BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Puasa merupakan amalan-amalan ibadah
yang tidak hanya oleh umat sekarang tetapi juga dijalankan pada masa umat-umat
terdahulu.bagi orang yang beriman ibadah puasa merupakan salah satu sarana
penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan
dosa-dosa, pelipatgandaan pahala kebaikan,dan pengangkatan derajat. Allah telah
menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya diantara amal-amal ibadah
lainnya. Puasa difungsikan sebagai benteng yang kukuh yang dapat menjaga
manusia dari bujuk rayu setan. Dengan puasa syahwat yang bersemayam dalam diri
manusia akan terkekang sehingga manusia tidak lagi menjadi budak nafsu tetapi
manusia akan menjadi majikannya.
Allah memerintahkan puasa bukan tanpa
sebab. Karena segala sesuatu yang diciptakan tidaka ada yang sia-sia dan segala
sesuatu yang diperintahkan-Nya pasti demi kebaikan hambanya. Kalau kita
mengamati lebih lanjut ibadah puasa mempunyai manfaat yang sangat besar karena
puasa tidak hanya bermanfaat dari segi rohani tetapi juga dalam segi lahiri.
Barang siapa yang melakukannya dengan ikhlas dan sesuai dengan aturan maka akan
diberi ganjaran yang besar oleh allah.
Puasa mempunyai pengaruh menyeluruh
baik secara individu maupun masyarakat dalam hadits telah disebutkan hal-hal
yang terkait dengan puasa seperti halnya mengenai kesehatan, dan lain
sebagainya. Dalam menjalankan puasa secara tidak langsung telah diajarkan
perilaku-perilaku yang baik seperti halnya sabar, bisa mengendalikan diri dan
mempunyai tingkah laku yang baik.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan puasa ?
2. Macam macam puasa itu apa saja ?
3. Bagaimana ketentuan puasa itu ?
4. Bagaimana hukum shalat tarawih?
5. Berapakah jumlah rokaat pada shalat tarawih ?
C.
Tujuan
penulis
Makalah ini disusun untuk memberikan
pedoman bagi kita umat islam dalam menjalankan ibadah khususnya ibadah puasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Puasa
Menurut bahasa Shiyam/ puasa berarti
“menahan diri”. “aku bernadzar kepada tuhan yang maha pengasih akan
berpuasa”.(QS Maryam : 26)
Í?ä3sù
Î1uõ°$#ur Ìhs%ur $YZøtã
( $¨BÎ*sù
¨ûÉïts?
z`ÏB
Î|³u;ø9$#
#Ytnr& þÍ<qà)sù
ÎoTÎ)
ßNöxtR
Ç`»uH÷q§=Ï9
$YBöq|¹ ô`n=sù zNÏk=2é&
uQöquø9$#
$|Å¡SÎ)
ÇËÏÈ
Artinya : Maka makan, minum dan bersenang hatilah
kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya
aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". [1]
Menurut syara’ ialah : “menahan diri
dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga terbenam
matahari, karena perintah Allah semata mata, dengan disertai niat dan
syarat-syarat tertentu.
“Telah berfirman Allah ‘azza
wajalla: “semua amalaan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, maka itu
hendaklah untukKu1 dan Aku akan memberinya ganjaran2”. Dan puasa itu merupakaan
benteng3, maka ketika datang saat puasa, janganlah seseorang berkata keji,
berteriak atau mencaci-maki! Dan seandainya dicaci maki oleh seseorang, atau
diajak berkelahi, maka jawablah : “saya ini berpuasa” sampai dua kali. Demi
Tuhan yang nyawa Muhammad ada dalam genggaamannya, bau mulut orang berpuasa itu
lebih harum di sisi Allah pada haari kiamat daripada kasturi. Dan orang
berpuasa itu akan beroleh kegembiraan yang menyenangkan hati: Di kala berbuka,
dia akan gembiira dengan berbuka itu, dan di saat ia menemui Tuhannya nanti, ia
akan gembira karena puasanya.”(HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i), jadi secara garis
besar puasa adalah sebagai berikut :
1.
Menurut
bahasa, puasa artinya menahan diri.
2.
Menurut
istilah, puasa artinya menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan
puasa mulai terbit fajar (shubuh) sampai terbenam matahari (maghrib) dengan
niat tertentu.
3.
Puasa
wajib berarti puasa yang harus dilakukan. Jika dilakukan mendapat pahala dan
jika tidak dilakukan berdosa.
4.
