BAB I
PENDAHUUAN
A.
Latar
Belakang
Islam
pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap
suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga
bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat
menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan
beliau ketika masih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang
kepada Al-Qur’an, As Sunnah dan kepada perkataan sahabat.
Seiring
perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu,
sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As
Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri,
termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum Islam). Sehingga
seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab. Madzhab adalah
cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaanm adzhab ini
adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks),
walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun
perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor
yang mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan
faktor adaptasi perkembangan jaman.
Dalam
makalah ini akan membahas tentang apa yang dimaksud madzhab, sebab munculnya
madzhab, macam-macam madzhab, taqlid dan ittiba’.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mazhab?
2. Apa sebab munculnya mazhab?
3. Apa dasar-hukum mazhab?
4. Apa saja macam-macam mazhab?
5. Apa yang dimaksud dengan taqlid dan ittiba’?
C.
TUjuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan mazhab
2. Untuk mengetahui sebab munculnya mazhab
3. Untuk mengetahui dasar-hukum mazhab
4. Untuk mengetahui saja macam-macam mazhab
5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan taqlid
dan ittiba’
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Madzhab
Secara
Bahasa, dalam kamus Al–Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam[1],
dijelaskan bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
1.
Kata
“madzhab” berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu, dzhaban, madzhaban yang memiliki
arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
2.
Madzhab
adalah aliran pemikiran atau pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam
mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum islam.
Secara bahasa pula dalam wacana modern
“madzhab” diartikan sebagai “pendapat” (view, opinion) “kepercayaan” “ideologi”
“doktrin” “ajaran” “paham” dan “aliran – aliran hukum”.
Adapun arti “madzhab” menurut istilah para
ulama ahli fiqh (fuqaha), sebagai berikut:
1.
Wahbah Az
– Zuhaili, memberi batasan “madzhab” sebagai segala hukum yang mengandung
berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantarkan pada
kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.
2.
Muslim
Ibrahim, memberikan definisi “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pikiran
yang merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam islam yang
digali dari ayat Al – Qur’an atau Al – Hadits yang dapat diijtihadkan
Madzhab
adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati,
sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu
dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri
khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah
metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah. [2]
Mazhab
menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh
seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang
menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah
pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
Berdasarkan
uraian di atas, “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pemikiran atau
prespektif di bidang fiqh yang dalam proses perjalanannya menjadi sebuah
komunitas dalam masyarakat islam di berbagai aspek agama.
B.
Sebab
Munculnya Madzhab
Penyebab munculnya
madzhab yaitu :
1. Telah meninggalnya Rasulullah SAW dan banyak
perbedaan argumentasi mengenai penyelesaian masalah-masalah baru.
2. Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup
wilayah-wilayah di Semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dan lain-lain.
3. Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang
ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi
bangsa tersebut.
4. Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan
dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi (hakim) dan para Ulama
harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap permasalahan dan
masalah-masalah baru yang dihadapi.
Akhirnya, pada masa pemerintahan Umar Ibn
Khattab, yang memiliki daerah wilayah daulah islam yang bertambah luas, hal itu
menyebabkan tersebarnya para sahabat dan tabi’in ke berbagai kota untuk menjadi
hakim dan mufti. Dan, mulai terbentuklah madrasah.
C.
Dasar
Hukum Mazhab
Dalam
menetapkan fatwa-fatwa Sahabat sebagai hujjah, jumhur ulama mengemukakan
beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun
dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah SWT. Yang berbunyi :
cqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ Å̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ Ìôfs? $ygtFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºs ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar.” (QS. At-Taubah, 9:100)
2. Sabda Rasulullah saw. yang berbunyi :
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) sahabatku, sedangkan
sahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman
Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh Allah SWT telah memberikan
apresiasi bagi orang yang mengikuti para sahabat. Maka dapat disimpulan bahwa
kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena
itulah fatwa-fatwa mereka dapat juga dijadikan hujjah.
Adapun
pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Rasulullah saw.), kepercayaan umat kepada
sahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bahan rujukan karena
keimanan sahabat kepada Rasulullah saw. berarti kembalinya mereka kepada
petunjuk Rasulullah saw.
