BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersar dengan keanekaragaman dan
kemajemukan agama dan budaya yang dianut, hidup berdampingan ditengah – tengah
masyarakat. Pada waktu dahulu bangsa Indonesia pernah mendapat pujian dan sanjungan
dari dunia Internasional dan dijadikan model dalam hal kerukunan bagi
bangsa-bangsa lain. Hal yang demikian memberikan satu penilaian bahwa Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius. Namun kebanggaan itu, pada akhir-akhir
ini seakan sirna dengan munculnya konflik di beberapa bagian wilayah
Indonesiadalam bentuk kekerasan dan kerusuhan masa yang dibarengi dengan
pengrusakan terhadap rumah – rumah ibadah. Sesungguhnyanya pemicu
konflik/kerusuhan tersebut bukan dikarenakan perbedaan agama semata, melainkan
lebih disebabkan oleh faktor non agama seperti faktor ekonomi, sosial, politik
dan lain sebagainya.
Alasan yang mendasar tentang perlunya pendidikan agama berwawasan
kerukunan ini adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa pendidikan agama yang
berlangsung selama ini belum secara optimal memberikan sumbangan yang positif
bagi terciptanya persaudaraan sejati. Oleh karena itu pendidikan agama
berwawasan kerukunan diarahkan untuk mengembangkan sikap dan tindakan peserta
didik yang dimotivasi oleh semangat kebaikan. Agama bertugas dalam menjaga
kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama berkecimpung dalam
peraturan dan hukum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya arti kalau dalam
situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan prinsip-prinsip yang
mengambang di udara.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Arti agama?
2. Perlukah kita
beragama?
3. Bagaimana
pandangan Islam tentang kerukunan antar umat beragama?
4. Bagaimana
landasan hukum mengenai kerukunan beragama?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui Arti agama
2. Untuk
mengetahui kita beragama
3. Untuk
mengetahui pandangan Islam tentang kerukunan antar umat beragama
4. Untuk
mengetahui landasan hukum mengenai kerukunan beragama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti Agama
Istilah “Agama” mempunyai dua macam pengertian yaitu pengertian secara
asal-usul kata (etimologi) dan pengertian secara istilah (terminologi) yaitu:[1]
1. Agama berasal
dari bahasa sansekerta yang diartikan dengan: haluan, peraturan, jalan atau
kebaktian kepada Tuhan.
2. Agama terdiri
dari dua kata yaitu: A= tidak, GAMA= kacau balau, tidak teratur. Jadi Agama
berarti: tidak kacau balau yang berarti teratur.
Dari kedua pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan
haluan, atau jalan yang telah
dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan. Agama
bertugas menjaga kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama
berkecimpung dalam peraturan dan hokum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya
arti kalau dalam situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan
prinsip-prinsip yang mengambang di udara. Dalam realitas kehidupan terdapat
tidak sedikit orang menganut secara formal agama tertentu namun praktek
kehidupannya ternyata tidak mencerminkan sikap dan perilaku orang beragama.[2]
Agama sebagai realitas social di
dalamnya tidak hanya terkandung ajaran yang bersifat normatif doctrinal
melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan,
tempat suci serta bagunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya.
Dengan demikian bila terjadi konflik antar agama maka terdapat berbagai
variabel yang terlibat, yang satu memperkuat yang lain, meski meskipun ada juga
aspek ajaran yang menjadi kekuatan pencegah.
Nilai-nilai kegamaan merupakan
landasan bagi sebagian besar system nilai-nilai sosial, maka
pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah pendidikan agama.