Puasa
sunnah berarti puasa yang dianjurkan untuk dilakukan. Jika dilakukan mendapat
pahala dan jika tidak dilakukan tidak berdosa.
B.
Macam-macam
Puasa Wajib
1.
Puasa
Ramadhan
Puasa
satu bulan di bulan Ramadhan. Puasa ini diwajibkan berdasarkan keterangan dalam
surat Al Baqoroh, ayat 183 :[2]
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$#
$yJx. |=ÏGä. n?tã
úïÏ%©!$# `ÏB
öNà6Î=ö7s%
öNä3ª=yès9
tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
2.
Qodho
Puasa
sebagai pengganti puasa Ramadhan yang batal karena udzur, misalnya bepergian jauh,
sakit, haid atau nifas.
3.
Kafarat
Puasa
sebagai pengganti puasa Ramadhan yang batal karena sengaja, bukan karena udzur.
Misalnya, sengaja membatalkan puasa Ramadhan karena malas berpuasa, sengaja
muntah atau sengaja berhubungan suami-istri di siang hari.
4.
Nadzar
(janji)
Puasa
yang diwajibkan oleh diri sendiri untuk memenuhi nadzar. Misalnya, Ali berjanji
jika hasil UAS tahun ini nilainya paling baik, Ali akan berpuasa 3 hari
berturut-turut. Nah, puasa Ali selama 3 hari berturut-turut itu disebut puasa
nadzar.
C.
Macam-Macam
Puasa Sunnah
1.
Senin
dan Kamis
Puasa
sunnah khusus di hari Senin dan Kamis. Rosulullah mencontohkan puasa Senin
& Kamis karena pada hari tersebut:
a)
Amal
manusia ditunjukkan (dilaporkan) oleh malaikat kepada Allah
b)
Hari Senin
merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad,
c)
Diangkatnya
Muhammad menjadi nabi, dan
d)
Permulaan
diturunkannya Al Qur’an.
2.
Syawal
Puasa
6 hari di bulan Syawal. Orang yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti 6 hari di
bulan Syawal maka pahala puasanya sama dengan orang yang berpuasa selama 1
tahun. Puasa ini boleh dilakukan secara berturut-turut atau tidak berurutan.
3.
Arofah
Puasa
pada tanggal 9 di bulan Dzulhijjah. Orang yang tidak menunaikan ibadah haji
disunnahkan untuk berpuasa Arofah. Pahala orang yang berpuasa Arofah ialah dihapuskan
dosanya selama 2 tahun, yakni 1 tahun yang lalu dan 1 tahun yang akan datang.
4.
Daud
Puasa
yang dicontohkan oleh Nabi Daud, yakni puasa setiap dua hari sekali
(selang-seling, maksudnya jika hari ini berpuasa, besoknya tidak, lusa puasa,
besoknya lagi tidak, dan seterusnya).[3]
D.
Syarat
Wajib Puasa
Orang-orang yang diwajibkan untuk melaksanakan puasa
wajib ialah:
1.
Bagi
(laki-laki yang pernah mengalami mimpi basah atau berusia 15 tahun dan
perempuan yang sudah mengalami
menstruasi).
2.
Mus (orang
non muslim tidak wajib berpuasa).
3.
Tidak
sedang bepergian jauh.
4.
Mampu
berpuasa (tidak lemah dan tidak sakit).
5.
Berakal
(tidak gila atau tidak sedang mabuk).
6.
Sucidari
haid dan nifas bagi perempuan.
E.
Syarat
Sah Puasa
Puasa seseorang dinyatakan sah apabila
memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Islam selama berpuasa.
2. Suci dari haid, nifas, dan wiladah.
3. Tamyiz (dapat membedakan yang baik dan yang
buruk).
4. Pada waktunya (bukan pada hari-hari yang
terlarang berpuasa).
5. Rukun puasa, Rukun puasa adalah hal-hal yang wajib dilakukan saat
berpuasa, yakni:
a) Niat (nawaitu shouma ghodin, an adaa-i fardhi
syahri Romadhoona, haadzihis sanati, lillaahi ta’aala, artinya saya berniat
puasa esok hari, untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan, tahun ini,
karena Allah ta’ala).
b) Menahan diri dari segala hal yang membatalkan
puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
F.
Hal-Hal
Yang Membatalkan Puasa
1.
Makan dan
atau minum.
2.
Memasukkan
sesuatu ke dalam perut melalui kerongkongan atau yang lainnya meskipun tidak
mengenyangkan.
3.
Muntah
dengan sengaja.
