BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mengkaji
aliran-aliran ilmu kalam, pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka
berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki
setiap manusia --baik berupa potensi biologi maupun potensi psikologis—secara
natural adalah sangat distingtif. Oleh karena itu, perbedaan kesimpulan antara
satu pemikiran dan pemikiran yang lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu
merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.
Ketika
memasuki analisis teologi rasional, masalah pertama yang muncul adalah
sejauhmana hubungan akal dan wahyu. Pertanyaan-pertanyaan pun muncul di seputar
: "Bagaimana kedudukan pengetahuan yang diperoleh melalui akal terhadap
pengetahuan yang dibawa oleh wahyu?, dapatkah akal menandingi wahyu ? Haruskah
akal tunduk pada wahyu? Bagaimana jika ada pertentangan antara pengetahuan akal
atau pengetahuan melalui wahyu? Sejauhmana akal dapat memperoleh pengetahuan
keagamaan ? Kalau akal memperoleh pengetahuan keagamaan, apa sebenarnya fungsi
wahyu bagi manusia?. Meskikah akal dan
wahyu bertentangan?
Untuk
mempermudah menjawabnya, sedikitnya bisa dibuat empat kategori yang merupakan
pokok persoalan kalam, meliputi : Kemampuan manusia mengetahui Tuhan (MT):
Kewajiban mengetahui Tuhan (KMT); Mengetahui baik dan jahat (MBJ); Kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat (KMBJ)
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan mu’tazilah?
2.
Bagaimana
kedudukan Akal Dan Kemampuannya Dalam Pandangan Mu’tazilah-Asy’ariah
C.
Tujuan
1. Untuk mentgetahui yang dimaksud dengan
mu’tazilah
2.
Untuk
mentgetahui kedudukan Akal Dan Kemampuannya Dalam Pandangan
Mu’tazilah-Asy’ariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kata
mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad
Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya.
Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu
arti yaitu mengusir.[1]
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka
pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap
manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka
tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat
untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan
dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[2]
Kaum Mu`tazilah
merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih
dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan
ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh
dengan pedoman mereka.
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh
kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal,
sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
Sejarah
munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah
timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr
bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang
yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid
Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada
Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai
pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan
mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan
kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina
al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena
tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini
al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah
nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.[3]
B.
Akal
Dan Kemampuannya Dalam Pandangan Mu’tazilah-Asy’ariah
1. Mengetahui Tuhan (MT)
a) Mu’tazilah
Di
dalam buku Teologi Islam karya Prof.Dr.Harun Nasution, bahwa bagi Mu’tazilah
segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Akal dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban mengetahui tuhan, bersyukur atas nikmat-Nya,
meninggalkan kekafiran, berbuat adil, mengetahui buruknya kezaliman dan
permusuhan. Dengan demikian berterima
kasih kepada Tuhan sebelum turunnya
Wahyu
adalah wajib Baik dan Jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula
mengerjakan yang baik dan menjauihi yang jahat adalah pula wajib. Betul akal
bisa sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih pada tuhan serta
kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat, namun tidaklah
berarti wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu.
b)
Asy’ariyah
Asy’ariyah
berpendapat bahwa akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Hal ini berbeda dengan
pendapat Mu’tazilah.
Betul
akal dapat mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan
wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperioleh upah
dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman. Kewajiban bersyukur atas
nikmat Allah juga berdasarkan wahyu ,bukan akal. Akal juga tidak mampu
menentukan pahala dan siksa. Argument yang dikemukakan asy’ari untuk memperkuat
pendapat tersebut adalah ayat ‘’kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus
seorang rasul” (QS. 17 : 15).
Di
dalam buku Teologi Islam karya Prof.Dr.Harun Nasution, menurut al-Baghdadi akal
dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih
kepada Tuhan. Karena segala kewajiban dapat diketahui hanya mlalui wahyu.[4]
2.
Kewajiban
Mengetahui Tuhan (KMT)
a)
Mu’tazilah
Seperti
yang telah disebutkan di atas, bahwa kewajiban mengetahui Tuhan menurut
Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal. Sedikit mengutip pendapat salah satu
tokoh Mu’tazilah, al-Syahrastani, bahwa kewajiban mengetahui dan berterima
kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk
dapat diketahui oleh akal.
Mengenai
tanggapan Mu’tazilah terhadap wahyu, berpendapat bahwa kalau untuk mengetahui
tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu tidak mempunyai fungsi apa-apa, namun untuk
mengetahui cara memuja dan menyemah tuhan wahyu diperlukan. Dikatakan akal
betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada tuhan, tetapi wahyulah
yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan. Selanjutnya,
menurut Mu’tazilah fungsi wahyu memberi penjelasan tentang perincian hokum dan
upah yang akan diterima manusia di akhirat. Al-Jubba’i pun sepakat demikian.
Abd
Al-Jabbar menambahkan bahwa, akal tak dapat mengaetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan
baik lebih besar dari upah untuk perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal
tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari
hukuman untuk perbuatan buruk lain.
