Wednesday, April 24, 2019

Makalah Akhlak


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Membahas tentang akhlak, tidak pernah lepas dari tingkah laku manusia. Karena akhlak sudah ada sejak manusia itu dilahirkan. Mulai dari manusia yang pertama kali yaitu Nabi Adam as sampai sekarang ini. Ilmu Akhlak adalah ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia untuk dinilai apakah perbuatan tersebut tergolong baik, mulia, terpuji, atau sebaliknya, yakni buruk, hina dan tercela. Selain itu dalam ilmu ini dibahas pula ukuran kebahagiaan, keutamaan, kebijaksanaan, keindahan dan keadilan. Akhlak juga merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya, karena manusia tanpa akhlak akan kehilangan derajatnya sebagai makhluk Allah yang paling mulia.
Karena akhlak sudah ada sejak manusia pertama kali diciptakan, tentu akhlak memiliki sejarah yang luar biasa, mulai dari akhlak sebelum islam dan setelah datangnya islam serta akhlak di luar islam.. Untuk itu pada kesempatan ini kami akan membahasnya dalam makalah kami yang berjudul “Sejarah Perkembangan Akhlak”. Semoga apa yang kami sajikan sedikit bisa membantu menambah pemahaman sahabt/i semua dalam memahami Ilmu Akhlak.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalh ini adalah :
1.      Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu akhlak?
2.      Bagaimana akhlak terpuji dan tercela?
3.      Bagaimana aplikasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari?
4.      Bagaimana model pembentukan akhlak?

