Thursday, December 20, 2018

Makalah Ijtihad dan Permasalahannya


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Ijtihad merupakan suatu cara untuk mengetahui hukum islam melalui dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Tanpa ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan tidak akan mampu menjawab tantangan zaman saat ini.
Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam.
Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah –masalah yang baru terjadi di masa ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusun mencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu:
1.    Apa pengertian Ijtihad?
2.    Bagaimana ijtihad dalam lintasan sejarah?
3.    Apa saja jenis-jenis ijtihad?
4.    Apa saja syarat-syarat ijtihad?
5.    Bagaimana hokum hasil ijtihad?
6.    Bagaimana problematika ijtihad?
C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian Ijtihad
2.      Untuk mengetahui ijtihad dalam lintasan sejarah
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis ijtihad
4.      Untuk mengetahui syarat-syarat ijtihad
5.      Untuk mengetahui hukum hasil ijtihad
6.      Untuk mengetahui problematika ijtihad




BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”.[1]
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : “mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan rumusan yang lebih sempit : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni”.[2]
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad. [3]



B.     Ijtihad Dalam Lintasan Sejarah
1.      Ijtihad pada Periode Nabi Muhammad SAW. (± 13 SH.- 11 H)
Menurut ajaran Islam, yang mempunyai otoritas tertinggi dalam menetapkan hokum, hanya Allah semata. Nabi Muhammad SAW. sebagai utusan Allah bertugas melaksanakan dan menyampaikan perintah-perintah Allah SWT. kepada  semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, semua ketentuan yang ersumber dari Allah SWT. yang disampaikan melalui wahyunya, berfungsi sebagai peraturan uang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
Selain mempunyai wewenang menerima dan menyampaikan hokum-hukum Allah, Nabi Muhammmad SAW., juga berwenang memperjelas hokum-hukum Allah tersebut. Tugas Nabi Muhammad SAW. Itu dijelaskan Allah dalam firmanNya:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl-44).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa selain berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad SAW. juga berbicara berdasarkan kepada pendapat dan pertimbangan akalnya sendiri. Keputusan-keputusan yang diambil oleh beliau berdasarka akal (ra’yu) itulah yang disebut “Ijtihad”. [4]
Nash al-Qur’an yang telah memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil keputusan atau dalam menyelesaikan suatu masalah, tidak akan terjadi kecuali dengan cara ijtihad. Walaupun ijtihad Rasulullah sebagiannya ada yang mendapat penyempurnaan dari Allah, tetapi ia telah mempersiapkan suatu landasan hukumyang kuat dalam melaksanakan ijtihad.
2.      Ijtihad pada Periode Sahabat (± 11 H. -101 H)
Pada masa sahabat, wilayah kekuasaan Islam bertambah luas. Seiring dengan ini, masalah social kemasyarakatan tumbuh sangat heterogen, sebagai dampak pembauran etnis dan berbagai macam kebudayaan. Dalam penyelesaian berbagai masalah yang kctual pada saat itu, peranan ijtihad dirasa semakin penting, karena tanpa ijtihad akan banyak masalah yang tidak diketahui setatus hukumnya, sementara wahyu dan hadits sudah terhenti.
Di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad sesudah Rasulullah wafat, ialah Abu Bakar, ‘Umar bin al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud.
Para ulama sepakatvtentang adanya ijtihad setelah Rasulullah wafat, bahkan pada masa ini ijtihad merupakan suatu keharusan bagi sahabat yang mampu berijtihad, karena tidak semua sahabat mampu melaksanakan ijtihad. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa tidak semua sahabat mampu untuk berfatwa dan tidak semua dapat dijadikan panutan dalam agama.[5]
Ijtihad sahabat itu sudah ada pada saat Rasulullah masih hidup, walaupun ijtihad sahabat itu baru dianggap dalil atau hujjah setelah mendapat ketetapan dari Rasulullah. Sebelum dikembangkan, ijtihad sahabat harus mendapat legalisasi dari Rasulullah. Karena itu ada sebagian ijtihad sahabat yang dipandang sudah benar dan sesuai dengan jiwa nash,dan ada pula yang dipandang belum atau tidak benar, karena etode yang mereka pakai tidak tepat. Setelah Rasulullah wafat, hasil ijtihad sahabat itu setelah rasulullah wafat, langsung diamalkan dan dikembangkan. Jadi, ijtihad Sahabat pada masa Rasulullah belum dianggap sebagai “alat menggali” hokum, karena ketentuan akhir masih berada di tangan Rasulullah. Tetapi setelah Rasulullah wafat sudah dapat dijadikan alat untuk menggali hokum, karena tidak lagi menunggu ketetapan dari Rasulullah.
3.      Ijtihad pada Periode Tabi’in dan Tabi’tabi’in (Imam-imam Mazhab) ± Abad II H.- Pertengahan Abad IV H.
