BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tafsir merupakan suatu
upaya, dengan cara mencurahkan segenap pikiran untuk mengetahui maksud ayat
Quran yang dilakuakan oleh manusia. Corak tafsir pun bermacam-macam, ada yang
mendasarkan tafsirnya pada riwayat dari sahabat, tabiin, atau tabi at tabi’in.
Kemudian ada pula yang mendasarkan tafsirnya pada dirayah (akal). Dan yang
terakhir corak penafsiran yang mendasarkan pada isyarah (tanda), tafsir ini
merupakan karya dari sufi-sufi yang berusaha menafsirkan suatu ayat dengan
perasaan yang dilalui setelah melakukan berbagai riyadhah (upaya pendekatan
pada Allah dengan cara melakukan ibadah).
Dengan adanya berbagai
macam corak tafsir yang ditulis oleh para ulama, secara langsung maupun tidak
langsung menunjukkan pada kita bahwa kandungan ayat Quran bersifat general
(umum). Jika ayat-ayat Al Quran sudah rinci, maka tidak dibutuhkan lagi sebuah
interpretasi (penafsiran). Pada kenyataannya, penafsiran yang ada pada zaman
dahulu maupun pada saat ini mengalami berbagai macam perbedaan. Yang mana
perbedaan tersebut lahir bukan karena didorong oleh hawa nafsu yang ada pada
masing-masing penafsir, melainkan karena cara pengambilan metode yang
berbeda-beda. Hal ini menunjukkan, bahwa agama islam sangat mentoleransi suatu
perbedaan yang diutarakan oleh masing-masing penafsir. Tentunya perbedaan yang
ditoleransi disini bukan perbedaan maslah ushuliyah (pokok agama, seperti
keimanan, dll), melainkan masalah furu’iyah (cabang agama, seperti menentukan
ibadah yang bersifat muamalah, ibadah, dll).
Pada pembahasan kali
ini, kami sebagai penyusun makalah akan menjabarkan Q.S Al Hujraat ayat 6. Pada
ayat tersebut menekankan pentingnya meneliti berita-berita yang kita dapatkan
dari orang lain. Jangan sampai berita yang dapatkan kita terima bergitu saja
tanpa adanya proses tabayun (uji keakuaratan suatu berita) terlebih dahulu. Dengan adanya tabayun, maka
kita bisa bisa selamat dari berbagai ucapan yang disampaiakan oleh orang lain.
Pembahasan tafsir ahkam
ini akan kami ambil dari beberapa buku refrensi tafsir yang sudah diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia, ataupun yang merupakan karya mufassir Indonesia.
Adapun yang berasal dari Indonesia yaitu tafsir Al Azhar, jilid 13 karya M
Quraish Shihab, tafsir Bayaan, jilid 4 karya T.M Hasbi Ash Shidieqy. Kemudian
tafsir lain yang merupakan terjemahan ulama besar dari luar Indonesia yaitu
terjemahan tafsir Ahkam karya Ali Ash Shabuni, jilid 3, dan terjemahan tafsir
Ibnu Katsir, jilid 7. Tidak lupa pula kami mencantumkan buku khusus yang
membahas Asbabun Nuzul (latar belakang historis turunnya ayat-ayat Al Quran)
yang merupakan karya Q. Saleeh, A.A Dahlan, dan M.D dahalan.
Mudah-mudahan dengan
adanya kajian ini bisa menambah wawasan kita dalam bidang tafsir. Sebagai
manusia yang tidak sempurna dan penuh kesalahan, kami menerima kritik dan saran
bagi perkembangan dan kemajuan bagi masing-masing diri kami.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana ayat dan
terjemahan Q.S. Al Hujarat ayat 6?
2.
Bagaimana asbabun nuzul
Q.S. Al Hujarat ayat 6?
3.
Bagaimana tafsir Q.S. Al
Hujarat ayat 6?
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui ayat dan
terjemahan Q.S. Al Hujarat ayat 6
2.
Untuk mengetahui asbabun
nuzul Q.S. Al Hujarat ayat 6
3.