  
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan ilmu akhlak
2.      Untuk mengetahui akhlak terpuji dan tercela
3.      Untuk mengetahui aplikasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari
4.      Untuk mengetahui model pembentukan akhlak
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Ilmu Akhlak Di Luar Agama Islam
1.      Perkembngan Akhlak Pada Zaman Yunani
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak pada Bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticiant, yaitu orang-orang yang bijaksana (500 – 450 SM). Sebelum itu para filsuf  Yunani Kuno tidak banyak membincangkan mengenai akhlak karena perhatiannya tercurah pada penyelidikan mengenai alam.[1]
Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia.akhlak yang mereka bangun lebih brsifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia atau bersifat antroposentris,dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia itu sendiri, dan hasil yang didapat adalah ilmu akhlak yang berdasar pada logika murni. Karena manusia secara fitrah telah dibekali dengan potensi bertuhan, beragama dan cenderung pada kebaikan, disamping juga memiliki kecenderungan pada keburukan.
Pandangan dan pemikiran yang dikemukakan para filosof Yunani secara redaksional berbeda-beda, tetapi substansi dan tujuannya sama yaitu menyiapkan angkatan muda Yunani agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.
Para tokoh filosofi Yunani yang mengemukakan tentang akhlak diantaranya adalah :
a.       Socrates (469-399 SM)
Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak Yunani yang pertama karena ia yang pertama kali bersungguh-sungguh membentuk pola hubungan antarmanusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu tidak akan menjadi benar kecuali bila didasarkan pada ilmu pengetahuan, sehingga berpendapat bahwa keutamaan atau akhlak itu adalah ilmu.
Namun demikian, ia tidak mengemukakan tentang tujuan akhir akhlak, atau ukuran yang dipergunakan untuk menilai suatu perbuatan apakah baik atau buruk. Akibatnya, maka bermunculan berbagai golongan yang menyatakan tentang akhlak, walaupun sama-sama disandarkan pada Socrates.
b.      Cynics  dan  Cyrenics
Cynics dan Cyrenics adalah pengikut Socrates, tetapi ajaran keduanya bertolak belakang. Kelompok Cynics dibangun oleh Antisthenes yang hidup pada tahun 444-370 SM  yang menyatakan bahwa Tuhan dibersihkan dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah yang memiliki perangai ketuhanan. Dengan akhlak ketuhanan ini, seseorang berusaha meminimalisasi kebutuhan terhadap dunia, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak suka akn kemewahan, menjauhi klezatan,dan tidak peduli dengan cercaan orang lain, yang penting dia dapat memelihara akhlak yang mulia. Pemimpin golongan Cynics yang terkenal adalah Diogenes (323 SM).[2]
Adapun golongan Cyrenics dipimpin oleh Aristippus (435-356 SM) menyatakan bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah satu-satunya tujuan hidup yang benar. Perbuatan dinilai utama apabila lebih banyak mendatangkan kelezatan daripada kepedihan.
c.       Plato (427-347 SM)
Plato adalah filosof Athena dan murid dari Socrates. Pandangan Plato mengenai akhlak didasarkan pada teori “model”(paradigma) yang menyatakan bahwa dibalik alam ini ada alam rohani (alam ideal)sebagai contoh bagi alam konkret.  Keterkaitan antara alam ideal dengan alam konkret dijelaskan melalui materi akhlak dengan contoh keterkaitannya yang terdapat pada kebaikan, yaitu arti mutlak, azali, kekal, dan sempurna. Manusia yang dekat dengan kebaikan akan memperoleh cahaya dan lebih dekat pada kesempurnaan.
d.      Aristoteles (394-322 SM)
Aristoteles adalah murid Plato yang membangun suatu paham khas . pengikutnya diberi nama “paripatetics” karena Sorates memberi pelajaran sambil berjalan atau karena ia memberikan pelajaran di tempat-tempat teduh. Diantara pendapatnya tentanf akhlak adalah sebagai berikut :
a)      Tujuan akhir yang dikehendaki manusia dalam semua tindakannya adalah “bahagia”.
b)      Jalan mencapai kebahagiaan adalah  mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya.
c)      Sebagaimana Plato, Aristoteles juga dikenal sebagai pembawa teori pertengahan. Menurutnya, keutamaan itu terletak ditengah-tengah antara dua keburukan. Misalnya, dermawan adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan takut serta lain sebagainya.
e.       Stoics dan Epicurics
Keduanya berbeda pendapat dalam mengemukakan pandangannya tentang kebaikan. Stoics berpendirian sebagaimana paham Synics, dimana ajaranya diberi nama Stoisisme yang menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah menjalani segala sesuatu yang bisa dijalani secara rasional dimana kesengsaraan dan kebahagiaan datang dan pergi sehingga kita tidak perlu melekat pada salh satu diantaranya. Ajaran ini banyak diikuti ahli filsafat Yunani dan Romawi kuno, dan diantara para pengikutnya yang termasyhur diantaranya adalah Seneca (6-65 M), Epictetus (60-140 M) dan Kaisar Marcus Aerelius (121-180 M).
