Friday, July 13, 2018

Makalah Tafsir Al Qur'an Surat Al Hujarat ayat 6


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Tafsir merupakan suatu upaya, dengan cara mencurahkan segenap pikiran untuk mengetahui maksud ayat Quran yang dilakuakan oleh manusia. Corak tafsir pun bermacam-macam, ada yang mendasarkan tafsirnya pada riwayat dari sahabat, tabiin, atau tabi at tabi’in. Kemudian ada pula yang mendasarkan tafsirnya pada dirayah (akal). Dan yang terakhir corak penafsiran yang mendasarkan pada isyarah (tanda), tafsir ini merupakan karya dari sufi-sufi yang berusaha menafsirkan suatu ayat dengan perasaan yang dilalui setelah melakukan berbagai riyadhah (upaya pendekatan pada Allah dengan cara melakukan ibadah).
Dengan adanya berbagai macam corak tafsir yang ditulis oleh para ulama, secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan pada kita bahwa kandungan ayat Quran bersifat general (umum). Jika ayat-ayat Al Quran sudah rinci, maka tidak dibutuhkan lagi sebuah interpretasi (penafsiran). Pada kenyataannya, penafsiran yang ada pada zaman dahulu maupun pada saat ini mengalami berbagai macam perbedaan. Yang mana perbedaan tersebut lahir bukan karena didorong oleh hawa nafsu yang ada pada masing-masing penafsir, melainkan karena cara pengambilan metode yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan, bahwa agama islam sangat mentoleransi suatu perbedaan yang diutarakan oleh masing-masing penafsir. Tentunya perbedaan yang ditoleransi disini bukan perbedaan maslah ushuliyah (pokok agama, seperti keimanan, dll), melainkan masalah furu’iyah (cabang agama, seperti menentukan ibadah yang bersifat muamalah, ibadah, dll).
Pada pembahasan kali ini, kami sebagai penyusun makalah akan menjabarkan Q.S Al Hujraat ayat 6. Pada ayat tersebut menekankan pentingnya meneliti berita-berita yang kita dapatkan dari orang lain. Jangan sampai berita yang dapatkan kita terima bergitu saja tanpa adanya proses tabayun (uji keakuaratan suatu berita)  terlebih dahulu. Dengan adanya tabayun, maka kita bisa bisa selamat dari berbagai ucapan yang disampaiakan oleh orang lain.
Pembahasan tafsir ahkam ini akan kami ambil dari beberapa buku refrensi tafsir yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ataupun yang merupakan karya mufassir Indonesia. Adapun yang berasal dari Indonesia yaitu tafsir Al Azhar, jilid 13 karya M Quraish Shihab, tafsir Bayaan, jilid 4 karya T.M Hasbi Ash Shidieqy. Kemudian tafsir lain yang merupakan terjemahan ulama besar dari luar Indonesia yaitu terjemahan tafsir Ahkam karya Ali Ash Shabuni, jilid 3, dan terjemahan tafsir Ibnu Katsir, jilid 7. Tidak lupa pula kami mencantumkan buku khusus yang membahas Asbabun Nuzul (latar belakang historis turunnya ayat-ayat Al Quran) yang merupakan karya Q. Saleeh, A.A Dahlan, dan M.D dahalan.
Mudah-mudahan dengan adanya kajian ini bisa menambah wawasan kita dalam bidang tafsir. Sebagai manusia yang tidak sempurna dan penuh kesalahan, kami menerima kritik dan saran bagi perkembangan dan kemajuan bagi masing-masing diri kami.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana ayat dan terjemahan Q.S. Al Hujarat ayat 6?
2.      Bagaimana asbabun nuzul Q.S. Al Hujarat ayat 6?
3.      Bagaimana tafsir Q.S. Al Hujarat ayat 6?

