BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hadits telah ada sejak awal perkembangan Islam
adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa
hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.)
memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau,
terutama yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang
suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari
peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah
untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang
yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah
panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul,
pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka,
tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Karena itu,
setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat
dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hak itu untuk lebih
mendalami ajaran Islam.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para
sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak
mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan sahabat Nabi
yang membuat catatan hadis diantaranya; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk
menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya
:Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi
Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh
orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan
penghargaan yang tinggi kepada mereka yang
berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha
memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan
adalah Nabi sendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya
untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan
bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang
hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para
sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarah perkembangan hadits?
2. Apa saja fase
Pengumpulan dan Penulisan Hadits?
3. Bagaimana periode
pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW?
C. Tujuan
Makalah
Menurut rumusan masalah diatas, tujuan makalh antara lain sebagai
berikut:
1. Mengetahui
sejarah perkembangan hadist.
2. Mengetahui
Pengumpulan dan Penulisan Hadits.
3. Mengetahui
perkembangan hadist pada masa Rosululloh, yaitu peride pertama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau
periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam
pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan
memperhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di
zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi
hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa
periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi
periode sejarah hadis. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan
tujuh periode.[1]
B. Fase
Pengumpulan dan Penulisan Hadits
1. Pengumpulan
Hadis
Pada abad pertama
Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan sebagian besar masa
Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu
berpindah-pindahdan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada
waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka
terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah
direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk
pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (23 H/644 M).
Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat
Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.[2]
Pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni
tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadist. Umar
bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang
terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang
kelima.
Beliau sangat waspada
dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadist dalam ingatannya semakin
sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera
dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin
hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah
hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih
hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada
Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan
hadis-hadis Nabi dari para penghafal hadist.[3]
Umar bin Abdul Azis
menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu,"Perhatikanlah apa yang
dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap
ilmu disebabkan meninngalnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul
SAW., dan hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu
supaya orzng yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya
ilmu itu dirahasiakan."
Selain kepada Gubernur
Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan
hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai
melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang
pertama kali membukukan hadis.
Setelah generasi
Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi' bin
Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah
disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani
Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah,
yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempurnaan. Sejak saat
itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk
pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada
waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain
Al-Muwatha' oleh Imam Malik dan Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H).
Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam
ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
lain-lain.
Dari mereka itu, kita
kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim,
Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para
ulama yang menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab
Muwatha' dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau
meneliti sanad dan matan-matannya.[4]
2. Penulisan
Hadis
Sebelum agama Islam
datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih
dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini
tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca.
Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat
sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H)
misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama
yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.
Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab.
Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya
para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang
yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah
yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.
Banyak akhbar yang
menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekah daripada di
Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan
dalam Perang Badar dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menuiis dan
membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Pada masa Nabi,
tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan untuk belajar
dan membaca. Rasulullah pun mengangkat para penulis wahyu hingga jumlahnya
mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab At-Taratib Al-Idariyyah.
Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di
antaranya Ummul Mu'minin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa' binti
Abdullah Al¬Qurasyiyah, `Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.
Para penulis semakin
banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah
bin Sa'id bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu
Abdil Barr dalam Al-Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah
bin Sa'id bin Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama
`Abdullah dan menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Para penulis sejarah
Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran Al-Karim telah
memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul
mengharapkan para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran dan menuliskannya di
tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan
sebagainya.
Oleh karena itu, ketika
Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para
sahabat. Seluruh ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum
terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran.
Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak
diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan
hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah mereka
dengar dari Rasulullah SAW.
C. Perkembangan
Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa
At-Takwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode
inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi
menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat.[5]
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan
tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. mennheri
ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat.
Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain
atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh nabi ke daerah
daerah atau utusan daerah yang datang kepada nabi.
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di
kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena
kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk
menghafal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam
amalan sehari- hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.
Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian para
sahabat apapun yang di datangkan oleh Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan,
perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi yang di buat pedoman dalam
kehidupan sahabat.
