam ketika manusia tidur, niscaya kamu masuk surga dengan sederhana.
c)      Penjelasan Hadits
Hadits diatas mengandung beberapa pokok bahasan, yaitu sebagai berikut :[7]
(1)   Menyiarkan (menyebarkan) Salam
Salam merupakan salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antar sesama muslim setiap kali bertemu. Mengucapkan salam menurut kesepakatan para ulama hukumnya sunat mu'akad. Ini dipahami dari ayat 81 surat An-Nisa :
وَ إِذَاحُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْابِأَحْسَنَ مِنْهَاأَوْرُدُّوْهَاإِنَّ الله َكَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ حَسِيْبًا (النساء )
Artinya : "Apabila ada orang memberi hormat (salam) kepada kamu, balaslah hormat (salamnya) itu dengan cara yang lebih baik, atau balas penghormatan itu (serupa dengan penghormatannya). Sesungguhnya Tuhan itu menghitung segala sesuatu". (Q.S An-Nisa : 81)
Mengucapkan salam tidak hanya disunahkan ketika berjumpa dengan orang yang dikenal saja, tetapi juga bertemu dengan orang yang belum dikenal. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَرَضِى الله ُأَنْهُ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ اْلإِ سْلاَمُ خَيْرٌ ؟ قَالَ : تُطْعِمُ َوتَقْرَءُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ. (رواه البخارى ومسلم)
Artinya : "Abdullah Ibn Umar berkata, bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasulullah SAW, "Islam seperti apakah yang paling baik ? Nabi Menjawab, "Memberi makan dan mengucapkan salam, baik kepada kamu kenal mapun kepada orang yang tidak kamu kenal. (H.R Bukhari da Muslim)
Dengan hadits lain juga diterangkan tentang siapa yang pertama kali harus mengucapkan salam, yaitu orang yang dalam kendaraan kepada yang berjalan kaki, orang yang berjalan kepada yang duduk, kelompok yang sedikit kepada kelompok yang besar. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى وَ الْمَاشِى عَلىَ اْلقَاعِدِ وَ اْلقَلِيْلُ عَلَى اْلكَثِيْرِ. متفق عليه وَفِى رِوَاَيةٍ لِلْبُخَارِىِّ : وَالصَّغِيْرُ عَلَى اْلكَبِيْرِ.
Artinya : "Abu Hurairah r.a berkata : "Rasulullah SAW bersabda, orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan, dan yang berjalan memberi salam kepada orang yang duduk. Dan rombongan yang sedikit memberi salam kepada yang banyak." (H.R Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhari : "Dan yang kecil memberi salam kepada yang besar."
Salam juga disunahkan diucapkan dalam berbagai situasi, misalnya ketika hendk masuk rumah orang lain. Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an :
Artinya : "Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (Q.S. An-Nur : 61)
Begitu pula ketika meninggalkan suatu tempat atau rumah disunahkan pula mengucapkan salam. Rasulullah SAW bersabda:
اِذَادَ خَلْتُمْ بَيْتًافَسَلِّمُوْا عَلَى أَهْلِهِ فَإِذَاخَرَجْتُمْ فَأَوْدَعُوْا أَهْلَهُ بِسَلاَمِ. (رواه البيهقى)
Artinya: ”Apabila seorang diantara kamu masuk ke dalam suatu rumah, maka hendaklah ia mengucap salam. Apabila ia lebih dahulu berdiri meninggalkan rumah itu, hendaklah ia mengucapkan atau memberi salam pula”. (HR. Al-Baihaqi)
Kesimpulan :
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwasanya, larangan berduaan tanpa mahram disini membahas dua poin.
1)      Larangan berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan belum resmi menikah.
2)      Larangan bepergian kecuali dengan mahramnya. Kemudian larangan duduk dipinggir jalan, disini Rasulullah SAW, membolehkan dengan syarat harus memenuhi hak jalan antara lain:
a)      Menjaga pandangan mata
b)      Menjawab salam
c)      Memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kepada kemunggakaran.
Salam, merupakan salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antar sesama muslim setiap kali bertemu.[8]
4.      Macam-Macam Zina Anggota Tubuh
Hadits tentang macam-macam zina bagi anggota tubuh:
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Terjemah Hadits:
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Abu Hisyam Al Makhzumi telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Suhail bin Abu Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Sesungguhnya manusia itu telah ditentukan nasib perzinaannya yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berbicara, zina kedua tangan adalah menyentuh, zina kedua kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.”