C.     Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui ayat dan terjemahan Q.S. Al Hujarat ayat 6
2.      Untuk mengetahui asbabun nuzul Q.S. Al Hujarat ayat 6
3.      Untuk mengetahui tafsir Q.S. Al Hujarat ayat 6


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Ayat dan Terjemahan Q.S. Al Hujarat: 6
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  
“Wahai orang-orang yang beriman, Jika ada seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita, maka carilahberita itu supaya kamu (tidak) menimpakan tuduhan kepada suatu kaum dengan kebodohan, akibatnya kamu akan menyesal terhadap apa yang kamu perbuat”.(Q.S Al Hujurat: 6)[1]

B.     Sababun Nuzul
Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Harits bin Dhirar al-Khuza’i, ia mengatakan: Aku datang ke tempat Rasulullah SAW. Lalu aku diajak masuk islam, maka aku pun menyambut ajakan itu, dan aku menyatakan ikrar. Lalu aku diseru untuk mengeluarkan zakat, maka akupun berikrar untuk menunaikan. Dan aku juga berkata: “Ya Rasulullah! Aku akan kembali ke kaumku, untuk mengajak mereka masuk islam dan menunaikan zakat, maka siapa yang menyambut ajakkanku ini, zakatnya akan kumpulkan dan mungkin juga akan dikirim kepadaku yang selanjutnya hasil yang kukumpulkan itu akan kubawa kepadamu, ya Rasulullah”.
Setelah al-Harits menghimpun zakat dari orang-orang yang menerima seruannya itu, dan waktu yang ditetapkan untuk dikirim kepada Rasulullah SAW pun telah tiba, tiba-tiba utusan yang akan mengambil itu tertahan, tidak bisa datang, sehingga al-Harits menduga terjadi sesuatu hal yang menyebabkan Allah dan Rasul-Nya marah, lalu ia memanggil tokoh-tokohkaumnya seraya berkata pada mereka: Rasulullah SAW memberikan waktu kepadaku, bahwa utusannya akan datang ketempat kita buat mengambil harta zakat, dan Rasulullah tidak mungkin bedusta, sedang aku yakin, bahwa tertahnnya utusan itu pasti karena Allah dan Rasul-Nya murka kepadaku. Oleh karena itu marilah kita pergi bersama-sama ketempat Rasulullah SAW.
Cerita lenkapnya sebagai berikut: Rasulullah SAW mengutus al-Walid bin ‘Uqbah ke tempat al-Harits untuk mengambil zakat yang telah dikumpulkannya. Tetapi setelah al-Walid pergi, tiba-tiba di tengah jalan ia merasa takut lalu kembali. Dalam keterrangannya kepada Rasulullah SAW, al-Walid mengatakan, bahwa ia kembali karena dia dihalang-halangi oleh al-Harits untuk memungut zakat tersebut, dan dia diancam akan dibunuh. Lalu Rasulullah SAW mengirimkan sepasukan tempur ketempat al-Harits. Ditengah perjalanan pasukan ini bertemu dengan golongan Harist yang tadi telah bergerak meninggalkan tempatnya. Mereka mengatakan: Ini, kan Harits. Harits pun kemudian bertanya: “Kalian hendak kemana?” Mereka menjawab: “Ke tempatmu”. Harits bertanya lagi: “Untuk keperluan apa”?Mereka menjawab: “Nabi SAW telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah ketempatmu untuk mengambil zakat yang engaku himpun, tetapi dia merasa bahwa engkau menghalanginya, bahkan engkau hendak membunuhnya”. Maka jawab al-Harits: “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan benar, sungguh aku tidak melihat al-Walid dan ia pun tidak pernah datang ketempatku. Setelah Harits masukke tempay Nabi SAW, beliau pun segera bertanya: Betul engkau telah menghalang-halangi al-Walid untuk memungut zakat dan engkau hendak membunhnya?” Harits menjawab: “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, aku tidak melihatnya dan ia pun tidak pernah datang ketempatku. Kini aku datang adalah karena utusanmu itu tidak datang ketempatku, dan aku khawatir kalau-kalau hal itu memang karena murka Allah dan Rasul-Nya kepadaku”.[2]
Begitulah, lalu turun ayat  “Hai orang-orang yang beriman! Jika ada seseorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita maka carilah kebenaran berita itu....”
Imam Fakhrur Razi berkata: Apa yang dikatakan oleh para penafsir (mufassirin), bahwa ayat tersebut diturunkan  berkenaan dengan kasus al-Walid bi ‘Uqbah, ketika diutus Nabi SAW ke Bani Musthaliq untuk memungut zakat mereka....dan seterusnya itu, jika yang dimaksud oleh mereka itu, bahwa ayat ini diturunkan untuk umum, buat menerangkan keharusan mencari pembuktian berita yang dibawa oleh seorang fasiq, dan tujuan mereka, bahwa ayat tersebut diturunkan semata-mata karena kasus tersebut, maka itu adalah lemah (alias tidak betul), karena al-Walid sendiri tidak bermaksud berbuat jahat kepada mereka. Riwayat Ahmad itu, hanyalah untuk menunjukkan karena waktu itu al-Walid betul-betul takut lalu dia lari karena melihat rombongan Harits itu hendak membunuhnya. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian kembali dan menyampaikan kepada Rasulullah SAW-menurut prasngkanya-rombongan al-Harits keluar hendak memeranginya.
Selanjutnya Imam Fakhrur Razi berkata: Alasan yang menunjukkan, ketidakbenaran anggapan, bahwa ayat tersebut diturunkan untuk sesuatu ialah, bahwa Allah SWT tidak pernah mengatakan: “Ayat ini Ku-turunkan untuk sesuatu perkara, dan Rasulullah SAW pun tidak pernah menerangkan ayat ini untuk menerangkan suatu kasus/ pekara ini saja. Yang betul, bahwa ayat ini untuk diturunkan berkenaan sesuatu kasus yang terjadi ketika itu. Ini adalah ibarat sejarah turunnya ayat. Yang memperkuat alsan kami itu, ialah digunakan kata-kata “fasiq” untuk al-Walid, adalah suatu hal yang jauh sekali, karena dia sekedar salah duga dan keliru sangka. Sedang orang yang keliru, jelas tidak dinamakan fasiq. Mengapa tidak, karena berapa banyak kata fasiq dalam Al Quran, adalah yang dimaksud yaitu orang-orang yang menentang ajaran iman, misalnya firman Allah:
“Sesunggunya Allah tidak menunjukkankaum yang fasiq”
“Lalu syetan itu fasiq, dengan menetang perintah Tuhan-nya”
“Adapun orang-orang  fasiq itu tempatnya adalah neraka”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa.

