Monday, September 24, 2018

Substansi Sistem Hukum Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
usia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat  statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya.
Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Berbedanya cara dalam mendapatkan pengetahuan tersebut serta tentang apa yang dikaji oleh pengetahuan tersebut membedakan antara jenis pengetahuan yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana berfikir filosofis tentang hakikat sesuatu?
2.      Bagaimana pengertian filsafat hokum islam?
3.      Bagaimana pengertian filsafat dan karakteristiknya?
4.      Apa pengertian hikmah dan karakteristiknya?
5.      Apa pengertian syariah dan fiqh serta karakteristiknya?
6.      Apa pengertian tasryi dan prinsip-prinsipnya?

C.     Tujuan Pembahasan 
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui berfikir filosofis tentang hakikat sesuatu
2.      Untuk mengetahui pengertian filsafat hokum islam
3.      Untuk mengetahui pengertian filsafat dan karakteristiknya
4.      Untuk mengetahui pengertian hikmah dan karakteristiknya
5.      Untuk mengetahui pengertian syariah dan fiqh serta karakteristiknya
6.      Untuk mengetahui pengertian tasryi dan prinsip-prinsipnya


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Berpikir Filosofis tentang Hakikat Sesuatu
Berfilsafat berarti berpikir. Meski tidak sernua aktivitas berpikir dapat disebut berfilsafat. Oleh karena itu, butuh ciri dan butuh karakter tertentu dalam berpikir filsafat. Dengan demikian, suatu kerangka berpikir tertentu, baru disebut berfilsafat apabila memenuhi tiga ciri ini. Ketiga ciri dimaksud adalah: [1]
1.      Radikal
Radik (radix/Yunani) yang berarti akar/Indonesia. Berpikir radikal artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan. Berpikir terhadap sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung, tidak ada sesuatu yang terlarang untuk dipikirkan. Asumsi yang menyebut bahwa, “Pikirkanlah ciptaan Tuhan dan jangan memikirkan Dzat Tuhan”, yang mengandung pembatasan dalam melakukan kerja berpikir, termasuk tidak dalam posisi cara berpikir kefilsafatan.
Ciri berpikir kefilsafatan, segala sesuatu boleh dipikirkan, tentu sepanjang pemikiran itu, masih memungkinkan untuk dipikirkan. Contoh, seorang filosof selalu meragukan dan selalu memberikan pertanyaan terhadap kebenaran atau pengetahuan yang diperolehnya. Misalnya, ia mempertanyakan mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian yang menghasilkan simpulan benar-salah itu dilakukan berdasarkan kriteria tersebut? Apakah sesuatu yang dianggap benar menurut kriteria sendiri atau ada orang lain yang memiliki kriteria yang sama? Lalu benar sendiri itu apa? Pertanyaan selalu muncul seperti sebuah lingkaran. Artinya pertanyaan-pertanyaan akan selalu muncul secara berkelindan.

2.      Sistemik
Sistemik adalah berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah (step by step), penuh kesadaran, berurutan dan penuh rasa tanggungjawab. Ciri ini penting dilakukan untuk menghindari terjadinya jumping conclusion dalam membuat rumusan suatu kesimpulan. Seorang filosof slalu berpikir setahap demiki setahap. setelah satu tahapan diselesaikan, ia akan menuju ke tahap berikutnya.
3.      Universal
Universal artinya berpikir menyeluruh, tidak terbatas pada bagian-bagian ter ten tip tetapi mencakup keseluruhan aspek, yang konkret dan abstrak atau yang fisik dan metafisik. Misalnya, seorang filosof tidak akan pernah puas mengenal ilmu hanya dari perspektif ilmu itu sendiri. la ingin melihat ilmu dalam perspektif yang lain, la ingin menghubungkan ilmu dengan aspek-aspek lain. Contohnya ia ingin melihat kaitan ilmu dengan moral atau kaitan ilmu dengan agama. la ingin mengetahui apakah ilmu yang diketahuinya itu membawa manfaat atau tidak bagi pemenuhan hajat umat manusia.
4.      Spekulatif
Sifat berpikir spekulatif atau mengandung unsur dugaan atas fakta atau realitas yang dihadapi. Seorang filosof termasuk selalu berspekulasi terhadap kebenaran. Karena filosof memiliki cara berpikir yang spekulatif, maka seorang filosof terus melakukan uji coba dan memberikan pertanyaan terhadap kebenaran yang dianutnya. Dari proses inilah nanti akan lahir berbagai ilmu pengetahuan

