BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
usia
berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan
manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori
yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan
teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan
penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti
pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam
memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya.
Pengetahuan
merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Berbedanya cara dalam
mendapatkan pengetahuan tersebut serta tentang apa yang dikaji oleh pengetahuan
tersebut membedakan antara jenis pengetahuan yang satu dengan yang lainnya.
Pengetahuan dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama,
manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan
pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua adalah kemampuan
berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara
berpikir seperti ini disebut penalaran. Filsafat ilmu memberikan pendasaran
logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus
dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan
dipergunakan secara umum.
Filsafat
ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat
ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari
ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini,
filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat
ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan
bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana
konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan
serta memanfaatkan alam melalui teknologi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana berfikir filosofis tentang hakikat
sesuatu?
2. Bagaimana pengertian filsafat hokum islam?
3. Bagaimana pengertian filsafat dan
karakteristiknya?
4. Apa pengertian hikmah dan karakteristiknya?
5. Apa pengertian syariah dan fiqh serta
karakteristiknya?
6. Apa pengertian tasryi dan prinsip-prinsipnya?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan
makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui berfikir filosofis tentang
hakikat sesuatu
2. Untuk mengetahui pengertian filsafat hokum
islam
3. Untuk mengetahui pengertian filsafat dan
karakteristiknya
4. Untuk mengetahui pengertian hikmah dan
karakteristiknya
5. Untuk mengetahui pengertian syariah dan fiqh
serta karakteristiknya
6. Untuk mengetahui pengertian tasryi dan
prinsip-prinsipnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Berpikir
Filosofis tentang Hakikat Sesuatu
Berfilsafat
berarti berpikir. Meski tidak sernua aktivitas berpikir dapat disebut
berfilsafat. Oleh karena itu, butuh ciri dan butuh karakter tertentu dalam
berpikir filsafat. Dengan demikian, suatu kerangka berpikir tertentu, baru
disebut berfilsafat apabila memenuhi tiga ciri ini. Ketiga ciri dimaksud
adalah: [1]
1. Radikal
Radik (radix/Yunani) yang berarti akar/Indonesia.
Berpikir radikal artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan. Berpikir
terhadap sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung, tidak ada sesuatu
yang terlarang untuk dipikirkan. Asumsi yang menyebut bahwa, “Pikirkanlah
ciptaan Tuhan dan jangan memikirkan Dzat Tuhan”, yang mengandung pembatasan
dalam melakukan kerja berpikir, termasuk tidak dalam posisi cara berpikir
kefilsafatan.
Ciri berpikir kefilsafatan, segala sesuatu boleh
dipikirkan, tentu sepanjang pemikiran itu, masih memungkinkan untuk dipikirkan.
Contoh, seorang filosof selalu meragukan dan selalu memberikan pertanyaan
terhadap kebenaran atau pengetahuan yang diperolehnya. Misalnya, ia
mempertanyakan mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian
yang menghasilkan simpulan benar-salah itu dilakukan berdasarkan kriteria
tersebut? Apakah sesuatu yang dianggap benar menurut kriteria sendiri atau ada
orang lain yang memiliki kriteria yang sama? Lalu benar sendiri itu apa?
Pertanyaan selalu muncul seperti sebuah lingkaran. Artinya
pertanyaan-pertanyaan akan selalu muncul secara berkelindan.
2. Sistemik
Sistemik adalah berpikir logis, yang bergerak selangkah
demi selangkah (step by step), penuh kesadaran, berurutan dan penuh rasa
tanggungjawab. Ciri ini penting dilakukan untuk menghindari terjadinya jumping
conclusion dalam membuat rumusan suatu kesimpulan. Seorang filosof slalu
berpikir setahap demiki setahap. setelah satu tahapan diselesaikan, ia akan
menuju ke tahap berikutnya.
3. Universal
Universal artinya berpikir menyeluruh, tidak terbatas
pada bagian-bagian ter ten tip tetapi mencakup keseluruhan aspek, yang konkret
dan abstrak atau yang fisik dan metafisik. Misalnya, seorang filosof tidak akan
pernah puas mengenal ilmu hanya dari perspektif ilmu itu sendiri. la ingin
melihat ilmu dalam perspektif yang lain, la ingin menghubungkan ilmu dengan
aspek-aspek lain. Contohnya ia ingin melihat kaitan ilmu dengan moral atau
kaitan ilmu dengan agama. la ingin mengetahui apakah ilmu yang diketahuinya itu
membawa manfaat atau tidak bagi pemenuhan hajat umat manusia.