4.
Melihat
bulan sebagai tanda tanggal 1 Syawal.
5.
Datang
bulan (haid) atau melahirkan.
6.
Mengeluarkan
mani dengan sengaja (masturbasi).
7.
Berhubungan
suami-istri.[4]
G.
Orang-Orang
Yang Dibolehkan Untuk Tidak Berpuasa Selama Ramadhan
1.
Anak kecil
yang belum baligh.
2.
Musafir.,
Musafir ialah orang yang sedang bepergian jauh. Jika perjalanannya mengalami
kesulitan atau mendatangkan keletihan maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa.
3.
Orang yang
sakit. Jika ia khawatir sakitnya akan bertambah parah maka sebaiknya ia
berbuka.
4.
Wanita
yang sedang hamil.
5.
Wanita
yang sedang menyusui.
6.
Orang yang
sudah sangat tua. Orang tua yang sudah tidak sanggup lagi berpuasa, boleh tidak
berpuasa dan ia tidak wajib mengqodho tapi harus membayar fidyah (memberi makan
fakir miskin).
H.
Hikmah
Atau Manfaat Puasa
Beberapa manfaat puasa yang akan
didapatkan oleh orang yang berpuasa ialah:[5]
1. Menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani
2. Menyehatkan tubuh
3. Mendekatkan diri kepada Allah SWT.
4. Melatih mengendalikan nafsu
5. Meningkatkan kepedulian sosial
I.
Shalat
Tarawih dan Shalat Witir
1.
Shalat
tarawih
Shalat Tarawih adalah shalat yang
dilakukan khusus hanya pada bulan ramadan. Tarawih dalam bahasa Arab adalah
bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai "waktu sesaat untuk
istirahat". Waktu pelaksanaan shalat ini adalah selepas isya', biasanya
dilakukan secara berjama'ah di masjid. Fakta menarik tentang shalat ini ialah
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanya pernah melakukannya secara
berjama'ah dalam 3 kali kesempatan.
Sejarah ini berawal dari kehadiran rasulullah
saw di masjid pada malam tanggal 23 Ramadhan tahun kedua hijriyah. Rasulullah
kemudian melaksanakan ritual shalat yang kemudian hari dinamakan shalat
tarawih.
Malam berikutya, tepat tanggal 25,
rasulullah kemabali hadir guna melaksanakan shalat. Sahabat yang mengikuti
shalat rasulullah membludak. Kemudian pada malam ketiga, tanggal 27
ramadhan rasulullah hadir melaksanakan
shalat.
Seperti malam malam sebelumnya, para
sahabat telah menunggu beliau guna mengikuti shalat. Kemudian terakhir, pada
malam ke-29 para sahabat telah menunggu Rasulullah. Namun, sekian lama
menunggu, ternyata beliau tidak hadir. Saat menjelang fajar rasulullah, selepas
shalat shubuh,rasulullah bersabda:
قد رايت الذي صنعتم
ولم يمنعني من الخروج اليكم الا اني خشيت ان تفرض عليكم وذالك في رمضان
Artinya: Aku mngetahui apa yang telah kalian lakukan.
Tidak ada yang yang mencegahku untuk hadir ke masjid selain kekhawatiranku
apabila shalat ini di wajibkan bagi kalian.
a.
Hukum
Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab
(sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika
menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:[6]
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ
إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam
keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa
yang telah lalu.”(Muttafaqun ‘alaih)
Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan
adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya
mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula
tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam
Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu
Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang
dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat
tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295).[7]
b.
Jumlah
raka’at shalat tarawih menurut madzhab empat
Ada beberapa pendapat mengenai
bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadhan sebagai
berikut:
1)
Madzhab
Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi
dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan
Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih
(istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk
sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20
rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan
setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
2)
Madzhab
Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro,
Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin
mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim
(perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat
tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya
mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati
orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat.
Dari kitab Al-muwaththa’, dari
Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin
Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama
umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita
terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai
menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang
melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.
Imam Malik meriwayatkan juga melalui
Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan
tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang
masyhur dari Imam Malik.
3)
Madzhab
as-Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan dalam
kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu
lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat,
tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab.
Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah
al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif,
Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir
3 rakaat di setiap malam Ramadhan.
4)
Madzhab
Hanbali
Imam Hanbali menjelaskan dalam
Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, “shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat,
yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah
(Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah
Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab,
dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar
mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama
mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada
separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya
maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib
bin Yazid.
2.