Adapun kelompok Epicurics mendasarkan pelajarannya pada paham kelompok Cyrenics yang menitikberatkan pada etika yang akan memberikan ketenangan batin. Diantara ajaran-ajarannya adalah :
1)      Manusia tidak akan tenang karena takut pada dewa-dewa, dan takut pada kematian dan nasib.
2)      Manusia tidak perlu takut karena dewa-dewa yang menikmati kebahagiaan yang kekal tidak mengganggu.
3)      Mati juga tidak perlu ditakuti karena mati berarti tidak menderita.
4)      Nasib manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri. kalau manusia itu mempunyai ketenagan batin, maka dapat mencapai tujuan hidupnya.
5)      Tujuan hidup manusia adlah hedone (kenikmatan,kepuasan). Ketenangan batin diperoleh dengan memuaskan keinginan, semakin sedikit keinginan maka akn semakin tenang.  Sehingga manusia harus bisa memilih keinginan yang dapat memberikan kepuasan mendalam.
Keseluruhan ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani tersebut tampak rasionalistik. Penetapan baik dan buruk didasarkan pada akal pikiran yang sehat. Karenanya tidak salah kalau ajaran akhlak yang dikemukakan oleh pemikir Yunani tersebut bersifat antropocentris (memusat pada manusia) dan yang demikian itu dapat diikuti selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunah.[3]
2.      Perkembangan Akhlak Pada Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi, tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama itu telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang tercantum dalam kitab Taurat dan Injil. Agama itu memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan merupakan sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi dan menentukan segala bentuk patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Baik dalam arti sebenarnya adalah kerelaan Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Ajaran akhlak pada agama Nasrani ini bersifat Teo-centri(memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin). Ajaran akhlak agama Nasrani yang dibawa oleh para pendeta sejalan dengan ajaran Yunani dari aliran Stoics dalam persoalan baik dan buruk, sehingga kedudukan para pendeta sama dengan kedudukan para ahli filsafat di Yunani. Menurut ahli filsafat Yunani pendorong untuk melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan dan kebijaksanaan, sedangkan menurut agama Nasrani pendorong berbuat kebaikan adalah cinta dan iman kepada Tuhan berdasarkan petunjuk kitab Taurat.
Agama Nasrani mendorong manusia bersungguh-sungguh mwnsucikan diri, baik pikiran maupun perbuatannya. Agama adalah roh yang mengendalikan badan dan syahwat. Oleh karena itu sebagian pengikut agama ini menelantarkan badan, menghindari dunia, suka hidup zuhud dan ibadah dalam kesendirian.
3.      Akhlak Pada Bangsa Romawi (Abad Pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa pada abad pertengahan dikuasai oleh gereja, dan pada masa itu gereja berusaha memerangi filsafatYunani serta menentang penyiaran ilmu serta kebudayaan kuno.gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima oleh wahyu, dan apa yang diperintahkan oleh wahyu tentu benar apa adanya. Oleh karena itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal pikiran untuk kegiatan penelitian. Menggunakan filsafat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan doktrin yang dikeluarkan oleh gereja. Namun demikian, sebagian dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran geeja dan mencocokkannya dengan akal. Adapun filsafat yang menentang ajaran Nasrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahanadalah ajaran ahlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan Nasrani. Diantaranya yang termasyhur adalah Abelard (1079-1142) seorang ahli filsafat Perancis, dan Thomas Aquinas (1226-1274) seorang ahli filsafat agama berkebangsaan Italia.
4.      Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Isalam
Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak mempunyai ahli fisafat yang mengajak kepada aliran paham tertentu sebagaimana Bangsa Yunani dan Romawi.hal ini terjadi karena penyelidikan terhadap ilmu hanya terjadi kepada bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang mengandung nilai-nlai akhlak, seperti Lukman Al-hakim, Aktsam bin Saifi, Zuhair bin Abi Sulma, dan Hatim At-Tha’i.[4]
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum islam telah memiliki kadar pemikiran yang minimal pada bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan para filsafat Yunani Kuno.