4. Spekulatif
Sifat berpikir spekulatif atau mengandung unsur dugaan
atas fakta atau realitas yang dihadapi. Seorang filosof termasuk selalu
berspekulasi terhadap kebenaran. Karena filosof memiliki cara berpikir yang
spekulatif, maka seorang filosof terus melakukan uji coba dan memberikan
pertanyaan terhadap kebenaran yang dianutnya. Dari proses inilah nanti akan
lahir berbagai ilmu pengetahuan
B.
Pengertian
Filsafat Hukum Islam
Filsafat
menurut bahasa berarti hikmah dan hakim, yang dalam bahasa arab dipakai kata
filsafat dan filisof. Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh
manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode
berpikirnya. Allah berfirman:
يُؤْتِي
الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Tuhan memberikan
hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang diberi hikmat, maka ia
telah diberi kebaikan yang banyak sekali”(QS.Albaqarah:269)
Filsafat
hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia merupakan
filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat hukum islam
adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis
sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam
secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.[2]
Menurut
Azhar Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis,
dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum islam. Filsafat hukum
islam merupakan anak sulung dari filsafat islam.
Dengan
kata lain filsafat hukum islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan
tujuan hukum islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya,
atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara
hukum islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di
muka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat
ini, hukum islam akan benar-benar cocok sepanjang masa di semesta alam.
Maka filsafat
hukum islam itu berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang
terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain filsafat hukum islam bersikap
kritis terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya tidak luput dari kritik
lebih lanjut, sehingga ia dikatakan sebagai seni kritik, dalam arti tidak
pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu jawaban sudah
selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali perdebatan.
Filsafat
hukum islam sebagaimana filsafat lainnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Filsafat hukum islam itu mempunyai dua tugas
yaitu: pertama:tugas kritis. Yaitu mempertanyakan kembali paradigm-paradigma
yang telah mapan di dalam hukum islam.[3]
Kedua:
tugas kontruktif yaitu mempersatukan cabang-cabang hukum islam dalam kesatuan
sistem hukum islam sehingga Nampak bahwa antara satu cabang hukum islam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum islam: dan lain-lain.
C.
Pengertian
Filsafat dan Karakteristiknya
1. Pengertian Karakteristik Filsafat
Membahas tentang Karakteristik bisa diartikan juga
dengan membahas tentang kekhususan atau ciri – ciri dari suatu hal yang akan
menjadi keidentikan atau simbol dari hal tersebut.
Filsafat dapat diidentikan dengan berpikir atau
merenungkan segala sesuatu demi mendapat kepastian sebagai jawaban akhir dan
Filsafat cenderung dengan pemikirannya yang rasional agar nantinya dapat
diterima oleh akal. Perlu digaris bawahi, apakah segala bentuk pemikiran
ataupun perenungan yang dilakukan oleh manusia dapat dianggap sebagai aktivitas
berfilsafat, tentunya tidak. Karena di dalam Filsafat sendiri ada
standar-standar yang digunakan sebagai acuan orang dianggap berfilsafat. Dapat
disimpulkan bahwa segala aktivitas berpikir tidak selalu merujuk pada aktivitas
berfilsafat, namun setiap aktivitas berfilsafat sudah tentu berpikir.
2. Karakteristik Filsafat
Karakteristik yang menjadi tolak ukur dalam berfilsafat
terdapat tiga komponen utama diantaranya:
a)
Radikal
Dari
segi bahasa radikal berasal dari kata radix yang berarti akar atau disebut juga
dengan arche. Berpikir radikal, artinya berpikir sampai keakar-akarnya, tidak
tanggung-tanggung, sampai kepada konsekuensinya yang terakhir, berpikir itu
tidak separo-separo, tidak berhenti di jalan, tetapi terus sampai ke ujungnya.
