BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Adalah pedoman dari
seluruh umat yang ada di seluruh alam ini terutama umat beragama islam,namun
disamping itu terdapat hadis yang berfungsi sebagai pelengkap dari Al-Qur’an.
Hadis menurut ulama ushul adalah segala perkataan,perbuatan & ketetapan
Nabi Muhammad saw. yang bersangkut paut dengan hukum,dan seiring berkembangnya
zaman hadis-hadis itu semakin bertambah banyak yang kadang-kadang membuat
percekcokan sesema muslim. Penelitian ini akan membahas tentang macam-macam
hadis yang kemudian diharapkan timbulnya pemahaman yang lebih mendalam tentang
hadis.
Hadist adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting
dalam pandangan Islam. Al-Qur’an dan nabi dengan sunnahhnya (hadistnya)
merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduannya merupakan hal sentral
yang menjadi “jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuanya Islam
terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena itu wajar dan logis jika
bila perhatian dan aspirasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan aspirasi
terhadap keduanya melebihi perhatian dan aspirasi terhadap bidang yang lain.Hadist
adalah sumber ajaran Islam kedua, setelah Al-Qur’an. Dan hadist nabi Sebagai
salah satu sumber ajaran Islam, cukup banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan
orang-orang yang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi
Muhammad, utusan Allah. Sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah surat
al-Hasr 59:7.
Dalam mempelajari hadist
Nabi SAW, kita tidak akan pernah terpisah dengan istilah – istilah yang
berhubungan dengan ulumul hadist. Pengetahuan tentang istilah-istilah ini akan
membantu kita dalam memahami dan mempelajari ulumul hadist. Istilah dalam ilmu
hadist sangat banyak baik yang berhubungan dengan macam-macam hadist, generasi
periwayat, kegiatan periwayatan, pengutipan hadist dan pembagian khabar
individu yang dijadikan sebuah sandaran.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana pedoman dan
kedudukan hadist?
2.
Bagaimana Al-Qur’an Sebagai
Pendukung Utama?
3.
Apa saja macam-macam
hadist?
4.
Bagaimana kritik matan
hadist?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini
adalah :
1.
Untuk mengetahui pedoman
dan kedudukan hadist
2.
Untuk mengetahui Al-Qur’an
Sebagai Pendukung Utama
3.
Untuk mengetahui
macam-macam hadist
4.
Untuk mengetahui kritik
matan hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pedoman dan
Kedudukan Hadist
Sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas, hadist mempunyai kedudukan sebagai sumber hukum islam kedua.
Di dalam Al Quran juga telah dijelaskan berulang kali perintah untuk mengikuti
ajaran Rasulullah SAW, sebagaimana yang terangkum firman Allah SWT di surat
An-Nisa’ ayat 80:
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ
عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.”(QS.An-Nisa: 80)
Selain itu, Allah SWT menekankan kembali
dalam surat Al-Asyr ayat 7:
…..…وَمَااَتَاكُمْ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ
وَمَانَهَا كُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا……
“Apa yang diperintahkan Rasul, maka
laksanakanlah, dan apa yang dilarang Rasul maka hentikanlah” (QS.Al-Hasyr:7)[1]
Demikianlah ulasan
mengenai fungsi hadist dalam islam. Semoga kita bisa menjadi hamba yang taat
kepada Al Quran dan Al-Hadist. Di samping itu, kita juga perlu jeli dalam
membedakan antara hadist yang shahih, dho’if, dan hadist palsu.
B.
Al-Qur’an Sebagai Pendukung
Utama
Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda
Rasullullah, antara lain:
- Sebaik-baik orang di antara
kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya
- Umatku yang paling mulia
adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR. Turmuzi)
- Orang-orang yang mahir
dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia,
sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih lidahnya berat dan
sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim).
- Sesungguhnya Al-Qur’an ini
adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan
kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
- Bacalah Al-Qur’an sebab di
hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an sebagai penolong bagai pembacanya
(HR. Turmuzi).
Al-Hadis adalah sumber
kedua agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, al-Hadis
mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan
pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu
dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Ada
tiga peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam,
yakni sebagai berikut :[2]
1.
Menegaskan lebih lanjut
ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-Quran terdapat ayat
tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi.
2.