Setelah berakhir masa sahabat,muncul masa Tabi’in. Ijtihad para sahabat dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi kedua ini terdiri dari murid-murid sahabat yang dikenal dengan Tabi’in. Menurut Abu Zahrah, nama itu berdasarkan nama yang diberikan oleh al-Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surah al-Taubah: 100.
Dalam berijtihad, para Tabi’in mendasarkan pendidrian mereka kepada pendapat para sahabat. Mereka pelihara Sunnah Rasulullah dan pendapat para sahabat, bahkan mereka berusaha untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para sahabat yang saling bertentangan dalam banyak masalah. Para Tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
a)      Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat sahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang sahabat (kalau pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah)
b)      Mereka sendiri berijtihad.Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hokum Islam, sesungguhnya secara professional dimulai para periode Tabi’in ini.
Pada masa Tabi’in, kegiatan melakukan ijtihad semakin meningkat, tetapi prinsip bermusyawarah dalam menetapkan hokum sudah mulai goyah, karena ulama sudah terpencar ke berbagai kota, yang letaknya berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Pada masa ini kedudukan ijtihad sebagai alat penggali hukukIslammendapat posisi yang kokoh. Para sejarawan menyebut periode Tabi’in, dengan periode ijtihad masa keemasan fiqh Islam. Daerah kekuasaan Islam semakin meluasa pada periode ini yang meliputi berbagai lapisan umat dengan aneka macam adat istiadat, cara hidup dan kepentingan masing-masing, sehingga menimbulkan daerah-daerah loakal dan regional, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh besar dengan munculnya mzhab-mazhab.
Pada masa Tabi’in ada tiga pembagian  geografis yang besar dala dunia Islam tempat kegiatan ijtihad yang bebas terjadi, yaitu: Irak, Hijaz, dan Syiria. Irakmemiliki dua mazhab, yaitu Bashrah dan Kuffah. Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan ijtihad dan fiqh, yaitu Madinah dan Makkah. Sementara mazhab Syiria kurang tercatat dalam literature hokum Islam. Mesir tidak dimasukkan dalam peta mazhab, karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri, mereka mengikuti mazhab Irak dan yang lainnya bermazhab Madinah.
Setiap kota yang penting memiliki tokoh mujtahidin yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Tokoh di Makkah yang terkenal yaitu: ‘Atho’ Ibnu Abi Rabah (W. 114 H) dan ‘Amr Ibnu Dinar (W. 126 H).
Di Madinah muncul tokoh-tokoh: Sa’ad Ibnu Musaiyyab (W. 94 H), ‘Urwah Ibnu Zubair (W. 94 H), Abu Bakar Ibnu Abd Rahman (W. 95 H), Ubaidah Ibnu Abdullah (W. 98 H), Kharijah Ibnu Zaid (W. 99 H), Sulaiman Ibnu Yasar (W. 107 H), dan Al-qasim Ibnu Muhammad (mereka dikenal dengan sebutan fuqoh’dan Sab’ah dan Madinah), Salim Ibnu Abdillah Ibnu Umar (W. 107), Ibnu Syihab  al-Zuhry (W. 124 H), Rabi’ah Ibnu Abd Rahman (W. 136 H), Yahya Ibnu Sa’id (W.143 H), serta Malik (W. 179 H) dan lain-lain.[6]
Di bashrah muncul tokoh-tokoh: Muslim Ibnu Yasar (W. 108 H), Al-Hasan Ibnu Yasar (W. 110 H), dan Muhammad Ibnu Sirin (W. 110 H).
Di kuffah tampil: Alqamahn Ibnu Qaiys (W. 62 H), Masruq Ibnu Ajda’(W. 63 H), Al-Aswad Ibnu Yazid (W.75 H), Syuraih Ibnu Harits (W. 78 H), Ibrahim Al-Nakha’iy (w. 96 H), Al-Sya’by (W. 103 H), Hammad Ibnu Abi Sulaiman Al-Asy’ary (W. 120 H), Abu Hanifah (W. 150 H),dan lain-lain.
Di syiria tokoh yang terkenal adalah Qabisah Ibnu Zuwaib (W. 86 H), Umar Ibnu Abd al-Aziz (W. 11 H), Makhul (W. 113 H), dan lain sebagainya.
Fuqoha (ahli-ahli hokum) yang berasal dari berbagai daerah atau negeri yang telah disebutkan tadi, dalam berijtihad, biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para sahabat yang tinggal di daerah mereka masing-masing. Fuqoha di Madinah cenderung dipengaruhi oleh ijtihad Umar Ibnu al-Khaththab, ‘aisyah, dan Ibnu Umar, yang banyak menggunakan al-Mashlahah. Fuqoha Kuffah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan pertimbangan Ali ibnu Abi Thalib, dan Abdullah Ibnu Mas’ud, yang di dalam ijtihad pada umumnya memakai metode qiyas.Di samping kecenderungan tersebut, setiap mazhab mengutip pula pandangan sejumlah sahabat lainnya untuk mendukung ijtihad mereka.
Pada masa Tabi’in ini, umat Islam sudah terpecah kepada tiga kelompok, yaitu: Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur.Setiap golongan betpegang teguh pada pendapat masing-masing dan pada umumnya merasa bang ga serta berusaha mempertahankannya. Hal ini menimbulkan perbedaan pandangan dalam menetapkan hokum Islam. Golongan Khawarij misalnya, mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar hukumnya kafir, sementara golongan yang lainnya tidak berpendapat demikian. Demikian halnya golongan Syi’ah dalam menetapkan hokum yang berbeda dengan golongan Khawarij: contoh dalam masalah: Hadits dipegang golongan Syi’ah dalam menetapkan hokum adalah hadits yang diriwayatkan Ahlul al-Bait dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hokum, karena qiyas didasarkan kepada pemikiran manusia.