Hal ini pula yang menjadikan ciri khas yang dimiliki Filsafat berbeda dengan
ilmu pengetahuan pada umumnya yang hanya terpacu dari penggunaan asumsi,
sedangkan dalam Filsafat asumsi pun dibicarakan dan diciptakan.[4]
b)
Sangat
Umum atau Universal
Berpikir
universal tidak berpikir khusus, terbatas pada bagian – bagian tertentu, namun
mencakup secara keseluruhan. Yang kemudian dideskripsikan bahwa Filsafat
cenderung mengkaji segala hal yang menyangkut keseluruhan, baik masalah ada dan
tidaknya pun juga termasuk dalam pembahasannya, tanpa ada konsep suatu ilmu
tertentu yang menjadi pembatasannya.
c)
Sistematis
Berpikir
sistematis, artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah
dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertangggung jawab dan saling
hubungan yang teratur. Yang berarti dimana perbincangan mengenai segala sesuatu
itu dilakukan secara teratur, bersistem, tersusun, sehingga urutan dan
tahapannya mengikuti aturan tertentu, dengan akibat mudah atau dapat diikuti
siapa saja. Yang nantinya hasil dari hal tersebut dapat diuji ulang oleh orang
lain dengan tanda kutip hal tersebut dikembalikan lagi bahwa harus hanya ada
satu pengertian saja diantara berbagai asumsi yang berkembang.
Selain
ketiga komponen utama yang menjadi karakteristik dari Filsafat itu sendiri
masih ada beberapa komponen – komponen pendukung yang juga masih memiliki
kaitan, diantaranya :
1)
Faktual
Dideskripsikan
bahwa hasil dari pemikiran Filsafat cenderung sebagai praduga atau anggapan – anggapan rasional
tanpa kungkungan dari adanya dasaran ilmu ilmiah seperti kasus yang ada pada
ilmu lain. Hal ini dikarenakan Filsafat membentuk asumsi, tidak seperti ilmu
pengetahuan kebanyakan yang berdiri diatas dasar adanya asumsi.
2)
Bersangkutan
dengan Nilai
C.J.
Ducasse mengatakan bahwa Filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan,
berupa fakta – fakta, yang disebut penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian
adalah tentang yang baik dan buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya
filsafat sebagai suatu usaha untuk mempertahankan nilai. nilai-nilai tersebut
nanti akan memunculkan terbentuknya tatanan nilai dalam segala aspek kehidupan.
3)
Berkaitan
dengan Arti
Segala
yang berharga dan dianggap perlu dipetahankan keberadaannya dapat disimpulkan
mengandung hal yang berarti. Bagi para filosof – filosof demi mengungkapkan
gagasan yang mengandung kepadatan makna, perlu adanya penciptaan kalimat –
kalimat dengan bahasa yang logis dan tepat (ilmiah). Hal tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari adanya keambiguan atau kesalahpahaman
pemaknaan.
4)
Implikatif
Pemikiran
Filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandung implikasi (akibat logis).
Dari implikasi tersebut diharapkan akan mampu melahirkan pemikiran baru
sehingga akan terjadi proses pemikiran yang dinamis: dari tesis ke anti tesis
kemudian sintesis, dan seterusnya .... sehingga tidak habis – habisnya. Pola
pemikiran yang implikatif (dialektis) akan dapat menyuburkan intelektual.
Sehingga dari hasil pemikiran – pemikiran tersebut masih memiliki kemungkinan
akan adanya rencana tindak lanjut dari segala gagasan yang telah ada.[5]
Filsafat
mempunyai karakteristik sendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.
Yang dapat diartikan bahwa:
a)
Menyeluruh
dalam arti segala yang dijadikan pemikiran ataupun pengkajian di dalam Filsafat
tidak terbatas sekat – sekat aturan yang ada pada ilmu-ilmu lain. Hal ini
membuktikan bahwa pembahasan dalam Filsafat
itu luas dan tidak terpaut dengan satu pemahaman dalam sudut pandang
tertentu, yang dimana hasil dari pengkajian Filsafat dapat digunakan untuk
mengetahui hubungan cabang – cabang ilmu yang beragam.
b)
Mendasar
dalam arti kajian yang dilakukan di dalam Filsafat bersifat menghakikat yang
diartikan bahwa ulasan yang dibahas di dalam Filsafat telah melalui tahapan
detail dan pemikiran yang mendalam. Hal ini, membuat hasil dari pemikiran
Filsafat dapat dijadikan pedoman bagi cabang – cabang ilmu yang lain.
c)
Spekulatif
dalam artian segala hasil pemikiran Filsafat yang dijadikan pedoman oleh ilmu –
ilmu lain, telah membuka celah sebagai cikal bakal terbentuk dan ditemukannya
ilmu – ilmu baru.