Sebagai penjelasan isi
Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintah- kan manusia mendirikan shalat.
Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at, cara rukun dan
syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah
raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
3.
Menambahkan atau
mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam
Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi mengawini seorang perempuan dengan
bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di
surat An-Nisa (4) : 23. Namun, kalau dilihat hikmah larangan itu jelas bahwa
larangan tersebut mencegah rusak atau putusnya hubungan silaturrahim antara dua
kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama Islam.
C.
Macam-macam Hadist
1.
Pembagian Hadits
Berdasarkan Kuantitas Perawi
Ditinju dari sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadits
terbagi kepada dua macam, yakni:[3]
a) Hadits mutawatir
Secara lughowi istilah
mutawatir berasal dari isim fail musytaq dari al-tawatur yang berarti tatabu’
(datang berturut-turut dan beriringan satu dengan yang lain). Secara istilah
yang dimaksud dengan mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak
periwayat alam setiap tingkatan satu dengan yang lainnya dan masing-masing
periayat tersebut semuanya adil yang tidak memngkinkan mereka itu semuanya
sepakat berdusta atau bohong semuanya berandar pada pancaindra.
Syarat-syarat
hadits mutawatir:
1)
Bilangan atau jumlah
periwayatnya banyak.
2)
Semuanya bersandar pada
panca indera.
Macam-macam
Mutawatir:[4]
1)
Mutawatir Lafdzi, hadits
yang diriwayatkan secara banyak periwayat (mutawatir) dari sisi lafalnya satu
dengan yang lain sam seperti hadits nabi Muhammad: منكدبعلي متعمدا
2)
Mutawatir ma’nawi, hadits
yang diriwyatkan secara banyak periwayat (mutawatir) dipandang dari sisi
lafalnya satu engan yang lain berbeda tetapi masih dalam konteks yang sama
(satu makna).
3)
Menurut M. Suhudi Ismail
menambahkan Mutawatir ‘amali, amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh
Rosululloh SAW, lalu diikuti oleh sahabat nabi Muhammad dan seterusnya sampai
umat islam sekarang ini.
b)
Hadits ahad
Yaitu hadits yang tidak
mencapai derajat mutawatir biasanya disebut dengan hadits ahad yang secara bahs
dari kata wahid artinya satu. Secara istilah sering diartkan dengan hadits yang
jumlah periwayatnya trbatas atau tidak banyak sebagaimana yang terjadi pada
hadits mutawatir. Hadits ahad dibagi menjadi tiga.
1)
Masyhur, secara etimologi
berarti tersebar atau tersiar (muntasyir). Menurut istilah menurut Ibn Hajar
Al- Asqolan hadits adalah hadits yang diriwayatkan lebih dari dua orang tetapi
belum mencapai derajat mutawatir. Menurut ulama Hadits Mashur adalah hadits
yang memiliki sanat terbatas dan lebih dari dua, namun derajatnya tidak sampai
mutawtir. Sebagian ulama terutama ulama ushul al fiqih menyamakan dengan hadits
mustafid (sesuatu yang tersiar atau yang terbatas).
Kriteri kesohihan hadits
bukan terletak pada kemasyhuran atau populernya sanat tersebut, namun
tergantung keriteria kesohihan hadits dan persambungan sanad hadits tersebut.
Dengan demikian hadits ang populer dapat bernilai macam-macam. Beberapa bentuk
nilai hadits masyhur adalah:
(a)
Sohih, seprti hadits
(b)
Hasan
2)
Aziz
Secara bahasa dari kata عز يعز yang brarti kuat
(QS.36:14) atau sedikit/jarang atau disebut juga dengan (Al-nadir) atau disebut
juga al-syarif (yang mulia). Adapun secara istilah hadits aziz yaitu hadits
yang jumlah periayatnya tidak kurang dari dua orang dalam seluruh tingkatannya
Menurut ibnu hajar
Al’Asqalani, definisi lain tentang hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan
terbatas dua orang periwayat dalam sebagian tingkatannya dan sebagian lainnya
ada yang lebih dari dua periwayat.
Contoh hadits aziz
adalah tentang mencintai nabi Muhammad SAW. Yang artinya:
Tidaklah beriman seseorang kepada kami
sehingga mencintai diri Nabi dari cintanya kepada orang tua dan akanya.
