BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ijtihad
merupakan suatu cara untuk mengetahui hukum islam melalui dalil-dalil Al-Qur'an
dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Tanpa ijtihad, mungkin saja konstruksi
hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini serta ajaran
Islam tidak akan bertahan dan tidak akan mampu menjawab tantangan zaman saat
ini.
Yang
dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun mujtahid itu ialah
ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk
memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Dalam menentukan atau
menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada
sumber-sumber ajaran Islam.
Jadi,
kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan tenaga,
waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang
dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah yang sudah lama terjadi di zaman
Rasullullah maupun masalah –masalah yang baru terjadi di masa ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusun mencoba mengemukakan beberapa permasalahan
pokok berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu:
1.
Apa
pengertian Ijtihad?
2.
Bagaimana
ijtihad dalam lintasan sejarah?
3.
Apa saja
jenis-jenis ijtihad?
4.
Apa saja
syarat-syarat ijtihad?
5.
Bagaimana
hokum hasil ijtihad?
6.
Bagaimana
problematika ijtihad?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian Ijtihad
2.
Untuk
mengetahui ijtihad dalam lintasan sejarah
3.
Untuk
mengetahui jenis-jenis ijtihad
4.
Untuk
mengetahui syarat-syarat ijtihad
5.
Untuk
mengetahui hukum hasil ijtihad
6.
Untuk
mengetahui problematika ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau
dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran).
Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa
al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan
kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”.[1]
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan
spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak.
Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan :
“mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis
dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan rumusan yang lebih sempit :
“upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya secara optimal
dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni”.[2]
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam
ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’)
melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa
dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut
merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu
cara ini tidak disebut ijtihad. [3]
B.
Ijtihad
Dalam Lintasan Sejarah
1.
Ijtihad
pada Periode Nabi Muhammad SAW. (± 13 SH.- 11 H)
Menurut ajaran Islam, yang mempunyai otoritas
tertinggi dalam menetapkan hokum, hanya Allah semata. Nabi Muhammad SAW.
sebagai utusan Allah bertugas melaksanakan dan menyampaikan perintah-perintah
Allah SWT. kepada semua lapisan
masyarakat. Dengan demikian, semua ketentuan yang ersumber dari Allah SWT. yang
disampaikan melalui wahyunya, berfungsi sebagai peraturan uang bersifat
mengikat dan harus dilaksanakan.
Selain mempunyai wewenang menerima dan
menyampaikan hokum-hukum Allah, Nabi Muhammmad SAW., juga berwenang memperjelas
hokum-hukum Allah tersebut. Tugas Nabi Muhammad SAW. Itu dijelaskan Allah dalam
firmanNya:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya
mereka memikirkan. (QS. An-Nahl-44).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
selain berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad SAW. juga berbicara berdasarkan kepada
pendapat dan pertimbangan akalnya sendiri. Keputusan-keputusan yang diambil
oleh beliau berdasarka akal (ra’yu) itulah yang disebut “Ijtihad”. [4]
Nash al-Qur’an yang telah memerintahkan
bermusyawarah dalam mengambil keputusan atau dalam menyelesaikan suatu masalah,
tidak akan terjadi kecuali dengan cara ijtihad. Walaupun ijtihad Rasulullah
sebagiannya ada yang mendapat penyempurnaan dari Allah, tetapi ia telah
mempersiapkan suatu landasan hukumyang kuat dalam melaksanakan ijtihad.
2.
Ijtihad
pada Periode Sahabat (± 11 H. -101 H)
Pada masa sahabat, wilayah kekuasaan Islam
bertambah luas. Seiring dengan ini, masalah social kemasyarakatan tumbuh sangat
heterogen, sebagai dampak pembauran etnis dan berbagai macam kebudayaan. Dalam
penyelesaian berbagai masalah yang kctual pada saat itu, peranan ijtihad dirasa
semakin penting, karena tanpa ijtihad akan banyak masalah yang tidak diketahui
setatus hukumnya, sementara wahyu dan hadits sudah terhenti.
Di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad
sesudah Rasulullah wafat, ialah Abu Bakar, ‘Umar bin al-Khaththab, Ali bin Abi
Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Ibnu Abbas, dan Ibnu
Mas’ud.
