Thursday, December 20, 2018

Makalah FIqih Materi Puasa Ramadhan Shalat Tarawih dan Witir


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Puasa merupakan amalan-amalan ibadah yang tidak hanya oleh umat sekarang tetapi juga dijalankan pada masa umat-umat terdahulu.bagi orang yang beriman ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan pahala kebaikan,dan pengangkatan derajat. Allah telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya diantara amal-amal ibadah lainnya. Puasa difungsikan sebagai benteng yang kukuh yang dapat menjaga manusia dari bujuk rayu setan. Dengan puasa syahwat yang bersemayam dalam diri manusia akan terkekang sehingga manusia tidak lagi menjadi budak nafsu tetapi manusia akan menjadi majikannya.
Allah memerintahkan puasa bukan tanpa sebab. Karena segala sesuatu yang diciptakan tidaka ada yang sia-sia dan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya pasti demi kebaikan hambanya. Kalau kita mengamati lebih lanjut ibadah puasa mempunyai manfaat yang sangat besar karena puasa tidak hanya bermanfaat dari segi rohani tetapi juga dalam segi lahiri. Barang siapa yang melakukannya dengan ikhlas dan sesuai dengan aturan maka akan diberi ganjaran yang besar oleh allah.
Puasa mempunyai pengaruh menyeluruh baik secara individu maupun masyarakat dalam hadits telah disebutkan hal-hal yang terkait dengan puasa seperti halnya mengenai kesehatan, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan puasa secara tidak langsung telah diajarkan perilaku-perilaku yang baik seperti halnya sabar, bisa mengendalikan diri dan mempunyai tingkah laku yang baik.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan puasa ?
2.      Macam macam puasa itu apa saja ?
3.      Bagaimana ketentuan puasa itu ? 
4.      Bagaimana hukum shalat tarawih?
5.      Berapakah jumlah rokaat pada shalat tarawih ?

C.     Tujuan penulis
Makalah ini disusun untuk memberikan pedoman bagi kita umat islam dalam menjalankan ibadah khususnya ibadah puasa.




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Puasa
Menurut bahasa Shiyam/ puasa berarti “menahan diri”. “aku bernadzar kepada tuhan yang maha pengasih akan berpuasa”.(QS Maryam : 26)
Í?ä3sù Î1uŽõ°$#ur Ìhs%ur $YZøŠtã ( $¨BÎ*sù ¨ûÉïts? z`ÏB ÎŽ|³u;ø9$# #Ytnr& þÍ<qà)sù ÎoTÎ) ßNöxtR Ç`»uH÷q§=Ï9 $YBöq|¹ ô`n=sù zNÏk=Ÿ2é& uQöquø9$# $|Å¡SÎ) ÇËÏÈ  
Artinya : Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". [1]
Menurut syara’ ialah : “menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, karena perintah Allah semata mata, dengan disertai niat dan syarat-syarat tertentu.
“Telah berfirman Allah ‘azza wajalla: “semua amalaan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, maka itu hendaklah untukKu1 dan Aku akan memberinya ganjaran2”. Dan puasa itu merupakaan benteng3, maka ketika datang saat puasa, janganlah seseorang berkata keji, berteriak atau mencaci-maki! Dan seandainya dicaci maki oleh seseorang, atau diajak berkelahi, maka jawablah : “saya ini berpuasa” sampai dua kali. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad ada dalam genggaamannya, bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah pada haari kiamat daripada kasturi. Dan orang berpuasa itu akan beroleh kegembiraan yang menyenangkan hati: Di kala berbuka, dia akan gembiira dengan berbuka itu, dan di saat ia menemui Tuhannya nanti, ia akan gembira karena puasanya.”(HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i), jadi secara garis besar puasa adalah sebagai berikut :

1.      Menurut bahasa, puasa artinya menahan diri.
2.      Menurut istilah, puasa artinya menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai terbit fajar (shubuh) sampai terbenam matahari (maghrib) dengan niat tertentu.
3.      Puasa wajib berarti puasa yang harus dilakukan. Jika dilakukan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan berdosa.
4.      Puasa sunnah berarti puasa yang dianjurkan untuk dilakukan. Jika dilakukan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan tidak berdosa.