C.     Tafsir Ayat
Ayat ini turun, memberikan penjelasan bagi umat manusia semuanya untuk selalu tabayun dalam segala berita yang disampaikan oleh orang muslim maupun non muslim. Kemudian ayat ini menyuruh kita berhati-hati dalam menindakkan sesuatu yang akibatnya tidak dapat diperbaiki (perkataannya banyak menimbulkan kerusakkan), supaya tidak ada pihak atau kaum yang dirugikan, dtimpa musibah atau bencana ysng disebabkan berita yang belum pasti kebenarannya, sehingga menyebabkan penyesalan yang terjadi. Ayat ini menolak berita orang-orang fasiq dan mensyaratkan keadilan,baik dia perawi ataupun saksi, dan membolehkan kita menerima khabar seorang yang adil. Secara historis, bahwa yang melakukan perbuatan fasiq dalam ayat tersebut adalah orang muslim, sehingga tidak ada jaminan bahwa jika seseorang telah memeluk agama islam telah berlaku baik dalam segala aspek.[3]
Kata yaa ayyuhal ladzina amanu merupakan kata panggilan (nida’), disini diartikan wahai orang-orang yang beriman, untuk menggugah mustami’nya (pendengarnya), bahwa sesudah panggilan itu ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dengan serius. Sedang dipergunakan kata “alladzina amanu” (orang-orang yang beriman) sebagai sifat khusus, adalah untuk menyadrkan mereka akan keimanan mereka itu, sekaligus merupakan seruan supaya mempertahankan identitasnya sebagai mukmin, jangan sampai iman ini lepas dari hatinya. Demikian, sebagaimana dikatakan oleh al-‘allamah Abu Su’ud.
Perkataan “Jika ada seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita” itu merupakan isyarat yang lembut, bahwa seorang mukmin haruslah benar-benar sadar, jangan mudah menerima omongan orang tanpa diketahui terlebih dahulu sumbernya. Disebutnya kata “fasiq”, yang berasal dari kata fasaqa, biasa digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah orang yang keluar dari koridor agama. Disebutkan diatas dengan bentuk nakirah (tanpa alif-lam) untuk menunjukkan umum. Karena bentuk nakirah dalam konteks syarat adalah sama dengan nakirah dalam konteks nafi, yaitu menunjukkan umum.Sebagaimana ditetapkan oleh para ulama ushul fiqh. Jadi maksud kalimat tersebut ialah “siapa saja orang munafiq yang datang kepadamu......” Disitu dipergunakan kata “in” (jika) yang menunjukkan keragu-raguan (tasykik), tidak dipergunakan kata “idzaa” (apabila) yang menunjukkan kepastian (tahqiq), untuk memberi isyarat, bahwa terjadinya peristiwa ini agak langka, dianggap sebagai suatu kebetulan. Sebab prinsip seorang mukmin haruslah jujur (apalagi mereka adalah seorang sahabat, tentunya mempunyai keimanan yang lebih tinggi daripada generasi penerusnya), juga dikerenakan orang-orang fasik mengetahui bahwa kaum beriman tidaklah mudah dibohongi dan bahwa mereka akan meneliti kebenaran setiap informasi, sehingga seorang fasik dapat dipermalukan dengan kebohongannya. Tetapi setelah terjadi kasus seorang sahabat Nabi memberitakan sesuatu dengan dusta seperti yang dilakukan oleh al-Walid bin ‘Uqbah, dan itu pun langka terjadi dikalangan para sahabat, maka diturunkanlah ayat tersebut dengan mempergunakan kata “in”, suatu huruf syarat yang berarti ragu-ragu.
