BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Advokat merupakan salah
satu dari sekian banyak profesi yang sangat diminati banyak orang, tidak hanya
mereka yang berkecimpung di dunia hukum namun juga profesional lainnya yang
ingin jadi Advokat. Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan
bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh
undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum.
Perlu diketahui bahwa
Advokat merupakan bagian dari penegak yang sejajar dengan instansi penegak
hukum lainnya, namun Undang-undang Advokat baru di sahkan pada tanggal 5 April
2003 dan dicatat pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49.
Sebelum Undang-undang tersebut disahkan adalah sangat ironi bagian penegak
hukum yang tidak memiliki dasar hukum dan juga tidak ada ketentuan hukum yang
mengatur tentang perlindungan hukum terhadap profesi Advokat.
Pada era reformasi
dengan segala perjuangan dan kemauan Para Advokat mengusahakan agar Profesi
Advokat Indonesia diatur dengan Undang-undang kemudian dengan Rahmat Tuhan Yang
Maha Esa lahirlah Undang-undang Advokat Nomor 18 tahun 2003 yang disyahkan
menjadi Undang-undang Republik Indonesia.
Advokat dalam
menjalankan profesinya untuk menegakkan keadilan rawan terhadap masalah-masalah,
terutama terhadap implementasi sebelum Undang-undang Advokat, tidak jarang
Advokat tersebut tersandung masalah hukum bukan karena tindak kriminal, justru
diperkarakan oleh karena hal-hal teknis yang tidak perlu. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 14, 15 dan 16 Undang-undang Advokat, Advokat dalam menjalankan
profesinya selain dijamin oleh Undang-undang secara normatif memiliki hak
imunitas sebatas menjalankan profesinya dengan tetap berpegang pada kode etik
profesi
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimanakah perlindungan
hukum sebelum dan setelah Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat ?
2.
Bagaimana advokat pada pra
kemerdekaan?
3.
Bagaimana Advokat Sejak
Masa Kemerdekaan dan Era Reformasi?
4.
Bagaimana Advokat sebelum
UU no. 18 tahun 2003?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui Advokat sebelum
dan setelah Undang-undang No. 18 tahun 2003
2.
Untuk mengetahui advokat
pada pra kemerdekaan
3.
Untuk mengetahui Advokat
Sejak Masa Kemerdekaan dan Era Reformasi
4.
Untuk mengetahui Advokat sebelum
UU no. 18 tahun 2003
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Advokat
dalam Undang-undang No. 18 tahun 2003
Dalam praktek hukum di
Indonesia, Advokat juga dikenal sebagai Pengacara, Konsultan hukum. Istilah
tersebut mempunyai perbedaan pengertian yang cukup bermakna, walaupun dalam
bahasa Inggris semua istilah secara umum disebut sebagai lawyer atau ahli
hukum. Perbedaan pengertian disini adalah antara peran yang diberikan oleh
lawyer yang memakai istilah Advokat, pengacara dan penasehat hukum yang dalam
bahasa Inggris disebut trial lawyer atau secara spesifik di Amerika dikenal
dengan istilah attorney at lawserta di Inggris dikenal istilah barrister, dan
peran yang diberikan oleh lawyeryang menggunakan istilah konsultan hukum yang
di Amerika dikenal dengan istilah counselor at law atau di Inggris dikenal
dengan istilah solicitor.[1]
Kata Advokat itu sendiri
berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to defend, to
call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris Advocate,
berarti to speak in favor of or defend by argument, to support, indicate or
recommend publicly.,dalam Kamus Hukum Advocaat/ Advocaat En Procureur
bahasa aslinya Belanda yang artinya Penasehat Hukum dan Pembela Perkara atau Pengacara.[2]
Sedangkan menurut Pasal
(1) huruf (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003, Advokat adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Dalam praktinya proses
pengangkatan seseorang untuk dapat menjadi Advokat tidak lah mudah, ada
beberapa tahap seorang untuk dapat diangkat dan berprofesi sebagai Advokat,
antara lain disebutkan dalam Pasal 2, 3, dan Pasal 4. Inti dari pasal-pasal
tersebut bahwa sesorang untuk dapat menjadi seorang pengacara memeiliki latar
belakang sarjana hukum, kemudian mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat
yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat, dan bila telah memenuhi syarat
setelah dilantik sebagai Advokat maka Advokat yang bersangkutan wajib bersumpah
menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
Disini setelah Advokat
tersebut dilantik maka secara tidak langsung Advokat tersebut berstatus sebagai
penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan. Dan memilki Wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara
Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Advokat.[3]