Untuk mengetahui tafsir
Q.S. Al Hujarat ayat 6
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ayat dan Terjemahan Q.S. Al Hujarat: 6
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
“Wahai
orang-orang yang beriman, Jika ada seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa
berita, maka carilahberita itu supaya kamu (tidak) menimpakan tuduhan kepada
suatu kaum dengan kebodohan, akibatnya kamu akan menyesal terhadap apa yang
kamu perbuat”.(Q.S Al Hujurat: 6)[1]
B.
Sababun Nuzul
Imam Ahmad meriwayatkan
dari al-Harits bin Dhirar al-Khuza’i, ia mengatakan: Aku datang ke tempat
Rasulullah SAW. Lalu aku diajak masuk islam, maka aku pun menyambut ajakan itu,
dan aku menyatakan ikrar. Lalu aku diseru untuk mengeluarkan zakat, maka akupun
berikrar untuk menunaikan. Dan aku juga berkata: “Ya Rasulullah! Aku akan
kembali ke kaumku, untuk mengajak mereka masuk islam dan menunaikan zakat, maka
siapa yang menyambut ajakkanku ini, zakatnya akan kumpulkan dan mungkin juga
akan dikirim kepadaku yang selanjutnya hasil yang kukumpulkan itu akan kubawa
kepadamu, ya Rasulullah”.
Setelah al-Harits
menghimpun zakat dari orang-orang yang menerima seruannya itu, dan waktu yang
ditetapkan untuk dikirim kepada Rasulullah SAW pun telah tiba, tiba-tiba utusan
yang akan mengambil itu tertahan, tidak bisa datang, sehingga al-Harits menduga
terjadi sesuatu hal yang menyebabkan Allah dan Rasul-Nya marah, lalu ia
memanggil tokoh-tokohkaumnya seraya berkata pada mereka: Rasulullah SAW
memberikan waktu kepadaku, bahwa utusannya akan datang ketempat kita buat
mengambil harta zakat, dan Rasulullah tidak mungkin bedusta, sedang aku yakin,
bahwa tertahnnya utusan itu pasti karena Allah dan Rasul-Nya murka kepadaku.
Oleh karena itu marilah kita pergi bersama-sama ketempat Rasulullah SAW.
Cerita lenkapnya sebagai
berikut: Rasulullah SAW mengutus al-Walid bin ‘Uqbah ke tempat al-Harits untuk
mengambil zakat yang telah dikumpulkannya. Tetapi setelah al-Walid pergi,
tiba-tiba di tengah jalan ia merasa takut lalu kembali. Dalam keterrangannya
kepada Rasulullah SAW, al-Walid mengatakan, bahwa ia kembali karena dia
dihalang-halangi oleh al-Harits untuk memungut zakat tersebut, dan dia diancam
akan dibunuh. Lalu Rasulullah SAW mengirimkan sepasukan tempur ketempat
al-Harits. Ditengah perjalanan pasukan ini bertemu dengan golongan Harist yang
tadi telah bergerak meninggalkan tempatnya. Mereka mengatakan: Ini, kan Harits.
Harits pun kemudian bertanya: “Kalian hendak kemana?” Mereka menjawab: “Ke
tempatmu”. Harits bertanya lagi: “Untuk keperluan apa”?Mereka menjawab: “Nabi
SAW telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah ketempatmu untuk mengambil zakat yang
engaku himpun, tetapi dia merasa bahwa engkau menghalanginya, bahkan engkau
hendak membunuhnya”. Maka jawab al-Harits: “Tidak, demi Dzat yang mengutus
Muhammad dengan benar, sungguh aku tidak melihat al-Walid dan ia pun tidak
pernah datang ketempatku. Setelah Harits masukke tempay Nabi SAW, beliau pun
segera bertanya: Betul engkau telah menghalang-halangi al-Walid untuk memungut
zakat dan engkau hendak membunhnya?” Harits menjawab: “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu
dengan benar, aku tidak melihatnya dan ia pun tidak pernah datang ketempatku.
Kini aku datang adalah karena utusanmu itu tidak datang ketempatku, dan aku
khawatir kalau-kalau hal itu memang karena murka Allah dan Rasul-Nya kepadaku”.[2]
Begitulah, lalu turun
ayat “Hai orang-orang yang beriman! Jika
ada seseorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita maka carilah
kebenaran berita itu....”