Para ulama sepakatvtentang adanya ijtihad
setelah Rasulullah wafat, bahkan pada masa ini ijtihad merupakan suatu
keharusan bagi sahabat yang mampu berijtihad, karena tidak semua sahabat mampu
melaksanakan ijtihad. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa tidak semua
sahabat mampu untuk berfatwa dan tidak semua dapat dijadikan panutan dalam
agama.[5]
Ijtihad sahabat itu sudah ada pada saat
Rasulullah masih hidup, walaupun ijtihad sahabat itu baru dianggap dalil atau
hujjah setelah mendapat ketetapan dari Rasulullah. Sebelum dikembangkan,
ijtihad sahabat harus mendapat legalisasi dari Rasulullah. Karena itu ada
sebagian ijtihad sahabat yang dipandang sudah benar dan sesuai dengan jiwa
nash,dan ada pula yang dipandang belum atau tidak benar, karena etode yang
mereka pakai tidak tepat. Setelah Rasulullah wafat, hasil ijtihad sahabat itu setelah
rasulullah wafat, langsung diamalkan dan dikembangkan. Jadi, ijtihad Sahabat
pada masa Rasulullah belum dianggap sebagai “alat menggali” hokum, karena
ketentuan akhir masih berada di tangan Rasulullah. Tetapi setelah Rasulullah
wafat sudah dapat dijadikan alat untuk menggali hokum, karena tidak lagi
menunggu ketetapan dari Rasulullah.
3.
Ijtihad
pada Periode Tabi’in dan Tabi’tabi’in (Imam-imam Mazhab) ± Abad II H.-
Pertengahan Abad IV H.
Setelah berakhir masa sahabat,muncul masa
Tabi’in. Ijtihad para sahabat dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya
yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu.
Generasi kedua ini terdiri dari murid-murid sahabat yang dikenal dengan
Tabi’in. Menurut Abu Zahrah, nama itu berdasarkan nama yang diberikan oleh
al-Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surah al-Taubah: 100.
Dalam berijtihad, para Tabi’in mendasarkan
pendidrian mereka kepada pendapat para sahabat. Mereka pelihara Sunnah
Rasulullah dan pendapat para sahabat, bahkan mereka berusaha untuk
mengkompromikan pendapat-pendapat para sahabat yang saling bertentangan dalam
banyak masalah. Para Tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
a)
Mereka
mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat sahabat yang lain, bahkan
kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang sahabat
(kalau pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan
Al-Qur’an dan Sunnah)
b)
Mereka
sendiri berijtihad.Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hokum Islam,
sesungguhnya secara professional dimulai para periode Tabi’in ini.
Pada masa Tabi’in, kegiatan melakukan ijtihad
semakin meningkat, tetapi prinsip bermusyawarah dalam menetapkan hokum sudah
mulai goyah, karena ulama sudah terpencar ke berbagai kota, yang letaknya
berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Pada masa ini kedudukan ijtihad
sebagai alat penggali hukukIslammendapat posisi yang kokoh. Para sejarawan
menyebut periode Tabi’in, dengan periode ijtihad masa keemasan fiqh Islam.
Daerah kekuasaan Islam semakin meluasa pada periode ini yang meliputi berbagai
lapisan umat dengan aneka macam adat istiadat, cara hidup dan kepentingan
masing-masing, sehingga menimbulkan daerah-daerah loakal dan regional, yang
pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh besar dengan munculnya mzhab-mazhab.
Pada masa Tabi’in ada tiga pembagian geografis yang besar dala dunia Islam tempat
kegiatan ijtihad yang bebas terjadi, yaitu: Irak, Hijaz, dan Syiria.
Irakmemiliki dua mazhab, yaitu Bashrah dan Kuffah. Hijaz juga memiliki dua
pusat kegiatan ijtihad dan fiqh, yaitu Madinah dan Makkah. Sementara mazhab
Syiria kurang tercatat dalam literature hokum Islam. Mesir tidak dimasukkan
dalam peta mazhab, karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri,
mereka mengikuti mazhab Irak dan yang lainnya bermazhab Madinah.
Setiap kota yang penting memiliki tokoh
mujtahidin yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan
ijtihad di daerah yang bersangkutan. Tokoh di Makkah yang terkenal yaitu:
‘Atho’ Ibnu Abi Rabah (W. 114 H) dan ‘Amr Ibnu Dinar (W. 126 H).