Setiap sahabat mempunyai kedudukan tersendiri
dihadapan Rasulullah SAW adakalanya disebut dengan “al-sabiqun al-awwalin”
yakni para sahabat yang pertama masuk islam, seperti khulafaur rasyidin dan
Abdullah Bin Mas’ud.Ada juga sahabat yang sungguh- sungguh menghafal hadist
misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga yang usianya lebih panjang dari sahabat
yang lain yang mana mereka lebih banyak menghafalkannya seperti annas bin
malik. Demikian juga ada sahabat yang dekat sama rasulullah seperti Aisyah,
Ummu Salamah, dan khulafaur rasidin semakin erat dan lama bergaul semakin
banyak pula hadist yang diriwayatkan dan validitasnya tidak diragukan.
Namun demikian sahabat juga adalah manusia
biasa, harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebuthan
keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadist di skasikan langsung
oleh seluruh sahabat, sehingga sahabat mendegar sebagian hadist dari mendengar
kepada sahabat yang lainnya atau langssung dari rasulullah SAW. Apalagi Sahabat
nabi yang berdomisili di daerah yang jauh dari madinah seringkali hanya
memperoleh hadist dari sesama sahabat.
Rasul membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini
merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadist. Untuk
lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman nabi SAW berikut ini penulis
akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:[6]
1. Cara Rasulullah
menyampaikan hadist
Rasulullah dan para
sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk
belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di
majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan dijadikan uswah
(suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para
sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh
patuah-patuah Rasulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota
dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll.
Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari
jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat
kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak
bisa hadir.
2. Keadaan para
sahabat dalam menerima dan menguasai hadist
Kebiasaan para sahabat
dalam menerima hadits bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika
yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi.
Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang
masalah pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan). Tapi perlu
diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah
biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui
utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan
puasa.
Telah kita ketahui,
bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan
tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan
dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.
3. Larangan
menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW
Hadis pada zaman nabi
Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan
oleh dua factor: para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan
otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang. karena adanya larangan
menulis hadis nabi.
Abu sa’id al-khudri
berkata bahwa rosululloh saw bersabda: Janganlah menulis sesuatu dariku
selain al-Quar’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia
menghapusnya (H.R Muslim).[7]
Larangan tersebut
disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an,
atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang
dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti
yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis
bagi sahabat tertentu diperbolehkan.
4. Aktifitas
menulis hadist.
Bahwasanya sebagian
sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah, ada yang mendapatkan izin
khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan
kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah.) (
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW
belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang
menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw.
penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang
larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
.لاتكتبو اعنّى
شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه
“jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari
saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah
menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry).
Tetapi disamping ada hadist yang
melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist
yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda
أكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
“tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam
kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas
tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut: [8]
a) Bahwa larangan
menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak
tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin
banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya
telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b) Bahwa larangan
menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat
khusus bagi orang yang memiliki
keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan
tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
c) Bahwa larangan
menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan
perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang
ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits seperti melalui
majlis ta’lim, bertemu langsung dengan nabi dan mnanyakan suatu permasalahan,
melalui istri-istri nabi, melalui mulut kemulut sahabat yang dipercaya.
Pada masa Rosulullh Saw, juga suda ada sahabat
khusus yan menulis hadist tidak secara resmi karena ada larang nabi, namun ada
juga hadist nabi kepada sahabat yang khusus boleh menulis kedua hal tersebut
bertentangan karena ada beberapa hal. Periode pertama sampai peride ketiga
disebut masa pra kodifikasi (pembukuan) hadist, peride ketiga disebut masa
kodifikasi hadist, periode kempat disebut masa paska kodifikasi hadist.
B. Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan
beberapa saran kepada pembaca sebagai berikut:
1. Dalam memahami
Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran
tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat
menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2. Hendaknya
setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system
pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual
dan wawasan kependidikan bagi semua.
3. Semoga hasil
penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis . Amin yaa
Rabbal ‘Alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. Ulumul
Hadis. (Jakarta : Bumi Aksara. 2008)
Ash Shiddieqy, Hasbi.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1990)
Azami, M.M. Hadis Nabawi
dan Sejarah Pengkodifikasinya. (Jakarta
: PT. Pustaka Firdaus. 1999)
Solahuddin, Muhammad. Ulumu
Hadis. (Bandung : CV. Pustaka Setia.
2011)
Yuslem, Nawir. Ulumul
Hadis. (Jakarta : PT. Mutiara Sumber
Widya. 2001)
[2] Ash Shiddieqy, Hasbi.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1990), h. 83
[4] Azami, M.M. Hadis
Nabawi dan Sejarah Pengkodifikasinya. (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus. 1999), h. 95
No comments:
Post a Comment