Imam Fakhrur Razi
berkata: Apa yang dikatakan oleh para penafsir (mufassirin), bahwa ayat
tersebut diturunkan berkenaan dengan
kasus al-Walid bi ‘Uqbah, ketika diutus Nabi SAW ke Bani Musthaliq untuk
memungut zakat mereka....dan seterusnya itu, jika yang dimaksud oleh mereka
itu, bahwa ayat ini diturunkan untuk umum, buat menerangkan keharusan mencari
pembuktian berita yang dibawa oleh seorang fasiq, dan tujuan mereka, bahwa ayat
tersebut diturunkan semata-mata karena kasus tersebut, maka itu adalah lemah
(alias tidak betul), karena al-Walid sendiri tidak bermaksud berbuat jahat
kepada mereka. Riwayat Ahmad itu, hanyalah untuk menunjukkan karena waktu itu
al-Walid betul-betul takut lalu dia lari karena melihat rombongan Harits itu
hendak membunuhnya. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian kembali dan
menyampaikan kepada Rasulullah SAW-menurut prasngkanya-rombongan al-Harits
keluar hendak memeranginya.
Selanjutnya Imam Fakhrur
Razi berkata: Alasan yang menunjukkan, ketidakbenaran anggapan, bahwa ayat
tersebut diturunkan untuk sesuatu ialah, bahwa Allah SWT tidak pernah
mengatakan: “Ayat ini Ku-turunkan untuk sesuatu perkara, dan Rasulullah SAW pun
tidak pernah menerangkan ayat ini untuk menerangkan suatu kasus/ pekara ini
saja. Yang betul, bahwa ayat ini untuk diturunkan berkenaan sesuatu kasus yang
terjadi ketika itu. Ini adalah ibarat sejarah turunnya ayat. Yang memperkuat
alsan kami itu, ialah digunakan kata-kata “fasiq” untuk al-Walid, adalah suatu
hal yang jauh sekali, karena dia sekedar salah duga dan keliru sangka. Sedang
orang yang keliru, jelas tidak dinamakan fasiq. Mengapa tidak, karena berapa
banyak kata fasiq dalam Al Quran, adalah yang dimaksud yaitu orang-orang yang
menentang ajaran iman, misalnya firman Allah:
“Sesunggunya Allah tidak menunjukkankaum yang
fasiq”
“Lalu syetan itu fasiq, dengan menetang perintah
Tuhan-nya”
“Adapun orang-orang
fasiq itu tempatnya adalah neraka”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa.
C.
Tafsir Ayat
Ayat ini turun,
memberikan penjelasan bagi umat manusia semuanya untuk selalu tabayun dalam
segala berita yang disampaikan oleh orang muslim maupun non muslim. Kemudian
ayat ini menyuruh kita berhati-hati dalam menindakkan sesuatu yang akibatnya
tidak dapat diperbaiki (perkataannya banyak menimbulkan kerusakkan), supaya
tidak ada pihak atau kaum yang dirugikan, dtimpa musibah atau bencana ysng
disebabkan berita yang belum pasti kebenarannya, sehingga menyebabkan
penyesalan yang terjadi. Ayat ini menolak berita orang-orang fasiq dan
mensyaratkan keadilan,baik dia perawi ataupun saksi, dan membolehkan kita
menerima khabar seorang yang adil. Secara historis, bahwa yang melakukan perbuatan
fasiq dalam ayat tersebut adalah orang muslim, sehingga tidak ada jaminan bahwa
jika seseorang telah memeluk agama islam telah berlaku baik dalam segala aspek.[3]
Kata yaa ayyuhal ladzina
amanu merupakan kata panggilan (nida’), disini diartikan wahai orang-orang yang
beriman, untuk menggugah mustami’nya (pendengarnya), bahwa sesudah panggilan
itu ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dengan serius. Sedang
dipergunakan kata “alladzina amanu” (orang-orang yang beriman) sebagai sifat
khusus, adalah untuk menyadrkan mereka akan keimanan mereka itu, sekaligus
merupakan seruan supaya mempertahankan identitasnya sebagai mukmin, jangan
sampai iman ini lepas dari hatinya. Demikian, sebagaimana dikatakan oleh
al-‘allamah Abu Su’ud.