B.     Pengertian Filsafat Hukum Islam
Filsafat menurut bahasa berarti hikmah dan hakim, yang dalam bahasa arab dipakai kata filsafat dan filisof. Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode berpikirnya. Allah berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Tuhan memberikan hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang diberi hikmat, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak sekali”(QS.Albaqarah:269)
Filsafat hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia merupakan filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat hukum islam adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.[2]
Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum islam. Filsafat hukum islam merupakan anak sulung dari filsafat islam.
Dengan kata lain filsafat hukum islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini, hukum islam akan benar-benar cocok sepanjang masa di semesta alam.
Maka filsafat hukum islam itu berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain filsafat hukum islam bersikap kritis terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya tidak luput dari kritik lebih lanjut, sehingga ia dikatakan sebagai seni kritik, dalam arti tidak pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu jawaban sudah selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali perdebatan.
Filsafat hukum islam sebagaimana filsafat lainnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Filsafat hukum islam itu mempunyai dua tugas yaitu: pertama:tugas kritis. Yaitu mempertanyakan kembali paradigm-paradigma yang telah mapan di dalam hukum islam.[3]
Kedua: tugas kontruktif yaitu mempersatukan cabang-cabang hukum islam dalam kesatuan sistem hukum islam sehingga Nampak bahwa antara satu cabang hukum islam mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum islam: dan lain-lain.

C.     Pengertian Filsafat dan Karakteristiknya
1.      Pengertian Karakteristik Filsafat
Membahas tentang Karakteristik bisa diartikan juga dengan membahas tentang kekhususan atau ciri – ciri dari suatu hal yang akan menjadi keidentikan atau simbol dari hal tersebut.
Filsafat dapat diidentikan dengan berpikir atau merenungkan segala sesuatu demi mendapat kepastian sebagai jawaban akhir dan Filsafat cenderung dengan pemikirannya yang rasional agar nantinya dapat diterima oleh akal. Perlu digaris bawahi, apakah segala bentuk pemikiran ataupun perenungan yang dilakukan oleh manusia dapat dianggap sebagai aktivitas berfilsafat, tentunya tidak. Karena di dalam Filsafat sendiri ada standar-standar yang digunakan sebagai acuan orang dianggap berfilsafat. Dapat disimpulkan bahwa segala aktivitas berpikir tidak selalu merujuk pada aktivitas berfilsafat, namun setiap aktivitas berfilsafat sudah tentu berpikir.
2.      Karakteristik Filsafat
Karakteristik yang menjadi tolak ukur dalam berfilsafat terdapat tiga komponen utama diantaranya:
a)      Radikal
Dari segi bahasa radikal berasal dari kata radix yang berarti akar atau disebut juga dengan arche. Berpikir radikal, artinya berpikir sampai keakar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekuensinya yang terakhir, berpikir itu tidak separo-separo, tidak berhenti di jalan, tetapi terus sampai ke ujungnya. Hal ini pula yang menjadikan ciri khas yang dimiliki Filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya yang hanya terpacu dari penggunaan asumsi, sedangkan dalam Filsafat asumsi pun dibicarakan dan diciptakan.[4]
b)      Sangat Umum atau Universal
Berpikir universal tidak berpikir khusus, terbatas pada bagian – bagian tertentu, namun mencakup secara keseluruhan. Yang kemudian dideskripsikan bahwa Filsafat cenderung mengkaji segala hal yang menyangkut keseluruhan, baik masalah ada dan tidaknya pun juga termasuk dalam pembahasannya, tanpa ada konsep suatu ilmu tertentu yang menjadi pembatasannya.
c)      Sistematis
Berpikir sistematis, artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertangggung jawab dan saling hubungan yang teratur. Yang berarti dimana perbincangan mengenai segala sesuatu itu dilakukan secara teratur, bersistem, tersusun, sehingga urutan dan tahapannya mengikuti aturan tertentu, dengan akibat mudah atau dapat diikuti siapa saja. Yang nantinya hasil dari hal tersebut dapat diuji ulang oleh orang lain dengan tanda kutip hal tersebut dikembalikan lagi bahwa harus hanya ada satu pengertian saja diantara berbagai asumsi yang berkembang.
Selain ketiga komponen utama yang menjadi karakteristik dari Filsafat itu sendiri masih ada beberapa komponen – komponen pendukung yang juga masih memiliki kaitan, diantaranya :
1)      Faktual
Dideskripsikan bahwa hasil dari pemikiran Filsafat cenderung sebagai  praduga atau anggapan – anggapan rasional tanpa kungkungan dari adanya dasaran ilmu ilmiah seperti kasus yang ada pada ilmu lain. Hal ini dikarenakan Filsafat membentuk asumsi, tidak seperti ilmu pengetahuan kebanyakan yang berdiri diatas dasar adanya asumsi.
2)      Bersangkutan dengan Nilai
C.J. Ducasse mengatakan bahwa Filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan, berupa fakta – fakta, yang disebut penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian adalah tentang yang baik dan buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai suatu usaha untuk mempertahankan nilai. nilai-nilai tersebut nanti akan memunculkan terbentuknya tatanan nilai dalam segala aspek kehidupan.
3)      Berkaitan dengan Arti
Segala yang berharga dan dianggap perlu dipetahankan keberadaannya dapat disimpulkan mengandung hal yang berarti. Bagi para filosof – filosof demi mengungkapkan gagasan yang mengandung kepadatan makna, perlu adanya penciptaan kalimat – kalimat dengan bahasa yang logis dan tepat (ilmiah). Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghindari adanya keambiguan atau kesalahpahaman pemaknaan.
4)      Implikatif
Pemikiran Filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandung implikasi (akibat logis). Dari implikasi tersebut diharapkan akan mampu melahirkan pemikiran baru sehingga akan terjadi proses pemikiran yang dinamis: dari tesis ke anti tesis kemudian sintesis, dan seterusnya .... sehingga tidak habis – habisnya. Pola pemikiran yang implikatif (dialektis) akan dapat menyuburkan intelektual. Sehingga dari hasil pemikiran – pemikiran tersebut masih memiliki kemungkinan akan adanya rencana tindak lanjut dari segala gagasan yang telah ada.[5]
Filsafat mempunyai karakteristik sendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Yang dapat diartikan bahwa:
a)      Menyeluruh dalam arti segala yang dijadikan pemikiran ataupun pengkajian di dalam Filsafat tidak terbatas sekat – sekat aturan yang ada pada ilmu-ilmu lain. Hal ini membuktikan bahwa pembahasan dalam Filsafat  itu luas dan tidak terpaut dengan satu pemahaman dalam sudut pandang tertentu, yang dimana hasil dari pengkajian Filsafat dapat digunakan untuk mengetahui hubungan cabang – cabang ilmu yang beragam.
b)      Mendasar dalam arti kajian yang dilakukan di dalam Filsafat bersifat menghakikat yang diartikan bahwa ulasan yang dibahas di dalam Filsafat telah melalui tahapan detail dan pemikiran yang mendalam. Hal ini, membuat hasil dari pemikiran Filsafat dapat dijadikan pedoman bagi cabang – cabang ilmu yang lain.
c)      Spekulatif dalam artian segala hasil pemikiran Filsafat yang dijadikan pedoman oleh ilmu – ilmu lain, telah membuka celah sebagai cikal bakal terbentuk dan ditemukannya ilmu – ilmu baru.
D.    Pengertian Hikmah dan Karakteristiknya
Hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah dalam tiap-tiap hal. Dalam konteks ushul fiqh istilah hikmah dibahas ketika ulama ushul membicarakan sifat-sifat yang dijadikan ilat hukum.
Orang yang memiliki hikmah disebut al-hakim yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu. Sebagai metode dakwah Al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang pada agama dan Tuhan.
Pengertian hikmah yang paling tepat adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengalamannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur’an dan mendalami syariat-syariat islam serta hakekat iman.
Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa Al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan doktrin-doktrin islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh sebab itu Al-Hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.