B.     Akhlak Terpuji dan Tercela
Akhlak Terpuji
1.      Macam-macam Akhlak Teruji
Dalam menentukan macam-macam akhlak terpuji, para pakar muslim umumnya merujuk pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Ini tentunya seiring dengan konsep baik dan buruk dalam pandangan islam sebagaimana telah dipaparkan. Muhammad bin Abdillah As-Sahim umpamanya, menyebutkan bahwa diantara akhlak terpuji ialah betgaul secara baik dan berbuat baik kepada sesama, adil, rendah hati, jujur, dermawan, tawakal, ikhlas, bersyukur, sabar dan takut kepada Allah SWT..[5]
a.       Akhlak Terhadap Allah SWT
1)      Menauhidkan Allah SWT
Definisi tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT . satu-satunya yang memiliki sifat rububiyyah dan uluhiyyah, serta kesempurnaan nama dan sifat
a)      Tauhid Rububiyyah, yaitu meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya yang menciptakan alam ini, yang memilikinya, yang menurunkan rezeki kepada makhluk, yang berkuasa mendatangkan manfaat dan menimpakan mudarat, yang mengabulkan doa dan permintaan hamba ketika mereka terdesak, yang berkuasa melaksanakan apa yang dikehendakinya, yang memberi dan mencegah di tangan-Nya segala kebaikan dan bagi-Nya penciptaan dan juga segala urusan.
b)      Tauhid Uluhiyyah, yaitu mengimani Allah SWT.
c)      Tauhid Asma dan sifat.
2)      Berbaik Sangka (husnu zhann)
Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT. Merupakan salah satu akhlak terpuji kepada-Nya. Diantara ciri akhlak terpuji adalah ketaatan yang sunguh-sunguh kepada-Nya.
a)      Zikrullah
Mengingat Allah (Zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah SWT. Karena merupakan pertanda hubungan antara hamba dan pencipta pada setiap saat dan tempat.[6]
b)      Tawakal
Hakikat tawakal adalah enyerahkan segala usrusan kepada Allah Azza wa Jalla,  membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menampaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan.
2.      Aklak terhadap Diri Sendiri
a.       Sabar
Secara etimologis, sabar (ash-shabr) berarti menahan dan mengekang (al-habs wa al-kuf). Secara terminologis sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah.
Sabar dapat didefinisikan dengan tahan menderita dan menerima cobaan dengan hati rida serta menyerahkan diri kepada Allah SWT. Sabar terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Sabar dari maksiat, artinya bersabar diri untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.
2)      Sabar karena taat kepada Allah SWT, artinya sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya sengan senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada-Nya.
3)      Sabar karena musibah, artinya sabar ketika ditimpa kemalangan dan ujian, serta cobaan dari Allah SWT.
b.      Syukur
Syukur merupakan sikap seseorang untuk tidak menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT dalam melakukan maksiat kepada-Nya. Bentuk syukur in ditandai dengan keyakinan hati bahwa nikmat yang diperoleh berasal dari Allah SWT, bukan selain-Nya, lalu diikuti pujian oleh lisan, dan tidak menggunakan  nikmat untuk ssesuatu yang dibenci pemberinya.
c.       Menunaikan Amanah
Pengertian Amanah menurut arti bahasa adalah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan, atau kejujuran, kebalikan dari khianat. Amanah adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia, ataupun tugas kewajiban.
Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam pengertian yang luas amanah mencakup banyak hal: menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lain-lain sebagainya.
d.      Benar atau Jujur
Maksud akhlak terpuji ini adalah berlaku benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Benar dalam perkataan adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ngada dan tidak pula menyembunyikannya.
e.       Menepati Janji (al-wafa’)
Dalam Islam, janji merupakan utang. Utang harus dibayar (ditepati). Kalau kita mengadakan perjanjian pada hari tertentu, kita harus menunaikannya tepat pada waktunya. Janji mengandung tangung jawab.
f.        Memelihara kesucian diri
