Monday, June 4, 2018

Sekilas Tradisi Syarafal Anam di Bengkulu


Peneliti: Salim Bela Pilli, adalah Dosen Fakultas FUAD IAIN Bengkulu
A.    Tradisi Syarafal Anam
Syarafal AnaM telah menjadi seni tradisional di kalangan etnik Melayu, Rejang, Lembak dan Serawai di propinsi Bengkulu. Mereka melakukan syarafal Anam baik dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan ibadah dan peringatan keagamaan (PHBI) seperti: akikah, sunatan, pemikahan, maulid nabi, MTQ, maupun pada acara-acara penting keseharian lainnya seperti memasuki rumah baru, macam-macam syukuran.[1]
Dalam pementasannya Syarafal Anam dimainkan oleh para lelaki yang masing-masing memukul sebuah rebana besar dengan melantukan pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Secara standar jumlah peserta Syarafal Anam ini berkisar sekitar 20 orang. Namun jumlah ini bisa bertambah atau berkurang sesuai tempat, moment dan kesiapan-kesiapan peserta.[2]
Dalam ‘Bimbang Gedang’( Kenduri Agung ), Syarafal Anam dipentaskan dalam bentuk semacam pertandingan antara 2 ‘ kusi’ ( kongsi ) Syaraful Anam yang masing-masing terdiri dari 20 orang bahkan lebih dan masing-masingnya melantunkan lagu Syaraful Anam sejak selesai waktu Isya’ sampai waktu malam, sedangkan dalm ‘ Bimbang Kecik’ Syaraful Anam bias terdiri dari sekitar 8 orang saja. Bahkan waktu pentasnya pun bisa panjang atau pendek sesuai permintaan Sahibul hajat.
Pengaturan panjang pendeknya waktu pentas ditentukan oleh pilihan- pilihan ‘Pesal’ yang satu sama lainnya berbeda jumlah nozomnya. Pesal-pesal dalam Nazom Maulud Syarafal Anam antara lain dikenal dengan nama- nama(l) Assalamualaika, (2) Bisyahri, (3) Tanaqqal, (4) Wulidal Habib, (5) Shala Alaika, (6) Badat Lan. (7) Asraqal. Pesal-pesal tersebut mengacu kepada kalimat-kalimat awal atau dominan dalam Nozon Syarafal anam[3].
Kelompok Syaraful Anam memiliki irama tersendiri dalam melantunkan setiap pesal-pesal tersebut, sehingga mereka menamakan Assalamualaika dsb sebagai nama lagu, padahal sebutan resmi untuk jenis lagu dalam Syarafal Anam itu adalah (1) Lagu Yalil / Husaini yang iramanya seperti Tilawatil Qur’an, (2) Shika / Rekby yang iramanya lebih tinggi daripada Yalil.(3) Lagu Hijjaz yang iramanya lebih tinggi dari Sikha, (4) Lagu Nahawan, (5) Lagu naik dan Penutup.[4]
Dilihat dari penampilan pentasnya Syarafal Anam merupakan semacam pertunjukkan musik perkusi. Rebana-rebana ditabuh dengan frekuensi cepat, kencang, bertubi-tubi dengan irama yang dominan keras, ditingkahi oleh suara-suara bersahut-sahutan melafalkan puji-pujian kepada rasul dengan semangat heroik. Dalam hal ini seringkali suara tetabuhannya terdengar menenggelamkan kasidah dalam teriakan-teriakan yang sulit ditangkap apa bunyi persisnya. Kesan demikian semakin menonjol pada pertunjukkan yang lebih kolosal.
Pada pentas yang minimalis suara sahutan-sahutan para vokalis terdengar lebih menonjol, kendati masih sulit juga menangkap lirik-lirik yang dilantunkan. Tapi nampaknya mayoritas masyarakat pendengar memang tidak fokus untuk menyimaki bunyi lafal qosidah tersebut. Mereka hanya ingin mencari tontonan bukan tuntunan. Untuk menonton mereka cukup dengan melihat penampilam atraktif para pemain Syarafal Anam, sedangkan untuk memperoleh tuntunan mestinya mereka paham apa-apa yang diucapkan dalam lirik-lirik kasidah tersebut. Lirik-lirik kasidah tersebut diucapkan dalam bahasa aslinya yaitu bahasa Arab disinilah baik para penonton bahkan mungkin pemainnya sendiri justru tidak paham arti liriknya tersebut.mereka asyik menonton lantaran sudah terbawa irama musik perkusi.[5]
Padahal sebagai sebuah seni membaca Nazom yang semacam poetry reading dalam bahasa Arab criteria,penilaian baik atau tidak baiknya Syaraful Anam hendaknya ditetapkan berdasarkan kaedah-kaedah ilmu Tajwid atau ilmu Qira’ah dalam alqur’an sehingga maksud penciptaan Syarafal Anam atau Barzanji tersebut sebagai kasidah-kasidah untuk nabi tidak hilang oleh riuh rendahnya bunyi gendang ditabuh.