Selanjutnya Advokat
dalam menjalankan profesinya tersebut memiliki hak dan kewajiban yang diatur
pada Pasal 14 sampai dengan pasal 20, hak-hak tersebut memberikan kekebalan
hukum (hak immunitas) bagi pengacara dalam menjalankan tugas profesinya untuk
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode
etik profesi, namun itu tidak serta merta ketentuan pidana setiap orang yang
dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah
sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah
Untuk meningkatkan
kualitas profesi Advokat maka perlu dibentuk Organisasi Advokat merupakan wadah
profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi
Advokat.
B.
Advokat Pada Masa
Pra Kemerdekaan
Sejarah keAdvokatan di
Indonesia tumbuh dan berkembang tidak sebagaimana yang terjadi di Eropa.
Sebagaimana di tanah jajahan lainnya, keAdvokatan Indonesia memperoleh bentuk
pada masa kolonial Belanda. Maka konsekuensi logis apabila model Advokat
Indonesia dengan sendirinya adalah seperti Advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial
terhadap perkembangan profesi Advokat terkait erat dengan perbedaan tradisi
hukum anglo-saxon (common law) dan tradisi hukum eropa kontinental (civil
law). Misalnya bagi Inggris dan Amerika dengan tradisi hukum common law
memandang besarnya jumlah Advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan,
sedangkan bagi Perancis, Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa
Kontinental (civil law) justru sebaliknya.
Di Hindia Belanda
(Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an, semua Advokat dan notaris adalah
orang Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan Advokat
pasca kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S.
Lev berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah Advokat pribumi tergantung kepada
kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi kolonialnya, (Daniel
S. Lev, 1990).
Pada saat Belanda
merampas daerah pedalaman Jawa yang disusul pecahnya perang Napoleon, Belanda
mendirikan pemerintahan tidak langsung di Indonesia dengan memanfaatkan
persekutuan dengan elite priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit
Jawa seolah-olah masih tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi
kekayaan ini seperti perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan
pada pertengahan abad kesembilan belas, Belanda mengubah kebijaksaan
kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada akhir tahun 1840-an, beberapa
kitab undang-undang baru diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman
dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan
peraturan yang cocok. Dengan demikian rechtsstaat diperkenalkan di tanah
jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial.
Pada permulaan abad
keduapuluh pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan
menciptakan kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini
gagal karena pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban
daripada membangun kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia
Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan
pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama
residentiegerecht yang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan banding
raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua,
pengadilan pemerintah untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan
pengadilan adat.[4]
Pengadilan pemerintah
bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni districtsgerecht,
regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah yang menjadi cikal bakal
pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding
pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda,
namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia
berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan
KUH Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement (HIR),
(Daniel S. Lev, 1990).
Pemerintah kolonial
tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai Advokat. Pada 1909
pemerintah kolonial mendirikanRechtsschool di Batavia dan membuka kesempatan
pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan hanya
dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150
orangrechtskundigen (sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi panitera,
jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan Advokat.
Hingga pada tahun 1940
terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada
pendudukan Jepang. Para Advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda
sebagai Advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana
hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi Advokat sepulang ke
Indonesia.
