Tuesday, July 31, 2018

Makalah Regulasi Penerapan Kerukunan Melalui Kebijakan Pemerintah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersar dengan keanekaragaman dan kemajemukan agama dan budaya yang dianut, hidup berdampingan ditengah – tengah masyarakat. Pada waktu dahulu bangsa Indonesia pernah mendapat pujian dan sanjungan dari dunia Internasional dan dijadikan model dalam hal kerukunan bagi bangsa-bangsa lain. Hal yang demikian memberikan satu penilaian bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Namun kebanggaan itu, pada akhir-akhir ini seakan sirna dengan munculnya konflik di beberapa bagian wilayah Indonesiadalam bentuk kekerasan dan kerusuhan masa yang dibarengi dengan pengrusakan terhadap rumah – rumah ibadah. Sesungguhnyanya pemicu konflik/kerusuhan tersebut bukan dikarenakan perbedaan agama semata, melainkan lebih disebabkan oleh faktor non agama seperti faktor ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya.
Alasan yang mendasar tentang perlunya pendidikan agama berwawasan kerukunan ini adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa pendidikan agama yang berlangsung selama ini belum secara optimal memberikan sumbangan yang positif bagi terciptanya persaudaraan sejati. Oleh karena itu pendidikan agama berwawasan kerukunan diarahkan untuk mengembangkan sikap dan tindakan peserta didik yang dimotivasi oleh semangat kebaikan. Agama bertugas dalam menjaga kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hukum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya arti kalau dalam situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan prinsip-prinsip yang mengambang di udara.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Arti agama?
2.      Perlukah kita beragama?
3.      Bagaimana pandangan Islam tentang kerukunan antar umat beragama?
4.      Bagaimana landasan hukum mengenai kerukunan beragama?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui Arti agama
2.      Untuk mengetahui kita beragama
3.      Untuk mengetahui pandangan Islam tentang kerukunan antar umat beragama
4.      Untuk mengetahui landasan hukum mengenai kerukunan beragama
  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Arti Agama
Istilah “Agama” mempunyai dua macam pengertian yaitu pengertian secara asal-usul kata (etimologi) dan pengertian secara istilah (terminologi) yaitu:[1]
1.      Agama berasal dari bahasa sansekerta yang diartikan dengan: haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan.
2.      Agama terdiri dari dua kata yaitu: A= tidak, GAMA= kacau balau, tidak teratur. Jadi Agama berarti: tidak kacau balau yang berarti teratur.
Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan,  atau jalan yang telah dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan. Agama bertugas menjaga kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hokum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya arti kalau dalam situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan prinsip-prinsip yang mengambang di udara. Dalam realitas kehidupan terdapat tidak sedikit orang menganut secara formal agama tertentu namun praktek kehidupannya ternyata tidak mencerminkan sikap dan perilaku orang beragama.[2]
Agama sebagai realitas social di dalamnya tidak hanya terkandung ajaran yang bersifat normatif doctrinal melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bagunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya. Dengan demikian bila terjadi konflik antar agama maka terdapat berbagai variabel yang terlibat, yang satu memperkuat yang lain, meski meskipun ada juga aspek ajaran yang menjadi kekuatan pencegah.
Nilai-nilai kegamaan merupakan landasan bagi sebagian besar system nilai-nilai sosial, maka pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah pendidikan agama. Nilai berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan dengan sikap individu. Dalam hampir setiap masyarakat nilai-nilai keagamaan sangat diprioritaskan karena nilai-nilai ini memberikan aturan-aturan yang paling luhur mengenai hubungan antar manusia. Kehidupan yang penuh dengan kedamaian secara idealistis berdasarkan pada keserasian pada dua nilai yakni nilai ketentraman dan nilai ketertiban. Nilai ketentraman menunjuk pada keadaan bebas, sedangkan ketertiban berarti disiplin. Manusia tidak mungkin hidup bebas saja atau disiplin belaka. Dalam kehidupan sehari-hari senantiasa harus ada keserasian antara kebebasan dengan keterikatan.[3]
Paham pluralisme yang membangun semangat kerukunan hidup umat beragama sebaiknya dikembangkan. Lembaga yang paling strategis untuk keperluan tersebut adalah sekolah. Langkah ini amat penting karena selama ini pelajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan formal terkesan lebih banyak mengarah pada semangat misionaris dan dakwah. Alasan yang mendasar tentang perlunya pendidikan berwawasan kerukunan ini adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa pendidikan agama yang berlangsung selama ini belum mampu memberikan kontribusi positif bagi terciptanya persaudaraan sejati. Apalagi Peraturan Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian kerukunan hubungan intern dan antarumat beragama.
Oleh karena itu sudah selayaknya bila segala daya dan upaya pendidikan agama diarahkan untuk mencapai fungsi tersebut. Dalam konteks Indonesia yang majemuk dari segi suku, agama, budaya, bahasa, dan kepentingan politik perlu memikirkan terbentuknya masyarakat yang terbuka. Karakteristik utama masyarakat yang terbuka adalah yang bersandar pada nilai-nilai yang menghargai perbedaan. Kepada peserta didik harus diajarkan bagaimana cara hidup ditengah pluralisme bangsanya, agar mereka mampu hidup, baik dalam internal kelompoknya maupun dalam eksternal kelompok lain. Mereka selalu bias hidup damai dengan lingkungannya. Kepada peserta didik harus diajarkan tentang bagaimana memaknai perbedaan yang dibingkai dalam Bhinneka Tunggal Ika secara bijaksana dan tepat. Pendidikan agama diarahkan untuk membentuk generasi yang mampu beradaptasi dan hidup dengan berbagai golongan yang berbeda namun tetap tidak terlepas dari akar budaya, agama, dan jati dirinya, serta mampu hidup damai dalam masyarakat yang plural.