E.     Pengertian Syariah dan Fiqh Serta Karakteristiknya
Fiqih menurut bahasa artinya mengerti atau faham, sedangkan menurut istilah artinya pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui jalan ijtihad.
Contohnya adalah pengetahuan tentang wajibnya niat dalam ber-wudhu, difahami dari sabda Rasulullah SAW., “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, …”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang tanpa melalui jalan ijtihad tidak disebut fiqih,  seperti wajibnya shalat lima waktu, haramnya zina dan khomer tidaklah disebut fiqih karena pengetahuan tentang itu tidak melalui jalan ijtihad.[6]
Ulama membagi fiqih bermacam-macam, di antara pembagian fiqih adalah Fiqih Ibadat (membahas tentang tata cara ibadah seperti bersuci, shalat, puasa, dll.), Fiqih Muamalat (membahas tata cara bermuamalah seperti jual beli, pinjam meminjam, gadai, dll.), Fiqih Munakahat (membahas tentang hal-hal yang berhubungan pernikahan) dan lain-lain.
Syariat menurut bahasa artinya menerangkan atau menyatakan, sedangkan menurut istilah artinya hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasulullah agar dilaksanakan dengan dasar iman, baik mengenai amaliyah lahiriyah, maupun akhlak dan aqaid (kepercayaan yang bersifat bathiniyah).
Kata syariat di dalam Al Quran disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu:“Dia  telah  mensyari’atkan  bagi  kamu  tentang  agama  apa  yang  telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan  kepada Ibrahim,  Musa  dan  Isa  yaitu : Tegakkanlah  agama  dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. …” (QS. 42:13)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat  dari urusan , maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. 45:18)

“… Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. …”. (QS. 5:48)

Di dalam Islam kita dapatkan aturan-aturan, dan aturan itu ada dua macam,
Pertama, aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah dengan ayat-ayat Al Quran atau hadits rasulullah, disebut tasyri’ ilahi.
Kedua, aturan-aturan yang ditetapkan oleh para mujtahid (dengan jalan menggali dari Al Quran atau Hadits), disebut tasyri’ wadh’i. Yang kedua inilah yang sering disebut dengan fiqih.
Dua aturan tersebut pada hakikatnya adalah sama-sama aturan Allah yang wajib kita jalankan dalam semua sisi kehidupan kita, itulah Syariat Islam.
Karakteristik Fiqih Islam
1.      Meniadakan Kesempitan atau Kesulitan
2.      Tidak banyak hukum yang dibebankan atas seorang hamba untuk melaksanakannya.
3.      Memperhatikan kemaslahatan dan perkembangan hokum
4.      Memperhatikan kemaslahatan manusia
5.      Mewujudkan keadilan

F.      Pengertian Tasyri dan Prinsip-prinsipnya
Secara etimologis, tarikh dalam bahasa arab berarti buku tahunan, perhitungan tahun, buku riwayat, atau sejarah. Dalam bahasa Inggris, tarikh diterjemahkan history, yang berarti pengalaman masa lampau umat manusia, the past experience of mankind. Pengertian selanjutnya, tarikh bermakna sejarah sebagai catatan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau yang diabadikan dalam laporan tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Dengan demikian, tarikh merupakan pembahasan segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan kronologis.[7]
Sedangkan tasyri’ tampaknya lebih merupakan istilah teknis tentang proses pembentukan fikih atau perundang-undangan. Secara etimologis, tasyri’ berarti pembuatan undang-undang atau peraturan-peraturan (taqnin). Menurut Abdul Wahab Khalaf, tasyri’ adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Menurut batasan ini, tasyri’ merupakan produk ijtihad manusia dalam proses pembentukan perundang-undangan (fikih). Kata tasyri’ sendiri berasal daari kata syariat. Syariat secara bahasa, sebagaimana dikemukakan Muhammad Sya’ban Ismail yang dinukil oleh Dr. Jaih Mubarok, adalah al-utbah (lekuk-liku limbah), al-atabah (ambang pintu dan tangga), maurid al-syaribah (jalan tempat peminum mencari air) dan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus).
Adapun secara terminologi, syariat adalah:
ما سنه الله لعباده من احكام عقائدية او عملية او خلقية
Artinya: “Apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya berupa hukum-hukum, baik hukum keyakinan (‘aqadiyah), hukum amaliah maupun hukum akhlak.”
Dengan demikian, syariat merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah kepada Nabi Muhammad bagi manusia yang mencakup keyakinan  (aqaid), perbuatan (‘amaliah) dan akhlak.           
 Adapun tarikh al-tasyri’ al-islam, seperti dikemukakan Ali al-Sayyis, adalah:
ألعلم الذى يبحث فيه عن حا لة الفقه الإسلامى في عصر الرسالة وما بعده من العصور من حيث التعيين الأزمنة التى أنشأت فيها تلك الأحكام و بيان ما طرأ فيها من نسخ أو تخصيص و تفريع وما سوى ذلك و عن حالة الفقهاء والمجتهدين وما كان لهم من شأن تلك الأحكام
Artinya: “Ilmu yang membahas keadaan hukum-hukum (fiqh) pada masa Nabi dan sesudahnya –termasuk penjelasan dan periodesasinya- yang padanya berkembang hukum itu, menjelaskan karakteristiknya (nasikh, takhsish dan sebagainya), juga keadaan fuqaha dan mujtahidin, serta merumuskan hukum-hukum itu.”
 Menurut batasan diatas, tampak bahwa tarikh al-tasyri’ al-islam merupakan pembahasan tentang segala aktivitas manusia dalam pembentukan perundang-undanganan Islam dimasa lampau, baik masa Nabi, sahabat maupun tabi’in (para mujtahid) sampai sekarang, secara sistematis dan kronologis.
Prinsip Prinsip Tasyri’ dalam hukum Islam menjelaskan beragai prinsip hukum islam. Prinsip-prinsip hukum islam yang dijelaskan mu’arikh adalah sebagai berikut: [8]
1.      Menegakkan Maslahat
Maslahat berasal dari kata as-sulh atau al-islah yang berarti damai dan tenteram. Damai berorientasi pada fisik, sedangkan tenteram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaskud maslahat secara terminologi adalah perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Maslahat adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki landasan  yang kuat dalam al-Quran.
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua bidang dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam, tidak ada satu bidang keyakinan atau aktivitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada pembahasannya dalam syariat Islam, dikaji dengan segala cara pandang yang luas dan mendalam.
2.      Menegakkan Keadilan (Tahqiq al-‘Adalah)
Keadilan memiliki beberapa arti. Secara bahasa, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahallihi). Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua manusia untuk  menyatukan urusan dalam ruang limgkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan.
Dalam beberapa ayat al-Quran dijumpai perintah untuk berlaku adil, diantaranya sebagai berikut: “…Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…” (QS. Al-Maidah: 8),“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajukan…” (QS. An-Nahl: 90), dan “…Maka damaikanlah keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujarat: 9)
3.      Tidak Menyulitkan (‘Adam al-Haraj)           
Al-Haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara berlebihan, baik sekarang maupun dikemudian hari. (Shalih ibn Abd Allah ibn Hamid).[9]
Hukum Islam datang masih dalam batas kemampuan seorang mukallaf, tidak diluar batas kemampuan dan sulit diemban. Dan ini tidak bertentangan dengan tabiat dan persepsi manusia, sebab semua pekerjaan dalam hidup ini pasti ada masyaqah (beban) dan kepenatan sampai kebutuhan primer sekalipun tetap ada bebannya seperti makan, minum dan mencari rizki.
4.      Menyedikitkan Beban (Taqlil al-Taklif)
Taklif  secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah, yang dimaksud taklif adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga dipandang taat dan (tuntutan) untuk menjauhi cegahan Allah.
Dengan demikian yang dimaksud taqlil taklif secara terminology adalah menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat; mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi cegahan-Nya.
5.      Berangsur-angsur (al-Tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara gradual atau tadrij, dan didasarkan pada al-Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Prinsip tadrij memberikan jalan kepada kita untuk melakukan pembaruan  karena hidup manusia mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai bidang, terutama teknologi. Akan tetapi, prinsip ini sering dipraktikan oleh umat Islam pada umumnya sebagai perubahan yang tidak terukur. Sesuai dengan tuntutan modernitas, hendaklah setiap perubahan menggunakan tujuan dan target sehingga berjalan secara sistematis.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa : filsafat menurut bahasa berarti hikmah dan hakim, yang dalam bahasa arab dipakai kata filsafat dan filisof. Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode berpikirnya.
Fiqih menurut bahasa artinya mengerti atau faham, sedangkan menurut istilah artinya pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui jalan ijtihad.
Contohnya adalah pengetahuan tentang wajibnya niat dalam ber-wudhu, difahami dari sabda Rasulullah SAW., “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, …”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang tanpa melalui jalan ijtihad tidak disebut fiqih,  seperti wajibnya shalat lima waktu, haramnya zina dan khomer tidaklah disebut fiqih karena pengetahuan tentang itu tidak melalui jalan ijtihad.