Kata naba’ digunakan dalam arti berita penting . Berbeda dengan kata khabara yang berarti khabar secara umum, baik penting maupun tidak. Dari sini terlihat perlunya memilah informasi. Apakah itu penting atau tidak, dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari siapa pun yang tidak penting, bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.[4]
Kata bi jahalah dapat berarti tidak mengetahui, dan dapatjuga diartikan serupa dengan makna kejahilan yakni perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai Ilahi.
Ayat diatas merupakan salah satu dasar yang dietapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengalaman suatu berita Kehidupan manusia dan interkasinya haruslah didasarkan hahl-hal yang diketahui dengan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi, karena itu ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujurdan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, dan adapula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring , khawatir jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat diatas bi jahalah. Dengan kata lain, ayat ini menuntut kita untuk menjadikan langkah kita berdasarkan pengetahuan sebagai lawan dari kebodohan, disamping melakukannya berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah SWT sebagai lawan dari makna kedua jahalah.
Penekanan pada kata fasiq bukan pada semua penyampai berita, karena ayat ini turun ditengah masyrakat muslim yang cukup bersih, sehingga bila semua penyampai berita harus diselidiki kebenaran informasinya, maka ini akan menimbulkan keraguan ditengah masyarakat muslim dan pada gilirannya akan melumpuhkan masyarakat. Namun demikian, perlu dicatat bahwa bila dalam suatu masyarakatsulit dilacak sumber pertama dari suatu berita, sehingga tidak diketahui apakah penyebarannya fasik atau bukan, atau bila dalam masyarakat telah sedemikian banyak orang-orang yang fasik, maka ketika itu berita apapun penting, tidak boleh begitu saja diterima. Dalam konteks sayyidina Ali ra berkata: ”Bilakebaikan meliputi suatu masa beserta orang-orang dalamnya, lalu seseorang berburuksangka terhadap orng lain yang belum pernah melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah mendzalimnya. Tetapi apabila kejahatan telah meliputi suatu masa disertai banyaknya yang berlaku zalim, lalu seseorang berbaik sangka terhadap orang yang belum dikenalnya, maka ia akan mudah tertipu”.[5]
Perlu dicatat bahwa banyaknya orang yang mengedarkan informasi atau isu bukan jaminan kebenaran informasi itu. Banyak faktor yang harus diperhatikan.
Dahulu ketika ulama menyeleksi informasi para perawi hadist-hadist Nabi salah satu yang diperbincangkan adalah penerimaan riwayat yangdisampaikan oleh sejumlah orang yang dinilai mustahil menurut kebiasaan mereka sepakat untuk berbohong, atau yang diistilahkan dengan mutawatir. Ini diakui oleh semua pakar, hanya masalahnya jumlah yang banyak itu harus memenuhi syarat-syarat. Boleh jadi orang banyak itu tidak mengerti persoalan, boleh jadi juga mereka telah memiliki asumsi dasar yang keliru. Di sini, sebanyak apapun yang menyampaikannya tidak menjamin jaminan kebenarannya.
Kata tushbihu pada mulanya berarti masuk diwaktu pagi. Ia kemudian diartikan menjadi. Ayat diatas mengisyaratkan bagaimana sikap seorang beriman dikala melakukan satu kesalahan. Mereka, oleh akhir ayat diatas dilikiskan sebagai fa tushbihuu ‘alaa maafa’altum naadimiin yakni segera dan berpagi-pagi menjadi orang-orang yang penuh penyesalan.