B.     Agama dan cinta damai
Agama sebagai pembawa damai sudah semestinya dapat hidup berdamai dengan agama-agama yang berbeda. Oleh karena itu, sebagai seorang yang beragama, tidaklah pantas bicara tentang kedamaian tanpa berusaha untuk hidup damai dengan pemeluk agama lain. Usaha untuk membangun  jembatan komunikasi antaragama harusnya tak mengenal putus asa, walau beribu tantangan berat melintang didepannya. Agama, diibaratkan seperti dua mata pisau. Satu sisi dapat mempererat solidaritas, di sisi lain dapat menumbuhkan konflik sosial. Solidaritas bisa terbangun bila komunitas manusia ada dalam satu payung agama serta konflik mudah terpicu di antara komunitas berlainan agama.[4]
Kehidupan yang penuh dengan kedamaian secara idealistis berdasarkan pada keserasian pada dua nilai yakni, nilai ketentraman dan nilai ketertiban. Nilai ketentraman menunjuk pada keadaan bebas, sedangkan ketertiban berarti disiplin. Manusia tidak mungkin hidup bebas saja atau disiplin belaka. Dalam kehidupan sehari-hari senantiasa harus ada keserasian antara kebebasan dengan keterikatan. Namun dewasa ini  tekanan lebih banyak di berikan kepada ketertiban sehingga yang sangat diprioritaskan adalah disiplin. Penekanan pada nilai ketertiban mengakibatkan bahwa aturan-aturan senantiasa harus diawasi pelaksanaannya. Manusia akan mencari peluang terus untuk sekedar bebas, karena yang demikian itu adalah kodrat manusia.
Fungsi agama menunjuk kepada pengertian sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial keagamaan, untuk menjaga keutuhan masyarakat. Dengan kata lain, adalah pada masalah peranan yang telah dan masih dimainkan oleh agama, dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Dari dimensi itu fungsi agama baru dilihat dari fungsi sosial. Padahal agama memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi yang tidak disengaja, yang dilaksanakan dalam bentuk tingkah laku keagamaan tertentu. Oleh para sosiolog disebut sebagai fungsi laten (tersembunyi). Sedangkan fungsi yang disengaja, atau tujuan resmi, disebut sebagai fungsi manifest (nyata). Fungsi laten dalam beberapa hal hampir sama dengan fungsi sosial.[5]
Keragaman yang ada kalanya masih dapat dihimpun dalam bingkai perbedaan adalah rahmat tidak jarang perbedaan tersebut menjurus pada konflik antara kelompok yang cenderung membawa laknat. Keragaman tradisi keagamaan selanjutnya menimbulkan keragaman pula dalam hal merespon perkembangan dan tantangan yang dihadapi. Pada gilirannya keragaman tersebut ditambah dengan makin kompleksnya masyarakat modern yang menimbulkan institusi-institusi yang semakin beragam pula, menjadi sebab terjadinya proses perbedaan struktural dalam suatu agama.

