Thursday, December 20, 2018

Makalah ushul Fiqih Materi Tentang Mazhab


BAB I
PENDAHUUAN
A.     Latar Belakang
Islam pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As Sunnah dan kepada perkataan sahabat.
Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum Islam). Sehingga seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab. Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaanm adzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan faktor adaptasi perkembangan jaman.
Dalam makalah ini akan membahas tentang apa yang dimaksud madzhab, sebab munculnya madzhab, macam-macam madzhab, taqlid dan ittiba’.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan mazhab?
2.      Apa sebab munculnya mazhab?
3.      Apa dasar-hukum mazhab?
4.      Apa saja macam-macam mazhab?
5.      Apa yang dimaksud dengan taqlid dan ittiba’?

C.     TUjuan
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan mazhab
2.      Untuk mengetahui sebab munculnya mazhab
3.      Untuk mengetahui dasar-hukum mazhab
4.      Untuk mengetahui saja macam-macam mazhab
5.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan taqlid dan ittiba’





BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Madzhab
Secara Bahasa, dalam kamus Al–Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam[1], dijelaskan bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
1.      Kata “madzhab” berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu, dzhaban, madzhaban yang memiliki arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
2.      Madzhab adalah aliran pemikiran atau pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum islam.
Secara bahasa pula dalam wacana modern “madzhab” diartikan sebagai “pendapat” (view, opinion) “kepercayaan” “ideologi” “doktrin” “ajaran” “paham” dan “aliran – aliran hukum”.
Adapun arti “madzhab” menurut istilah para ulama ahli fiqh (fuqaha), sebagai berikut:
1.      Wahbah Az – Zuhaili, memberi batasan “madzhab” sebagai segala hukum yang mengandung berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantarkan pada kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.
2.      Muslim Ibrahim, memberikan definisi “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam islam yang digali dari ayat Al – Qur’an atau Al – Hadits yang dapat diijtihadkan
Madzhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. [2]
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
Berdasarkan uraian di atas, “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pemikiran atau prespektif di bidang fiqh yang dalam proses perjalanannya menjadi sebuah komunitas dalam masyarakat islam di berbagai aspek agama.

B.     Sebab Munculnya Madzhab
Penyebab munculnya madzhab yaitu :
1.      Telah meninggalnya Rasulullah SAW dan banyak perbedaan argumentasi mengenai penyelesaian masalah-masalah baru.
2.      Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di Semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dan lain-lain.
3.      Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
4.      Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi (hakim) dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap permasalahan dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Akhirnya, pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab, yang memiliki daerah wilayah daulah islam yang bertambah luas, hal itu menyebabkan tersebarnya para sahabat dan tabi’in ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti. Dan, mulai terbentuklah madrasah.


C.     Dasar Hukum Mazhab
Dalam menetapkan fatwa-fatwa Sahabat sebagai hujjah, jumhur ulama mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut :
1.      Firman Allah SWT. Yang berbunyi :
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ  
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah, 9:100)
2.      Sabda Rasulullah saw. yang berbunyi :
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) sahabatku, sedangkan sahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh Allah SWT telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti para sahabat. Maka dapat disimpulan bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena itulah fatwa-fatwa mereka dapat juga dijadikan hujjah.
Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Rasulullah saw.), kepercayaan umat kepada sahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bahan rujukan karena keimanan sahabat kepada Rasulullah saw. berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Rasulullah saw.
Sedangkan argumentsi yang bersifat akal atau rasional (dalil aqli) ialah :
1.      Para Sahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah saw. dibanding orang lain, maka tentunya mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, karena mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah saw., serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.
2.      Pendapat-pendapat yang dikeluarkan para Sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Rasulullah saw. dengan alasan mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. Dengan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau penalaran yang rasional, maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash (hadits).
3.      Jika pendapat para Sahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang hidup sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda dengan pendapat Sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para Sahabat karena Rasulullah saw. bersabda :
“Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.