Untuk memperoleh persfektif sudut pandang tentang Syarafal Anam ini, penulis ingin membahasnya dalam tiga wacana (1) Syarafal Anam sebagai semacam Shalawat. (2) Syarafal Anam sebagai Genre sasra Islam.(3) Syarafal Anam sebagai tradisi seni budaya local.

B.     Syarafal Anam Sebagai Shalawat
Syarafal anam, lebih tepatnya lagi “ Maulid Syarafil Anam “ merupakan bagian awal dari kitab Barzanji. Dari segi isi “Syarafal Anam” merupakan Shalawat salam dan Tabarruk atas nabi. Karena itu untuk dapat melihat dan mendudakkan syarafal anam pada posisi yang tepat orang harus terlebih dahulu memahami Maqam Shalawat atas Nabi SAW.[6]
Dalam membicarakan shalawat terdapat tiga aspek, yaitu, Mushalli (yaitu orang yang menyampaikan shalawat), Mushalla (orang yang kepadanya shalawat disampaikan), dan “Shalawat” itu sendiri. Untuk lebih jelasnya ketiga aspek tersebut akan diuraikan sekedamya:
Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan “Mushalli”. Dalam hal ini terdapat perintah yang jelas dan langsung bersumber dari al-qur’an dan sunnah rasul. Hal ini dapat kita baca Q.S. al-Ahzab (33) : 56.
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ  
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi, dan ucapkanlah Salam penghormatan kepadanya.”
Allah bershalawat kepada Nabi SAW artinya Allah memberi rahmat kepada beliau, malaikat bershalawat kepada Nabi artinya malaikat memintakan ampunan bagi Nabi. Orang-orang mukmin (disuruh) bershalawat artinya berdo’a supaya nabi saw & dirinya diberi rahmat oleh allah swt. Ucapan standar yang minimal untuk shalawat ini ialah : “Allahumma Shalli ‘ala Muhammad”.[7]
Sebagai perintah syariat. Nabi mengajarkan bacaan-bacaan shalawat tertentu yang pada masanya dikenal dengan istilah “Shalawat Masyru’ah”. Diantara shalawat Masyru’ah yang terkenal adalah “Shalawat Ibrahimiyah” yang dibaca dalam ibadah shalat, pembuka do’a, khutbah- khutbah jum’at, hari raya, dan nikah.
Masalahnya : apakah orang-orang mukmin dalam menjalankan perintah bershalawat tersebut harus terbatas kepada model “Shalawat- Shalawat Masyru’ah” saja, atau boleh dengan kalimat-kalimat lain? Masalah ini telah dikaji dalam ilmu fiqih dan tafsir-tafsir sebagaimana dapat kita simak dari karya-karya:
1.      Imam Baihaqy ( Dalail an Nubuwwah)
2.      Qodhi Iyadh ( asy-Syifa’)
3.      Ibnul Janzi ( Syifa al-Shafwa)
4.      Imam Nawawi ( Tahzib al asma Wa shifah )
5.      Imam Jahluddin Suyuthi ( al-khasaish al-kubra)
6.      Imam nabahani ( al-anwar al- muhammady dan majmuatus shalawat) dll.
Sebagai sarana ibadah, bentuk shalawat ini banyak dikembangkan dan disumbangkan oleh imam-imam mazhab sufi. Setiap Tarekat memiliki beberapa jenis shalawat yang mereka istiqamahkan membacanya dalam “aurad” (wirid-wirid) harian mereka. Untuk menyebut beberapa contoh saja, misalnya dari tarekat Sadzilliyah berkembang Shalawat “ Annural adz-Dzati“ & “Shalawat Annawiyah Li Ziyarah fi Qobrin Nabi“. & “Shalawat li ziyarah fi hadhratin nubuwah”. Dari Syekh Ahmad bin Idris al Fasi dikenal sekitar 8 macam shalawat, yaitu shalawat Ummiyah, shalawat Khusluqil adzim, shalawat Haqaiqul qubra, Shalawat Tanbah, shalawat Jam’ul jami wa farqul farqi, Shalawat Majlalkamatat, shalawat intihaaiy dan shalawat Saiyyidul Shalawat’. Shalawat-shalawat karya Ahmad bin idris al-fasi ini dikembangkan oleh tarekat-tarekat Idrisiyyah, Khidriyah, Sanusiyah, Rasyidiyah, Amirganiyah, Dasuqiyah & Dardawiyah.[8]
Dari macam-macam shalawat yang berkembang dikalangan ahli tasauf/tarekat tersebut, beberapa dikenal cukup luas dikalangan masyarakat Islam secara umum. Diantaranya seperti shalawat-shalawat Munziyat, shalawat Kamilah, shalawat Nariyah, shalawat Nuriyah, shalawat Fatihiyah, shalawat Adzimiyah, shalawat Ummiyah & shalawat Aliliyah. Kalau ditelusuri asal-usulnya maka akan ditemukan juga sumbemya dari kelompok- kelompok tarekat yang berkembang luas di nusantara ini yaitu dari Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Sammaniyah, Ritaiyah dll.
Dalam menyikapi shalawat sebagai suatu ibadah kaum muslimin mesti melaksanakanya dengan ketentuan-ketentuan mengenai “kaifiyah” (tata cara ) dan adab-adab khusus, seperti adanya suasana khidmat, tempat & pakaian yang suci dan pengucapan yang tepat. Syarafal anam, barzanji adalah shalawat juga karena itu harus disikapi dengan adab-adab tertentu. Karena itu bias dimaklumi bila ada yang melaksanakanya pada acara walimah nikah, akiqah, atau macam-macam syukuran & selamatan. Ada juga yang mengaitkan pembacaannya dengan keistimewaan & khasiat-khasiat penyembuhan.[9]
Kedua, wacana yang berkaitan dengan “Mushalla”. Sebagai idola yang kepadanya shalawat diwajibkan Muhammad SAW adalah profil manusia sempuma (insane kamil) yang diakui kawan dan lawannya, masyarakat awam, maupun elite intelektual, dari dalam sampai sekarang bahkan masa depan. Al- Qur’an suci mengabadikannya dalam Q.S. al-Ahzab (33) : 21. “sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Karena itulah, tanpa diperintahkan Tuhan sekalipun, kaum Muslimin yang pelaksanaan ibadah ritual sehari-harinya minus pun akan memberikan penghormatan & pujian kepada Baginda Nabi SAW. Ironis tapi nyata, bahkan ada yang mengidentifikasikan keislamannya dengan keikutsertaanya dalam acara-acara Mauludan.
Tapi begitulah, penghormatan dan pujian terhadap Muhammad SAW bersumber dari kepribadian beliau sendiri. Bagaimana manusia tidak akan memujinya bilamana para malaikat & Allah sendiri telah memujinya.
Ketiga, masalah sekitar ungkapan. “lafadz shalawat”. Berkaitan dengan lafadz dalam Shalawat ini terdapat beberapa pendapat. Ada yang ketat berpegang pada ketentuan dalil literal/teks, ada yang longgar yang menyatakan boleh mengungkapkannya dalam lafadz apapun asal untuk menghormati, memuji, menyanjung, bertabarukk kepada Rasul. Pendapat ini muncul lantaran memang Rasulullah mengajarkan sendiri lafadz khusus untuk shalawat tersebut. Disamping itu juga beliau memberi ketentuan untuk tidak menggunakan lafadz “SAYYIDINA”.[10]
Pendapat pertama menyatakan ungkapan lafadz shalawat itu harus mengikuti petunjuk (dalil) Rasul. Karena dalam ibadah termasuk shalawat tidak boleh ditambah-tambahkan, apalagi ditambahkan dengan lafadz yang Rasulullah sendiri telah melarangnya.
Dalam sebuah Hadits Shahih riwayat muslim dari Ibnu Mas’ud ra. Basyir bin Sahal bertanya kepada Rasulullah tentang bagaimana menyatakan shalawat kepada beliau. Maka Nabi SAW menjawab : “Katakanlah : Allahumma Shalli ala Muhammad, wa ‘ala ali Muhammad kama sallaita ‘ala ali Ibrahim, wa barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama barakta ‘ala ali Ibrahim, fil alamina innaka hamidun majid”.