C.    Agama dan kerukunan agama
"Rukun" dari Bahasa Arab "ruknun" artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun Islam. Rukun dalam arti sifat  adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda agama. Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua agama, semua warga negara RI. Pada tahun 1967 diadakan musyawarah antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut menyatakan antara lain: "Pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama".  Pada tahun 1972 dilaksanakan dialog antar umat beragama. Dialog tersebut adalah suatu forum percakapan antar tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran bersama dan menjalin hubungan pribadi yang akrab dalam menghadapi masalah masyarakat. Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa.
Kita tahun bahwa semua agama-agama yang ada mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membuat kerusuhan dan kekerasan, nilai-nilai persatuan secara universal. Demikian juga apa yang diamanatkan Undang-Undang dasar negara kita di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 199 yang antara lain disebutkan tentang kebijakan pembangunan agama meliputi antara lain ; memamntapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spritual dan etika dalam penyelenggaraan Negara serta mengupayakan agar segala peraturan perundang undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama. Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beraagama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan melalui dialog antar umat beragama dan pelaksanaan pendidikan agama yang baik dan benar. Banyak tokok-tokoh agama yang menghendaki bahwa untuk mewujudkan terjalinnya kerukunan tersebut diperlukan sikap toleransi, namun bukan hanya sekedar toleransi, tetapi lebih dikembangkan lagi pada tahap apresiasi yang artinya penghargaan dan penghormatan, bahkan mungkin pengakuan terhadap kebenaran dan keselamatan juga ada pada agama yang lain. Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu keadaan yang harmonis atau interaksi harmonis di dalam individu-individu pemeluk agama, dimana tiap-tiap individu penganut agama mau hidup saling hormat menghormati, percaya mempercayai sehingga dalam hubungan interaksi terciptalah suasana yang selaras, tenteram, rukun dan damai. Dasar Dasar Kerukunan dalam ajaran Hindu
Weda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hidu maka ajaran Weda diyakini dan dipedomani oleh umat Hidu sebagai satu satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan. Diyakini sebagai kitba suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang Maha Suci. Dari kitab suci Weda, mengalirkan ajaran Weda kepada kitab-kitab Smerti (Manawadarmasastra), Itihasa, Purana, Kitab-kita Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa yang ada di Indonesia. Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan setelah meninggalnya nanti. Weda menuntun hidup umat manusia, menuntut hidup manusia dalam bermasyarakat. Dalam kitab Manawadharmasastra disebut. “Weda adalah sumber dari segala Dharma, yakni agama kemudia barulah Smerti, disamping sila (kebiasaan atau tingkahlaku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan ajaran Weda) dan kemudian Acara yakni tradisi yang baik dari orang-orang suci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Amatusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggung jawabkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa”. Bagaimana memupuk kerukunan hidup umat beragama menurut Hindu ? dalam konsep Hidup, ada beberapa nilai ajaran yang relevan dengan kerukunan hidup beragama yang diantaranya adalah ajaran : Tat Twan asi, Karmaphala dan Ajaran Ahimsa.
Tatawamasi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan sebaliknya kamu adalah saya dan segala mahluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Kamu dan aku adalah bersaudara, anatara saya dan kamu sesungguhnya adalah bersaudara, hakekat atman yang menjadikan hidup antara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh mahluk hidup ada;ah merupakan percikan terkecil dari Tuhan, Kita sama-sama mahluk ciptaan Tuhan.
Ajaran Tattwamasi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Tattwamasi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar saling asah, asih dan asuh diantara sesama mahluk hidup.“Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap mahluk hidup lainnya, orang yang hinapapa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang lain terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu hendaknya sebagai balasannnya, janganlah sekali-sekali membalas dengan perbautan jahat, sebab orang yang berhasrat kejahatan itu pada hakekatnya akan mengahncurkan dirinya sendiri”.
Nilai kerukunan juga termuat dalam ajaran Tata Susila Hindu. Tata Susila merupakan ajaran pengendalian diri dalam pergaulan hidup. manusia sebagai mahluk sosial, ia tidak hidup sendian, ia selalu bersama – sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup bersama – sama dengan orang lain. Hanya dalam hidup bersama, manusia dapat berkembang dengan wajar. Untuk mewujudkan keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud, maka ajaran Tata Susila diapresiasikan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisuda yang artinya tiga prilaku manusia yang disucikan :
1.      Manachika Parisudha, yaitu berpikir yang baik dan benar.
2.      Wacika Parisudha, yaitu berkata yang baik dan benar.
3.      Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan benar.[6]
Jika ketiga hal diatas dapat dikendalikan dengan baik dan benar, maka dengan sendirinya kerukunan sesama mahluk ciptaan Tuhan itui dapat diwujudkan dalam hidup ditengah – tengah masyarakat yang majemuk. Lebih lanjut, nilai kerukunan dapat dilihatdalam ajaran tentang karma Phala. Keyakinan tentang Karma Phala tertuang dalam Sradha yang kelima dari lima Sradha dalam ajaran hindu. Apa yang diperbuat oleh manusia akan menghasilkan akibat dari perbuatannya. Ada akibat yang baik dan ada akibat yang buruk. Akibat dari perbuatan yang baik memberikan rasa senang dan akibat yang buruk memberikan kesusahan ataupun penderitaan. Oleh karena itu ajaran hindu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat yang baik. Karma Phala sebagai hukum sebagai akibat dapat dijadikan suatu pedoman dalam menjalin kerukunan.
Ajaran Ahimsa merupakan salah satu bentuk penerapan nilai – nilai kerukunan antar umat beragama dari sisi pandang hindu. Ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti mahluk lain adalah kebajikan yang utama atau dharma yang paling tinggi . ahimsa adalah perjuangan tanpa kekerasan. Jika melanggar hukum alam, maka akibatnya alam akan berbalik melanggar orang yang melangarnya. Prilaku yang bersifat pengrusakan, mengancam, membakar emosi dan semacamnya bertentangan dengan prinsip Ahimsa karma, termasuk didalamnya menyakiti hati orang lain atau atau agama orang lain yang niatnya tidak baik, maupun kata – kata yang kasar, pedas dan mengupat. Bila perbuatan ini terjadi maka terhambatlah usaha untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Pengembangan Kerukunan Yang Berwawasan Multikultural.