C.     Jenis Ijtihad
Jenis-jenis Ijtihad
1.      Dari segi pelaku, ijtihad dibagi menjadi: [7]
a.       Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang hanya dilakukan oleh satu orang saja. Contoh ulama yang melakukan ijtihad fardi adalah para sahabat nabi, para imam madzab, dan sebagainya.
b.      Ijtihad jama’i, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama menyelesaikan suatu persoalan.
2.      Dari segi pelaksanaan
a.       Ijtihad intiqa’i, yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat yang ada. Ijtihad model ini juga disebut ijtihad selektif. Contoh ijtihad model ini adalah dalam hal penetapan hukum menikahi wanita hamil.
b.      Ijtihad insya’i, yaitu mengambil konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Model ijtihad ini disebut juga ijtihad kreatif. Contohnya dalam penetapan bayi tabung, yang merupakan persoalan baru yang belum pernah ada ketetapannya.

D.    Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi.[8]
Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan ijtihad (maksudnya: ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan membahayakan kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut Al-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:
1.      Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.
Persyaratan pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakansyarat bagi seseorang  mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang menyangkut tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyaknya. Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Akan tetapi, hadits –hadits itu tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.
Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah). Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat hadits).
2.      Mengetahui ijmak,
Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.
Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.
3.      Mengetahui bahasa Arab,
Yang ketiga mengetahui bahasa Arab yang memungkinkannya menggali hukum dari  al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu, saraf, ma’ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian, sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.
4.      Mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula. Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad:
a)      Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
b)      Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.
c)      Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan hukum dari sumber-sumbernya. Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.
d)      Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa nafsu.
Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang belum memenuhi syarat-syarat  tersebut secara lengkap dapat juga melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.[9]


