Wednesday, July 18, 2018

Makalah Kedudukan Akal Menurut Pandangan Mu'tazilah dan Asy'ariah


BAB I 
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam, pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia --baik berupa potensi biologi maupun potensi psikologis—secara natural adalah sangat distingtif. Oleh karena itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dan pemikiran yang lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.
Ketika memasuki analisis teologi rasional, masalah pertama yang muncul adalah sejauhmana hubungan akal dan wahyu. Pertanyaan-pertanyaan pun muncul di seputar : "Bagaimana kedudukan pengetahuan yang diperoleh melalui akal terhadap pengetahuan yang dibawa oleh wahyu?, dapatkah akal menandingi wahyu ? Haruskah akal tunduk pada wahyu? Bagaimana jika ada pertentangan antara pengetahuan akal atau pengetahuan melalui wahyu? Sejauhmana akal dapat memperoleh pengetahuan keagamaan ? Kalau akal memperoleh pengetahuan keagamaan, apa sebenarnya fungsi wahyu bagi manusia?.  Meskikah akal dan wahyu bertentangan?
Untuk mempermudah menjawabnya, sedikitnya bisa dibuat empat kategori yang merupakan pokok persoalan kalam, meliputi : Kemampuan manusia mengetahui Tuhan (MT): Kewajiban mengetahui Tuhan (KMT); Mengetahui baik dan jahat (MBJ); Kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat (KMBJ)

B.     Rumusan  Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan mu’tazilah?
2.      Bagaimana kedudukan Akal Dan Kemampuannya Dalam Pandangan Mu’tazilah-Asy’ariah

C.     Tujuan
1.      Untuk mentgetahui yang dimaksud dengan mu’tazilah
2.      Untuk mentgetahui kedudukan Akal Dan Kemampuannya Dalam Pandangan Mu’tazilah-Asy’ariah



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.[1]
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[2]
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu  itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman  mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.[3]

B.     Akal Dan Kemampuannya Dalam Pandangan Mu’tazilah-Asy’ariah
1.      Mengetahui Tuhan (MT)
a)      Mu’tazilah
Di dalam buku Teologi Islam karya Prof.Dr.Harun Nasution, bahwa bagi Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban mengetahui tuhan, bersyukur atas nikmat-Nya, meninggalkan kekafiran, berbuat adil, mengetahui buruknya kezaliman dan permusuhan.  Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya
Wahyu adalah wajib Baik dan Jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauihi yang jahat adalah pula wajib. Betul akal bisa sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih pada tuhan serta kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat, namun tidaklah berarti wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu.
b)      Asy’ariyah
Asy’ariyah berpendapat bahwa akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan  menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Hal ini berbeda dengan pendapat Mu’tazilah.
Betul akal dapat mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperioleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman. Kewajiban bersyukur atas nikmat Allah juga berdasarkan wahyu ,bukan akal. Akal juga tidak mampu menentukan pahala dan siksa. Argument yang dikemukakan asy’ari untuk memperkuat pendapat tersebut adalah ayat ‘’kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul” (QS. 17 : 15).
Di dalam buku Teologi Islam karya Prof.Dr.Harun Nasution, menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Karena segala kewajiban dapat diketahui hanya mlalui wahyu.[4]
2.      Kewajiban Mengetahui Tuhan (KMT)
a)      Mu’tazilah
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa kewajiban mengetahui Tuhan menurut Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal. Sedikit mengutip pendapat salah satu tokoh Mu’tazilah, al-Syahrastani, bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal.
Mengenai tanggapan Mu’tazilah terhadap wahyu, berpendapat bahwa kalau untuk mengetahui tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu tidak mempunyai fungsi apa-apa, namun untuk mengetahui cara memuja dan menyemah tuhan wahyu diperlukan. Dikatakan akal betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan. Selanjutnya, menurut Mu’tazilah fungsi wahyu memberi penjelasan tentang perincian hokum dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Al-Jubba’i pun sepakat demikian.
Abd Al-Jabbar menambahkan bahwa, akal tak dapat mengaetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah untuk perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk perbuatan  buruk lain. Dapat dikatakan bahwa wahyu memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal serta menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.[5]
Selanjutnya kaum Mu’tazilah berpandangan, orang yang berakal sehat baik muda ataupun tua berkewajiban mengetahui Tuhan. Berkenaan dengan itu, al-Nadzdzam memberiakn batasan, yang dimaksud muda adalah anak yang telah bisa memikirkan bahwa dirinya dan alam semesta ini ada yang menciptakan. Dengan demikian batasannya bukan berdasar.kan umur baligh sebagaimana dikenal dalam ilmu fikih.