Sedangkan
argumentsi yang bersifat akal atau rasional (dalil aqli) ialah :
1.
Para
Sahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah saw. dibanding
orang lain, maka tentunya mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, karena
mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai
keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada
petunjuk-petunjuk Rasulullah saw., serta mengetahui situasi di mana nash-nash
Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk
diikuti.
2.
Pendapat-pendapat
yang dikeluarkan para Sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Rasulullah
saw. dengan alasan mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh
Rasulullah saw. Dengan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu
didasarkan pada Qiyas atau penalaran yang rasional, maka pandangan mereka lebih
berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari
nash (hadits).
3.
Jika
pendapat para Sahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang hidup
sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda dengan
pendapat Sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah
pendapat para Sahabat karena Rasulullah saw. bersabda :
“Sebaik-baik generasi,
adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.
D.
Macam-macam
Madzhab
1. Imam Hanafi
Imam Hanafi adalah seorang imam yang agung, yang
memiliki nama lengkap Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit Bin Zuutha At-Taimiy
Al-Kufiy. Beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80H/699M dan beliau wafat di
Baghdad pada tahun 150H/767M.[3]
Beliau di gelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam
beribadah sejak kecil. Gelar ini merupakan berkah do’a dari doa Ali bin Abi
Thalib yang mendoakan bahwa kelak keturunan Tsabit akan menjadi orang yang
utama di zamanya. Terbukti dengan lahirnya Imam Hanafi. Beliau memperdalam
ilmunya dalam belajar Al-Qur’an, aktif mempelajari ilmu fiqh, dan mempelajari
hadits. Imam Hanafi dikenal sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu
dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik akan jabatan
rezmi kenegaraan. Imam Hanafi meinggal saat umur 70 tahun yang bertepatan
dengan lahirnya Imam Syafi’i. Dan dimakamkan dipemakaman Khirza. Didirikanlah
sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
2. Imam Malik
Imam Malik mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn
Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amar ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr
ibn al-Haris al-Ashabi al-Madani. Lahir pada 93H. Sebagai tokoh madzhab Maliki.
Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Imam Malik sudah hafal
Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, beliau juga menyusun beberapa kitab,
kitab yang terkenal adalah kitab Al-Muwatha. Imam Malik mempelajari fiqih,
teori-teori kajian hukum dan mempelajari hadis-hadis Nabi. Salah satu dalil
hukum yang sering digunakan oleh Imam Malik adalah ijma ulama Madinah. Imam
Malik lebih mengutamakan ajma dan amal Madinah daripada qiyah, khabar ahad, dan
qaul sahabat.[4]
3. Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’i gelar
beliau abu abdillah. Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di
Mesir pada tahun 204 H. Imam Syafi’i adalah orang yang cakap rupa parasnya.
Dalam riwayat hidupnya Imam Syafi’i adalah ulama besar yang mampu mendalami
serta menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan Abu Hanifah, beliau
sangat hati-hati dalam berfatwa. Pada masa sekarang ini, madzhab Asy-Syafi’i berkembang di Palestina,
Yodania, Libanon, Syiria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, Persia, dan Yaman
yang sunni. Sekitar 100 juta umat Islam menganut madzhab Asy-Syafi’i.
4. Imam Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin Usd bin Idris bin
Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Lahir pada
164 H. Beliau adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh
kebendaan, berwawasan luas, sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat.
Beliau menguasai seluruh ilmu. Dalam pesantrennya, setiap selesai sholat ashar,
beliau membiasakan memberi fatwa dan bersama para peserta pesantrennya menyebutkan
diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka,
yaitu pengkajian Al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau wafat pada 241 H.
E.
Taqlid
dan Ittiba’
1. Taqlid
a.
Pengertian
Taqlid
Taqlid
menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu
yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh
penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan
kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah
menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.
Menurut
istilah agama, taqlid yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta
memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui
keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut
disebut muqallid.[5]
Menurut
imam Al ghazali dalam al mustashfa menerangkan bahwa:
التقليد قبول قول بغير حجة وليس طريقا للعلم
لافي الاصول ولافي الفروع
Artnya: taqlid adalah
menerima perkataan tampa hujjah dan tiadalah taqlid itu menjadi jalan kepada
pengetahuan (keyakinan), baik urusan ushul maupun dalam usrusan furu’.