B.     Macam-macam Puasa Wajib
1.      Puasa Ramadhan
Puasa satu bulan di bulan Ramadhan. Puasa ini diwajibkan berdasarkan keterangan dalam surat Al Baqoroh, ayat 183 :[2]
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
2.      Qodho
Puasa sebagai pengganti puasa Ramadhan yang batal karena udzur, misalnya bepergian jauh, sakit, haid atau nifas.
3.      Kafarat
Puasa sebagai pengganti puasa Ramadhan yang batal karena sengaja, bukan karena udzur. Misalnya, sengaja membatalkan puasa Ramadhan karena malas berpuasa, sengaja muntah atau sengaja berhubungan suami-istri di siang hari.
4.      Nadzar (janji)
Puasa yang diwajibkan oleh diri sendiri untuk memenuhi nadzar. Misalnya, Ali berjanji jika hasil UAS tahun ini nilainya paling baik, Ali akan berpuasa 3 hari berturut-turut. Nah, puasa Ali selama 3 hari berturut-turut itu disebut puasa nadzar.

C.     Macam-Macam Puasa Sunnah
1.      Senin dan  Kamis
Puasa sunnah khusus di hari Senin dan Kamis. Rosulullah mencontohkan puasa Senin & Kamis karena pada hari tersebut:
a)      Amal manusia ditunjukkan (dilaporkan) oleh malaikat kepada Allah
b)      Hari Senin merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad,
c)      Diangkatnya Muhammad menjadi nabi, dan
d)      Permulaan diturunkannya Al Qur’an.
2.      Syawal
Puasa 6 hari di bulan Syawal. Orang yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti 6 hari di bulan Syawal maka pahala puasanya sama dengan orang yang berpuasa selama 1 tahun. Puasa ini boleh dilakukan secara berturut-turut atau tidak berurutan.
3.      Arofah
Puasa pada tanggal 9 di bulan Dzulhijjah. Orang yang tidak menunaikan ibadah haji disunnahkan untuk berpuasa Arofah. Pahala orang yang berpuasa Arofah ialah dihapuskan dosanya selama 2 tahun, yakni 1 tahun yang lalu dan 1 tahun yang akan datang.
4.      Daud
Puasa yang dicontohkan oleh Nabi Daud, yakni puasa setiap dua hari sekali (selang-seling, maksudnya jika hari ini berpuasa, besoknya tidak, lusa puasa, besoknya lagi tidak, dan seterusnya).[3]

D.    Syarat Wajib Puasa
Orang-orang yang diwajibkan untuk melaksanakan puasa wajib ialah:
1.      Bagi (laki-laki yang pernah mengalami mimpi basah atau berusia 15 tahun dan perempuan  yang sudah mengalami menstruasi).
2.      Mus (orang non muslim tidak wajib berpuasa).
3.      Tidak sedang bepergian jauh.
4.      Mampu berpuasa (tidak lemah dan tidak sakit).
5.      Berakal (tidak gila atau tidak sedang mabuk).
6.      Sucidari haid dan nifas bagi perempuan.

E.     Syarat Sah Puasa
Puasa seseorang dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Islam selama berpuasa.
2.      Suci dari haid, nifas, dan wiladah.
3.      Tamyiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk).
4.      Pada waktunya (bukan pada hari-hari yang terlarang berpuasa).
5.      Rukun puasa, Rukun puasa  adalah hal-hal yang wajib dilakukan saat berpuasa,     yakni:
a)      Niat (nawaitu shouma ghodin, an adaa-i fardhi syahri Romadhoona, haadzihis sanati, lillaahi ta’aala, artinya saya berniat puasa esok hari, untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan, tahun ini, karena Allah ta’ala).
b)      Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

