KAITAN ANTARA
FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN FILSAFAT HUKUM LAINNYA
A.
PENDAHULUAN
Jika
kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan
filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi
yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia. Sekedar menyinggung konsep
dalam Islam, bahwa Islam menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan
tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi,
disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan dengan
Allah SWT, maka manusia disamping ia mengadopsi hukumhukum yang langsung (baca
; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan yang berbentuk kitab suci, manusia dituntut
untuk selalu mencari formula kebenaran yang berserakan dalam kehidupan
masyarakat, yaitu suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, dan
hukum tersebut haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif
yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras,
agama yang ada di Indonesia.
Terhadap
pendapat sangat luas menyatakan bahwa pengetahuan hukum dan filsafat, terutama
filsafat hukum, adalah dua daerah terpisah yang asing satu sama lain. Ada
masanya bahwa filsafat merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari studi
hukum. Masa itu belum begitu lama berlalu. Maka mungkin saja seorang mahasiswa
hukum dewasa ini terperanjat bila mendengar bagaimana masih begitu erat
berjalinnya pengetahuan hukum dan filsafat pada awal abad 19.
Objek
pembahasan filsafat hukum bukan hanya tujuan hukum, melainkan masalah hukum
yang mendasar sifatnya yang muncul di dalam masyarakat yang memerlukan suatu
pemecahan. Filsafat hukum, sebagaimana yang kita lihat, mengambil pandangan
hukum yang bersifat teologis yang menyatakan bahwa adanya hukum adalah untuk
memenuhi maksud tertentu. Tidak dapat disangkal bahwa setiap hukum
diorientasikan untuk mencapai tujuan tertentu yang menuntut pelakasanaan.
Filsafat
Hukum membicarakan tujuan atau akhir hukum dan
keadilan dianggap sebagai tujuan tertinggi. Tujuan utama itu tidak jauh
sama hal nya dengan Hukum Islam yang mementingkan kaedilan daripada kekuatan.
Keadilan, menurut Hukum Islam adalah perintah yang lebih tinggi karena tidak
hanya memberikan setiap orang akan haknya tetapi juga sebagai rahmat dan
kesembuhan dari sakit.
Oleh karenanya
rumusan masalah dalam pembahasan materi kali ini adalah :
1. Apakah sebenarnya hakikat filsafat hukum ?
2. Apa manfaat mempelajari filsafat hukum?
3. Apa perbedaaan fisafat hukum Islam dengan
filsafat hukum lainnya?
B.
PEMBAHASAN
1. Definisi Filsafat
Manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala
sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut
pengetahuan.Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) ,yaitu pengetahuan indera,
pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat,dan pengetahuan agama.Istilah
“pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan “ilmu pengetahuan”(science).
Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga
berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek,
metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal.[1]
Adanya perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak
berarti semua pertanyaan dapat dijawab oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan
yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat. Filsafat
itu datang sebelum dan sesudah ilmu, mengenai itu bahwa pertanyaan yang diajukan
oleh ilmu (yang khusus) itu mungkin juga tidak akan pernah terjawab oleh
filsafat.itu menegaskan bahwa jawaban –jawaban filsafat itu memang tidak pernah
abadi. Oleh karena itu filsafat tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah
hal ini disebabkan masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai
manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak
berkembang dan berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah –masalah
lama manusia.
Filasafat tidak menyelidiki salah satu segi dari
kenyataan saja, melainkan apa – apa yang menarik perhatian manusia angapan ini
diperkuat bahwa sejak abad ke 20 filsafat masih sibuk dengan masalah-masalah
yang sama seperti yang sudah dipersoalkan 2.500 tahun yang lalu yang justru
membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada “metodenya sendiri”.Perbedaan
filsafat dengan ilmu-ilmu yang lain adalah ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang metodis, sistematis, dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari
kenyataan, sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan
koheren tentang seluruh kenyataan..Kesimpulan dari perbedaan tersebut adalah
filsafat tersebut adalah ilmu tanpa batas karena memiliki syarat-syarat sesuai
dengan ilmu.Filsafat juga bisa dipandang sebagai pandangan hidup manusia
sehingga ada filsafat sebagai pandangan hidup atau disebut dengan istilah way
of life, Weltanschauung, Wereldbeschouwing, Wereld-en levenbeschouwing yaitu
sebagai petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang
kehidupanya dan filsafat juga sebagai ilmu dengan definisi seperti yang
dijelaskan diatas.