3)
Garib
Secara etimologi kata
garib merupakan kata musyabbih yang bermakna sendirian atau jauh dari
keluarganya atau jauh dari tanah air atau sulit dipahami.
Secara istilah hadits
garib diriwayatkan oleh satu periwayat saja dengan tidak dipersoalkan dari
tabaqot mana saja. Oleh karena itu ada ulama yang menyebut hadits ini dengan
istilah hadits fard. Kemungkinan-kemungkinan ke ghoriban suatu hadits:
(a)
Hadits yang ghorib dari
sisi matan
Hal ini dikaernakan
seluruh matan hadits tidak dikenal oleh ulama hadits.Adanya hal ini disebabkan
adanya periwayat sanad yang garib atau sebagian lafat dalam hadits tersebut
sulit dipahamikaren dalam masyarakat matan tersebut jarang digunakan, atau
dapat berupa lafal hadits tersebut tdak temuat dalam matan yang semakna di
sanad-sanad yang lain.
(b)
Hadits yang ghorib dari
sisi sanad
Dapat terjadi dua
kemungkinan yaitu gorib mutlak dan gorib nisbi yaitu kegoriban terletak pada
asal sanad yaitu terletak di tingkat tabi’in atau tabi’ atau tabi’in dan juga
dapat terjadi pada setiap tingkatannya. Kegoriban atau kesendirian sanad tidak
berlaku pada tingkatan sahabat, hadits tersebut dikarenakan ulama sepakat bahwa
periwayat ditingat sahabat dinyatakan adil semuanya walaupun sendirian.[6]
(c)
Hadits yang ghorib dari
sisi sanad dan matan
Gabungan dari kedua
bentuk diatas. Hadits yang gorib belum tentu bernilai do’if. Dintara hadits
yang gorib ada yang sohih. Terhadap kehujjahan hadits ahad, ulama berbed
pendapat ada yang mengatakan qad’iy dan ada yang zanni al wurud atau dallahnya.
2.
Macam-Macam Hadits Yang
Maqbul Dan Mardud
a.
Hadist Maqbul
Hadis maqbul,secara
bahasa berarti yang diambil, yang diterima dan yang dibenarkan. Sedangkan
menurut istilah ahli hadis, hadis maqbul ialah hadis yang telah sempurna
syarat-syarat penerimaannya. Hadis shahih dan hadis Hassan termasuk dalam hadis
maqbul.
1)
Hadis Shahih
Hadis shahih menurut Ibn
Salah adalah hadis shahih yang sanadnya bersambung,diriwayatkan oleh periiwayat
yang adil dan dabit dari awal sampai akhir sanadnya tidak ada yang syaz dan
‘illat.[7]
Menurut Subhi al-Salih
hadis shahih adalah,hadis yang sanadnya bersambung,dikutip oleh periwayat yang
adil dan cermat dari orang yang sama hingga berakhir sampai ke Rasulullah SAW.
atau kepada sahabat dan tabi’in,bukan hadis yang syaz dan tidak ada ‘illiat.
Kedua pendapat tentang
hadis sahih itu di ringkas kembali oleh Imam al-Nawawi ysng mengungkapkan bahwa
hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung,adil,dabit, tidak ada syaz
dan ‘illiat.
Dan dari beberapa
pendapat tentang hadis shahih itu dapat di simpulkan bahwa hadis shahih iyalah
hadis yang sanadnya bersambung,dirieayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit
sampai akhir sanadnya,serta tidak ada kejanggalan dan kecacatan. Contoh dari
hadis shahih adalah Rukun islam yaitu syahadat,sholat,zakat,puasa dan haji.
Yang diriwayatkan oleh Hundalah Ibn Abi Sufyan,Ikrimah ibn Khalid dan Ibn umar
ra. Syarat-syarat hadis Shahih :
(a)
seluruh sanadnya bersambung
(musnad) ,masing-masing periwayat yang terlibat dalam transmisi harus mendengar
langsung dari periwayat sebelumnya.
(b)
Periwayat yang terkandung
dalam periwayat hadis harus ‘adil. Kriteria periwayat yang ‘adil adalahberagama
islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama,memelihara muru’ah.
(c)
Diriwayatkan atas periwayat
yang dabit.