D.    Landasan hukum kerukunan
Ada empat landasan hukum kerukunan yaitu:
1.      Landasan Idiil, yaitu Pancasila (sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa).
2.      Landasan Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat 1: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Dan Pasal 29 ayat 2: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
3.      Landasan Strategis, yaitu Ketatapan MPR No.IV tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam GBHN dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000, dinyatakan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang penuh keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual., moral dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana kehidupan yang harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
4.      Landasan Operasional
a.       UU No. 1/PNPS/l 965 tentang larangan dan pencegahan penodaan dan penghinaan agama.[7]
b.      Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI. No.01/Ber/Mdn/1969 tentang pelaksanaan aparat pemerintah yang menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan dan pengembangan ibadah pemeluk agama oleh pemeluknya.
c.       SK. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI. No.01/1979 tentang tata cara pelaksanaan pensyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan swasta di Indonesia.
d.      Surat edaran Menteri Agama RI. No.MA/432.1981 tentang penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan.
Pada tanggal 30 Juni 1980 di bentuk wadah musyawarah antar umat beragama dalam keputusan Menteri Agama RI. No.35 tahun 1980 yang ditanda tangani wakil-wakil dari:
1)      Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari golongan Islam.
2)      Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) dari golongan Kristen Protestan.
3)      Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) dari golongan Katolik.
4)      Prasida Hindu Darma Pusat (PHDP) dari golongan Hindu.
5)      Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) dari golongan Budha.
6)      Sekretaris Jenderal Departemen Agama.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Istilah “Agama” mempunyai dua macam pengertian yaitu pengertian secara asal-usul kata (etimologi) dan pengertian secara istilah (terminologi) yaitu:
1.      Agama berasal dari bahasa sansekerta yang diartikan dengan: haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan.
2.      Agama terdiri dari dua kata yaitu: A= tidak, GAMA= kacau balau, tidak teratur. Jadi Agama berarti: tidak kacau balau yang berarti teratur.
Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup beragama itu adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan,  atau jalan yang telah dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan. Agama bertugas menjaga kehidupan agar menjadi tertib dan teratur. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan hokum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya arti kalau dalam situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan prinsip-prinsip yang mengambang di udara. Dalam realitas kehidupan terdapat tidak sedikit orang menganut secara formal agama tertentu namun praktek kehidupannya ternyata tidak mencerminkan sikap dan perilaku orang beragama.
Agama sebagai realitas social di dalamnya tidak hanya terkandung ajaran yang bersifat normatif doctrinal melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bagunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya. Dengan demikian bila terjadi konflik antar agama maka terdapat berbagai variabel yang terlibat, yang satu memperkuat yang lain, meski meskipun ada juga aspek ajaran yang menjadi kekuatan pencegah.
B.     Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan untuk itu kritik dan saran dari para pembaca sekalian sangat diharapkan demi untuk perbaikkan makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Lutfhi Assyaukanie,  Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Agama, (Kompas, 2003)

Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991)

Imam Barnadib, Pendidikan Perbandingan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987)

Moh. Rivai, Perbandingan Agama, (Jakarta: Jayamurni, 1964),

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No:55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II, Pasal 2, ayat 1.


[1] Lutfhi Assyaukanie,  Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Agama, (Kompas, 2003)
[2] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991) h. 5.
[3] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991) h. 7
[4] Imam Barnadib, Pendidikan Perbandingan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987) h. 28.
[5] Imam Barnadib, Pendidikan Perbandingan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1987) h. 30
[6] Moh. Rivai, Perbandingan Agama, (Jakarta: Jayamurni, 1964), h. 44
[7] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No:55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II, Pasal 2, ayat 1.

No comments:

Post a Comment