E.     Hukum Hasil Ijtihad
Untuk mengetahui kedudukan hukum hasil ijtihad prakodifikasi ushul fiqh, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah seseorang yang melakukan ijtihad mesti benarnya ataukah ia masih bisa salah. Kemudian kalau diangap benar, maka apakah hukum yang diijtihadkan itu harus pula mengikat bagi orang yang lain atau tidak, kemudian apakah bis dibatalkan oleh hukum lain hasil ijtihad pula, atau tidak. Persoalan-persolan inilah yang akan dibicarakan dalam pembahasan ini guna untuk mengetahui kedudukan hukum ijtihad prakodifikasi ushul fiqh.[10]
Nilai kebenaran hasil Ijtihad Persoalan ini berkisar apakah pada tiap-tiap hukum (lazim disebut masalah furu’) terdapat hukum tertentu yang sudah ditetapkan hukumnya oleh tuhan, dan apakah mujtahid bisa menemukan hokum tersebut atau tidak ? jika hukum (furu’) telah ditetapkan oleh tuhan, berarti kebenaran yang sedang dicari oleh para mujtahidin hanya satu, dan yang bias mencapai kebenaran juga satu. Ataukah pada tiap-tiap peristiwa tersebut tidak ada hukum tertentu dari tuhan, melainkan hukumnya adalah kesimpulan semata-mata dari penelitian yang berijtihad, dan dengan demikian maka tiap-tiap orang yang berijtihad bisa mencapai kebenaran dan kebenaran juga bisa berbilang.
Untuk mengetahui apakah hasil ijtihad itu pasti benar atau bisa salah, kita bisa merujuk kepada asbabun nuzul surat anfal ayat : 67
Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.
Para ulama menyatakan bahwa asbabun nuzul ayat ini adalah masalah tawanan perang badar. Kasus ini muncul waktu menghadapi tawanan perang badar. Pada waktu itu nabi menanyakan pendapat Abu Bakar mengenai tawan perang, sebaiknya diapakan ? kemudian Abu Bakar mengemukakan pendapatnya supaya tawanan perang itu ditahan saja dan tidak dibunuh dengan harapan mereka berguna bagi islam. Lalu Nabi menanyakan pendapat Umar ibn khatab, ia mengemukakan pendapat agar tawanan itu dibunuh saja, karena mungkin akan merugikan islam. Selanjutnya Nabi berpikir untuk mempertimbangkan langkah yang harus diambil, kemudian beliau mengambil kesimpulan untuk menahan saja tawanan tersebut sebagaimana yang disarankan oleh Abu Bakar. Kemudian Allah SWT menegur tindakan Nabi dengan menurunkan surat Anfal ayat 67.
Dari kasus diatas, kita bisa menari kesimpulan bahwa apa yang diperbuat Nabi dalam kasus tersebut semata-mata hasil buah pikiranya sendiri, tidak berdasarkan wahyu dan hasil ijtihad itu tidak pasti betul melainkan bisa saja salah. Untuk mengetahui apakah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid hanya ada satu, atau bisa juga berbilang, kita bisa melihat pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al- Nasa’i. Di masa nabi muhamad SAW masih hidup, pernah ada dua orang Sahabat yang sedang dalam perjalanan, tiba-tiba masuk waktu shalat, sementara mereka tidak menemukan air. karena itu, keduanya shalat dengan tayammum.
Tidak lama kemudian keduanya menemukan air. Karena masih dalam waktu shalat, maka salah seorang mengulangi shalatnya dan yang seorang lagi tidak mengulangi, karena ia berpendapat bahwa shalatnya telah sempurna. Sementara yang mengulangi shalatnya beranggapan bahwa meskipun shalatnya sudah dikerjakan dengan sempurna, tentu shalatnya hanya dengan tayammum itu batal, sebab sudah ditemukan air dalam waktu shalat. Ketika keduanya bertemu dengan Rasulullah dan menceritakan peristiwa itu, Rasulullah bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya :[11]
أصبت السنة وأجزأتك صلاتك
"Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunah dan shalatmu sudah memadai".{HR.Abu Dawud}
Kepada yang mengulangi shalatnya,Nabi SAW bersabda :
مرتین الأجر لك" Untukmu dua pahala".{HR.Abu Daud}42
Kasus diatas membuktikan bahwa kebenaran hasil ijtihad itu bias berbilang tidak tertentu hanya satu.