F.      Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa
1.      Makan dan atau minum.
2.      Memasukkan sesuatu ke dalam perut melalui kerongkongan atau yang lainnya meskipun tidak mengenyangkan.
3.      Muntah dengan sengaja.
4.      Melihat bulan sebagai tanda tanggal 1 Syawal.
5.      Datang bulan (haid) atau melahirkan.
6.      Mengeluarkan mani dengan sengaja (masturbasi).
7.      Berhubungan suami-istri.[4]


G.    Orang-Orang Yang Dibolehkan Untuk Tidak Berpuasa Selama Ramadhan
1.      Anak kecil yang belum baligh.
2.      Musafir., Musafir ialah orang yang sedang bepergian jauh. Jika perjalanannya mengalami kesulitan atau mendatangkan keletihan maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa.
3.      Orang yang sakit. Jika ia khawatir sakitnya akan bertambah parah maka sebaiknya ia berbuka.
4.      Wanita yang sedang hamil.
5.      Wanita yang sedang menyusui.
6.      Orang yang sudah sangat tua. Orang tua yang sudah tidak sanggup lagi berpuasa, boleh tidak berpuasa dan ia tidak wajib mengqodho tapi harus membayar fidyah (memberi makan fakir miskin).

H.    Hikmah Atau Manfaat Puasa
Beberapa manfaat puasa yang akan didapatkan oleh orang yang berpuasa ialah:[5]
1.      Menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani
2.      Menyehatkan tubuh
3.      Mendekatkan diri kepada Allah SWT.
4.      Melatih mengendalikan nafsu
5.      Meningkatkan kepedulian sosial