Di Madinah muncul tokoh-tokoh: Sa’ad Ibnu
Musaiyyab (W. 94 H), ‘Urwah Ibnu Zubair (W. 94 H), Abu Bakar Ibnu Abd Rahman
(W. 95 H), Ubaidah Ibnu Abdullah (W. 98 H), Kharijah Ibnu Zaid (W. 99 H),
Sulaiman Ibnu Yasar (W. 107 H), dan Al-qasim Ibnu Muhammad (mereka dikenal
dengan sebutan fuqoh’dan Sab’ah dan Madinah), Salim Ibnu Abdillah Ibnu Umar (W.
107), Ibnu Syihab al-Zuhry (W. 124 H),
Rabi’ah Ibnu Abd Rahman (W. 136 H), Yahya Ibnu Sa’id (W.143 H), serta Malik (W.
179 H) dan lain-lain.[6]
Di bashrah muncul tokoh-tokoh: Muslim Ibnu
Yasar (W. 108 H), Al-Hasan Ibnu Yasar (W. 110 H), dan Muhammad Ibnu Sirin (W.
110 H).
Di kuffah tampil: Alqamahn Ibnu Qaiys (W. 62
H), Masruq Ibnu Ajda’(W. 63 H), Al-Aswad Ibnu Yazid (W.75 H), Syuraih Ibnu
Harits (W. 78 H), Ibrahim Al-Nakha’iy (w. 96 H), Al-Sya’by (W. 103 H), Hammad
Ibnu Abi Sulaiman Al-Asy’ary (W. 120 H), Abu Hanifah (W. 150 H),dan lain-lain.
Di syiria tokoh yang terkenal adalah Qabisah
Ibnu Zuwaib (W. 86 H), Umar Ibnu Abd al-Aziz (W. 11 H), Makhul (W. 113 H), dan
lain sebagainya.
Fuqoha (ahli-ahli hokum) yang berasal dari
berbagai daerah atau negeri yang telah disebutkan tadi, dalam berijtihad,
biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para sahabat yang tinggal di daerah
mereka masing-masing. Fuqoha di Madinah cenderung dipengaruhi oleh ijtihad Umar
Ibnu al-Khaththab, ‘aisyah, dan Ibnu Umar, yang banyak menggunakan
al-Mashlahah. Fuqoha Kuffah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan pertimbangan
Ali ibnu Abi Thalib, dan Abdullah Ibnu Mas’ud, yang di dalam ijtihad pada
umumnya memakai metode qiyas.Di samping kecenderungan tersebut, setiap mazhab
mengutip pula pandangan sejumlah sahabat lainnya untuk mendukung ijtihad
mereka.
Pada masa Tabi’in ini, umat Islam sudah terpecah
kepada tiga kelompok, yaitu: Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur.Setiap golongan
betpegang teguh pada pendapat masing-masing dan pada umumnya merasa bang ga
serta berusaha mempertahankannya. Hal ini menimbulkan perbedaan pandangan dalam
menetapkan hokum Islam. Golongan Khawarij misalnya, mereka berpendapat bahwa
orang yang melakukan dosa besar hukumnya kafir, sementara golongan yang lainnya
tidak berpendapat demikian. Demikian halnya golongan Syi’ah dalam menetapkan
hokum yang berbeda dengan golongan Khawarij: contoh dalam masalah: Hadits
dipegang golongan Syi’ah dalam menetapkan hokum adalah hadits yang diriwayatkan
Ahlul al-Bait dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hokum, karena qiyas
didasarkan kepada pemikiran manusia.
C.
Jenis
Ijtihad
Jenis-jenis Ijtihad
1.
Dari
segi pelaku, ijtihad dibagi menjadi: [7]
a. Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang hanya
dilakukan oleh satu orang saja. Contoh ulama yang melakukan ijtihad fardi
adalah para sahabat nabi, para imam madzab, dan sebagainya.
b. Ijtihad jama’i, yaitu ijtihad yang dilakukan
oleh beberapa orang secara bersama-sama menyelesaikan suatu persoalan.
2.
Dari
segi pelaksanaan
a. Ijtihad intiqa’i, yaitu ijtihad untuk memilih
salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat yang ada. Ijtihad model
ini juga disebut ijtihad selektif. Contoh ijtihad model ini adalah dalam hal
penetapan hukum menikahi wanita hamil.
b. Ijtihad insya’i, yaitu mengambil konklusi hukum
baru terhadap suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Model
ijtihad ini disebut juga ijtihad kreatif. Contohnya dalam penetapan bayi
tabung, yang merupakan persoalan baru yang belum pernah ada ketetapannya.