Salah seorang tokoh yang
mendorong perkembangan Advokat Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada
saat itu tidak satupun kantor Advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di
Tegal dan Semarang, dan kantor Advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi Advokat
Indonesia asli memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi
karena Advokat Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.
Perkembangan sistem
hukum pemerintahan kolonial telah memberikan kontribusi yang besar bagi
perkembangan Advokat pribumi pada masa itu. Seiring dengan itu semangat
nasionalisme para Advokat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan
para Advokat Indonesia terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.[5]
Dapat dikemukan berbagai
pengaturan profesi Advokat pada masa pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Staatblad Tahun 1847 Nomor
23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk
organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada
Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat
hukum yang bergelar sarjana hukum.
2.
Staatblad Tahun 1847 Nomor
40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus
golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili
oleh seorang Advokat atau procureur.
3.
Penetapan Raja tanggal 4
Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman
Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang
dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum
permulaan pemeriksaan.
4.
Staatblad Tahun 1926 nomor
487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa
pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang
dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi
bantuan.
5.
Staatblad Tahun 1927 Nomor
496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in
burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang
disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
6.
Staatblad Tahun 1941 Nomor
44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6
ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan
yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan
kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan
Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh
berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
7.
Staatblad Tahun 1944 Nomor
44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang
diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara
untuk diwakili oleh orang lain.[6]
Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi Advokat
pada masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan Advokat Belanda. Akan
tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan Advokat
Indonesia pada masa selanjutnya.
C.
Advokat Sejak Masa
Kemerdekaan dan Era Reformasi
Perkembangan pengaturan
profesi Advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang.
Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti mengenai
profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan
Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH
Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan Advokat dan procureur dan
orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi
Advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan
termasuk didalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan
profesi Advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat
perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah Advokat atau
istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS
1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.
Sehingga ironi dalam
pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara khusus profesi Advokat sebagaimana
profesi hukum lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak
hukum. Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran
menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority
of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini juga
terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara
implisit, terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan pengakuan terhadap
profesi ini, antara lain sebagai berikut :
1.
UU Nomor 20 Tahun 1947
tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1
menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk
itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
2.
UU Nomor 1 Tahun 1950
tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum
dengan kata PEMBELA.
3.
UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951
tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan
sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
4.
UU Nomor 19 Tahun 1964
tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14
Tahun 1970, menyatakan bahwasetiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum.
5.
UU Nomor 13 Tahun 1965
tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54
bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat
hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
6.
UU Nomor 1 Tahun 1981
tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka
atau terdakwa untuk mendapatkanpenasehat hukum dan tata cara penasehat hukum
berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
7.
UU Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum dalam memberi
bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
8.
Surat Edaran dan Surat
Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970, telah
mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi Advokat dalam UU tersendiri. Namun
hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan
pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi Advokat. Setelah 33
tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.[7]
Berbagai argumentasi yang melatarbelakangi lambatnya respon
pemerintah terhadap pengaturan profesi Advokat ini. Diantaranya terkait dengan
tipe kepemimpinan pemerintahan pada masa itu. Misalnya pemerintahan Bung Karno
pada masa orde lama, pernah berkata kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya
di landraad Bandung 1930, berikut petikannya : “Mr. Sartono, aku pujikan segala
usaha-usaha kamu, para Advokat selalu berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih
kuat menganut cara menembus UU, suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini
dan maju diatas basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu
revolusi beserta kaum Advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun
pertahanan suatu revolusi dengan para Advokat dan pengacara. Yang kami harapkan
adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan”.
Demikian pula pada pemerintahan orde baru, campur tangan
pemerintah dalam pembentukan dan perpecahan organisasi Advokat telah
menyebabkan tingkah laku, praktek dan sepak terjang pada Advokat menjadi tidak
terkontrol lagi oleh organisasi profesi yang seharusnya ketat memberlakukan
Kode Etik Profesi Advokat dan mengawasi praktek profesi Advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat, profesi Advokat mendapat pengakuan
sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam prakteknya. Pengaturan ini
juga berimplikasi pada rekturtmen Advokat secara sistematis sehingga diharapkan
para Advokat nantinya dapat melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi
yang mulia (officium nobile).