(d)
Tidak terdapat adanya syaz.
(e)
Tidak adanya ‘illiat atau
kecacatan pada hadis.
Macam-macam
hadis Shahih
(1)
Shahih lizatihi, adalah
hadis shahih yang telah memenuhi syarat-syarat untuk dinilai shahih secara
sempurna.
(2)
Shahih lighairihi,adalah
hadis shahih yang awalnya dinilai sebagai hadis Hassan,namun dapat berubah
menjadi hadis shahih karena di kuatkkan oleh pndapat dari beberapa periwayat.
2)
Hadis Hassan
Secara bahasa hadis
Hassan berarti yang baik atau yang bagus,namun dalam terminology hadis,hadis
Hassan hampir mirip dengan hadis shahih,semua syarat terpenuhi,namun
kelemahanya ada pada daya hafalannya.
Macam-macam
hadis Hassan
1)
Yang pertama adalah Hadis
Hassan lizatihi,hamper sama dengan hadis Shahiih,hadis Hassan lizatihi adalah
hadis yang tellah mencapai syarat-syarat secara sempurna untuk di panggil hadis
Hassan.
2)
Yang kedua yaitu hadis
Hassan lighairihi,hadis yang didalam sanadnya tidak di ketahui keadaanya,tidak
dapat dipastikan kelayakannya. Dengan demikian Hassan lighairih adalah hadis
yang diriwayatkan oleh periwayat yang dha’if namun dha’ifnya tidak disebabkan
oleh banyak kesalahan,tidak bersifat fasiq.
b.
Hadis mardud,
Hadis mardud secara
bahasa adalah yang ditolak atau yang tidak di terima. Namun secara istilah
hadis mardud adalah hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat
keberadaanya serta tidak keterangan yang kuat atas ke tidakadaanya. Hadis
dha’if adalah hadis yang termasuk sebagai hadis mardud.
Hadis dha’if adalah
hadis yang didalamnya tidak ada ciri ke-Shahihanya dank e-hassanannya . di
dalamnya terdapat periwayat yang dusta atau tertuduh dusta,banyak membuat
keliruan, pelupa, suka maksiat dan fisik, banyak angan-angan,menyalahi
periwayat keppercayaan, periwayat tidak dikenal, penganut bid’ah dan tidak baik
hafalanya.
Menurut para ulama hadis
dha’if di bagi berdasarkan kelemahanya,ada lima kelemahan tentang hadis dha’if.[8]
1)
Sanad terputus,masih di
bagi lagi menjadi 2 yaitu
a)
Secara jelas,ada hadis
Mursal,
1)
hadis yang periwayat
pertama di tingkat sahabt tidak digugurkan atau tidak disebutkan namanya.
2)
Hadis munaqati,hadis yang
gugur atau disbutkan periwayat yang tidak jelas.
3)
Hadis mildal,hadis yang
gugur karena periwayatnya berjumlah 2 secara berturut-turut
4)
Hadis muallaq,hadis yang
dibuang permulaan sanadnya, baik yang dubuang seorang atau lebih.
b)
Secara khafi, hanya ada 1
yaitu hadis mudallas, hadis yang disembunyikan aibnya.
2)
Secara periwayatnya
(a)
Hadis Mawdu’,hadis yang
dibuat dan seakan-akan berasala dari Rasullulah saw.
(b)
Hadis Matruk,hadis yang
ditinggalkan karena periwayatnya di tuduh dusta dan nampak kefasiqkannya.
3)
Berdasarkan kadabitanya,
(a)
Hadis Munkar,hadis yang
diriwayatkan oleh satu periwayat yang lemah serta menyalahi periwayat yang
lain.
(b)
Hadis Mulallal hadis yang
mengandung cacat yang dapat menodai kashahihan.
(c)
Hadis mudraj,hadis yang
sanad atau matannya terdapat suatu tambahan.
(d)
Hadis maqlub,hadis yang
terbalik lafalnya pada matan,nama seseorang atau nasab ada di sanadnya
(e)
Hadis Mazud fi Muttasil
al-Asanid,adanya penambahan tertentu pada suatu sanad.
(f)
Hadis Mudtirib,hadis yang
didalamnya masih ada perselisihan.