Perkataan “Jika ada
seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita” itu merupakan isyarat yang
lembut, bahwa seorang mukmin haruslah benar-benar sadar, jangan mudah menerima
omongan orang tanpa diketahui terlebih dahulu sumbernya. Disebutnya kata
“fasiq”, yang berasal dari kata fasaqa, biasa digunakan untuk melukiskan buah
yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang
durhaka adalah orang yang keluar dari koridor agama. Disebutkan diatas dengan
bentuk nakirah (tanpa alif-lam) untuk menunjukkan umum. Karena bentuk nakirah
dalam konteks syarat adalah sama dengan nakirah dalam konteks nafi, yaitu
menunjukkan umum.Sebagaimana ditetapkan oleh para ulama ushul fiqh. Jadi maksud
kalimat tersebut ialah “siapa saja orang munafiq yang datang kepadamu......”
Disitu dipergunakan kata “in” (jika) yang menunjukkan keragu-raguan (tasykik),
tidak dipergunakan kata “idzaa” (apabila) yang menunjukkan kepastian (tahqiq),
untuk memberi isyarat, bahwa terjadinya peristiwa ini agak langka, dianggap
sebagai suatu kebetulan. Sebab prinsip seorang mukmin haruslah jujur (apalagi
mereka adalah seorang sahabat, tentunya mempunyai keimanan yang lebih tinggi
daripada generasi penerusnya), juga dikerenakan orang-orang fasik mengetahui
bahwa kaum beriman tidaklah mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti
kebenaran setiap informasi, sehingga seorang fasik dapat dipermalukan dengan
kebohongannya. Tetapi setelah terjadi kasus seorang sahabat Nabi memberitakan
sesuatu dengan dusta seperti yang dilakukan oleh al-Walid bin ‘Uqbah, dan itu
pun langka terjadi dikalangan para sahabat, maka diturunkanlah ayat tersebut
dengan mempergunakan kata “in”, suatu huruf syarat yang berarti ragu-ragu.
Kata naba’ digunakan
dalam arti berita penting . Berbeda dengan kata khabara yang berarti khabar
secara umum, baik penting maupun tidak. Dari sini terlihat perlunya memilah
informasi. Apakah itu penting atau tidak, dan memilah pula pembawa informasi
apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk
menyelidiki kebenaran informasi dari siapa pun yang tidak penting, bahkan
didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi dan waktu yang
dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.[4]
Kata bi jahalah dapat
berarti tidak mengetahui, dan dapatjuga diartikan serupa dengan makna kejahilan
yakni perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan
hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara
maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan
nilai-nilai Ilahi.
Ayat diatas merupakan
salah satu dasar yang dietapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia
merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengalaman suatu
berita Kehidupan manusia dan interkasinya haruslah didasarkan hahl-hal yang
diketahui dengan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh
informasi, karena itu ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada yang
jujurdan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar,
dan adapula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring , khawatir jangan
sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat diatas bi
jahalah. Dengan kata lain, ayat ini menuntut kita untuk menjadikan langkah kita
berdasarkan pengetahuan sebagai lawan dari kebodohan, disamping melakukannya
berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah SWT sebagai
lawan dari makna kedua jahalah.
Penekanan pada kata
fasiq bukan pada semua penyampai berita, karena ayat ini turun ditengah
masyrakat muslim yang cukup bersih, sehingga bila semua penyampai berita harus
diselidiki kebenaran informasinya, maka ini akan menimbulkan keraguan ditengah
masyarakat muslim dan pada gilirannya akan melumpuhkan masyarakat. Namun
demikian, perlu dicatat bahwa bila dalam suatu masyarakatsulit dilacak sumber
pertama dari suatu berita, sehingga tidak diketahui apakah penyebarannya fasik
atau bukan, atau bila dalam masyarakat telah sedemikian banyak orang-orang yang
fasik, maka ketika itu berita apapun penting, tidak boleh begitu saja diterima.
Dalam konteks sayyidina Ali ra berkata: ”Bilakebaikan meliputi suatu masa
beserta orang-orang dalamnya, lalu seseorang berburuksangka terhadap orng lain
yang belum pernah melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah mendzalimnya.