Tinjauan Bahasa
telah ditentukan             :  كُتِبَ
nasib perzinaannya                    :  نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا
kedua mata                               :  فَالْعَيْنَانِ
melihat                                      :  النَّظَرُ
kedua telinga                            :  الْأُذُنَانِ
mendengar                                : الِاسْتِمَاعُ
lidah                                         : اللِّسَانُ
berbicara                                  : الْكَلَامُ
kedua tangan                            : الْيَدُ
menyentuh                                : الْبَطْشُ
kedua kaki                               : وَالرِّجْلُ
melangkah                                : الْخُطَا
Hati                                          : وَالْقَلْبُ
Berkeinginan                             : يَهْوَى
berangan-angan                        : يَتَمَنَّ
Penjelasan Hadits
Perawi hadis di atas adalah Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah) Ra sedangkan perawi akhirnya adalah Muslim. Hadis tersebut menunjukan bahwa “zina mata”, “zina lisan”, dan “zina hati” itu tergolong “mendekati zina”. Namun, disamping tiga macam “zina kecil” ini, masih ada banyak jenis aktivitas “mendekati zina” lainnya, seperti ‘zina tangan’, ‘zina kaki’, ‘zina bibir’, dan ‘zina-zina tubuh yang lainnya’, kecuali alat kelamin.
Jika dipahami pengertian zina dalam konteks fiqih islam dapat disebut sebagai adanya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar nikah yang sah, maka yang dimaksud dengan zina anggota tubuh yaitu meliputi zina tangan, zina mata, zina lidah dan sebagainya seperti yang disebut dalam hadits di atas bukanlah makna yang hakiki melainkan makna yang majazi (kiasan), karena tidak memenuhi kriteria perbuatan zina yang diatur dalam fiqih islam. Penyebutannya sebagai zina membawa arti sebagai penyebab terjadinya perbuatan zina. Oleh karena, larangan memandang, menyentuh dan sebagainya adalah dimaksudkan supaya manusia berhati-hati bergaul dengan lawan jenisnya karena disaat itu sangat rawan terjadinya perbuatan zina.
Disebut, dosa “mendekati zina” itu tergolong “dosa kecil”. Sungguhpun demikian, perbuatan dosa yang “kecil” ini cenderung diremehkan oleh pelakunya. Inilah yang dalam hadis di atas di sebut sebagai “bagiannya dari zina yang pasti dia (manusia) lakukan”. Padahal, bila di remehkan yang kecil itu bisa membesar. Ingatlah bahwa perbuatan zina selalu diawali dengan “mendekati zina” terlebih dahulu. Dengan kata lain, dosa besar ini selalu diawali dengan dosa-dosa kecil.
Firman Allah:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (Q. S. An-Nur: 30)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q. S. Al-Isra: 36)
Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga pandangan dan menjaga kemaluan. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pandangan tidak terjaga, maka akan berdampak pada tidak terjaganya kemaluan. Dijelaskan pula bahwa jika seseorang mengobral pandangannya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19).
Hal yang dimaksud yaitu dengan “mata yang khianat” adalah mencuri pandang. Allah Maha Mengetahui mata yang mencuri pandang. Allah juga Maha Mengetahui hal-hal yang tersembunyi di dalam dada, seperti niat baik dan niat jahat. Bahkan Allah Maha Mengetahui dengan bisikan jiwa dan apa yang dipikirkan oleh seseorang.
Setiap orang akan bertanggungjawab atas pendengaran (telinganya), baik mendengar perkataan yang diharamkan maupun mendengar tentang kebaikan.
Demikian pula dengan pandangan (mata), dan hati. Jadi setiap orang harus dapat menjaga dirinya masing-masing. Yang tergolong dalam macam-macam zina bagi anggota tubuh itu, yaitu:
1)      Zina kedua mata adalah pandangan.
Maksudnya jika seorang laki-laki memandang seorang wanita meskipun tanpa syahwat, sedangka wanta tersebut bukan mahrammnya, maka pandangannya ini termasuk salah satu bentuk zina dan inilah bentuk zina kedua mata.
2)      Zina telinga
Zina kedua telinga adalah dengan mendengar. Seorang laki-laki mendengarkan pembicaraan wanita sambil menikmati merdunya suara wanita itu. Inilah bentuk zina kedua telinga.