Pendapat kedua justru menyatakan pemakaian lafadz : “sayyidina” adalah lebih utama (afdhal). Tambahan kata sayyidina merupakan adab sopan santun seorang mukmin kepada Rasulnya. Nabi “melarang” umat ber”sayyidina” kepada beliau untuk menunjukkan sikap tawadhu beliau. Jadi merupakan sopan santun juga bukan “larangan” dalam arti tidak boleh mengerjakannya
Dari kedua pendapat yang masing-masing punya dalil tersebut dapat diambil jalan tengahnya. Pertama, untuk bacaan shalawat dalam ibadah “mahdah” seperti dalam Tahiyyat Shalat, khotbah-khotbah sebaiknya mengikuti bacaan sebagaimana Rasulullah ajarkan dalam Shalawat Ibrahimiyah. Tanpa kata Sayyidina bukan berarti Nabi tidak sopan kepada dirinya maupun Nabi Ibrahim as. Kedua, untuk kegiatan selain ibadah mahdah, sebaiknya diberikan keleluasaan untuk menguungkap rasa cinta, kagum, pemuliaan, tabarruk, puji-pujian kepada sang Rasul sepanjang tidak menimbulkan Syirik. Karena bagaimanapun Rasul sendiri tidak pemah menyatakan dirinya memiliki sifat-sifat supra-manusiawi. Dia ingin tetap menjadi “seorang hamba, seorang makhluk biologis (basyar) yang kepadanya wahyu diturunkan”. (QS. 41:5).

C.    Syarafal Anam Sebagai Genre Sastra
Jika dibuat perbandingan antara mana shalawat yang merupakan ibadah mahdah & mana yang bukan, maka secara sederhananya dapat dibedakan sebagai berikut : shalaw yang ibadah mahdah itu bentuk ungkapan dan waktu pembacaanya telah ditentukan Rasul sebagai smber Syari’ah. Umat tidak punya inisiatif untuk itu. Sedangkan shalawat yang merupakan ungkapan penghormatan, cinta Rasul merupakan karya gubahan individual muslim, baik dia ulama, maupun seniman (penyair).[11]
Berkaitan dengan jenis shalawat yang digubah oleh para penyair ini, dunia sastra Islam mengenal apa yang sekarang dikenal dengan istilah “kasidah”, “puisi-puisi Naktiyah”, atau “madah”. Puisi Naktiyah ini dikenal sejak masa hidup Nabi. Ungkapan terhadap kekaguman diri pribadi Muhammad SAW telah melahirkan generasi- generasi penyair besar dalam kesusatraan Arab, Persia, Urdu, Turki, bahkan juga Spanyol dan Jerman.[12]
Bangsa Arab yang sangat bangga denagn kesusastraannya, mendapat pesona baru dalam figure Muhammad Saw, mereka mengekspresikan segala potensi sastra & daya estetiknya untuk memuji Nabi Arab ini. Penghormatan & kekaguman para penyair ini memperkaya obyeknya dan temanya kearah orang-orang dekat Nabi: anak keturunanya, istri-istrinya, sahabat-sahabat, dan pengikut-pengikutnya. Mengenai diri Nabi sendiri pujian-pujian tersebut bukan hanya atas sifat-sifat mulia atau mukjizatnya, melainkan juga atas rekam jejak sejarahnya. Sejak nama-namnya kelahiran, pengasuhan, remaja,dewasa, pemikahan, rumah tangga, peperangan, kenabian, sampai wafatnya. Akan tetapi juga pada ketampanan lahiriah beliau.[13]
Secara historis puisi-puisi naktiyah telah dirintis oleh penyair-penyair Arab yang hidup pada Zaman Nabi. Diantaranya yang terkenal sebagai penyair nabi yaitu Kaib bin Zubair dan Hasan bin Tsabit. Sejarawan Muslim Ibnu Sayyid al-Nashi (w.732) telah menulis suatu karya khusus mengenai masalah ini dalam kitab-kitab “Minah al Madh” (Karunia Pujian), dimana dia mengantologikan syair-syair pujian yang ditulis oleh hamper 200 orang sahabat Nabi SAW. Syair-syair tersebut memang dimaksudkan untuk mengangungkan pribadi Muhammad SAW dengan sifat-sifat beliau yng mulia. Diantara syair-syair tersebut terdapat bait-bait yang dibacakan dihadapan beliau.