D.    Macam-macam Madzhab
1.      Imam Hanafi
Imam Hanafi adalah seorang imam yang agung, yang memiliki nama lengkap Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit Bin Zuutha At-Taimiy Al-Kufiy. Beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80H/699M dan beliau wafat di Baghdad pada tahun 150H/767M.[3] Beliau di gelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak kecil. Gelar ini merupakan berkah do’a dari doa Ali bin Abi Thalib yang mendoakan bahwa kelak keturunan Tsabit akan menjadi orang yang utama di zamanya. Terbukti dengan lahirnya Imam Hanafi. Beliau memperdalam ilmunya dalam belajar Al-Qur’an, aktif mempelajari ilmu fiqh, dan mempelajari hadits. Imam Hanafi dikenal sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik akan jabatan rezmi kenegaraan. Imam Hanafi meinggal saat umur 70 tahun yang bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i. Dan dimakamkan dipemakaman Khirza. Didirikanlah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
2.      Imam Malik
Imam Malik mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amar ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Ashabi al-Madani. Lahir pada 93H. Sebagai tokoh madzhab Maliki. Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Imam Malik sudah hafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, beliau juga menyusun beberapa kitab, kitab yang terkenal adalah kitab Al-Muwatha. Imam Malik mempelajari fiqih, teori-teori kajian hukum dan mempelajari hadis-hadis Nabi. Salah satu dalil hukum yang sering digunakan oleh Imam Malik adalah ijma ulama Madinah. Imam Malik lebih mengutamakan ajma dan amal Madinah daripada qiyah, khabar ahad, dan qaul sahabat.[4]
3.      Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’i gelar beliau abu abdillah. Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam Syafi’i adalah orang yang cakap rupa parasnya. Dalam riwayat hidupnya Imam Syafi’i adalah ulama besar yang mampu mendalami serta menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan Abu Hanifah, beliau sangat hati-hati dalam berfatwa. Pada masa sekarang ini,  madzhab Asy-Syafi’i berkembang di Palestina, Yodania, Libanon, Syiria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, Persia, dan Yaman yang sunni. Sekitar 100 juta umat Islam menganut madzhab Asy-Syafi’i.
4.      Imam Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin Usd bin Idris bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Lahir pada 164 H. Beliau adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan, berwawasan luas, sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Beliau menguasai seluruh ilmu. Dalam pesantrennya, setiap selesai sholat ashar, beliau membiasakan memberi fatwa dan bersama para peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian Al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau wafat pada 241 H.