(g)
Hadis Syaz,hadis yang
diriwayatkan oleh seorang kepercayaan yang periwayatanya berlawanan dengan
riwayat orang banyak yang dipercaya,dengan cara menambahi atau mengurangi.
D.
Kritik Matan Hadist
1.
Pengertian
Kritik matan dipahami sebagai penelitian terhadap isi hadits, baik dari
sisi teks maupun makna teks itu sendiri. Dibanding kritik sanad, kritik matan
ini kurang mendapat perhatian oleh pakar hadits. Padahal sebagaimana kritik
sanad, kritik matan juga merupakan studi yang sangat penting. Bahkan tidak ada
jaminan ketika sanadnya sehat, matannya juga sehat.[9]
Hal ini menjelaskan bahwa hasil kritik matan hadits bisa menjadikan
sebuah hadits yang sanadnya shahih, tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak
shahih matannya. Muhammad Thahir al-Jawabi menjelaskan dua tujuan kritik matan,
yaitu:
1. Untuk menentukan benar tidaknya matan hadits.
2. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kandungan yang
terdapat dalam sebuah matan hadits.
Dengan demikian, kritik matan hadits ditujukan untuk meneliti
kebenaran informasi sebuah teks hadits atau mengungkap pemahaman dan
interpretasi yang benar mengenai kandungan matan hadits. Dengan kritik hadits
kita akan memperoleh informasi dan pemahaman yang benar mengenai sebuah teks
hadits.
2.
Manfaat Kritik Matan Hadist
Manfaat
dilakukannya kritik matan antara lain:
a.
Terhindar dari kekeliruan
dalam menerima riwayat hadis
b.
Mengetahui adanya
kemungkinan kesalahan rawi hadis dalam meriwayatkan hadis.
c.
Menghindari pemalsuan atau
manipulasi hadis oleh oknum tertentu yang berkepentingan ingin berlindung atas
nama syariat.
3.
Syarat-Syarat Kritik Matan
Secara umum kajian kritik matan hadits dapat disebutkan bahwa lingkup
pembahasannya adalah terkait dengan matan hadits. Matan hadits disini memiliki beberapa
kriteria untuk dilakukan kritik matan terhadapnya. Yang pertama, terkait dengan
lafaznya, jika dalam lafaz hadits terdapat pertentangan dengan Alquran, maka
kritik terhadap matan hadits harus dilakukan sebagaimana apa yang pernah
dilakukan oleh Saydatuna Aisyah tentang sebuah hadits yang menurutnya
bertentangan dengan sebuah ayat alquran. Yang kedua adalah terkait maknanya,
jika makna satu hadits bertentangan dengan hadits yang lain maka harus
dilakukan kritik terhadap matan hadits. Hal ini dilakukan dengan membandingkan
redaksi matan antara para ahli hadits dengan mendengarkan hafalannya
masing-masing.
Dalam menentukan keshohian matan hadits, Sholahuddin bin Ahmad memberikan
dua syarat:
a)
Hadits tersebut terlepas
dari syad, dengan arti bahwa hadits tersebut mencakupi syarat hadits shohih
Syad pada matan didefinisikan dengan
adanya pertentangan atau ketidaksejalanan riwayat seorang perowi yang
menyendiri dengan seorang perowi yang lebih kuat hafalan/ ingatannya..
b)
Hadits tersebut terbebas
dari illat,
‘Illat pada matan hadits
didefinisikan sebagai suatu sebab tersembunyi yang terdapat pada matan hadits
yang secara lahir tampak berkualitas shahih. Sebab tersembunyi di sini
dimaksudkan bisa berupa masuknya redaksi hadits lain pada hadits tertentu. Kriteria
untuk mengungkap ‘illat pada matan sebagaimana dikemukakan oleh al-Salafi
adalah :
1)
Mengumpulkan hadits yang
semakna serta mengkomperasikan sanad dan matannya sehingga diketahui ‘illat
yang terdapat di dalamnya
2)
Jika seorang perawi
bertentangan riwayatnya dengan seorang perowi yang lebih tsiqah darinya, maka
perawi tersebut dinilai ma’lul
3)
Mengetahui penyeleksian
seorang syaikh bahwa pernah menerima hadits yang diriwayatkannya itu sebenarnya
tidak pernah sampai padanya
4)
Seorang perawi tidak
mendengar (hadits) dari gurunya langsung
5)
Adanya keraguan bahwa tema
inti hadits tersebut berasal dari Rasulullah
6)
Hadis yang telah umum
dikenal oleh sekelompok orang (kaum), namun kemudian datang seorang perawi yang
hadisnya menyalahi hadis yang telah mereka kenal itu, maka hadis yang
dikemukakan itu dianggap memiliki cacat.