Memelihara kesucian diri (al-iffah) adalah menjaga diri dari segala tuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan. Secara etimologis iffah adalah bentuk masdar dari affa-ya’iffu’iffah yang berarti menjauhkan dari hal-hal yang tidak baik dan juga berarti kesucian tubuh. Secara terminologis, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya.[7]
3.      Akhlak Terhadap Keluarga
a.       Berbakti kepada orang tua
Berkati kepada orang tua merupakan faktor utama diterimanya doa seseorang, juga merupakan amal saleh paling utama yang dilakukan oleh seorang muslim.
b.      Bersikap baik kepada saudara
Agama islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada sanak saudara atau kaum kerabat sesudah menunaikan kewajiban kepada Allah SWT dan ibu bapak. Hidup damai dengan saudara dapat tercapai apabila tetap terjalin dengan saling pengertian dan tolong menolong.
4.      Akhlak Terhadap Masyarakat
a.       Berbuat baik kepada tetangga
Tetangga adalah orang terdekat dengan kita. Dekat bukan karena pertalian darah atau pertalian persaudaraan. Bahkan, mungkin tidak seagama dengan kita. Dekat disini adalah orang yang tinggal berdekatan dengan rumah kita.
b.      Suka menolong Orang lain
Orang mukmin apabila melihat orang lain tertimpa kesusahan akan tergerak hatinya untuk menolong mereka sesuai dengan kemampuannya. Apabila tidak asa bantuan berupa benda, kita dapat membantu orang tersebut dengan nasehat atau kata-kata yang dapat menghibur hatinya.
5.      Akhlak Terhadap Lingkungan
Dalam pamdangan akhlak islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan dan terhadap semua proses yang sedang terjadi
Macam-macam Akhlak Tercela (akhlak Madzmumah)
Kata mazmumah berasal dari bahasa arab yang artinya tercela. Akhlak mazmumah artinya akhlak tercela. Istilah ini digunakan oleh beberapa kitab tentang akhlak, seperti Ihya ‘Ulum Ad-Din dan Ar-Risalah Al-Qusairiyyah.
1.      Syirik
Syirik secara bahasa adalah menyamakan dua hal, sedang menurut pengertian istilah, terdiri atas definisi umum dan definisi khusus. Definisi umum adalah menyamakan sesuatu dengan Allah dalam hal-hal yang secara khusus dimilik Allah. Definisi syirik secara khusus adalah menjadikan sekutu selain Allah SWT dan memperlakukannya seperti Allah SWT seperti berdoa dan meminta syafaat.
2.      Kufur
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Kufur merupakan kata sifat dari kafir. Jadi, kafir adalah orangnya, sedangkan kufur  adalah sifatnya. Menurut syara’, kufur adalah tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak mendustakan.[8]
3.      Nifak dan Fasik
Secara bahasa, nifak berarti lubang tempat keluarnya yarbu (binatang sejenis tikus) dari sarangnya. Jika ia dicari dari lubang yang satu, ia akan keluar dari lubang lain. Dikatakan pula, kata nifak berasal dari kata yang berarti lubang bawah tanah tempat bersenmbunyi.
4.      Takabur dan Ujub
Takabur terbagi menjadi dua bagian, yaitu takabur batin dan lahir, takabur batin adalah perilaku dan akhlak diri, sedangkan takabur lahir adalah perbuatan-perbuatan anggota tubuh yang muncul dari takabur batin. Perbuatan-perbuatan buruk yang muncul dari takabur batin sangat banyak sehingga tidak dapat disebutkan satu persatu.
5.      Ujub
Diantara sifat buruk manusia yang banyak merusak kehidupan adalah dengki. Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasad, yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut dipeoleh dengan tidak sewajarnya.
6.      Gibah
Raghib Al-Ashfahani menjelaskan bahwa gibah adalah membicarakan aib orang lain dan tidak ada keperluan dalam penyebutannya. Al-Ghazali menjelasan bahwa gibah adalah menuturkan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain yang apabila penuturan itu sampai pada yang bersangkutan, ia tidak menyukainya.
7.      Riya’
Riya’ merupakan salah satu sifat tercela yang harus dibuang jauh-jauh dalam jiwa kaum muslim karena riya’ dapat mengugurkan amal ibadah. Riya’ adalah memperlihatkan diri kepada orang lain. Maksudnya beramal bukan karena Allah SWT, tetapi karena manusia, riya’ ini erat hubungannya dengan sifat takabur.