Nilai berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan dengan sikap
individu. Dalam hampir setiap masyarakat nilai-nilai keagamaan sangat
diprioritaskan karena nilai-nilai ini memberikan aturan-aturan yang paling
luhur mengenai hubungan antar manusia. Kehidupan yang penuh dengan kedamaian
secara idealistis berdasarkan pada keserasian pada dua nilai yakni nilai
ketentraman dan nilai ketertiban. Nilai ketentraman menunjuk pada keadaan
bebas, sedangkan ketertiban berarti disiplin. Manusia tidak mungkin hidup bebas
saja atau disiplin belaka. Dalam kehidupan sehari-hari senantiasa harus ada
keserasian antara kebebasan dengan keterikatan.[3]
Paham pluralisme yang membangun
semangat kerukunan hidup umat beragama sebaiknya dikembangkan. Lembaga yang
paling strategis untuk keperluan tersebut adalah sekolah. Langkah ini amat
penting karena selama ini pelajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan formal
terkesan lebih banyak mengarah pada semangat misionaris dan dakwah. Alasan yang
mendasar tentang perlunya pendidikan berwawasan kerukunan ini adalah kenyataan
yang menunjukkan bahwa pendidikan agama yang berlangsung selama ini belum mampu
memberikan kontribusi positif bagi terciptanya persaudaraan sejati. Apalagi
Peraturan Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa Pendidikan Agama berfungsi
membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian kerukunan hubungan intern
dan antarumat beragama.
Oleh karena itu sudah selayaknya
bila segala daya dan upaya pendidikan agama diarahkan untuk mencapai fungsi
tersebut. Dalam konteks Indonesia yang majemuk dari segi suku, agama, budaya,
bahasa, dan kepentingan politik perlu memikirkan terbentuknya masyarakat yang
terbuka. Karakteristik utama masyarakat yang terbuka adalah yang bersandar pada
nilai-nilai yang menghargai perbedaan. Kepada peserta didik harus diajarkan
bagaimana cara hidup ditengah pluralisme bangsanya, agar mereka mampu hidup,
baik dalam internal kelompoknya maupun dalam eksternal kelompok lain. Mereka
selalu bias hidup damai dengan lingkungannya. Kepada peserta didik harus
diajarkan tentang bagaimana memaknai perbedaan yang dibingkai dalam Bhinneka
Tunggal Ika secara bijaksana dan tepat. Pendidikan agama diarahkan untuk
membentuk generasi yang mampu beradaptasi dan hidup dengan berbagai golongan
yang berbeda namun tetap tidak terlepas dari akar budaya, agama, dan jati dirinya,
serta mampu hidup damai dalam masyarakat yang plural.
B. Agama dan
cinta damai
Agama sebagai pembawa damai sudah semestinya dapat hidup berdamai dengan
agama-agama yang berbeda. Oleh karena itu, sebagai seorang yang beragama,
tidaklah pantas bicara tentang kedamaian tanpa berusaha untuk hidup damai
dengan pemeluk agama lain. Usaha untuk membangun jembatan komunikasi antaragama harusnya tak
mengenal putus asa, walau beribu tantangan berat melintang didepannya. Agama,
diibaratkan seperti dua mata pisau. Satu sisi dapat mempererat solidaritas, di
sisi lain dapat menumbuhkan konflik sosial. Solidaritas bisa terbangun bila
komunitas manusia ada dalam satu payung agama serta konflik mudah terpicu di
antara komunitas berlainan agama.[4]
Kehidupan yang penuh dengan kedamaian secara idealistis berdasarkan pada
keserasian pada dua nilai yakni, nilai ketentraman dan nilai ketertiban. Nilai
ketentraman menunjuk pada keadaan bebas, sedangkan ketertiban berarti disiplin.
Manusia tidak mungkin hidup bebas saja atau disiplin belaka. Dalam kehidupan
sehari-hari senantiasa harus ada keserasian antara kebebasan dengan
keterikatan. Namun dewasa ini tekanan
lebih banyak di berikan kepada ketertiban sehingga yang sangat diprioritaskan
adalah disiplin. Penekanan pada nilai ketertiban mengakibatkan bahwa
aturan-aturan senantiasa harus diawasi pelaksanaannya. Manusia akan mencari
peluang terus untuk sekedar bebas, karena yang demikian itu adalah kodrat
manusia.
Fungsi agama menunjuk kepada pengertian sumbangan yang diberikan agama, atau
lembaga sosial keagamaan, untuk menjaga keutuhan masyarakat. Dengan kata lain,
adalah pada masalah peranan yang telah dan masih dimainkan oleh agama, dalam
rangka mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Dari dimensi itu fungsi
agama baru dilihat dari fungsi sosial. Padahal agama memiliki dua fungsi.