D.
Sekilas Mengenai Advokat
Sebelum Undang-undang No. 18 tahun 2003
Perlu diketauhi bersama
bahwa sebelum UU Advokat lahir pada tahun 2003, telah telebih dahulu diawali
dengan bergabungnya 7 (tujuh )
organisasi profesi Advokat Indonesia yaitu : Ikatan Advokat Indonesia
(“IKADIN”); Asosiasi Advokat Indonesia (“AAI”); Ikatan Penasehat Hukum
Indonesia (“IPHI”); Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (“HAPI”); Serikat
Pengacara Indonesia (“SPI”); Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia
(“AKHI”);Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (“HKHPM”) dalam satu wadah Komite
Kerja Advokat Indonesia (“KKAI”). Sebelum ke-7 organisasi profesi tersebut
mendirikan KKAI, sebelumnya telah terbentuk Forum Advokat Indonesia (“FAI”)
yang anggotanya pertama kali terdiri dari IKADIN, IPHI dan AAI. Saat itu
organisasi profesi advokat lainnya belum lahir.[8]
Tidak lama kemudian
ditahun-taun berikutnya karena begitu cepatnya dinamika perkembangan telah
lahir beberapa organisasi profesi advokat antara lain HAPI organisasi profesi
advokat keempat , SPI organisasi profesi advokat kelima, AKHI organisasi
profesi advokat keenam, HKHPM organisasi profesi advokat ketuju. Atas prakarsa
DPP IKADIN di era kepemimpinan Almarhum Sudjono, akhirnya FAI dibubarkan
berubah nama menjadi Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) yang
beranggotakan 7 organisasi profesi advokat. IKADIN dimasa kepemimpinan almarhum
Sudjono benar-benar responsip dan demokratis, sehingga semua organisasi profesi
advokat yang lahir diakomodir, diakui serta dirangkul secara bersama-sama
sehingga terbentuklah rasa kebersamaan yang kuat. Peranan IKADIN sangat
menentukan dan menjadi kunci utama pada masa itu. IKADIN dalam kedudukannya
selaku organisasi profesi advokat tertua {Pengganti organisasi profesi advokat
Persatuan Advokat Indonesia (“PERADIN”) setelah dibubarkan oleh hasil
musyawaran nasional}, sehingga mayoritas advokat senior banyak yang bergabung
di IKADIN, satu diantaranya almarhum Adnan Buyung Nasution (“ABN”).
FKAI pada akhirnya dalam
rentan waktu yang sangat cepat berubah menjadi KKAI. Ketika KKAI dideklarasikan
/ terbentuk pada 11 februari 2002, penulis Suhardi Somomoeljono berkedudukan
sebagai Sekretaris Jendral Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) dibawah
pimpinan Ketua Umum Almarhum Arifien Syafei . HAPI adalah organisasi profesi
advokat yang lahir ke-4 setelah IKADIN, IPHI, AAI. Kebetulah penulis secara
ex-officio dalam jabatannya selaku Sekretaris Jendral DPP HAPI otomatis juga
bertindak selaku salah satu deklarator penandatangan atas kelahiran KKAI
tersebut. Pada saat itu seluruh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral semuanya
secara ex-officio menandatanganinya. IKADIN saat itu diwakili oleh Ketua
Umumnya Almarhum SUDJONO dan OTTO HASIBUAN selaku Sekretaris Jendral. Dengan demikian actual-faktual, secara
historis-sosiologis-juridis KKAI adalah satu-satunya forum organisasi profesi
Advokat Indonesia yang ditanda tangani bersama 7 ( tujuh ) organisasi profesi
Advokat tersebut pada tanggal ll Februari 2002.