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Islam menyerukan dan mengadakan pengecekan setiap berita, serta selalu berhati-hati dalam setiap permaslahan yang menyangkut kaum muslimin, supaya mereka terhindar dari ketergelinciran yang sengaja dipasang oleh musuh-musuh islam, dan supaya persoalan mereka itu menjadi gamblang. Sebab berapa banyak fitnah yang dinyalakan oleh manusia-manusia sakit hati yang tidak senang melihat umat ini dalam kondisi yang baik, yang dalam hatinya selalu tersembunyi setiap kejahatan dan fitnah, guna menghancurkan kaum muslimin dan memprak-porakandakan kesatuan mereka serta mengotori kejernihan kegembiraan mereka.
Untuk itulah, maka islam memerintahkan suatu prisip yang agung dan mulia, yaitu penelitian dan mendeteksi setiap berita, lebih-lebih bersumber dari orang fasiq yang tidak mau menghargai kehormatan agama dan tidak menghiraukan akan akibat kedustaannya itu yang justru akan , membawa bahaya yang mengancam dan dampak yang mengerikan, yaitu dapat melumpuhkan dinamika masyarakat; dan kadang-kadang menjurus pada bala’ yang dahsyat yang pada gilirannya akan membawa kematian dan menghancurkan manusia-manusia baik, seperti yang terjadi dalam kasus al-Walid bin ‘Uqbah, seandainya tidak segera Allah memberi tahukan kepada Rasul-Nya melalui wahyu-Nya tentang duduk persoalan sebenarnya.
Maka dengan adanya ayat ini, seharusnya menjadikan pelajaran bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam menerima suatu informasi, agar selalu waspada dari bahaya orang yang mengaku muslim, tapi ternyata dia adalah orang yang akan merusak agama islam, serta merusak komunitas yang sudah terbangun dengan rapi.
B.     Saran
Demikianlah pembahasan  makalah mengenai TAfsir Q.S. Al Hujarat ayat 6, semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritk dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro, 2010)

Ali Ash Shabuni, Terjemah Tafsir Ahkam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987)

Shihab, M. Quraisy. Tafsir Al Misbah Volume XIII.  (Jakarta: Lantera Hati, 2002)




[1] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Yogyakarta: Diponegoro, 2010), h. 332
[2] Ali Ash Shabuni, Terjemah Tafsir Ahkam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal 104
[3] Ali Ash Shabuni, Terjemah Tafsir Ahkam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hal 110
[4] Shihab, M. Quraisy. Tafsir Al Misbah Volume XIII.  (Jakarta: Lantera Hati, 2002), h. 470
[5] Shihab, M. Quraisy. Tafsir Al Misbah Volume XIII.  (Jakarta: Lantera Hati, 2002), h. 471

No comments:

Post a Comment