3)      Zina tangan.
Bentuk zinanya yaitu dengan meraba, memegang dan lain-lainnya.
4)      Zina kaki
Zina kedua kaki adalah dengan melangkahkan kaki ke tempat maksiat atau ia mendengar suara seorang wanita lalu ia pun mendatanginya. Inilah bentuk zina kedua kaki.
5)      Zina Lisan
Yaitu perkataan yang disertai nafsu birahi. Contohnya : ucapan kotor atau tidak baik.
6)      Zina Hati
Pengertian zina hati (berzina dalam hati) adalah mengharap dan menginginkan pemenuhan nafsu birahi atau mengharapkan kesempatan untuk berzina atau memelihara hasrat untuk berzina. Contohnya : berpikiran kotor atau tidak baik.
Bagi seseorang yang merasakan adanya pengaruh demikian, sebaiknya ia berusaha untuk menjauhinya. Hal ini dikarenakan setan berjalan ditubuh manusia layaknya peredaran darah. Sedangkan pandangan mata adalah salah satu panah iblis yang beracun. Terkadang ketika pertama kali seorang lelaki memandang seorang wanita, hatinya masih dapat bertahan dan tidak membuatnya tergoda. Tetapi untuk kedua dan ketiga kalinya, hatinya bisa tergoda olehnya.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Pergaulan adalah salah satu cara seseorang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Bergaul dengan orang lain menjadi satu kebutuhan yang sangat mendasar, bahkan bisa dikatakan wajib bagi setiap manusia yang “masih hidup” di dunia ini untuk mewujudkan ukhwah Islamiyah.
Wanita dan pria yang bukan suami istri, dilarang berduaan tanpa mahram dari wanita itu. Begitu pula wanita dilarang bepergian tanpa mahramnya. Apabila laki-laki dan bukan perempuan bukan muhrim berduaan, maka yang ketiganya adalah syaitan.
Ipar (al-hamwu), tetapi rasulullah saw dalam arti lain berarti mati, artinya bahayanya sangat besar, bisa membawa bahaya yang membawa maut. Rasulullah saw memperingatkan seorang laki-laki berduaan dengan ipar sebab sering terjadi karena dianggap sudah terbiasa dan memperingati hal tersebut di kalangan keluarga, maka kadang-kadang membawa akibat yang tidak baik. Karena berduaan dengan keluarga itu bahayanya lebih hebat dari pada orang lain dan fitnah pun lebuh kuat. Sebab memungkinkan dia dapat masuk tempat pertemuaan tersebut tanpa ada yang menegur. Hal itu berbeda sekali dengan orang lain.
B.     Saran
Semoga dengan makalah ini kita dapat memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari tentang tata pergaulan yang baik, berlaku sopan ketika dipinggir jalan, dan menyebarkan salam kepada sesama muslim. Penulis mengucapkan mohon maaf kepada semua pihak khususnya para dosen dan umumnya untuk semua mahasiswa mengenai kritik dan saran.Karena penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan makalah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Kahar Munsyur, Bulughul Maram,  (Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. 3)

Khalil Al-Musawi, Bagaimana Menyuksekan pergaulan Anda, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1989)

Masrap Suhaimi, dkk, Terjemah Bulughul Maram. (Surabaya: Al-Ikhlas,1993)

Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007)

Rachmat Syafe'I, Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum), (Jakarta: PT. Pustaka Setia, 2003)

Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Mutiara Hadits 6. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2003)



[1] Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. 7
[2] Khalil Al-Musawi, Bagaimana Menyuksekan pergaulan Anda, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1989), h. 5
[3] Khalil Al-Musawi, Bagaimana Menyuksekan pergaulan Anda, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1989), h. 6
[4] Rachmat Syafe'I, Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum), (Jakarta: PT. Pustaka Setia, 2003), h.217
[5] Kahar Munsyur, Bulughul Maram,  (Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. 3),  hal.225
[6] Masrap Suhaimi, dkk, Terjemah Bulughul Maram. (Surabaya: Al-Ikhlas,1993), h. 461
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Mutiara Hadits 6. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2003), h. 365
[8] Rahman Ritonga, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia. (Bukit Tinggi: Amelia Surabaya, 2005), h. 168

No comments:

Post a Comment