D.
Syarat-syarat
Ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci
keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat
yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan
oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para
pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap
orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah
suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi.[8]
Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat
melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam
dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang
kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan
membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang
melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan
manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan ijtihad
(maksudnya: ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan membahayakan kehidupan
ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat
tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut Al-Syaukani, untuk
dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima
persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:
1.
Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.
Persyaratan
pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah
seorang ulamah Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana
sunnah merupakan syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi,
menurut al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat
hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh
mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah
ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas
merupakansyarat bagi seseorang mujtahid
mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah hukum. Akan
tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah
tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang
menyangkut tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang
sunnah, menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah
sebanyak-banyaknya. Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah
hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat menyebutkan
bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus hadits. Pendapat lain,
yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa
seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Akan tetapi, hadits –hadits itu tidak wajib
dihafal di luar kepala, cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu,
sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.
Di samping itu, seseorang
mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib mengetahui sejumlah besar
hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal
(periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits
sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya,
sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah).
Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup
baginya mengetahui yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang
membicarakan tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan
periwayat hadits).
2.
Mengetahui ijmak,
Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga
ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya
dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak
menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.
Di sini,
al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan pengetahuan tentang ijmak
sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang
yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui
ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu
kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan persyaratan ini
pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.
3.
Mengetahui bahasa Arab,
Yang ketiga mengetahui bahasa Arab yang memungkinkannya
menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah
secara baik dan benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus
mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia mampu
mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang
jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang
memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk kebahasan
itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu, saraf, ma’ani dan bayan.
Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus
dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut
melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika
ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat
pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi
mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa
al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat
menegluarkan hukum dari dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab.
Atas dasar demikian, sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab
Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi
seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.
4.
Mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu
usul fikih penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah
diketahui tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang
akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu
menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang
benar pula. Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih.
Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan
tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad:
a) Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang
usul fikih sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan
sunnah.
b) Kedua, yang tidak
menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad, tetapi menempatkan
pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.
c) Ketiga, yang menempatkan
usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam
menempatkan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap
ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu hal
penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena hanya di dalam usul
fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan
hukum dari sumber-sumbernya. Tanpa
mengetahui cara meng-istinbath-kan
hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.
d) Mengetahui
nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut al-Syaukani,
pengetahuab tenteng nasikh dan mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan
suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau
hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang
dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik. Bahkan,
menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan itu
secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka hanya
berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan
bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut.
Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat
ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena
dibarengi dengan dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat
mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan
ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting untuk dipenuhi oleh
seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad hukum itu—menurut
al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-Syaukani, mujtajhid yang
telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah mendapat semacam wewenang
dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat.
Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya diberikan kepada mujtahid yang
berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa
nafsu.
Dari kajian di atas
terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih yang lain,
memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki
syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati
demikian, seseorang ahli fikih yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga
melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang
tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.[9]
E.
Hukum
Hasil Ijtihad
Untuk
mengetahui kedudukan hukum hasil ijtihad prakodifikasi ushul fiqh, maka kita
harus mengetahui terlebih dahulu apakah seseorang yang melakukan ijtihad mesti
benarnya ataukah ia masih bisa salah. Kemudian kalau diangap benar, maka apakah
hukum yang diijtihadkan itu harus pula mengikat bagi orang yang lain atau
tidak, kemudian apakah bis dibatalkan oleh hukum lain hasil ijtihad pula, atau
tidak. Persoalan-persolan inilah yang akan dibicarakan dalam pembahasan ini
guna untuk mengetahui kedudukan hukum ijtihad prakodifikasi ushul fiqh.[10]
Nilai kebenaran
hasil Ijtihad Persoalan ini berkisar apakah pada tiap-tiap hukum (lazim disebut
masalah furu’) terdapat hukum tertentu yang sudah ditetapkan hukumnya oleh
tuhan, dan apakah mujtahid bisa menemukan hokum tersebut atau tidak ? jika
hukum (furu’) telah ditetapkan oleh tuhan, berarti kebenaran yang sedang dicari
oleh para mujtahidin hanya satu, dan yang bias mencapai kebenaran juga satu.