Dan juga menurut abu
syam, guru annawawi seorang ulama’ terkenal dengan madzhab syafi’i dalam kitab
al muammal dikatakan:
والتقليد
لغير الرسول صلى الله عليه وسلم حرام
Artinya: bertaqlid
kepada selain rasulallah r, haram (diharamkan).
Mengenai
berbagai pertanyaan yang terjadi dikalangan umat muslim mengenai bagaimana
kalau yang diambil atau yang diterima itu adalah perbuatan, bukan ucapan atau
pendapat, maka Al- Mahalli yang mensyarah kitab jam’ul al-jawami’ menjelaskan
bahwa menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk perbuatan atau
pengalaman tidak dikatakan taqlid. Dan juga menegenai suatu hal dalam
penerimaannya ada hujjahnya atau mengetahui dalilnya maka cara tersebut tidak
dikatakan taqlid dengan alasan merupakan karya ijtihad yang kebetulan hasilnya
bersamaan dengan yang di ikutinya.
Ibnu
al-Hummam (dari kalangan ulama’ hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap
yang menjelaskan kesamaran yaitu beramal dengan pedapat seseorang yang
pendapatnya itu bukan merupakan hujjah dan tampa mengetahui hujjahnya.
Sehubungan dengan definisi ini maka menerima pendapat nabi yang bernilai hujjah
dengan sendirinya begitu juga menerima pendapat yang lahir deri kesepakatan
dalam ijma’ tidak disebut taqlid meskipun dalam penerimaannya tampa mengetahui
dalilnya. Sebaliknya, pendapat pendapat mujtahid secara perorangan adalah bukan
hujjah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid tampa menegetahi
dalilnya disebut taqlid.[6]
b.
Macam-macam
taqlid serta hukumnya.
Mengenai
hukum taqlid itu mutlak batal bahkan menurut Ibnu Haz terlarangnya taqlid itu
sudah ijma’ ulama’. Mereka bersandaran ayat alqur’an surat Al-isyra’ ayat 36.
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya: “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.”
Namun meski begitu dalam pengaplikasikannya
terbagi kepada tiga macam, yaitu taqlid yang di perbolehkan dengan syarat,
taqlid yang dilarang atau haram dan taqlid yang diwajibkan, yaitu sebagai
berikut:
a)
Taqlid
yang diperbolehkan atau mubah.
Taqlid
yang diperbolehkan atau mubah yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum
sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat atau
hanya terbatas pada masalah furu’iyah, sedangkan dalam masalah usuluddin
kebanyakan uamak berpendapat tidak boleh bertaqlid hal ini dikuatkan oleh
Al-razi dengan dalilnya surat muhammad ayat sebagai berikut:
Artinya: “Maka
ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan / Tuhan) selain
Allah....”
Ayat
ini menerangkan bahwa wajib mengetahui Allah. Dalam artian mengetahui kepada
keyakinan dan itu hanya dapat diketahui dengan ilmu oleh sebab itu maka menurut
Al-razi harus mengetahui dalilnya
Meskipun
taqlid jenis ini diperbolehkan namun hal itu tidak berlaku bagi semua manusia.
Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada
tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari
hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa
dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum,
atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak
mengetahui ijma dan qiyas.
b)
Taqlid
yang dilarang atau haram.
Taqlid
yang dilarang atau haram yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr
atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang
dilarang ini antara lain :
1)
Taqlid
buta (tidak mau memperdulikan ayat tuhan lantaran orang tua.
Taqlid
buta yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan
ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun
ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT
dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
Artinya : dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,"
mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun,
dan tidak mendapat petunjuk".
Firman Allah di atas
tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima
hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.[7]
2)
Taqlid
terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak
tentang suatu hal yang kita ikuti.
3)
Taqlid
terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang
yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya
dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,
garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul
mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
c)
Taqlid
yang diwajibkan.