Pertama, fungsi yang tidak disengaja, yang dilaksanakan dalam bentuk tingkah
laku keagamaan tertentu. Oleh para sosiolog disebut sebagai fungsi laten
(tersembunyi). Sedangkan fungsi yang disengaja, atau tujuan resmi, disebut
sebagai fungsi manifest (nyata). Fungsi laten dalam beberapa hal hampir sama
dengan fungsi sosial.[5]
Keragaman yang ada kalanya masih dapat dihimpun dalam bingkai perbedaan
adalah rahmat tidak jarang perbedaan tersebut menjurus pada konflik antara
kelompok yang cenderung membawa laknat. Keragaman tradisi keagamaan selanjutnya
menimbulkan keragaman pula dalam hal merespon perkembangan dan tantangan yang
dihadapi. Pada gilirannya keragaman tersebut ditambah dengan makin kompleksnya
masyarakat modern yang menimbulkan institusi-institusi yang semakin beragam
pula, menjadi sebab terjadinya proses perbedaan struktural dalam suatu agama.
C. Agama dan
kerukunan agama
"Rukun" dari Bahasa Arab "ruknun" artinya asas-asas
atau dasar, seperti rukun Islam. Rukun dalam arti sifat adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat
beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda
agama. Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua agama,
semua warga negara RI. Pada tahun 1967 diadakan musyawarah antar umat beragama,
Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut menyatakan antara lain:
"Pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran suatu agama, dengan syarat
penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum beragama di Indonesia.
Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap
sesama umat beragama". Pada tahun
1972 dilaksanakan dialog antar umat beragama. Dialog tersebut adalah suatu
forum percakapan antar tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat dan pemerintah.
Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran bersama dan menjalin hubungan
pribadi yang akrab dalam menghadapi masalah masyarakat. Kerukunan umat beragama
bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat
ikut serta dalam pembangunan bangsa.
Kita tahun bahwa semua agama-agama yang ada mengajarkan kepada umatnya
untuk tidak membuat kerusuhan dan kekerasan, nilai-nilai persatuan secara
universal. Demikian juga apa yang diamanatkan Undang-Undang dasar negara kita
di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 199 yang antara lain disebutkan
tentang kebijakan pembangunan agama meliputi antara lain ; memamntapkan fungsi,
peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spritual dan etika dalam
penyelenggaraan Negara serta mengupayakan agar segala peraturan perundang
undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama. Meningkatkan dan
memantapkan kerukunan hidup antar umat beraagama sehingga tercipta suasana
kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan
melalui dialog antar umat beragama dan pelaksanaan pendidikan agama yang baik
dan benar. Banyak tokok-tokoh agama yang menghendaki bahwa untuk mewujudkan
terjalinnya kerukunan tersebut diperlukan sikap toleransi, namun bukan hanya
sekedar toleransi, tetapi lebih dikembangkan lagi pada tahap apresiasi yang
artinya penghargaan dan penghormatan, bahkan mungkin pengakuan terhadap
kebenaran dan keselamatan juga ada pada agama yang lain. Kerukunan hidup umat
beragama merupakan suatu keadaan yang harmonis atau interaksi harmonis di dalam
individu-individu pemeluk agama, dimana tiap-tiap individu penganut agama mau
hidup saling hormat menghormati, percaya mempercayai sehingga dalam hubungan
interaksi terciptalah suasana yang selaras, tenteram, rukun dan damai. Dasar
Dasar Kerukunan dalam ajaran Hindu
Weda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hidu maka
ajaran Weda diyakini dan dipedomani oleh umat Hidu sebagai satu satunya sumber
bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan. Diyakini
sebagai kitba suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang Maha Suci. Dari kitab suci Weda,
mengalirkan ajaran Weda kepada kitab-kitab Smerti (Manawadarmasastra), Itihasa,
Purana, Kitab-kita Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa yang ada di
Indonesia. Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan
setelah meninggalnya nanti. Weda menuntun hidup umat manusia, menuntut hidup
manusia dalam bermasyarakat. Dalam kitab Manawadharmasastra disebut. “Weda
adalah sumber dari segala Dharma, yakni agama kemudia barulah Smerti, disamping
sila (kebiasaan atau tingkahlaku yang baik dari orang yang menghayati dan
mengamalkan ajaran Weda) dan kemudian Acara yakni tradisi yang baik dari
orang-orang suci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Amatusti,
yakni rasa puas diri yang dipertanggung jawabkan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa”. Bagaimana memupuk kerukunan hidup umat beragama menurut Hindu ? dalam
konsep Hidup, ada beberapa nilai ajaran yang relevan dengan kerukunan hidup
beragama yang diantaranya adalah ajaran : Tat Twan asi, Karmaphala dan Ajaran
Ahimsa.