Ataukah pada tiap-tiap peristiwa tersebut tidak ada hukum tertentu dari tuhan,
melainkan hukumnya adalah kesimpulan semata-mata dari penelitian yang
berijtihad, dan dengan demikian maka tiap-tiap orang yang berijtihad bisa
mencapai kebenaran dan kebenaran juga bisa berbilang.
Untuk
mengetahui apakah hasil ijtihad itu pasti benar atau bisa salah, kita bisa
merujuk kepada asbabun nuzul surat anfal ayat : 67
Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.
Para ulama menyatakan bahwa asbabun nuzul ayat
ini adalah masalah tawanan perang badar. Kasus ini muncul waktu menghadapi
tawanan perang badar. Pada waktu itu nabi menanyakan pendapat Abu Bakar
mengenai tawan perang, sebaiknya diapakan ? kemudian Abu Bakar mengemukakan
pendapatnya supaya tawanan perang itu ditahan saja dan tidak dibunuh dengan
harapan mereka berguna bagi islam. Lalu Nabi menanyakan pendapat Umar ibn
khatab, ia mengemukakan pendapat agar tawanan itu dibunuh saja, karena mungkin
akan merugikan islam. Selanjutnya Nabi berpikir untuk mempertimbangkan langkah yang
harus diambil, kemudian beliau mengambil kesimpulan untuk menahan saja tawanan
tersebut sebagaimana yang disarankan oleh Abu Bakar. Kemudian Allah SWT menegur
tindakan Nabi dengan menurunkan surat Anfal ayat 67.
Dari kasus diatas, kita bisa menari kesimpulan
bahwa apa yang diperbuat Nabi dalam kasus tersebut semata-mata hasil buah
pikiranya sendiri, tidak berdasarkan wahyu dan hasil ijtihad itu tidak pasti
betul melainkan bisa saja salah. Untuk mengetahui apakah hasil ijtihad yang
dilakukan oleh para mujtahid hanya ada satu, atau bisa juga berbilang, kita
bisa melihat pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al- Nasa’i. Di
masa nabi muhamad SAW masih hidup, pernah ada dua orang Sahabat yang sedang
dalam perjalanan, tiba-tiba masuk waktu shalat, sementara mereka tidak
menemukan air. karena itu, keduanya shalat dengan tayammum.
Tidak lama kemudian keduanya menemukan air. Karena
masih dalam waktu shalat, maka salah seorang mengulangi shalatnya dan yang
seorang lagi tidak mengulangi, karena ia berpendapat bahwa shalatnya telah
sempurna. Sementara yang mengulangi shalatnya beranggapan bahwa meskipun
shalatnya sudah dikerjakan dengan sempurna, tentu shalatnya hanya dengan
tayammum itu batal, sebab sudah ditemukan air dalam waktu shalat. Ketika
keduanya bertemu dengan Rasulullah dan menceritakan peristiwa itu, Rasulullah
bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya :[11]
أصبت
السنة وأجزأتك صلاتك
"Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunah
dan shalatmu sudah memadai".{HR.Abu Dawud}
Kepada yang mengulangi shalatnya,Nabi SAW
bersabda :
مرتین
الأجر لك" Untukmu dua pahala".{HR.Abu
Daud}42
Kasus diatas membuktikan bahwa kebenaran hasil
ijtihad itu bias berbilang tidak tertentu hanya satu.
F.
Problematika
Ijtihad
Seiring
dengan perkembangan-perkembangan kemanusiaan kontemporer tidak sepatutnya umat
islam menggadaikan seluruh ijtihad-ijtihadnya kepada ulama-ulama terdahulu,
sebab universalitas syariat islam dituntut untuk mampu memberikan jawaban dan
menjelaskan kedudukan hukum pada setiap problematika kehidupan manusia.
Sesuatu
yang berlebihan jika umat islam masih menganggap bahwa produk-peoduk ulama
terdahulu sudah mampu menjawab setiap tantangan zaman dan memecahkan
masalah-masalah kontemporer dewasa ini. Karena diera sekarang ini banyak
persoalan-persoalan pelik yang sama sekali belum pernah dibahas oleh
ulama-ulama terdahulu. Disamping itu jika umat islam masih menganggap produk
ulama-ulama dahulu adalah segala-galamya, maka diktum maslahah sebagai misi
suci syariah akan terlantar dan teranak-tirikan. Ini jelas, karena diera yang
semakin sekarat ini banyak persoalan yang berubah karena kondisi dan situasi
yang mengitarinya, suatu persoalan yang tidak dipandang maslahah oleh
orang-orang terdahulu mungkin dipandang maslahah untuk era sekarang. Dengan
demikian kebutuhan ijtihad menjadi keniscayaan.