D.
Pengertian
Hikmah dan Karakteristiknya
Hikmah
adalah mengetahui rahasia dan faedah dalam tiap-tiap hal. Dalam konteks ushul
fiqh istilah hikmah dibahas ketika ulama ushul membicarakan sifat-sifat yang
dijadikan ilat hukum.
Orang
yang memiliki hikmah disebut al-hakim yaitu orang yang memiliki pengetahuan
yang paling utama dari segala sesuatu. Sebagai metode dakwah Al-Hikmah diartikan
bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan
menarik perhatian orang pada agama dan Tuhan.
Pengertian
hikmah yang paling tepat adalah pengetahuan tentang kebenaran dan
pengalamannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini tidak bisa
dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur’an dan mendalami syariat-syariat islam
serta hakekat iman.
Dari
beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa Al-Hikmah adalah merupakan
kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik
dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam
menjelaskan doktrin-doktrin islam serta realitas yang ada dengan argumentasi
logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh sebab itu Al-Hikmah sebagai sebuah
sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.
E.
Pengertian
Syariah dan Fiqh Serta Karakteristiknya
Fiqih
menurut bahasa artinya mengerti atau faham, sedangkan menurut istilah artinya
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui jalan ijtihad.
Contohnya
adalah pengetahuan tentang wajibnya niat dalam ber-wudhu, difahami dari sabda
Rasulullah SAW., “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, …”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang tanpa melalui jalan ijtihad tidak
disebut fiqih, seperti wajibnya shalat
lima waktu, haramnya zina dan khomer tidaklah disebut fiqih karena pengetahuan
tentang itu tidak melalui jalan ijtihad.[6]
Ulama
membagi fiqih bermacam-macam, di antara pembagian fiqih adalah Fiqih Ibadat
(membahas tentang tata cara ibadah seperti bersuci, shalat, puasa, dll.), Fiqih
Muamalat (membahas tata cara bermuamalah seperti jual beli, pinjam meminjam,
gadai, dll.), Fiqih Munakahat (membahas tentang hal-hal yang berhubungan
pernikahan) dan lain-lain.
Syariat
menurut bahasa artinya menerangkan atau menyatakan, sedangkan menurut istilah
artinya hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya dengan
perantaraan Rasulullah agar dilaksanakan dengan dasar iman, baik mengenai
amaliyah lahiriyah, maupun akhlak dan aqaid (kepercayaan yang bersifat
bathiniyah).
Kata
syariat di dalam Al Quran disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu:“Dia telah
mensyari’atkan bagi kamu
tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. …” (QS. 42:13)
“Kemudian Kami jadikan
kamu berada di atas suatu syariat dari
urusan , maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. 45:18)
“… Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
…”. (QS. 5:48)
Di
dalam Islam kita dapatkan aturan-aturan, dan aturan itu ada dua macam,
Pertama,
aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah dengan ayat-ayat Al Quran atau hadits
rasulullah, disebut tasyri’ ilahi.
Kedua,
aturan-aturan yang ditetapkan oleh para mujtahid (dengan jalan menggali dari Al
Quran atau Hadits), disebut tasyri’ wadh’i. Yang kedua inilah yang sering
disebut dengan fiqih.
Dua
aturan tersebut pada hakikatnya adalah sama-sama aturan Allah yang wajib kita
jalankan dalam semua sisi kehidupan kita, itulah Syariat Islam.
Karakteristik Fiqih Islam
1.
Meniadakan
Kesempitan atau Kesulitan
2.
Tidak
banyak hukum yang dibebankan atas seorang hamba untuk melaksanakannya.
3.
Memperhatikan
kemaslahatan dan perkembangan hokum
4.
Memperhatikan
kemaslahatan manusia
5.
Mewujudkan
keadilan
F.