b)      Asy’ariyah
Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari dan al-Baghdadi, juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia; kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Kata wajib menurut al-Ghazali merupakan sifat bagi perbuatan-perbuatan dan sesuatu perbuatan sebenarnya bersifat wajib, kalau tidak dilakukannya  perbuatan itu menimbulkan kemudaratan bagi manusia kelak di akhirat. Dengan demikian kewajiban-kewajiban dapat diketahui manusia dengan wahyu.
Bagi kaum Asy’ariah, karena akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting dan porsi yang diberikanpun sangat besar terhadap wahyu. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu . dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya. Bisa dikatakan wahyu menentukan segala hal. Kalau  wahyu tak ada, manusia akan bebas berbuat sekehendak hatinya. Dan sebagai akibatnya manusia berada dalam kekacauan.[6]
Asy’ari mengatakan bahwa kewajiban beriman bagi seseorang baru datang manakala telah sempurna akalnya (aqil baligh). Pandangan ini juga merupakan pandangan mayoritas ulama fikih dan ushul.
3.      Mengetahui Baik dan Jahat (MJB)
a.       Mu’tazilah
Kita telah mengetahui bahwa Mu’tazilah memberikan daya yang besar kepada akal. Untuk mengetahui baik dan jahat, Mu’tazilah berpendapat bahwa hal tersebut dapat diketahui dengan akal. Dengan kata lain mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
b.      Asy’ariyah
Mengenai soal baik dan jahat, al-Ghazali menerangkan bahwa suatu perbuatan disebut baik, kalau perbuatann itu sesuai dengan maksud pembuat. Dan disebut buruk , kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Keadaan sesuai atau tidaksesuai dengantujuan bisa terjadi pada masa sekarang dan bisa pada masa depan. Perbuatan baik, dalam arti sebenarnya, bagi al-Ghazali, ialah yang sesuai dengan tujuan di masa depan yaitu akhirat; jelasnya perbuatan yang oleh wahyu ditentukan baik. Dan perbuatan buruk atau jahat ialah lawan perbuatan baik.
Dengan demikian, tujuan di akhirat hanya dapat diketahui dengan wahyu dan oleh karena itu apa yang disebut perbuatan buruk dan jahat (MJB) juga dapat diketahui hanya dengan wahyu, dalam arti asy’ariyah berpandangan bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu.
4.      Kewajiban Mengerjakan yang Baik dan Menjauhi yang Jahat (KMBJ)
a)      Mu’tazilah
Menurut Mu'tazilah, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu dapat diketahui akal. Banyak orang menuduh kaum Mu'tazilah kurang atau bahkan tidak percaya pada wahyu. Padahal bagi Mu'tazilah meski peran akal begitu penting namun akal tidaklah begitu kuat untuk mengetahui segala hal. Karenanya wahyu perlu bagi manusia untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Memang benar akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak mengetahui ritual berterima kasih itu. Seperti dijelaskan Ibn Abi Hasyim ibadah diketahui bukan melalui akal tetapi lewat perantaraan wahyu. Nabilah yang menjelaskan ibadah itu, dan apa yang dibawa Nabi adalah benar.[7]
b)      Asy’ariyah
Dalam pembahasan tentang kewajiban, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban dapat diketahui dengan wahyu. Begitupun kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat (KMJB) dapatdiketahui dengan wahyu.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu  itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman  mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
Kemampuan manusia mengetahui Tuhan (MT): Kewajiban mengetahui Tuhan (KMT); Mengetahui baik dan jahat (MBJ); Kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat (KMBJ), dari empat persepsi antara lain, aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Salafiyah, terdapat perbedaan.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai kedudukan akal dalam pandangan mu’tazilah, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001)

Nasution,Harun, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986)

Yunus Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, (Jakarta : BPKM JAKARTA, 1990)


[1] Rozak, Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h.27
[2] Nasution,Harun, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h.76
[3] Yunus Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, (Jakarta : BPKM JAKARTA, 1990). Hal. 67
[4] Yunus Yusuf, Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, … . Hal. 68
[5]Nasution,Harun, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h.78
[6] Rozak, Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h.30
[7] Rozak, Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h.31

No comments:

Post a Comment