Tatawamasi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu
dan sebaliknya kamu adalah saya dan segala mahluk adalah sama sehingga menolong
orang lain berarti menolong diri sendiri. Kamu dan aku adalah bersaudara,
anatara saya dan kamu sesungguhnya adalah bersaudara, hakekat atman yang
menjadikan hidup antara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan.
Atman yang menghidupkan tubuh mahluk hidup ada;ah merupakan percikan terkecil
dari Tuhan, Kita sama-sama mahluk ciptaan Tuhan.
Ajaran Tattwamasi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut
merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Tattwamasi merupakan kata kunci
untuk dapat membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar saling asah,
asih dan asuh diantara sesama mahluk hidup.“Orang arif bijaksana melihat
semuanya sama, baik kepada Brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap
mahluk hidup lainnya, orang yang hinapapa sekalipun, walaupun perbuatan jahat
yang dilakukan orang lain terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu hendaknya sebagai
balasannnya, janganlah sekali-sekali membalas dengan perbautan jahat, sebab
orang yang berhasrat kejahatan itu pada hakekatnya akan mengahncurkan dirinya
sendiri”.
Nilai kerukunan juga termuat dalam ajaran Tata Susila Hindu. Tata Susila
merupakan ajaran pengendalian diri dalam pergaulan hidup. manusia sebagai
mahluk sosial, ia tidak hidup sendian, ia selalu bersama – sama dengan orang
lain. Manusia hanya dapat hidup bersama – sama dengan orang lain. Hanya dalam
hidup bersama, manusia dapat berkembang dengan wajar. Untuk mewujudkan
keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud, maka ajaran Tata Susila
diapresiasikan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisuda yang artinya tiga prilaku
manusia yang disucikan :
1.
Manachika Parisudha, yaitu berpikir yang baik
dan benar.
2.
Wacika Parisudha, yaitu berkata yang baik dan
benar.
3.
Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan
benar.[6]
Jika
ketiga hal diatas dapat dikendalikan dengan baik dan benar, maka dengan
sendirinya kerukunan sesama mahluk ciptaan Tuhan itui dapat diwujudkan dalam
hidup ditengah – tengah masyarakat yang majemuk. Lebih lanjut, nilai kerukunan
dapat dilihatdalam ajaran tentang karma Phala. Keyakinan tentang Karma Phala
tertuang dalam Sradha yang kelima dari lima Sradha dalam ajaran hindu. Apa yang
diperbuat oleh manusia akan menghasilkan akibat dari perbuatannya. Ada akibat
yang baik dan ada akibat yang buruk. Akibat dari perbuatan yang baik memberikan
rasa senang dan akibat yang buruk memberikan kesusahan ataupun penderitaan.
Oleh karena itu ajaran hindu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat
yang baik. Karma Phala sebagai hukum sebagai akibat dapat dijadikan suatu
pedoman dalam menjalin kerukunan.
Ajaran
Ahimsa merupakan salah satu bentuk penerapan nilai – nilai kerukunan antar umat
beragama dari sisi pandang hindu. Ahimsa berarti tidak membunuh, tidak
menyakiti mahluk lain adalah kebajikan yang utama atau dharma yang paling
tinggi . ahimsa adalah perjuangan tanpa kekerasan. Jika melanggar hukum alam,
maka akibatnya alam akan berbalik melanggar orang yang melangarnya. Prilaku
yang bersifat pengrusakan, mengancam, membakar emosi dan semacamnya
bertentangan dengan prinsip Ahimsa karma, termasuk didalamnya menyakiti hati
orang lain atau atau agama orang lain yang niatnya tidak baik, maupun kata –
kata yang kasar, pedas dan mengupat. Bila perbuatan ini terjadi maka
terhambatlah usaha untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Pengembangan
Kerukunan Yang Berwawasan Multikultural.