Jika perowi meriwayatkan hadis dari seorang perowi tentang
itu, maka hadisnya dihukumi bersambung (muttashil) dan shahih, namun jika
mereka meriwayatkan dari perowi lainnya maka hadisnya dihukumi mursal atau
munqathi’karena tidak ada pertemuan langsung (all-liqa’) dan pendengaran
langsung (as-sima’). Itulah criteria yang dikemukakan al-salafi, hingga benar
jika dikatakan bahwa penelitian terhadap ‘illat pada matan itu sangat sulit
krcuali oleh peneliti yang benar-benar terlatih melakukan penelitian hadis.
Jadi secara singkat, kritik matan hadits khusus berbicara
pada matan sebuah matan hadits saja. Akan tetapi jika ditinjau dari sisi yang
lebih luas dengan melihat metode dalam kritik matan hadits, maka kritik matan
hadits merupakan bidang kajian ilmu hadits yang membutuhkan kajian-kajian
pendukung lain dalam kajian ilmu hadits, seperti Ilmu Rijalul hadits, Jarh wa
ta’dil dan sebagainya untuk menentukan metode maupun syarat melakukan kritik
matan hadits.[11]
Kajian kritik matan hadits yang bisa dikatakan secara bidang
keilmuan yang utuh adalah kajian yang
kontemporer dalam bidang ilmu hadits merupakan kajian yang termat sulit
ditemukan literature yang khusus mengkaji tentang hal tersebut. Hal ini
tentunya menjadi kendala tersendiri untuk kemandirian bidang keilmuan ini. Ada
beberapa kendala maupun kesulitan yang sering dialami pengkaji kritik matan
hadits, hal tersebut disebutkan dalam kitab Manhaj Naqdil matni ‘inda Ulamail
hadits Annabawy:
a)
Sedikitnya literatur yang
membahas tentang topik ini.
b)
Sulitnya pembahasan kritik
matan hadits.
c)
Ketakutan pengkritik hadits
terhadap hadits yang dikritisi atas kesalahan dalam interpretasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Macam-macam hadis
didefinisikan dalam bebagai sudut pandang, antara lain berdasarkan jumlah
perawina dan kuwalitas hadits tersebut, berdasarkan kuantitas perawinya dibagi
menjadi dua yaitu mutawair dan ahad. Berdasarkan materi yang telah kita kaji
tentang macam-macam hadits dan takhrij hadits banyak macam-macam hadits dan
banyak juga cara menentukan takhrij yang tentunya tidak singkat. Dan dalam
menentukan kevalidan hadits atau ke sohihan hadits tentunya membutuhkan
pengetahuan yang cukup dan proses yang lumayan panjang untuk itu siapapun yang
ingin menentukan kevalidan hadits harus mengetahui dan berhati-hati dalam
menentukan takhrij.
Hadis juga dibagi
berdasarkan kualitastas perawinya, yaitu hadis maqbul (hadis yang dapat
diterima diterima karena kualitas perawinya terjamin) dan hadis mardud (hadis
yang tidak dapat diterima/ditolak karena kualitas perawinya yang tidak baik).
B.
Saran
Demikianlah pembahasan
makalah mengenai ulumul hadist, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian.
Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khan, Ulumul hadits, (Jakarta:AMZAH 2013)
Fudhali, Ahmad. Kritik
Atas Hadits-Hadits Sahih.
(Yogyakarta : Pilar religia, 2005)
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. (Jakarta : Bulan Bintang, 1992)
Muhammad Ahmad,
Mudzakkir, Ulumul Hadits (Bandung: Puska Setia, 2004)
Mujiyo. Ulum Al-Hadits 2.(Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 1997)
Munzier Suparta, Ilmu
Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Cet III,
[4] Munzier Suparta, Ilmu
Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Cet III, Hal. 3
[8] Mujiyo. Ulum Al-Hadits
2.(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 2
No comments:
Post a Comment