Shalat
Witir
Shalat witir adalah salat sunah yang
dikerjakan pada waktu malam hari antara setelah waktu isya dan sebelum waktu
salat subuh, dengan rakaat ganjil. Salat ini dilakukan setelah salat lainnya,
sepertti tarawih dan tahajjud), hal ini didasarkan pada sebuah hadits. Salat
ini dimaksudkan sebagai pemungkas waktu malam untuk "mengganjili"
salat-salat yang genap, karena itu, dianjurkan untuk menjadikannya akhir salat
malam.
a.
Hukum
shalat witir
Salat sunah witir adalah sunah muakad.
Dasarnya adalah hadis
1)
Abu Ayyub
Al-Anshaari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda, “Witir adalah hak atas setiap
muslim. Barangsiapa yang suka berwitir tiga rakaat hendaknya ia melakukannya,
dan barangsiapa yang berwitir satu rakaat, hendaknya ia melakukannya”,[8]
2)
Dari Ubay
Bin Ka’ab, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi biasa membaca dalam salat witir:
Sabbihis marobbikal a’la (di raka'at pertama -red), kemudian di raka'at kedua:
Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan pada raka'at ketiga: Qul huwallaahu ahad, dan
dia tidak salam kecuali di raka'at yang akhir.” (Hadits riwayat Nasa’i, Abu
Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Penjelasan: Perkataan Ubay Bin Ka’ab,
“dan dia tidak salam kecuali di raka'at yang akhir”, jelas ini menunjukkan
bahwa tiga raka'at salat witir yang dikerjakan nabi itu dengan satu kali salam.
3)
Aisyah
radhiallahu ‘anha menerangkan tentang salatnya Rasul di bulan Ramadhan, “Rasul
tidak pernah salat malam lebih dari 11 raka'at, baik di bulan Ramadhan maupun
di luar Ramadhan, yaitu dia salat 4 raka'at, maka jangan engkau tanya tentang
bagus dan lama salatnya, kemudian dia salat 4 raka'at lagi, maka jangan engkau
tanya tentang bagus dan lama salatnya, kemudian dia salat witir 3 raka'at.”
(Hadits riwayat Bukhori 2/47, Muslim 2/166)
Demikian juga dengan hadits Ali
Radhiyallahu ‘anhu ketika ia berkata: “Witir tidaklah wajib sebagaimana salat
fardhu. Akan tetapi ia adalah sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah ”
Di antara yang menunjukkan bahwa witir
termasuk sunah yang ditekankan (bukan wajib) adalah riwayat shahih dari Thalhah
bin Ubaidillah, bahwa ia menceritakan:” Ada seorang lelaki dari kalangan
penduduk Nejed yang datang menemui Rasulullah
dengan rambut acak-acakan. Kami mendengar suaranya, tetapi kami tidak
mengerti apa yang diucapkannya, sampai dekat, ternyata ia bertanya tentang
Islam. Ia berkata “ Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku salat apa yang
diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab: “Salat yang lima waktu, kecuali engkau mau
melakukan sunah tambahan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku
puasa apa yang diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab; “Puasa di bulan Ramadan,
kecuali bila engkau ingin menambahkan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Beritahukan
kepadaku zakat apa yang diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab: (menyebutkan beberapa
bentuk zakat). Lelaki itu bertanya lagi: ‘Apakah ada kewajiban lain untuk
diriku?” Dia menjawab lagi: “Tidak, kecuali bila engkau mau menambahkan’.
Rasulullah memberitahukan kepadanya
syariat-syariat Islam. Lalu lelaki itu berbalik pergi, sambil berujar: “Semoga
Allah memuliakan dirimu. Aku tidak akan melakukan tambahan apa-apa, dan tidak
akan mengurangi yang diwajibkan Allah kepadaku sedikitpun. Maka Rasulullah bersabda: “Sungguh ia akan beruntung, bila ia
jujur, atau ia akan masuk surga bila ia jujur”
Juga berdasarkan hadis Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi pernah mengutus Muadz ke Yaman. Dalam
perintahnya: “Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka
salat lima waktu sehari semalam. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa witir
bukanlah wajib. Itulah madzhab mayoritas ulama. Salat witir adalah sunnah yang
ditekankan sekali. Oleh sebab itu Rasulullah
tidak pernah meninggalkan salat sunnah witir dengan sunnah Shubuh ketika
bermukim atau ketika bepergian.[9]
b.