Syarat-syarat filsafat sebagai ilmu adalah pengetahuan
yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan yang menyeluruh
dan universal, dan sebagai petunjuk arah kegiatan manusia dalam seluruh bidang
kehidupannya.Penelahaan secara mendalam pada filsafat akan membuat filsafat
memiliki tiga sifat yang pokok, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif itu
semua berarti bahwa filsafat melihat segala sesuatu persoalan dianalisis secara
mendasar sampai keakar-akarnya.Ciri lain yang penting untuk ditambahkan adalah
sifat refleksif krisis dari filsafat
Terdapat kecenderungan bahwa bidang-bidang filsafat itu
semakin bertambah, sekaipun bidang-bidang telaah yang dimaksud belum memiliki
kerangka analisis yang lengkap, sehingga belum dalam disebut sebagai
cabang.Dalam demikian bidang-bidang demikian lebih tepat disebut sebagai
masalah-masalah filsafat.Dari pembagian cabang filsafat dapat dilihat dari
pembagian yang dilakukan oleh Kattsoff yang membagi menjadi 13 cabang filsafat.
Seperti kita ketahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk
mengatur perilaku manusia.Maka dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah
sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat tingkah
laku. Karena filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.Maka
obyek filsafat hukum adalah hukum.Definisi tentang hukum itu sendiri itu amat
luas oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto keluasan arti hukum
tersebut disebutkan dengan meyebutkan sembilan arti hukum.[5]Dengan demikian
jika kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat
merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum
itu.Hukum itu juga dipandang sebagai norma yang mengandung nilai-nilai
tertentu.Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai normaNorma adalah
pedoman manusia dalam bertingkah laku.Norma hukum diperlukan untuk melengkapi
norma lain yang sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma hukum
dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain karena
pelaksanaan norma hukum tersebut dapat dipaksakan.
Antara
falsafah dengan sejarah tidak dapat dipisahkan, karena sejarah falsafah sudah
merupakan falsafah itu sendiri. Ketika satu demi satu ilmu pengetahuan
memisahkan diri dari falsafah sebagai induknya, akhirnya sisa dua bidang yang
tetap melekat pada falsafah itu : apakah yang dapat aku ketahui dan apakah yang
harus aku kerjakan. Kedua pertanyaan itu merupakan inti dari falsafah, yang
pembahasannya meliputi tiga realita masalah, yaitu (1) Tuhan, (2) manusia, dan
(3) alam. Sebagai contoh “Filsafat Ketuhanan” [2].
Menurut
D. F. Scheltens, dalam bukunya Pengantar Filsafat Hukum (1984 : 39 ), filsafat
adalah penalaran “tanpa voraussetzung” atas pengalaman manusia yang asasi
untuk menjelaskannya – sejauh jangkauan
wawasan manusia – dan untuk memahami dunia (ilmu pengetahuan, seni, teknik,
hukum, agama) bertolak dari sini [3].
Walaupun
pada dasarnya sebagai deskripsi rasional tentang sesuatu, filsafat disebut ilmu
dari ilmu, kritik, dan sistematisasi atau organisasi semua pengetahuan, yang
ditarik dari ilmu empirik, penalaran rasional dan pengalaman umum. Dua cabang
utama filsafat adalah: (1) metafisika (2) epistemology atau teori
pengetahuan-studi tentang sumber, sifat dan batas-batas pengetahuan [4].
Filsafat
adalah upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan penggambaran manusia di
duniannya menuju akhirat secara mendasar. Objeknya adalah materi dan forma.
Objek materi sering disebut segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada.
Hal ini berarti filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta
mulai dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, dan sang Pencipta.
Selanjutnya, objek ini sering disebut realita atau kenyataan. Dari objek
dimaksud, filsafat ingin mempelajari baik secara fragmental (menurut bagian dan
jenisnya) maupun secara integral menurut keterkaitan antara bagian-bagian dan
jenis-jenis itu di dalam suatu keutuhan secara keseluruhan. Hal itulah yang
disebut objek forma
2.