B.     Saran
Demikainlah pembahasan makalah mengenai substansi filsafat hokum islam, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Logos Wacana Ilmu:Ciputat, 1997)

Zaini dahlan, Amir Syarifuddin, Filsafat Hukum Islam, (bumi aksara: Jakarta, 1999)

Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003)

A.Susanto, Filsafat Ilmu suatu kajian dalam Dimensi Ontologis,Epistemologis,dan Aksiologis (Jakarta: PT Bumi Aksara,2013)

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bulan Bintang, Jakarta, 1967)

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Banung: PT Remaja Rosdakarya, 2003)

Hasan Khalil, Rasyad, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)


[1] Sumarna. Cecep. Filsafat Ilmu : Dari Hakikat Menuju Nilai.  (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2006), h. 31
[2] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Logos Wacana Ilmu:Ciputat, 1997), hal 14
[3] Zaini dahlan, Amir Syarifuddin, Filsafat Hukum Islam, (bumi aksara: Jakarta, 1999), hal 177
[4] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003),hal.60.
[5] A.Susanto, Filsafat Ilmu suatu kajian dalam Dimensi Ontologis,Epistemologis,dan Aksiologis (Jakarta: PT Bumi Aksara,2013), hal.14
[6] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bulan Bintang, Jakarta, 1967), Hal 7
[7] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Banung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 3.
[8] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Banung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 5
[9] Hasan Khalil, Rasyad, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 28

No comments:

Post a Comment