Keutamaan
shalat witir
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menambahkan kalian
dengan satu salat, yang salat itu lebih baik untuk dirimu daripada unta yang
merah, yakni salat witir. Waktu pelaksanaannya Allah berikan kepadamu dari
sehabis Isya hingga terbit Fajar”
Di antara dalil yang menujukkan
keutamaan dan sekaligus di sunnahkannya salat witir adalah hadits Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu ‘anhu bahwa menceritakan: ”Rasulullah pernah berwitir,
kemudian bersabda: “Wahai ahli Qur’an lakukanlah salat witir, sesungguhnya Allah
itu witir (ganjil) dan menyukai sesuatu yang ganjil”
c.
Waktu
pelaksanaan
Para ulama berbeda pendapat mengenai
seseorang yang berwitir pada awal malam lalu tidur dan bangun di akhir malam
dan melakukan sholat. Sebagian ulama berpendapat bahwa batal witir yang telah
dilakukannya pada awal malam dan di akhir malam ia menambahkan satu rakaat pada
sholat witirnya, karena ada hadist yang mengatakan "tidak ada witir dua
kali dalam semalam". Witir artinya ganjil, kalau ganjil dilakukan dua kali
menjadi genap dan tidak witir lagi, maka ditambah satu rakaat agar tetap witir.
Pendapat in diikuti imam Ishaq dll. Redaksi hadist tersebut sbb:
Dari Qais bin Thalk berkata suatu hari
aku kedatangan ayahnya Thalq bin Ali di hari Ramadhan, lalu dia bersama kita
hingga malam dan sholat (tarawih) bersama kita dan berwitir juga. Lalu dia
pulang ke kampungnya dan mengimam sholat lagi dengan penduduk kampung hingga
sampailah sholat witir, lalu dia meminta seseorang untuk mengimami sholat witir
"berwitirlah bersama makmum" aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda
"Tidak ada witir dua kali dalam semalam" H.R. Tirmidzi, Abu Dawud,
Nasai, Ahmad.
Pendapat kedua mengatakan tidak perlu witir
lagi karena sudah witir di awal malam. Ia cukup sholat malam tanpa witir.
Alasannya banyak sekali riwayat dari Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa dia
melakukan sholat sunnah setelah witir. Pendapat ini diikuti Malik, Syafii, Ahmad,
Sufyan al-Tsuari dan Hanafi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Menurut
bahasa Shiyam/ puasa berarti “menahan diri”. Menurut syara’ ialah : “menahan
diri dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga
terbenam matahari, karena perintah Allah semata mata, dengan disertai niat dan
syarat-syarat tertentu. Puasa terbagi atas dua yaitu puasa wajib dan puasa
sunnah. Puasa wajib seperti, puas ramadhan,qhodo, kafarat dan nadzar. Sedangkan
puas sunnah seperti, puasa senin dan kamis, syawal,arofah,dan daud.
2.
Syarat
wajib puasa salah satunya yaitu berakal dan suci dari haid dan nifas bagi
permpuan dan mampu berpuasa. Sedangkan syarat sah puasa salah satunya yaitu,
islam, suci dari haid dan nifas dan tamyiz.
3.
Hikmah
atau manfaat puasa yaitu, meyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani,
menyehatkan tubuh, mendkatkan diri kpada Allah SWT dan melatih mengendalikan
nafsu.
4.
Dari apa
yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat madzhab sepakat
bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan
bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk
Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga
bilangan rakaatnya 20 rakaat.
5.
Para ulama
ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin
al-Khattab ra di bulan Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan
disetujui oleh para shahabat serta terdengar diantara mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu
menjadi ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti
sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.
B.
Saran
Sebagaimana dalam qur’an surah
albaqarah ayat 183 maka,sebagai orang yang beriman marilah kita bersama- sama melaksanakan puasa
baik yang wajib ataupun yang sunnah.
Dalam penulisan makalah ini masih
terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun
dari segi penyusunan kalimatnya dan dari segi isi juga masih perlu ditambahkan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar
dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun. Sehingga dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
[1] Zakiah Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental,
(Jakarta: Ruhama,1993). Hlm.11
[2]Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah,(Jakarta:Bulan Bintang,1952).hlm.202
[5] Sulaiman Rasyid, FIQH ISLAM, (Bandung:Sinar Baru
Algensido,1994). Hlm.242
[6] Sulaiman Rasyid, FIQH ISLAM, … Hlm.245
[7] Sulaiman Rasyid, FIQH ISLAM, … Hlm.246
[9] Sayid Sabiq,Fiqh Sunnah 3, …
hlm.175
No comments:
Post a Comment