Syair-syair pujian dan penghormatan kepada Nabi sebagai Asrafal Anam ( Manusia Paling Agung/ Mulia ) terus ditulis sepanjang abad-abad berikutnya, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Persi, Urdu sampai mencapai puncak kematangannya pada abad ke 12 dan ke 13 bersamaan dengan memuncaknya perkembangan sastra sufi.[14]
Dalam kaitannya sebagai warisan seni islam,dari sekian banyak karya sastra Naktiyah (ode) secara fenomenal oamg mengenai dua Kasidah Monumental.yaitu “Kasidah Barzanji“ dan “Kasidah al burdah” Kasidah al Burdah,merupakan madah-madah yang dikarang oleh Syarafadin Muhamad al Bushiri. Terdiri dari 162 bait,dengan perincian: 10 bait tentang cinta kasih,16 bait tentang hawa nafsu, 30 bait tentang pujian Nabi SAW, 19 bait tentang kelahiran Nabi, 10 bait tentang doa, 10 bait tentang pujian terhadap AlQuran, 3 bait tentang peristiwa Israk Mikraj,2 bait tentang jihad, 14 bait tentang istighfar,dan selebihnya munajat-munajat.[15]
Semula imam al Bushiri menamai kasidahnya”al-Kawakaib al- Duriah fi madh khayr al Baririyah”. (bintang cemerlang dalam memuji makluk terbaik). Sedangkan Burdah (1) adalah baju kebesaran Nabi Muhamad SAW yang kemudian pada masa umayyah menjadi atribut khilafah atau simbul resmi kekuasaan kalifah.(2) nama kasidah yang digubah oleh penyair  Muhadramim Kaab bin Zahair bin Abi Salma untuk dipersembahkan kepada SAW. Kasidah Imam Busiri pada giliranya dikenal sebagai “Kasidah Burdah”setelah suatu peristiwa penting yang dialaminya,yaitu suatu ketika Imam Bushiri sakit parah yang membuat dirinya tidak bisa berbuat banyak selain melantukan bait-bait puisinya kepada sang Nabi SAW.Imam Bushiribaru sembuh setelah bermimpi di selimuti rasul-rasul dengan gurdah belua, sejak saat itu Al Kawakib Aduriah lebih dikenal sebagai Kasidah Burdah.[16]
Adapun Kasidah Barzanji adalah nama pouler untuk kitab, Iqdul Jawahir” (kalung permata) karya Syekh Jakfar al Barzanji bin Husein bin Abdul Karim.kata”Barzanji” sendiri berasal dari”Barzinj” nama sebuah kota di Kurdistan.Albarzanji berarti orang barzinj. Kitab”Iqdul Jawahir”(Al barzanji) berisi kasidah tentang (1) silsilah Nabi SAW.(2)masa kanak- kanak.(3) masa Remaja (dari 12 tahun sampai 25 tahun)(4) masa setelah pemikahan (25 Tahun).(5) sejak dari masa kenabiaan sampai ahkir hayat Muhamad SAW . Sejak usia 40-63 tahun. Masing-masing periode tersebut diceritakan dengan penuh keagungan, penghormatan, bahkan menurut sebagian pendapat berlebih-lebihan sehingga cenderung menjurus kepada kultus individu.[17]
Kitab Albarzanji dalam bahasa aslinya (arab) dibanyak wilayah- wilayah muslim dibaca dalam banyak kesempatan dan banyak variasasi gaya pembaca (lagu).dalam acara yang penuh kehidmal,rindu dan heroik al Barzanji dilagukan dengan variasi-variasi tilawah.[18]
Di Indonesia sekarang, kitab Barzanji dalam bentuk aslinya yaitu kitab Iqdul Jawahir agak susah untuk ditemukan, akan tetapi kitab Maulid Syarafal Anam yang semula merupakan bagian dari isi Iqdul Jawahir tadi dengan mudah dapat kita temukan dikalangan muslim tradisional. Kitab Syarafal Ana mini dibukukan terpisah dari induknya bersama kitab lainnya dalam berbagai variasi bentuk antara lain, kitab ‘Majmu’atul Maulid’ dan ‘Majmu’atul Maulid wa ‘adi’yah”yang berisi Syarafiil Anam, Kasidah Burdah, ad-Diba’, doa hatam Barzanji bersama doa-doa istiharah, tahajud, istigashas dan yang lainnya, begitu juga salawat-salawat seperti Badar, Munjiah, Nariyah dll. Bahkan juga doa Talqin May it dst. Kasidah mauled Syaraful Ana mini pembukuan dan peredaranya berlangsung seperti penulisan dan peredaran surat yasin bersama doa-doa Tahlilan, sehingga bias jadi orang memiliki Yasin Tahlilan beberapa buah tapi tidak memiliki al-Qur’an satupun sebagaiman orang memiliki banyak kitab Syarafal Anam tapi tidak memiliki kitab Iqdul Jawahir.[19]