Pengertian
Tasyri dan Prinsip-prinsipnya
Secara
etimologis, tarikh dalam bahasa arab berarti buku tahunan, perhitungan tahun,
buku riwayat, atau sejarah. Dalam bahasa Inggris, tarikh diterjemahkan history,
yang berarti pengalaman masa lampau umat manusia, the past experience of
mankind. Pengertian selanjutnya, tarikh bermakna sejarah sebagai catatan yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau yang diabadikan dalam
laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Dengan demikian, tarikh
merupakan pembahasan segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa tertentu pada masa lampau yang disusun secara sistematis
dan kronologis.[7]
Sedangkan
tasyri’ tampaknya lebih merupakan istilah teknis tentang proses pembentukan
fikih atau perundang-undangan. Secara etimologis, tasyri’ berarti pembuatan
undang-undang atau peraturan-peraturan (taqnin). Menurut Abdul Wahab Khalaf,
tasyri’ adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum
perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai
keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Menurut
batasan ini, tasyri’ merupakan produk ijtihad manusia dalam proses pembentukan
perundang-undangan (fikih). Kata tasyri’ sendiri berasal daari kata syariat.
Syariat secara bahasa, sebagaimana dikemukakan Muhammad Sya’ban Ismail yang dinukil
oleh Dr. Jaih Mubarok, adalah al-utbah (lekuk-liku limbah), al-atabah (ambang
pintu dan tangga), maurid al-syaribah (jalan tempat peminum mencari air) dan
al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus).
Adapun
secara terminologi, syariat adalah:
ما
سنه الله لعباده من احكام عقائدية او عملية او خلقية
Artinya: “Apa yang
telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya berupa hukum-hukum, baik hukum
keyakinan (‘aqadiyah), hukum amaliah maupun hukum akhlak.”
Dengan
demikian, syariat merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada Nabi
Muhammad bagi manusia yang mencakup keyakinan
(aqaid), perbuatan (‘amaliah) dan akhlak.
Adapun tarikh al-tasyri’ al-islam, seperti
dikemukakan Ali al-Sayyis, adalah:
ألعلم
الذى يبحث فيه عن حا لة الفقه الإسلامى في عصر الرسالة وما بعده من العصور من حيث
التعيين الأزمنة التى أنشأت فيها تلك الأحكام و بيان ما طرأ فيها من نسخ أو تخصيص
و تفريع وما سوى ذلك و عن حالة الفقهاء والمجتهدين وما كان لهم من شأن تلك الأحكام
Artinya: “Ilmu yang
membahas keadaan hukum-hukum (fiqh) pada masa Nabi dan sesudahnya –termasuk
penjelasan dan periodesasinya- yang padanya berkembang hukum itu, menjelaskan
karakteristiknya (nasikh, takhsish dan sebagainya), juga keadaan fuqaha dan
mujtahidin, serta merumuskan hukum-hukum itu.”
Menurut batasan diatas, tampak bahwa tarikh
al-tasyri’ al-islam merupakan pembahasan tentang segala aktivitas manusia dalam
pembentukan perundang-undanganan Islam dimasa lampau, baik masa Nabi, sahabat
maupun tabi’in (para mujtahid) sampai sekarang, secara sistematis dan
kronologis.
Prinsip
Prinsip Tasyri’ dalam hukum Islam menjelaskan beragai prinsip hukum islam.
Prinsip-prinsip hukum islam yang dijelaskan mu’arikh adalah sebagai berikut: [8]
1. Menegakkan Maslahat
Maslahat berasal dari kata as-sulh atau al-islah yang berarti
damai dan tenteram. Damai berorientasi pada fisik, sedangkan tenteram
berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaskud maslahat secara terminologi
adalah perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Maslahat adalah
dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki
landasan yang kuat dalam al-Quran.
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan
individu dan masyarakat dalam dua bidang dunia dan akhirat. Inilah dasar
tegaknya semua syariat Islam, tidak ada satu bidang keyakinan atau aktivitas
insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada pembahasannya dalam syariat Islam,
dikaji dengan segala cara pandang yang luas dan mendalam.
2. Menegakkan Keadilan (Tahqiq al-‘Adalah)
Keadilan memiliki beberapa arti. Secara bahasa, keadilan
adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahallihi). Salah
satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang
untuk semua manusia untuk menyatukan
urusan dalam ruang limgkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan.