F.      Problematika Ijtihad
Seiring dengan perkembangan-perkembangan kemanusiaan kontemporer tidak sepatutnya umat islam menggadaikan seluruh ijtihad-ijtihadnya kepada ulama-ulama terdahulu, sebab universalitas syariat islam dituntut untuk mampu memberikan jawaban dan menjelaskan kedudukan hukum pada setiap problematika kehidupan manusia.
Sesuatu yang berlebihan jika umat islam masih menganggap bahwa produk-peoduk ulama terdahulu sudah mampu menjawab setiap tantangan zaman dan memecahkan masalah-masalah kontemporer dewasa ini. Karena diera sekarang ini banyak persoalan-persoalan pelik yang sama sekali belum pernah dibahas oleh ulama-ulama terdahulu. Disamping itu jika umat islam masih menganggap produk ulama-ulama dahulu adalah segala-galamya, maka diktum maslahah sebagai misi suci syariah akan terlantar dan teranak-tirikan. Ini jelas, karena diera yang semakin sekarat ini banyak persoalan yang berubah karena kondisi dan situasi yang mengitarinya, suatu persoalan yang tidak dipandang maslahah oleh orang-orang terdahulu mungkin dipandang maslahah untuk era sekarang. Dengan demikian kebutuhan ijtihad menjadi keniscayaan.
Para muhaqqiq dari kalangan ulama menetapkan bahwa fatwa-fatwa dapat berubah karna alasan-alasan tertentu, seperti perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi dan lainnya . Salah satu contoh yang paling populer adalah bagaimana iman syafi’i merubah pendapat-pendapat lamanya dengan pendapat baru yang dilandaskan pada setting budaya mesir.
Semua ini memotivasi untuk dilakukabbya ijtihad yang lebih inovativ dan up to date dengan perkembangan zaman, sehingga syriat islam akan teeap menjadi syariat yang sholihun likulli zamanin wamakanin.
Namun yang terpenting dan perlu diingat adalah tidak semua orang memiliki otoritas terjin kegelanggangan ijtihad. otoritas ijtihad hanya dimiliki oleh orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. adapun yang tidak memenuhi kualifikasi maka baginya wajib taqlid.
Di samping itu medan ijtihad juga terbatas pada dalil yang sifatnya dhonniyyat (interpretable). dalam dimensi imi islam mentolelir adanya penafsiran-penafsiran.karena dimensi ini merupakan wilayah terbuka yang menerima perubahan konteks dan bersifat Debatable (belum final). Adapun dalil-dalil yang sifatnya qoth’iyyat (mono inter pretable) maka tidaklah merupakan kawasan yang bisa diolah dengan Ijtihad.
Dewasa ini ijtihad telah dimasuki oleh orang-orang yang bukan ahlinya. mereka menyerbu medan ijtihad secara liberal dan bebas kendali, sehingga muncullah pendapat-pendapat nyleneh dan wagu akibat ijtihad tidak pada tempatnya. Na’udzubillah min dzalik.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Ijtihad adalah Menggunakan segala kesanggupan untuk mencari sesuatu hukum syara’ dengan jalan dhan. Hukum yang melandasi adanya ijtihad yaitu Q.S An-Nisa ayat 105. Hukum berijtihad dapat dibagi menjadi empat hukum, yaitu wajib ‘ain, wajib kifayah, sunat, dan haram. Syarat untuk menjadi seorang mujtahid yaitu a).
Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al-Quran dan As-Sunah dan segala ilmu yang terkait dengannya. b). Kalau ia memegangi ijma’, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa pa yang telah di ijma’ kan. c). Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad. d).Mengetahui dengan mendalam masalah nasikh-mansukh, mana dalil yang sudah mansukh mana pula yang tidak di mansukh. e). Mengetahuidengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghah, badi’, dan bayan serta mantiq nya. Ijtihaddibagi menjadi beberapa macam yaitu ijtihad fardiyah dan jam’iyah. Sedangkan tingkatan ijtihad yaitu ijtihad mutlaq, ijtihad muntasib, ijtihad madzhaby, ijtihad tarjih.

B.     Saran 
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqh, yang tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. (PT. Logos Wacana Ilmu : Jakarta, 1999)

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,  (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999),

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Situdi Islam,  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)

Wahyu Abdul Jafar, Analisis Kedudukan Hukum Hasil Ijtihad Prakodifikasi Ushul Fiqh, (Jurnal Pdf Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu, MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015)


[1] Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. (PT. Logos Wacana Ilmu : Jakarta, 1999), h.  73
[2] Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani.  … h.  75
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,  (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999),  hlm. 200
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,  (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999),  hlm. 202
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,   … hlm. 204
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,   … hlm. 205
[7] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Situdi Islam,  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm 99
[8] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Situdi Islam,   … hlm  100
[9] Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani.  … h.  75
[10] Wahyu Abdul Jafar, Analisis Kedudukan Hukum Hasil Ijtihad Prakodifikasi Ushul Fiqh, (Jurnal Pdf Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu, MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015), h. 168
[11] Wahyu Abdul Jafar, Analisis Kedudukan Hukum Hasil Ijtihad Prakodifikasi Ushul Fiqh, (Jurnal Pdf Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu, MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015), h. 168

No comments:

Post a Comment