Dapat dikatakan bahwa wahyu memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan
menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal serta menyempurnakan pengetahuan
yang telah diperoleh akal.[5]
Selanjutnya
kaum Mu’tazilah berpandangan, orang yang berakal sehat baik muda ataupun tua
berkewajiban mengetahui Tuhan. Berkenaan dengan itu, al-Nadzdzam memberiakn
batasan, yang dimaksud muda adalah anak yang telah bisa memikirkan bahwa
dirinya dan alam semesta ini ada yang menciptakan. Dengan demikian batasannya
bukan berdasar.kan umur baligh sebagaimana dikenal dalam ilmu fikih.
b)
Asy’ariyah
Al-Ghazali,
seperti al-Asy’ari dan al-Baghdadi, juga berpendapat bahwa akal tak dapat
membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia; kewajiban-kewajiban ditentukan oleh
wahyu. Kata wajib menurut al-Ghazali merupakan sifat bagi perbuatan-perbuatan
dan sesuatu perbuatan sebenarnya bersifat wajib, kalau tidak dilakukannya perbuatan itu menimbulkan kemudaratan bagi
manusia kelak di akhirat. Dengan demikian kewajiban-kewajiban dapat diketahui
manusia dengan wahyu.
Bagi
kaum Asy’ariah, karena akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu
mempunyai kedudukan penting dan porsi yang diberikanpun sangat besar terhadap
wahyu. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibannya
hanya karena turunnya wahyu . dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada,
manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya. Bisa dikatakan wahyu menentukan
segala hal. Kalau wahyu tak ada, manusia
akan bebas berbuat sekehendak hatinya. Dan sebagai akibatnya manusia berada
dalam kekacauan.[6]
Asy’ari
mengatakan bahwa kewajiban beriman bagi seseorang baru datang manakala telah
sempurna akalnya (aqil baligh). Pandangan ini juga merupakan pandangan mayoritas
ulama fikih dan ushul.
3.
Mengetahui
Baik dan Jahat (MJB)
a.
Mu’tazilah
Kita
telah mengetahui bahwa Mu’tazilah memberikan daya yang besar kepada akal. Untuk
mengetahui baik dan jahat, Mu’tazilah berpendapat bahwa hal tersebut dapat
diketahui dengan akal. Dengan kata lain mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
b.
Asy’ariyah
Mengenai
soal baik dan jahat, al-Ghazali menerangkan bahwa suatu perbuatan disebut baik,
kalau perbuatann itu sesuai dengan maksud pembuat. Dan disebut buruk , kalau
tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Keadaan sesuai atau tidaksesuai
dengantujuan bisa terjadi pada masa sekarang dan bisa pada masa depan.
Perbuatan baik, dalam arti sebenarnya, bagi al-Ghazali, ialah yang sesuai
dengan tujuan di masa depan yaitu akhirat; jelasnya perbuatan yang oleh wahyu
ditentukan baik. Dan perbuatan buruk atau jahat ialah lawan perbuatan baik.
Dengan
demikian, tujuan di akhirat hanya dapat diketahui dengan wahyu dan oleh karena
itu apa yang disebut perbuatan buruk dan jahat (MJB) juga dapat diketahui hanya
dengan wahyu, dalam arti asy’ariyah berpandangan bahwa baik dan buruk harus berdasarkan
pada wahyu.
4.
Kewajiban
Mengerjakan yang Baik dan Menjauhi yang Jahat (KMBJ)
a)
Mu’tazilah
Menurut
Mu'tazilah, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu dapat
diketahui akal. Banyak orang menuduh kaum Mu'tazilah kurang atau bahkan tidak
percaya pada wahyu. Padahal bagi Mu'tazilah meski peran akal begitu penting
namun akal tidaklah begitu kuat untuk mengetahui segala hal. Karenanya wahyu
perlu bagi manusia untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Memang benar akal
dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak
mengetahui ritual berterima kasih itu. Seperti dijelaskan Ibn Abi Hasyim ibadah
diketahui bukan melalui akal tetapi lewat perantaraan wahyu. Nabilah yang
menjelaskan ibadah itu, dan apa yang dibawa Nabi adalah benar.[7]
b)
Asy’ariyah
Dalam
pembahasan tentang kewajiban, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban dapat
diketahui dengan wahyu. Begitupun kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang jahat (KMJB) dapatdiketahui dengan wahyu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kaum
Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam
selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama
waktu itu pula kelompok ini telah
menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang
bersikukuh dengan pedoman mereka.
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh
kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal,
sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
Kemampuan
manusia mengetahui Tuhan (MT): Kewajiban mengetahui Tuhan (KMT); Mengetahui
baik dan jahat (MBJ); Kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat
(KMBJ), dari empat persepsi antara lain, aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah,
Maturidiyah dan Salafiyah, terdapat perbedaan.
B.
Saran
Demikianlah
pembahasan makalah mengenai kedudukan akal dalam pandangan mu’tazilah, semoga
dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan
demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul,
dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001)
Nasution,Harun,
Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986)
Yunus Yusuf, Alam
Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, (Jakarta : BPKM JAKARTA, 1990)
[1] Rozak, Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001), h.27
[2] Nasution,Harun, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), h.76
[3] Yunus Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, (Jakarta
: BPKM JAKARTA, 1990). Hal. 67
[4] Yunus Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, … . Hal.
68
[5]Nasution,Harun, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), h.78
[6] Rozak,
Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001),
h.30
[7] Rozak,
Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001),
h.31
No comments:
Post a Comment