Dalam beberapa ayat al-Quran dijumpai perintah untuk
berlaku adil, diantaranya sebagai berikut: “…Berlakulah adil, karena adil itu
lebih dekat kepada taqwa…” (QS. Al-Maidah: 8),“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
berlaku adil dan berbuat kebajukan…” (QS. An-Nahl: 90), dan “…Maka damaikanlah
keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujarat: 9)
3. Tidak Menyulitkan (‘Adam al-Haraj)
Al-Haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit,
sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya adalah segala sesuatu yang
menyulitkan badan, jiwa atau harta secara berlebihan, baik sekarang maupun
dikemudian hari. (Shalih ibn Abd Allah ibn Hamid).[9]
Hukum Islam datang masih dalam batas kemampuan seorang
mukallaf, tidak diluar batas kemampuan dan sulit diemban. Dan ini tidak
bertentangan dengan tabiat dan persepsi manusia, sebab semua pekerjaan dalam
hidup ini pasti ada masyaqah (beban) dan kepenatan sampai kebutuhan primer
sekalipun tetap ada bebannya seperti makan, minum dan mencari rizki.
4. Menyedikitkan Beban (Taqlil al-Taklif)
Taklif secara
bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara
istilah, yang dimaksud taklif adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga dipandang
taat dan (tuntutan) untuk menjauhi cegahan Allah.
Dengan demikian yang dimaksud taqlil taklif secara
terminology adalah menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat; mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi cegahan-Nya.
5. Berangsur-angsur (al-Tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara gradual atau tadrij, dan didasarkan pada
al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Prinsip tadrij memberikan
jalan kepada kita untuk melakukan pembaruan
karena hidup manusia mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah
memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan
manusia dalam berbagai bidang, terutama teknologi. Akan tetapi, prinsip ini
sering dipraktikan oleh umat Islam pada umumnya sebagai perubahan yang tidak
terukur. Sesuai dengan tuntutan modernitas, hendaklah setiap perubahan
menggunakan tujuan dan target sehingga berjalan secara sistematis.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa : filsafat menurut
bahasa berarti hikmah dan hakim, yang dalam bahasa arab dipakai kata filsafat
dan filisof. Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia
dengan melalui alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode
berpikirnya.
Fiqih
menurut bahasa artinya mengerti atau faham, sedangkan menurut istilah artinya
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui jalan ijtihad.
Contohnya
adalah pengetahuan tentang wajibnya niat dalam ber-wudhu, difahami dari sabda
Rasulullah SAW., “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, …”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang tanpa melalui jalan ijtihad tidak
disebut fiqih, seperti wajibnya shalat
lima waktu, haramnya zina dan khomer tidaklah disebut fiqih karena pengetahuan
tentang itu tidak melalui jalan ijtihad.
B.
Saran
Demikainlah
pembahasan makalah mengenai substansi filsafat hokum islam, semoga dapat
bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi
untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Logos Wacana Ilmu:Ciputat, 1997)
Zaini dahlan,
Amir Syarifuddin, Filsafat Hukum Islam, (bumi aksara: Jakarta, 1999)
Burhanuddin
Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003)
A.Susanto, Filsafat
Ilmu suatu kajian dalam Dimensi Ontologis,Epistemologis,dan Aksiologis
(Jakarta: PT Bumi Aksara,2013)
M. Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bulan Bintang, Jakarta, 1967)
Jaih Mubarok, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Banung: PT Remaja Rosdakarya, 2003)
Hasan Khalil,
Rasyad, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,
2009)
[1] Sumarna. Cecep. Filsafat Ilmu : Dari Hakikat Menuju Nilai. (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2006), h. 31
[2] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Logos Wacana
Ilmu:Ciputat, 1997), hal 14
[3] Zaini dahlan, Amir Syarifuddin, Filsafat Hukum Islam, (bumi
aksara: Jakarta, 1999), hal 177
[4] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2003),hal.60.
[5] A.Susanto, Filsafat Ilmu suatu kajian dalam Dimensi
Ontologis,Epistemologis,dan Aksiologis (Jakarta: PT Bumi Aksara,2013),
hal.14
[6] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bulan Bintang,
Jakarta, 1967), Hal 7
[7] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Banung:
PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 3.
[8] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Banung:
PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 5
[9] Hasan Khalil, Rasyad, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum
Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 28
No comments:
Post a Comment