KKAI setelah mendapatkan
pengakuan dari Mahkamah Agung RI, akhirnya pro aktif, ikut mendorong
memperjuangkan lahirnya UU advokat bersama-sama dengan almarhum Adnan Buyung
Nasution (“ABN”), selaku perwakilan dari Pemerintah. Pertimbangan utamanya pada
saat itu mengingat profesi Hakim, Jaksa, Polisi semuanya sudah memiliki payung
hukum berupa undang-undang, mengapa advokat tidak juga berjuang agar supaya
memiliki payung hukum berupa undang-undang advokat. Akhirnya lahirlah UU
Advokat No.18.Tahun 2003 dan cita-cita advokat sebagai Penegak Hukum yang sederajat dengan catur wangsa lainnya
terwujut. Peran KKAI sebagai inisiasi
lahirnya UU Advokat pada saat itu sangat inten, dengan menempatkan almarhum ABN
sebagai wakil atau yang mewakili pemerintah.
Pada akhirnya secara
prinsipil pembahasan-pembahasan atas materi / norma UU Advokat secara substansi
perumusan UU Advokat tidak mengalami kesulitan. Bahkan dalam pasal 32 ke-7
organisasi profesi advokat ditambah satu lagi menjelang diundangkannya UU
Advokat yaitu Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) atas usulan Menteri
Kehakiman saat itu Prof Yusril Ihza Mahendra sehingga berubah menjadi 8 organisasi
profesi advokat sebagai anggota ex-officio dari KKAI seluruhnya telah diakui
oleh para pembentuk undang-undang. Dengan demikian secara juridis formal keberadaan organisasi profesi advokat di
Indonesia telah diakui oleh Undang-undang Advokat No.18.Tahun 2003 yang secara
limitative UU telah menyebut ke-8
Organisasi Profesi Advokat antara lain
: IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI;
HKHPM; dan APSI.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kesimpulan
Profesi Advokat adalah
profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya
suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua
pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan,dan hak asasi
manusia.
Advokat sebagai profesi
terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah
perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang
didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh
kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaa
Advokat sebagai profesi
yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu
dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan
supremasi hukum.
B.
Saran
Meskipun Profesi advokat
adalah profesi terhormat (officium nobile), namun pada nyatanya advokat juga
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilfan, hanya Tuhan lah
yang memiliki kesempurnaan itu. Sehingga perlunya perlindungan hukum dalam
menjalankan profesinya sebagai advokat tidak lain adalah untuk meningkatkan
profesionalisme advokat dan menuju advokat yang benar-benar “officium nobile”
DAFTAR PUSTAKA
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011)
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum. (Bandung, CV Pustaka Setia, 2011)
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif
Islam Dan Hukum Positif (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003)
Yan Pramadya Puspa, “Kamus Hukum”. Edisi Lengkap. Aneka
Semarang. 1977.
YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Edisi
2006, (AusAid, YLBHI, PSHK dan IALDF.
2006)
Binziad Dadafi,
Advokat Indonesia Mencari Legistimasi (Jakarta: Pusat Study Hukum dan
Kebijakan Indonesia, Bekerja Sama dengan Asia Foundation, 2001)
[1] Frans Hendra Winata, Bantuan
Hukum di Indonesia, (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2011), hlm. 150.
[3] YLBHI dan PSHK, Panduan
Bantuan Hukum di Indonesia Edisi 2006, (AusAid, YLBHI, PSHK dan IALDF. 2006), Hal 41.
[6] Rahmat Rosyadi dan Sri
Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), 88.
[7] YLBHI dan PSHK, Panduan
Bantuan Hukum di Indonesia Edisi 2006, (AusAid, YLBHI, PSHK dan IALDF. 2006), Hal 47
[8] Binziad Dadafi, Advokat Indonesia Mencari Legistimasi
(Jakarta: Pusat Study Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2001) hlm. 210
No comments:
Post a Comment