Taqlid
yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada
ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada RasulNya. Kalau
dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali
ittiba` kepadanya.
Dalil
untuk bertanya kepada ahli ilmu adalah dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama’) jika kamu
tidak mengetahui”.
2. Ittiba’
a.
Pengetian
Ittiba.
Ittiba
artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau
perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu
al-Quran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan
pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi
Muhammad r dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan
kebajikan.[8]
Imam
Ahmad dalam mendifinisikan ittiba’ berkata:
الاتباع
ان يتبع الرجل ماجاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه ثم من ھو من التابعين
بخير
Artinya: ittiba’ itu
ialah kita mengikuti pendapat yang datang dari rosul r, dari para sahabat,
kemudian yang datang dari tabiin yang diberikan kebajikan.
Sedangkan
menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain
dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba
disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
Antara
taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun
perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam
ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang
menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.
b.
Dasar
Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi
orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash
dan mengistinbatkan hukum dari padanya adalah tidak layak mengikuti pendapat
orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak di dapatkan nash-nash
yang memerintahkan agar kita ittiba’, mengikuti pendapat orang lain dengan
menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang di ikuti.
Ittiba
dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah I surahAn-Nahl ayat 43 yang
berbunyi:
Artinya: “Dan Kami
tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu
kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika
kamu tidak mengetahui”.
Dalam
ayat diatas terdapat kalimat “bertanyalah”, yaitu menunjukkan wajib untuk
dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu dari kitab
dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Rasulullah r juga bersabda yang artinya,
“Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR
Abu Daud).[9]
Kata
ittiba’ ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid, karena
al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal yang
terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada ucapan Ibrahim
kepada ayahnya dalam surah Maryam ayat
43 yang berbunyi:
Artinya: “ Wahai
bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang
tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu
jalan yang lurus”.
Ayat
ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk mengikuti
orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri
Demikian
juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang saleh yang
terkenal denga nama Khidhr. Tentang kisah Musa ini Allah SWT berfirman dalam
surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :
Artinya: “Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu
yang telah diajarkan kepadamu?"
Musa
telah memohon kepada Khidhr u agar di izinkan untuk mengikutinya dan
mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini menunjukkan
bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan
bukanlah hal yang tercela.
Berdasarkan
firman-firman Allah U yang terdapat dalam al-Quran ini dan juga ada hadis dari
Nabi r, maka jelaslah bahwa ittiba ini dianjurkan atau tidak dilarang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
Bahasa, dalam kamus Al–Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam, dijelaskan
bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
1.
Kata
“madzhab” berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu, dzhaban, madzhaban yang
memiliki arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
2.
Madzhab
adalah aliran pemikiran atau pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam
mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum islam.
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah
metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang
berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum
dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu
mazhab khusus.
Taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari
kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan
seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu
taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan
taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang
mujtahid.
Ittiba artinya menurut atau mengikut.
Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta
mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun hadis yang
dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti
mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad r dan para sahabat
atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.
B.
Saran
Demikian pembahasan
makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritik dan saran
sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muslim Ibrahim, Pengantar
Fiqh Maaran, (Penerbit : Erlangga,
Jakarta, 1991),
Abdullah Haidir, Mazhab
fiqh, (King Fahd National Cataloging-In-Publication Data: 2004)
Amir Farih, Rekontruksi
Fikih Dalam Lintas Sejarah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya: 2015)
Nazar Bakry, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),
Miftahul Arifin
dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam,
(Surabaya : Citra Media, 1997)
[1] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran, (Penerbit : Erlangga, Jakarta, 1991), hal 47
[2] Abdullah Haidir, Mazhab fiqh, (King Fahd National
Cataloging-In-Publication Data: 2004) Hlm. 11
[3] Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah,
(Semarang: CV Karya Abadi Jaya: 2015) Hlm. 130
[4] Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah, … Hlm. 131
[5] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 61.
[6] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, … hlm. 62
[7] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, … hlm. 63
[8] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah
Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm., 164.
[9] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah
Penetapan Hukum Islam, … hlm., 165
No comments:
Post a Comment