Friday, November 9, 2018

Makalah Perkembangan Hadist Pada Periode Rasulullah Saw


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Hadits telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutama yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hak itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang  berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits?
2.      Apa saja fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits?
3.      Bagaimana periode pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW?

C.     Tujuan Makalah
Menurut rumusan masalah diatas, tujuan makalh antara lain sebagai berikut:
1.      Mengetahui sejarah perkembangan hadist.
2.      Mengetahui Pengumpulan dan Penulisan Hadits.
3.      Mengetahui perkembangan hadist pada masa Rosululloh, yaitu peride pertama


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Sejarah Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[1]

B.     Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits
1.      Pengumpulan Hadis
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindahdan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.[2]
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadist. Umar bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadist dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghafal hadist.[3]
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu,"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninngalnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW., dan hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orzng yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan."
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempurnaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malik dan Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab Muwatha' dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.[4]
2.      Penulisan Hadis
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan dalam Perang Badar dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menuiis dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Pada masa Nabi, tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan untuk belajar dan membaca. Rasulullah pun mengangkat para penulis wahyu hingga jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab At-Taratib Al-Idariyyah. Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di antaranya Ummul Mu'minin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa' binti Abdullah Al¬Qurasyiyah, `Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa'id bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah bin Sa'id bin Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama `Abdullah dan menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran Al-Karim telah memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.

C.     Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Takwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat.[5]
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh nabi ke daerah daerah atau utusan daerah yang datang kepada nabi.
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari- hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.
Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian para sahabat apapun yang di datangkan oleh Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi yang di buat pedoman dalam kehidupan sahabat.
Setiap sahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan Rasulullah SAW adakalanya disebut dengan “al-sabiqun al-awwalin” yakni para sahabat yang pertama masuk islam, seperti khulafaur rasyidin dan Abdullah Bin Mas’ud.Ada juga sahabat yang sungguh- sungguh menghafal hadist misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga yang usianya lebih panjang dari sahabat yang lain yang mana mereka lebih banyak menghafalkannya seperti annas bin malik. Demikian juga ada sahabat yang dekat sama rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan khulafaur rasidin semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula hadist yang diriwayatkan dan validitasnya tidak diragukan.
Namun demikian sahabat juga adalah manusia biasa, harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebuthan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadist di skasikan langsung oleh seluruh sahabat, sehingga sahabat mendegar sebagian hadist dari mendengar kepada sahabat yang lainnya atau langssung dari rasulullah SAW. Apalagi Sahabat nabi yang berdomisili di daerah yang jauh dari madinah seringkali hanya memperoleh hadist dari sesama sahabat.
Rasul membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadist. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:[6]
1.      Cara Rasulullah menyampaikan hadist
Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rasulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir.


2.      Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist
Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.
Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.
3.      Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW
Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor: para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang. karena adanya larangan menulis hadis nabi.
Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda: Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Quar’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya (H.R Muslim).[7]
Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.
4.      Aktifitas menulis hadist.
Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah.) (
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
.لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه
“jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry).
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda
أكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
“tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut: [8]
a)      Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b)      Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus      bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
c)      Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits seperti melalui majlis ta’lim, bertemu langsung dengan nabi dan mnanyakan suatu permasalahan, melalui istri-istri nabi, melalui mulut kemulut sahabat yang dipercaya.        
Pada masa Rosulullh Saw, juga suda ada sahabat khusus yan menulis hadist tidak secara resmi karena ada larang nabi, namun ada juga hadist nabi kepada sahabat yang khusus boleh menulis kedua hal tersebut bertentangan karena ada beberapa hal. Periode pertama sampai peride ketiga disebut masa pra kodifikasi (pembukuan) hadist, peride ketiga disebut masa kodifikasi hadist, periode kempat disebut masa paska kodifikasi hadist.

B.     Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca sebagai berikut:
1.      Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2.      Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.
3.      Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis . Amin yaa Rabbal ‘Alamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis.  (Jakarta : Bumi Aksara. 2008)

Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1990)

Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Pengkodifikasinya.  (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus. 1999)

Solahuddin, Muhammad. Ulumu Hadis.  (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2011)

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis.  (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya. 2001)


[1] Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis.  (Jakarta : Bumi Aksara. 2008), h. 33
[2] Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1990), h. 83
[3] Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis.  (Jakarta : Bumi Aksara. 2008), h. 35
[4] Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Pengkodifikasinya.  (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus. 1999), h. 95
[5] Solahuddin, Muhammad. Ulumu Hadis.  (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2011), h. 36
[6] Solahuddin, Muhammad. Ulumu Hadis.  (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2011), h. 38
[7] Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis.  (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya. 2001), h. 53
[8] Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis.  (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya. 2001), h. 55

No comments:

Post a Comment