Para muhaqqiq
dari kalangan ulama menetapkan bahwa fatwa-fatwa dapat berubah karna
alasan-alasan tertentu, seperti perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan
kondisi dan lainnya . Salah satu contoh yang paling populer adalah bagaimana
iman syafi’i merubah pendapat-pendapat lamanya dengan pendapat baru yang
dilandaskan pada setting budaya mesir.
Semua
ini memotivasi untuk dilakukabbya ijtihad yang lebih inovativ dan up to date
dengan perkembangan zaman, sehingga syriat islam akan teeap menjadi syariat
yang sholihun likulli zamanin wamakanin.
Namun
yang terpenting dan perlu diingat adalah tidak semua orang memiliki otoritas
terjin kegelanggangan ijtihad. otoritas ijtihad hanya dimiliki oleh orang-orang
yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. adapun yang tidak memenuhi
kualifikasi maka baginya wajib taqlid.
Di
samping itu medan ijtihad juga terbatas pada dalil yang sifatnya dhonniyyat
(interpretable). dalam dimensi imi islam mentolelir adanya
penafsiran-penafsiran.karena dimensi ini merupakan wilayah terbuka yang
menerima perubahan konteks dan bersifat Debatable (belum final). Adapun
dalil-dalil yang sifatnya qoth’iyyat (mono inter pretable) maka tidaklah
merupakan kawasan yang bisa diolah dengan Ijtihad.
Dewasa
ini ijtihad telah dimasuki oleh orang-orang yang bukan ahlinya. mereka menyerbu
medan ijtihad secara liberal dan bebas kendali, sehingga muncullah
pendapat-pendapat nyleneh dan wagu akibat ijtihad tidak pada tempatnya.
Na’udzubillah min dzalik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijtihad
adalah Menggunakan segala kesanggupan untuk mencari sesuatu hukum syara’ dengan
jalan dhan. Hukum yang melandasi adanya ijtihad yaitu Q.S An-Nisa ayat 105.
Hukum berijtihad dapat dibagi menjadi empat hukum, yaitu wajib ‘ain, wajib
kifayah, sunat, dan haram. Syarat untuk menjadi seorang mujtahid yaitu a).
Mengetahui
dengan mendalam nash-nash Al-Quran dan As-Sunah dan segala ilmu yang terkait
dengannya. b). Kalau ia memegangi ijma’, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’
dan apa pa yang telah di ijma’ kan. c). Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul
fiqih karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad. d).Mengetahui
dengan mendalam masalah nasikh-mansukh, mana dalil yang sudah mansukh mana pula
yang tidak di mansukh. e). Mengetahuidengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu
yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghah, badi’, dan bayan serta
mantiq nya. Ijtihaddibagi menjadi beberapa macam yaitu ijtihad fardiyah dan
jam’iyah. Sedangkan tingkatan ijtihad yaitu ijtihad mutlaq, ijtihad muntasib,
ijtihad madzhaby, ijtihad tarjih.
B.
Saran
Demikian
makalah ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqh, yang tentunya makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh
pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun
demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu
ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani.
(PT. Logos Wacana Ilmu : Jakarta, 1999)
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999),
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi
Situdi Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000)
Wahyu Abdul Jafar, Analisis
Kedudukan Hukum Hasil Ijtihad Prakodifikasi Ushul Fiqh, (Jurnal Pdf
Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu, MIZANI Vol. 25, No. 2,
Agustus 2015)
[3] Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 200
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 202
[7] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Situdi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm 99
[8] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Situdi Islam, … hlm
100
[10] Wahyu Abdul Jafar, Analisis Kedudukan Hukum Hasil Ijtihad Prakodifikasi
Ushul Fiqh, (Jurnal Pdf Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu,
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015), h. 168
[11] Wahyu Abdul Jafar, Analisis Kedudukan Hukum Hasil Ijtihad Prakodifikasi
Ushul Fiqh, (Jurnal Pdf Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu,
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015), h. 168
No comments:
Post a Comment