I.       Shalat Tarawih dan Shalat Witir
1.      Shalat tarawih
Shalat Tarawih adalah shalat yang dilakukan khusus hanya pada bulan ramadan. Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai "waktu sesaat untuk istirahat". Waktu pelaksanaan shalat ini adalah selepas isya', biasanya dilakukan secara berjama'ah di masjid. Fakta menarik tentang shalat ini ialah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanya pernah melakukannya secara berjama'ah dalam 3 kali kesempatan.
 Sejarah ini berawal dari kehadiran rasulullah saw di masjid pada malam tanggal 23 Ramadhan tahun kedua hijriyah. Rasulullah kemudian melaksanakan ritual shalat yang kemudian hari dinamakan shalat tarawih.
Malam berikutya, tepat tanggal 25, rasulullah kemabali hadir guna melaksanakan shalat. Sahabat yang mengikuti shalat rasulullah membludak. Kemudian pada malam ketiga, tanggal 27 ramadhan  rasulullah hadir melaksanakan shalat.
Seperti malam malam sebelumnya, para sahabat telah menunggu beliau guna mengikuti shalat. Kemudian terakhir, pada malam ke-29 para sahabat telah menunggu Rasulullah. Namun, sekian lama menunggu, ternyata beliau tidak hadir. Saat menjelang fajar rasulullah, selepas shalat shubuh,rasulullah bersabda:
قد رايت الذي صنعتم ولم يمنعني من الخروج اليكم الا اني خشيت ان تفرض عليكم وذالك في رمضان
Artinya: Aku mngetahui apa yang telah kalian lakukan. Tidak ada yang yang mencegahku untuk hadir ke masjid selain kekhawatiranku apabila shalat ini di wajibkan bagi kalian.
a.       Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:[6]
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.”(Muttafaqun ‘alaih)
Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295).[7]
b.      Jumlah raka’at shalat tarawih menurut madzhab empat
Ada beberapa pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadhan sebagai berikut:
1)      Madzhab Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).
Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
2)      Madzhab Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan  umat.
Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.
Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.
3)      Madzhab as-Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.
4)      Madzhab Hanbali
Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, “shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.
2.      Shalat Witir
Shalat witir adalah salat sunah yang dikerjakan pada waktu malam hari antara setelah waktu isya dan sebelum waktu salat subuh, dengan rakaat ganjil. Salat ini dilakukan setelah salat lainnya, sepertti tarawih dan tahajjud), hal ini didasarkan pada sebuah hadits. Salat ini dimaksudkan sebagai pemungkas waktu malam untuk "mengganjili" salat-salat yang genap, karena itu, dianjurkan untuk menjadikannya akhir salat malam.
a.       Hukum shalat witir
Salat sunah witir adalah sunah muakad. Dasarnya adalah hadis
1)       Abu Ayyub Al-Anshaari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah   bersabda, “Witir adalah hak atas setiap muslim. Barangsiapa yang suka berwitir tiga rakaat hendaknya ia melakukannya, dan barangsiapa yang berwitir satu rakaat, hendaknya ia melakukannya”,[8]
2)       Dari Ubay Bin Ka’ab, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi biasa membaca dalam salat witir: Sabbihis marobbikal a’la (di raka'at pertama -red), kemudian di raka'at kedua: Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan pada raka'at ketiga: Qul huwallaahu ahad, dan dia tidak salam kecuali di raka'at yang akhir.” (Hadits riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Penjelasan: Perkataan Ubay Bin Ka’ab, “dan dia tidak salam kecuali di raka'at yang akhir”, jelas ini menunjukkan bahwa tiga raka'at salat witir yang dikerjakan nabi itu dengan satu kali salam.
3)       Aisyah radhiallahu ‘anha menerangkan tentang salatnya Rasul di bulan Ramadhan, “Rasul tidak pernah salat malam lebih dari 11 raka'at, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, yaitu dia salat 4 raka'at, maka jangan engkau tanya tentang bagus dan lama salatnya, kemudian dia salat 4 raka'at lagi, maka jangan engkau tanya tentang bagus dan lama salatnya, kemudian dia salat witir 3 raka'at.” (Hadits riwayat Bukhori 2/47, Muslim 2/166)
Demikian juga dengan hadits Ali Radhiyallahu ‘anhu ketika ia berkata: “Witir tidaklah wajib sebagaimana salat fardhu. Akan tetapi ia adalah sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah 
Di antara yang menunjukkan bahwa witir termasuk sunah yang ditekankan (bukan wajib) adalah riwayat shahih dari Thalhah bin Ubaidillah, bahwa ia menceritakan:” Ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Nejed yang datang menemui Rasulullah   dengan rambut acak-acakan. Kami mendengar suaranya, tetapi kami tidak mengerti apa yang diucapkannya, sampai dekat, ternyata ia bertanya tentang Islam. Ia berkata “ Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku salat apa yang diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab: “Salat yang lima waktu, kecuali engkau mau melakukan sunah tambahan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku puasa apa yang diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab; “Puasa di bulan Ramadan, kecuali bila engkau ingin menambahkan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku zakat apa yang diwajibkan kepadaku?” Dia menjawab: (menyebutkan beberapa bentuk zakat). Lelaki itu bertanya lagi: ‘Apakah ada kewajiban lain untuk diriku?” Dia menjawab lagi: “Tidak, kecuali bila engkau mau menambahkan’. Rasulullah   memberitahukan kepadanya syariat-syariat Islam. Lalu lelaki itu berbalik pergi, sambil berujar: “Semoga Allah memuliakan dirimu. Aku tidak akan melakukan tambahan apa-apa, dan tidak akan mengurangi yang diwajibkan Allah kepadaku sedikitpun. Maka Rasulullah   bersabda: “Sungguh ia akan beruntung, bila ia jujur, atau ia akan masuk surga bila ia jujur”
Juga berdasarkan hadis Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi pernah mengutus Muadz ke Yaman. Dalam perintahnya: “Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka salat lima waktu sehari semalam. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa witir bukanlah wajib. Itulah madzhab mayoritas ulama. Salat witir adalah sunnah yang ditekankan sekali. Oleh sebab itu Rasulullah   tidak pernah meninggalkan salat sunnah witir dengan sunnah Shubuh ketika bermukim atau ketika bepergian.[9]
b.      Keutamaan shalat witir
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menambahkan kalian dengan satu salat, yang salat itu lebih baik untuk dirimu daripada unta yang merah, yakni salat witir. Waktu pelaksanaannya Allah berikan kepadamu dari sehabis Isya hingga terbit Fajar”
Di antara dalil yang menujukkan keutamaan dan sekaligus di sunnahkannya salat witir adalah hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu bahwa menceritakan: ”Rasulullah pernah berwitir, kemudian bersabda: “Wahai ahli Qur’an lakukanlah salat witir, sesungguhnya Allah itu witir (ganjil) dan menyukai sesuatu yang ganjil”
c.       Waktu pelaksanaan
Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang berwitir pada awal malam lalu tidur dan bangun di akhir malam dan melakukan sholat. Sebagian ulama berpendapat bahwa batal witir yang telah dilakukannya pada awal malam dan di akhir malam ia menambahkan satu rakaat pada sholat witirnya, karena ada hadist yang mengatakan "tidak ada witir dua kali dalam semalam". Witir artinya ganjil, kalau ganjil dilakukan dua kali menjadi genap dan tidak witir lagi, maka ditambah satu rakaat agar tetap witir. Pendapat in diikuti imam Ishaq dll. Redaksi hadist tersebut sbb:
Dari Qais bin Thalk berkata suatu hari aku kedatangan ayahnya Thalq bin Ali di hari Ramadhan, lalu dia bersama kita hingga malam dan sholat (tarawih) bersama kita dan berwitir juga. Lalu dia pulang ke kampungnya dan mengimam sholat lagi dengan penduduk kampung hingga sampailah sholat witir, lalu dia meminta seseorang untuk mengimami sholat witir "berwitirlah bersama makmum" aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda "Tidak ada witir dua kali dalam semalam" H.R. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai, Ahmad.
Pendapat kedua mengatakan tidak perlu witir lagi karena sudah witir di awal malam. Ia cukup sholat malam tanpa witir. Alasannya banyak sekali riwayat dari Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa dia melakukan sholat sunnah setelah witir. Pendapat ini diikuti Malik, Syafii, Ahmad, Sufyan al-Tsuari dan Hanafi.