D. Landasan
hukum kerukunan
Ada empat landasan hukum kerukunan yaitu:
1. Landasan Idiil,
yaitu Pancasila (sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa).
2. Landasan
Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat 1: "Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Dan Pasal 29 ayat 2: "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
3. Landasan
Strategis, yaitu Ketatapan MPR No.IV tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara. Dalam GBHN dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun
2000, dinyatakan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya
suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang
penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, secara bersama-sama makin
memperkuat landasan spiritual., moral dan etika bagi pembangunan nasional, yang
tercermin dalam suasana kehidupan yang harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan
dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
4. Landasan
Operasional
a.
UU No. 1/PNPS/l 965 tentang larangan dan
pencegahan penodaan dan penghinaan agama.[7]
b.
Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama RI. No.01/Ber/Mdn/1969 tentang pelaksanaan aparat pemerintah yang
menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan dan pengembangan ibadah pemeluk
agama oleh pemeluknya.
c.
SK. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI.
No.01/1979 tentang tata cara pelaksanaan pensyiaran agama dan bantuan luar
negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan swasta di Indonesia.
d.
Surat edaran Menteri Agama RI. No.MA/432.1981
tentang penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan.
Pada tanggal 30 Juni 1980 di bentuk
wadah musyawarah antar umat beragama dalam keputusan Menteri Agama RI. No.35 tahun
1980 yang ditanda tangani wakil-wakil dari:
1) Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dari golongan Islam.
2) Dewan
Gereja-gereja Indonesia (DGI) dari golongan Kristen Protestan.
3) Majelis Agung
Wali Gereja Indonesia (MAWI) dari golongan Katolik.
4) Prasida Hindu
Darma Pusat (PHDP) dari golongan Hindu.
5) Perwalian Umat
Budha Indonesia (WALUBI) dari golongan Budha.
6) Sekretaris
Jenderal Departemen Agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah “Agama” mempunyai dua macam pengertian yaitu pengertian secara
asal-usul kata (etimologi) dan pengertian secara istilah (terminologi) yaitu:
1. Agama berasal
dari bahasa sansekerta yang diartikan dengan: haluan, peraturan, jalan atau
kebaktian kepada Tuhan.
2. Agama terdiri
dari dua kata yaitu: A= tidak, GAMA= kacau balau, tidak teratur. Jadi Agama
berarti: tidak kacau balau yang berarti teratur.
Dari kedua pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan
haluan, atau jalan yang telah
dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan. Agama
bertugas menjaga kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama
berkecimpung dalam peraturan dan hokum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya
arti kalau dalam situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan prinsip-prinsip
yang mengambang di udara. Dalam realitas kehidupan terdapat tidak sedikit orang
menganut secara formal agama tertentu namun praktek kehidupannya ternyata tidak
mencerminkan sikap dan perilaku orang beragama.
Agama sebagai realitas social di
dalamnya tidak hanya terkandung ajaran yang bersifat normatif doctrinal
melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan,
tempat suci serta bagunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para
pemeluknya. Dengan demikian bila terjadi konflik antar agama maka terdapat
berbagai variabel yang terlibat, yang satu memperkuat yang lain, meski meskipun
ada juga aspek ajaran yang menjadi kekuatan pencegah.
B. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan untuk itu kritik dan saran dari para pembaca sekalian sangat
diharapkan demi untuk perbaikkan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Lutfhi Assyaukanie, Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Agama,
(Kompas, 2003)
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991)
Imam Barnadib, Pendidikan Perbandingan,
(Yogyakarta: Andi Offset, 1987)
Moh. Rivai, Perbandingan Agama,
(Jakarta: Jayamurni, 1964),
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia,
No:55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II,
Pasal 2, ayat 1.
[7] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No:55 Tahun 2007, Tentang
Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II, Pasal 2, ayat 1.
No comments:
Post a Comment