C.     Aplikasi Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari
Di dalam hati yang bersih,iman tumbuh dan bekembang.Ia menebarkan cahaya ke seluruh anggota badan lahir batin. Jika indikator manusia berakhlak adalah manusia yang tertanam di dalam hatinya iman yang kokoh, maka tasawuf adalah upaya bagaimana kiat-kiat agar iman itu “istiqamah” dan tetap kokoh.
Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana agar manusia dapat memiliki akhlak al-karimah. Caranya yaitu dengan cara tasfiat al-qalb. Metode tasfiat al-qalb yang disepakati oleh para sufi adalah dawam al-zikir (selalu ingat kepada tuhan). Zikir adalah ruh amal saleh.[9]
Tujuh alasan zikir menjadi pola tasfiat al-qalb yang disepakati sufi dan dimajukan secara nagli.
1.      Perintah zikir dalam al-Qur’an dating ada secara mutlak dalam arti tidak diikat dengan pernyataan-pernyataan yang lain dan ada yang perintahnnya dikaitkan dengan ikatan-ikatan yang lain.
2.      Larangan berlaku sebaliknya yaitu lupa dan lalai dari zikir.
3.      Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia dikaitkan dengan banyak dan istiqamah  dalam berdzikir.
4.      Pujian Allah dialamatkan kepada ahli zikir dan Allah menjanjikan bagi mereka   ampunan dan surga.
5.      Informasi allah bahwa kerugian bagi orang yang bersikap sebaliknya yakni tidak  berdzikir.
6.      Allah menjadikan zikir hamba kepada-Nya sebagai sarat zikirnya Allah kepada  mereka.
7.      Pernyataan Allah secara jelas bahwa zikir adalah perkara yang amat besar .Zikir adalah ketaatan yang paling utama dan yang dimaksud ketaatan adalah taat secara total yakni melakukan zikir yang merupakan rahasia dan ruh ketaatan.[10]
Menurut ilmu akhlak kebiasaan yang baik harus disempurnakan dan kebiasaan yang jelek harus dihilangkan. Kebiasaan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan dan membentuk akhlak seseorang. Sejak awal Nabi menganjurkan agar anak dibiasakan melakukan kewajiban – kewajiban. Nabi bersabda :
Artinya: “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat sewaktu mereka berumur tujuh tahun, dan ambilah tindakan tegas pada waktu mereka berumur sepuluh tahun”. (H.R Tirmizi).
Dalam akhlak “keutamaan” tidaklah cukup dengan hanya mengetahui apakah “keutamaan itu”, tetapi harus ditambah dengan melatihnya dan terus menerus mengerjakannya atau mencari jalan lain untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan dan kebaikan (ahl al-fadl wa al-khair). Al-Ghazali menjelaskan secara singkat ada tiga cara untuk mencapai akhlak yang baik. Cara pertama ialah akhlak yang merupakan anugerah dan kasih saying Allah yakni orang memiliki akhlak baik secara alamiah (bi al-thabi’ah wa al-fithrah). Kedua dengan “mujahadah” (menahan diri) dan ketiga dengan “Riyadhah” melatih diri secara spiritual.
D.    Metode Pembentukan Akhlak
Minimal ada 6 (enam) metode pembinaan akhlak dalam perspektif Islam ; metode yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis, serta pendapat pakar pendidikan Islam :
1.      Metode Uswah (teladan)
Teladan adalah sesuatu yang pantas untuk diikuti, karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Manusia teladan yang harus dicontoh dan diteladani adalah Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab ayat 21 : “Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasulullah itu, teladan yang baik bagimu.”
Jadi, sikap dan perilaku yang harus dicontoh, adalah sikap dan perilaku Rasulullah SAW, karena sudah teruji dan diakui oleh Allah SWT. Aplikasi metode teladan, diantaranya adalah, tidak menjelek-jelekkan seseorang, menghormati orang lain, membantu orang yang membutuhkan pertolongan, berpakaian yang sopan, tidak berbohong, tidak berjanji mungkir, membersihkan lingkungan, dan lain-lain ; yang paling penting orang yang diteladani, harus berusaha berprestasi dalam bidang tugasnya.
2.      Metode Ta’widiyah (pembiasaan)
Secara etimologi, pembiasaan asal katanya adalah biasa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, biasa artinya lazim atau umum ; seperti sedia kala ; sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.[11]
Muhammad Mursyi dalam bukunya “Seni Mendidik Anak”, menyampaikan nasehat Imam al-Ghazali : “Seorang anak adalah amanah (titipan) bagi orang tuanya, hatinya sangat bersih bagaikan mutiara, jika dibiasakan dan diajarkan sesuatu kebaikan, maka ia akan tumbuh dewasa dengan tetap melakukan kebaikan tersebut, sehingga ia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat”
Dalam ilmu jiwa perkembangan, dikenal teori konvergensi, dimana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya, dengan mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Salah satu cara yang dapat dilakukan, untuk mengembangkan potensi dasar tersebut, adalah melalui kebiasaan yang baik. Oleh karena itu, kebiasaan yang baik dapat menempa pribadi yang berakhlak mulia.
Aplikasi metode pembiasaan tersebut, diantaranya adalah, terbiasa dalam keadaan berwudhu’, terbiasa tidur tidak terlalu malam dan bangun tidak kesiangan, terbiasa membaca al-Qur’ab dan Asma ul-husna shalat berjamaah di masjid/mushalla, terbiasa berpuasa sekali sebulan, terbiasa makan dengan tangan kanan dan lain-lain. Pembiasaan yang baik adalah metode yang ampuh untuk meningkatkan akhlak peserta didik dan anak didik.
3.      Metode Mau’izhah (nasehat)
Kata mau’izhah berasal dari kata wa’zhu, yang berarti nasehat yang terpuji, memotivasi untuk melaksanakannya dengan perkataan yang lembut.
Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 232 :…”Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kalian, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian”…
Aplikasi metode nasehat, diantaranya adalah, nasehat dengan argumen logika, nasehat tentang keuniversalan Islam, nasehat yang berwibawa, nasehat dari aspek hukum, nasehat tentang  “amar ma’ruf nahi mungkar”, nasehat tentang amal ibadah dan lain-lain. Namun yang paling penting, si pemberi nasehat harus mengamalkan terlebih dahulu apa yang dinasehatkan tersebut, kalau tidak demikian, maka nasehat hanya akan menjadi lips-service.
4.      Metode Qishshah (ceritera)
Qishshah dalam pendidikan mengandung arti, suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran, dengan menuturkan secara kronologis, tentang bagaimana terjadinya sesuatu hal, baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja.
Dalam pendidikan Islam, ceritera yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis merupakan metode pendidikan  yang sangat penting, alasannya, ceritera dalam al-Qur’an dan Hadis, selalu memikat, menyentuh perasaan dan mendidik perasaan keimanan, contoh, surah Yusuf, surah Bani Israil dan lain-lain.
Aplikasi metode qishshah ini, diantaranya adalah, memperdengarkan casset, video dan ceritera-ceritera tertulis atau bergambar. Pendidik harus membuka kesempatan bagi anak didik untuk bertanya, setelah itu menjelaskan tentang hikmah qishshah dalam meningkatkan akhlak mulia.
5.      Metode Amtsal (perumpamaan)
Metode perumpamaan adalah metode yang banyak dipergunakan dalam al-Qur’an dan Hadis untuk mewujudkan akhlak mulia. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 17 : “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api”… Dalam beberapa literatur Islam, ditemukan banyak sekali perumpamaan, seperti mengumpamakan orang yang lemah laksana kupu-kupu, orang yang tinggi seperti jerapah, orang yang berani seperti singa, orang gemuk seperti gajah, orang kurus seperti tongkat, orang ikut-ikutan seperti beo dan lain-lain. Disarankan untuk mencari perumpamaan yang baik, ketika berbicara dengan anak didik, karena perumpamaan itu, akan melekat pada pikirannnya dan sulit untuk dilupakan.
Aplikasi metode perumpamaan, diantaranya adalah, materi yang diajarkan bersifat abstrak, membandingkan dua masalah yang selevel dan guru/orang tua tidak boleh salah dalam membandingkan, karena akan membingungkan anak didik.
Metode perumpamaan ini akan dapat memberi pemahaman yang mendalam, terhadap hal-hal yang sulit dicerna oleh perasaan. Apabila perasaan sudah disentuh, akan terwujudlah peserta didik yang memiliki akhlak mulia dengan penuh kesadaran.
6.      Metode Tsawab (ganjaran)
Armai Arief dalam bukunya, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, menjelaskan pengertian tsawab itu, sebagai : “hadiah ; hukuman. Metode ini juga penting dalam pembinaan akhlak, karena hadiah dan hukuman sama artinya dengan reward and punisment dalam pendidikan Barat. Hadiah bisa menjadi dorongan spiritual dalam bersikap baik, sedangkan hukuman dapat menjadi remote control, dari perbuatan tidak terpuji.
Aplikasi metode ganjaran yang berbentuk hadiah, diantaranya adalah, memanggil dengan panggilan kesayangan, memberikan pujian, memberikan maaf atas kesalahan mereka, mengeluarkan perkataan yang baik, bermain atau bercanda, menyambutnya dengan ramah, meneleponnya kalau perlu dan lain-lain.
Aplikasi metode ganjaran yang berbentuk hukuman, diantaranya, pandangan yang sinis, memuji orang lain dihadapannya, tidak mempedulikannya, memberikan ancaman yang positif dan menjewernya sebagai alternatif terakhir. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mani, ia berkata : “Aku telah diutus oleh ibuku, dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasulullah, kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada beliau, dan ketika aku mendatangi Rasulullah, beliau menjewer telingaku sambil berseru ; wahai penipu”.
Dari Hadis di atas, dapat dikemukakan, bahwa menjewer telinga anak didik, boleh-boleh saja, asal tidak menyakiti. Namun di negeri ini, terjadi hal yang dilematis, menjewer telinga anak didik, bisa-bisa berurusan dengan pihak berwajib, karena adanya Undang-Undang Perlindungan Anak. Pernah terjadi seorang guru, karena menjewer telinga anak didiknya yang datang terlambat, orang tua siswanya lalu melaporkan ke polisi, lalu sang guru terpaksa masuk sel. Oleh karena itu ke depan, perlu pula dibuat Undang-Undang Perlindungan Guru, sehingga guru dalam melaksanakan tugasnya, lebih aman dan nyaman.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Akhlak terpuji merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Arab akhlaq mahmudah. Mahmudah merupakan bentuk maf”ul dari kata hamida yang berarti “di puji”. Akhlak terpuji disebut pula dengan akhlaq karimah (akhlak mulia), atau makarim al-akhlaq (akhlak mulia), atau al-akhlaq al-munjiyat (ahlak yang menyelamatkan pelakunya).
Macam-macam akhlak terpuji:
1.      Akhlak terhadap Allah SWT
2.      Akhlak terhadap diri sendiri
3.      Akhlak terhadap keluarga
4.      Akhlak terhadap masyarakat
5.      Akahlak terhadap lingkungan
Segala bentuk akhlak yang bertentangan dengan akhlak terpuji disebut akhlak tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku yang tercela yang dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan martabatnya sebagai manusia.
Macam-macam akhlak tercela:

1.      Syirik
2.      Kufur
3.      Nifak dan fasik
4.      Takabur dan ujub
5.      Dengki
6.      Gibah
7.      Riya’

B.     Saran
Alhamdulillah akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, segala koreksi dan saran demi kesempurnaan makalah ini penyusun harapkan sebagai bentuk kepedulian bagi yang ingin menambah khazanah kekeliruan dan sebagai bahan untuk memperbaiki dari apa yang telah disusunnya. Sehingga mudah-mudahan kedepannya bisa lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Asmaran,As, Pengantar Study Akhlak/ Asmaran As.(Jakarta: PT Raja Grafndo Perda,1994)

Sinaga, Hasanudin dan Zaharuddin, Pengatar Studi Akhlak,  (Jakarta : PT Raja Grafmdo Persada, 2004)

Yunahar Ilyas. Kuliah Akhlaq. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)

Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf.(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010)

Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. Mengenal Etika dan Akhlak Islam.  (Lentera: Jakarta. 2003)

Marzuki, Pembinaan Akhlak Mulia Dalam Berhubungan Antar Sesama Manusia Dalam Perspektif Islam, (Jurnal Pdf HUMANIKA Vol. 9 No. 1, Maret 2009),


[1] Asmaran,As, Pengantar Study Akhlak/ Asmaran As.(Jakarta: PT Raja Grafndo Perda,1994) h. 44
[2] Asmaran,As, Pengantar Study Akhlak/ Asmaran As.(Jakarta: PT Raja Grafndo Perda,1994) h. 45
[3] Asmaran,As, Pengantar Study Akhlak/ Asmaran As. …  h. 48
[4] Sinaga, Hasanudin dan Zaharuddin, Pengatar Studi Akhlak,  (Jakarta : PT Raja Grafmdo Persada, 2004), h. 31
[5] Yunahar Ilyas. Kuliah Akhlaq. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 134
[6] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf.(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) hlm. 96
[7] Yunahar Ilyas. Kuliah Akhlaq. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 135
[8] Yunahar Ilyas. Kuliah Akhlaq. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 137
[9] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf.(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) hlm. 92
[10] Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. Mengenal Etika dan Akhlak Islam.  (Lentera: Jakarta. 2003)
[11] Marzuki, Pembinaan Akhlak Mulia Dalam Berhubungan Antar Sesama Manusia Dalam Perspektif Islam, (Jurnal Pdf HUMANIKA Vol. 9 No. 1, Maret 2009), hal. 25

No comments:

Post a Comment