Manfaat
Mempelajari Filsafat Hukum
Dari tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain
manfaat filsafat hukum dapat dilihat.Filsafat memiliki karakteristik
menyeluruh/Holistik dengan cara itu setiap orang dianggap untuk menghargai
pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Disamping itu juga memacu untuk
berpikir kritis dan radikal atas sikap atau pendapat orang lain. Sehingga
siketahui bahwa manfaat mempelajari filsafat hukum adalah kreatif, menetapkan
nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru.
Disiplin hukum, oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali, di artikan sebagai
teori hukum namun dalam artian luas, yang mencakup politik hukum, filsafat
hukum, dan teori hukum dalam arti sempit atau ilmu hukum.
Dari pembidangan tersebut, filsafat hukum tidak
dimasukkan sebagai cabang ilmu hukum, tetapi sebagai bagian dari teori hukum
(legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama
dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang lainnya. Satjipto Raharjo
menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari
hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. Teori hukum memang
berbicara tentang banyak hal, yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum,
filsafat hukum, atau kombinasi dari ketigabidang tersebut. Karena itu, teori
hukum dapat saja membicarakan sesuatu yang bersifat universal, dan tidak
menutup kemungkinan membicarakan mengenai hal-hal yang sangat khas menurut
tempat dan waktu tertentu.
3.
Perbedaan
Filsafat Hukum Islam dengan Filsafat Hukum Lain
Adapun perbedaan pendekatan filsafat dalam Hukum Islam
dengan filsafat hukum pada umumnya terletak pada perbedaan substansi hukum itu
sendiri. Hukum Islam merupakan hukum wahyu, sedangkan hukum pada umumnya adalah
hasil pemikiran manusia semata.[5]
Hukum Islam merupakan hukum yang berangkat, berjalan dan
berakhir pada tujuan wahyu. Ia ada dan memiliki kekuatan berdasarkan wahyu. Ia
memberikan perintah dan larangan berdasarkan wahyu. Dengan demikian, apa yang
dianggap benar adalah apa yang dianggap benar oleh wahyu. Apa yang dianggap
keliru, adalah apa yang disalahkan oleh wahyu. Adapun akal adalah sarana
pendukung untuk memahami atau memikirkan operasional hukum.
Ketika hukum Islam menyatakan bahwa babi adalah haram,
alasannya adalah karena al-Qur’an sebagai himpunan wahyu melarangnya. Demikian
pula ketika Islam menyatakan bahwa perzinahan itu haram, alasannya karena
al-Qur’an melarangnya. Babi dan perzinahan adalah haram kapanpun, di manapun,
dan oleh siapapun menurut hukum Islam, meskipun secara akal babi dan perzinahan
sebenarnya bisa mendatangkan keuntungan yang banyak bagi manusia.
Sedangkan hukum pada umumnya (hukum non-Islam) adalah
hasil pemikiran manusia semata. Karena ia merupakan hasil manusia, sementara
hasil pemikiran manusia bisa terpengaruh oleh zaman dan makan, maka hukum
tersebut juga bisa berbeda-beda bagi manusia yang hidup di daerah dan waktu
yang berbeda.
Ketika dahulu hubungan sesama jenis (homoseksual)
dianggap sesuatu yang salah dan melanggar batas kewajaran, maka perbuatan itu
dilarang (diharamkan) dan pelakunya memperoleh hukuman. Namun ketika sekarang
perbuatan itu dianggap sesuatu yang wajar –karena sudah banyak orang
melakukannya secara terang-terangan bahkan menjadi kebanggaan- dan bisa
dibenarkan, maka ia tidak lagi dilarang. Justru sebaliknya, orang yang
menentang perbuatan itu dianggap telah melanggar hak asasi orang lain yang
ingin atau gemar melakukannya.[6]
Yang amat menarik –entah karena benar-benar hasil
pemikiran murni atau iming-iming duniawi- sekarang ada sebagian orang Islam
yang mengatasnamakan kebebasan berpikir, memberanikan diri secara bersama-sama
untuk menghalalkan perilaku homoseksual. Anehnya, mereka mendukung perilaku
tersebut dengan mencoba mengotak-atik wahyu dengan logika mereka. Dengan demikian,
mereka bukan lagi menggunakan akal sebagai sarana untuk memahami wahyu. Mereka
menggunakan akal untuk “mengakali” wahyu. Namun untuk hal ini penulis
mencukupkan diri sampai di sini. Karena sebenarnya orang-orang seperti itu
bukanlah para ahli hukum Islam yang sebenarnya. Tidak lain mereka adalah para
pemulung besi tua yang hendak membuat pesawat tempur anti radar (semacam B-12)
atau yang semisalnya. Tentu saja usaha mereka hanya akan menjadi bahan
tertawaan orang lain, apalagi para pakar di bidangnya.