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
1.      Menurut bahasa Shiyam/ puasa berarti “menahan diri”. Menurut syara’ ialah : “menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, karena perintah Allah semata mata, dengan disertai niat dan syarat-syarat tertentu. Puasa terbagi atas dua yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Puasa wajib seperti, puas ramadhan,qhodo, kafarat dan nadzar. Sedangkan puas sunnah seperti, puasa senin dan kamis, syawal,arofah,dan daud.
2.      Syarat wajib puasa salah satunya yaitu berakal dan suci dari haid dan nifas bagi permpuan dan mampu berpuasa. Sedangkan syarat sah puasa salah satunya yaitu, islam, suci dari haid dan nifas dan tamyiz.
3.      Hikmah atau manfaat puasa yaitu, meyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani, menyehatkan tubuh, mendkatkan diri kpada Allah SWT dan melatih mengendalikan nafsu.
4.      Dari apa yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat.
5.      Para ulama ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para shahabat serta terdengar diantara  mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu menjadi ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.

B.     Saran
Sebagaimana dalam qur’an surah albaqarah ayat 183 maka,sebagai orang yang beriman  marilah kita bersama- sama melaksanakan puasa baik yang wajib ataupun yang sunnah.
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun. Sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.



[1] Zakiah Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama,1993). Hlm.11
[2]Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah,(Jakarta:Bulan Bintang,1952).hlm.202
[3] Tgk.H.Z.A.Syihab,Tuntunan Puasa Praktis, (Jakarta:Bumi Aksara,1995).  h. l
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah … hlm.204
[5] Sulaiman Rasyid, FIQH ISLAM, (Bandung:Sinar Baru Algensido,1994). Hlm.242
[6] Sulaiman Rasyid, FIQH ISLAM,  … Hlm.245
[7] Sulaiman Rasyid, FIQH ISLAM,  … Hlm.246
[8] Sayid Sabiq,Fiqh Sunnah 3,(Bandung:Alma’arif,1985).hlm.173
[9] Sayid Sabiq,Fiqh Sunnah 3, …  hlm.175

No comments:

Post a Comment