Tetapi apabila kejahatan telah meliputi suatu masa disertai banyaknya yang
berlaku zalim, lalu seseorang berbaik sangka terhadap orang yang belum
dikenalnya, maka ia akan mudah tertipu”.[5]
Perlu dicatat bahwa
banyaknya orang yang mengedarkan informasi atau isu bukan jaminan kebenaran
informasi itu. Banyak faktor yang harus diperhatikan.
Dahulu ketika ulama
menyeleksi informasi para perawi hadist-hadist Nabi salah satu yang
diperbincangkan adalah penerimaan riwayat yangdisampaikan oleh sejumlah orang
yang dinilai mustahil menurut kebiasaan mereka sepakat untuk berbohong, atau
yang diistilahkan dengan mutawatir. Ini diakui oleh semua pakar, hanya
masalahnya jumlah yang banyak itu harus memenuhi syarat-syarat. Boleh jadi
orang banyak itu tidak mengerti persoalan, boleh jadi juga mereka telah
memiliki asumsi dasar yang keliru. Di sini, sebanyak apapun yang
menyampaikannya tidak menjamin jaminan kebenarannya.
Kata tushbihu pada
mulanya berarti masuk diwaktu pagi. Ia kemudian diartikan menjadi. Ayat diatas
mengisyaratkan bagaimana sikap seorang beriman dikala melakukan satu kesalahan.
Mereka, oleh akhir ayat diatas dilikiskan sebagai fa tushbihuu ‘alaa
maafa’altum naadimiin yakni segera dan berpagi-pagi menjadi orang-orang yang
penuh penyesalan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam menyerukan dan
mengadakan pengecekan setiap berita, serta selalu berhati-hati dalam setiap
permaslahan yang menyangkut kaum muslimin, supaya mereka terhindar dari
ketergelinciran yang sengaja dipasang oleh musuh-musuh islam, dan supaya persoalan
mereka itu menjadi gamblang. Sebab berapa banyak fitnah yang dinyalakan oleh
manusia-manusia sakit hati yang tidak senang melihat umat ini dalam kondisi
yang baik, yang dalam hatinya selalu tersembunyi setiap kejahatan dan fitnah,
guna menghancurkan kaum muslimin dan memprak-porakandakan kesatuan mereka serta
mengotori kejernihan kegembiraan mereka.
Untuk itulah, maka islam
memerintahkan suatu prisip yang agung dan mulia, yaitu penelitian dan
mendeteksi setiap berita, lebih-lebih bersumber dari orang fasiq yang tidak mau
menghargai kehormatan agama dan tidak menghiraukan akan akibat kedustaannya itu
yang justru akan , membawa bahaya yang mengancam dan dampak yang mengerikan,
yaitu dapat melumpuhkan dinamika masyarakat; dan kadang-kadang menjurus pada bala’
yang dahsyat yang pada gilirannya akan membawa kematian dan menghancurkan
manusia-manusia baik, seperti yang terjadi dalam kasus al-Walid bin ‘Uqbah,
seandainya tidak segera Allah memberi tahukan kepada Rasul-Nya melalui
wahyu-Nya tentang duduk persoalan sebenarnya.
Maka dengan adanya ayat
ini, seharusnya menjadikan pelajaran bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam
menerima suatu informasi, agar selalu waspada dari bahaya orang yang mengaku
muslim, tapi ternyata dia adalah orang yang akan merusak agama islam, serta
merusak komunitas yang sudah terbangun dengan rapi.
B.
Saran
Demikianlah
pembahasan makalah mengenai TAfsir Q.S.
Al Hujarat ayat 6, semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritk dan saran
sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al
Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro, 2010)
Ali Ash Shabuni, Terjemah
Tafsir Ahkam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987)
Shihab, M. Quraisy. Tafsir
Al Misbah Volume XIII. (Jakarta:
Lantera Hati, 2002)
[1] Departemen Agama RI, Al
Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro, 2010), h. 332
[2] Ali Ash Shabuni, Terjemah Tafsir
Ahkam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal 104
[3] Ali Ash Shabuni, Terjemah
Tafsir Ahkam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal 110
[4] Shihab, M. Quraisy. Tafsir
Al Misbah Volume XIII. (Jakarta:
Lantera Hati, 2002), h. 470
[5] Shihab,
M. Quraisy. Tafsir Al Misbah Volume XIII. (Jakarta: Lantera Hati, 2002), h. 471
No comments:
Post a Comment