Filsafat Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang
rahasia-rahasia, makna, hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu
fiqh. Sehingga kita melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan
pengertian dan kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat ini
akan tercapai ketaatan dan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan hukum.[7]
Seorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan
mempelajari Filsafat Hukum Islam, akan semakin memahami di mana letak
ketinggian dan keindahan ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang
mendalam kepada Sumber Tertinggi Hukum yaitu Allah Swt., kepada sesama manusia,
kepada alam, dan kepada lingkungan di mana ia hidup. Dengan demikian, tujuan
mempelajari Filsafat Hukum Islam akan memantapkan keyakinan umat Islam akan
keagungan Hukum Islam dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain (hukum produk
manusia). Dimana hukum Islam bisa dibuktikan bukan hanya lebih benar dan
unggul, namun juga lebih terhormat dan beradab dibandingkan dengan hukum-hukum
yang lain Keyakinan yang mantap itu menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir
tanpa “paksaan”. Umat Islam mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena
rasa cinta, karena ia berasal dari Tuhan Maha Adil dan Welas Asih. Ia taat
kepada hukum karena keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai perwujudan cinta Tuhan
kepada makhluk-Nya.
C.
PENUTUP
Kata
philosophy (filsafat) berasal dari kata gabungan Yunani philosophia yang
berarti cinta atau pencari kebijaksanaan (philein = cinta, dan Sophia
= kebijaksanaan). Jadi philosophia adalah suatu usaha untuk menemukan, melalui
refleksi sistematik hakekat utama dari segala sesuatu. Apakah yang dapat aku
ketahui dan apakah yang harus aku kerjakan. Kedua pertanyaan itu merupakan inti
dari falsafah, yang pembahasannya meliputi tiga realita masalah, yaitu (1)
Tuhan, (2) manusia, dan (3) alam. Sebagai contoh “Filsafat Ketuhanan”.
Filsafat
Hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan
filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam. Maka, filsafat hukum
Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan
sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis
hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. Dari beberapa
definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Filsafat Hukum Islam
memiliki beberapa unsur, yang pertama, Filsafat Hukum Islam merupakan hasil
pemikiran manusia. Dengan kata lain, ia berangkat dari akal pikiran manusia.
Di
sinilah letak perbedaan mendasar antara Filsafat Hukum Islam dan Ilmu-ilmu
Shari‘ah Metodologis seperti Usul al-Fiqh dan al-Qawa‘id al-Fiqhiyah. Dimana
kedua ilmu yang disebut terakhir ini berangkat dari wahyu.sedangkan yang Kedua,
seluruh kajian dalam Filsafat Hukum Islam tidak pernah meragukan substansi
hukum yang telah ditetapkan oleh Hukum Islam. Secara lebih gamblang, hal ini
dibahas dalam salah satu kajian Filsafat Hukum Islam, yaitu mengenai hakekat
hukum Islam sebagai Hukum Tuhan yang sudah tentu memenuhi tujuan-tujuan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh
Filsafat Hukum Modern, (Jakarta:
Gramedia, 1992),
Zainuddin Ali, MA, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008)
D. F. Scheltens, Pengantar Filsafat Hukum, Terj. Bakri
Siregar, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1984)
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran
Orientalis, Terj. Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1991)
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008)
F. Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-Butir
Pemikiran Kritis, (Jakarta
Gramedia. 19912)
Zainuddin Ali, Filsafat
Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
[1] Harry
Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Hukum
Modern, (Jakarta: Gramedia, 1992),
Hal . 13
[2]
Zainuddin Ali, MA, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1
[3] D.
F. Scheltens, Pengantar Filsafat Hukum, Terj. Bakri Siregar, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1984), hlm. 39
[4]
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis,
Terj. Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 3
[5]
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 2
[6] F.
Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-Butir Pemikiran Kritis,
(Jakarta Gramedia. 19912), Hlm. 20
No comments:
Post a Comment