E.     Taqlid dan Ittiba’
1.      Taqlid
a.      Pengertian Taqlid
Taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.
Menurut istilah agama, taqlid yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.[5]
Menurut imam Al ghazali dalam al mustashfa menerangkan bahwa:
التقليد قبول قول بغير حجة وليس طريقا للعلم لافي الاصول ولافي الفروع
Artnya: taqlid adalah menerima perkataan tampa hujjah dan tiadalah taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik urusan ushul maupun dalam usrusan furu’.
Dan juga menurut abu syam, guru annawawi seorang ulama’ terkenal dengan madzhab syafi’i dalam kitab al muammal dikatakan:
والتقليد لغير الرسول صلى الله عليه وسلم حرام
Artinya: bertaqlid kepada selain rasulallah r, haram (diharamkan).
Mengenai berbagai pertanyaan yang terjadi dikalangan umat muslim mengenai bagaimana kalau yang diambil atau yang diterima itu adalah perbuatan, bukan ucapan atau pendapat, maka Al- Mahalli yang mensyarah kitab jam’ul al-jawami’ menjelaskan bahwa menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk perbuatan atau pengalaman tidak dikatakan taqlid. Dan juga menegenai suatu hal dalam penerimaannya ada hujjahnya atau mengetahui dalilnya maka cara tersebut tidak dikatakan taqlid dengan alasan merupakan karya ijtihad yang kebetulan hasilnya bersamaan dengan yang di ikutinya.
Ibnu al-Hummam (dari kalangan ulama’ hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran yaitu beramal dengan pedapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujjah dan tampa mengetahui hujjahnya. Sehubungan dengan definisi ini maka menerima pendapat nabi yang bernilai hujjah dengan sendirinya begitu juga menerima pendapat yang lahir deri kesepakatan dalam ijma’ tidak disebut taqlid meskipun dalam penerimaannya tampa mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat pendapat mujtahid secara perorangan adalah bukan hujjah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid tampa menegetahi dalilnya disebut taqlid.[6]
b.      Macam-macam taqlid serta hukumnya.
Mengenai hukum taqlid itu mutlak batal bahkan menurut Ibnu Haz terlarangnya taqlid itu sudah ijma’ ulama’. Mereka bersandaran ayat alqur’an surat Al-isyra’ ayat 36.
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
 Namun meski begitu dalam pengaplikasikannya terbagi kepada tiga macam, yaitu taqlid yang di perbolehkan dengan syarat, taqlid yang dilarang atau haram dan taqlid yang diwajibkan, yaitu sebagai berikut:
a)      Taqlid yang diperbolehkan atau mubah.
Taqlid yang diperbolehkan atau mubah yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat atau hanya terbatas pada masalah furu’iyah, sedangkan dalam masalah usuluddin kebanyakan uamak berpendapat tidak boleh bertaqlid hal ini dikuatkan oleh Al-razi dengan dalilnya surat muhammad ayat sebagai berikut:
Artinya: “Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan / Tuhan) selain Allah....”
Ayat ini menerangkan bahwa wajib mengetahui Allah. Dalam artian mengetahui kepada keyakinan dan itu hanya dapat diketahui dengan ilmu oleh sebab itu maka menurut Al-razi harus mengetahui dalilnya
Meskipun taqlid jenis ini diperbolehkan namun hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b)      Taqlid yang dilarang atau haram.
Taqlid yang dilarang atau haram yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :
1)      Taqlid buta (tidak mau memperdulikan ayat tuhan lantaran orang tua.
Taqlid buta yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
Artinya : dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk".                               
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.[7]
2)      Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti.
3)      Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat, garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
c)      Taqlid yang diwajibkan.
Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada RasulNya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba` kepadanya.
Dalil untuk bertanya kepada ahli ilmu adalah dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang artinya “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama’) jika kamu tidak mengetahui”.
2.      Ittiba’
a.       Pengetian Ittiba.
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad r dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.[8]
Imam Ahmad dalam mendifinisikan ittiba’ berkata:
الاتباع ان يتبع الرجل ماجاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه ثم من ھو من التابعين بخير
Artinya: ittiba’ itu ialah kita mengikuti pendapat yang datang dari rosul r, dari para sahabat, kemudian yang datang dari tabiin yang diberikan kebajikan.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.
b.      Dasar Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum dari padanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak di dapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba’, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang di ikuti.
Ittiba dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah I surahAn-Nahl ayat 43 yang berbunyi:
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”.
Dalam ayat diatas terdapat kalimat “bertanyalah”, yaitu menunjukkan wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Rasulullah r juga bersabda yang artinya, “Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR Abu Daud).[9]
Kata ittiba’ ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid, karena al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada ucapan Ibrahim kepada ayahnya  dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi:
Artinya: “ Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri
Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang saleh yang terkenal denga nama Khidhr. Tentang kisah Musa ini Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Musa telah memohon kepada Khidhr u agar di izinkan untuk mengikutinya dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini menunjukkan bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan bukanlah hal yang tercela.
Berdasarkan firman-firman Allah U yang terdapat dalam al-Quran ini dan juga ada hadis dari Nabi r, maka jelaslah bahwa ittiba ini dianjurkan atau tidak dilarang.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Secara Bahasa, dalam kamus Al–Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam, dijelaskan bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
1.      Kata “madzhab” berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu, dzhaban, madzhaban yang memiliki arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
2.      Madzhab adalah aliran pemikiran atau pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum islam.
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
Taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad r dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.

B.     Saran
Demikian pembahasan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah  selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran,  (Penerbit : Erlangga, Jakarta, 1991), 

Abdullah Haidir, Mazhab fiqh, (King Fahd National Cataloging-In-Publication Data: 2004)

Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya: 2015)

Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),

Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997)


[1] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Maaran,  (Penerbit : Erlangga, Jakarta, 1991),  hal 47
[2] Abdullah Haidir, Mazhab fiqh, (King Fahd National Cataloging-In-Publication Data: 2004) Hlm. 11
[3] Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya: 2015) Hlm. 130
[4] Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah,  … Hlm. 131
[5] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),  hlm. 61.
[6] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, … hlm. 62
[7] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, … hlm. 63
[8] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm., 164.
[9] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam,  … hlm., 165

No comments:

Post a Comment