D.    Syarafal Anam sebagai Tradisi seni Lokal
Seni tradisi local yang hidup dan berkembang di suatu komunitas budaya masyarakat merupakan ekspresi hidup dan kehidupannya, ia merupakan media untuk mengungkapkan pandangan hidupnya, serta menjadi sumber inspirasi bagi tegaknya kehidupan spiritual, moral dan social.[20]
Namun, kedudukan dan fungsi seni tradisi local yang demikian itu dewasa ini semakin mengalami marginalisasi. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai factor, baik internal maupun ekstemal. Penyebab internal berhubungan dengan kreatifitas inovatif dari pelaku seni dari pelaku seni tradisi untuk mengadopsi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya dianggap telah out of date . dengan situasi internal demikian, upaya-upaya pelestarian dan terlebih lagi upaya-upaya pengembangan seni tradisi semakin sulit mendapat ruang apresiasi.[21]
Penyebab ekstemal dapat dikaji dari beberapa sisi. Tiga di antara penyebab ekstemal yang terpenting dan berlangsung secara simultan adalah: (1) proses globalisasi yang didominasi budaya barat; (2) hegemoni Negara dengan konsep “budaya nasional” yang menkooptasi “budaya daerah”; (3) hegemoni agama formal (organized religion) yang lebih mengedepankan pendekatan syariah daripada pendekatan spiritual, moral dan sosiologis. Syarafal Anam sebagai tradisi seni local di Bengkulu, profilnya sudah kita ilustrasikan sebelumnya. Nasibnya juga akan tergantung kepada masyarakat pendukungnya sendiri, serta tergantung kepada siapa saja yang masih memiliki “rasa memiliki”nya. Moment otonomisasi daerah memberi peluang kepada kesenian-kesenian tradisional di daerah-daerah tersebut untuk merevitalisasi diri dalam kerangka penguatan identifikasi dan citra ekslusif & eksotik daerah.[22]
Tulisan ini, mengandung juga persfektif-persfektif kritis terhadap Syarafal Anam, namun tidak bias dilepaskan dari rasa kepedulian untuk mendukung keberadaannya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kasidah barzanji pada mulanya merupakan karya sastra tulis. Karya ini kemudian dibacakan pada majlis- majlis keagamaan ditempelkan di dinding-dinding mesjid, madrasah-madrasah untuk kemudian dihafalkan. dari pembacaan-pembacaan ini kemudian muncul variasi-variasi lagu sebagaimana munculnya jenis-jenis tilawah dalam pembacaan alQur’an. Namun untuk pembacaan barzanji ini atau kasidah- kasidah lainnya itu jenis tilawah tersebut jauh lebih banyak dan ditoleransi. Jika dalam tilawah alQuran muncul sekitar 14 jenis tilawah yang mana hanya separuhnya saja ( 7 tilawah ) yang dibolehkan atau Sahih/ valid, maka dalam melantunkan kasidah tuntutan untuk harus muktaabarahnya riwayat tilawah tersebut dapat dikatakan tidak ada sehingga model pembacaan Barzanji terus pula berkembang dengan improvisasi dari dialek-dialek local bahkan kemudian dengan improvisasi gerak kinetic dan bunyian ( suara ) lainnya, pembacaan kasidah lalu menjadi seni vokal, seni music sekaligus juga seni tari. Ketika pemain-pemain lebih menganggap barzanji ini sebagai seni musik ( perkusi) dan begitu pula para penikmat-penikmatnya lebih menghayati diri sebagai penonton pertunjukan seni perkusi maka urusan apa yang harus di ucapkan menjadi tidak penting lagi tampaknya.
Dari sinilah muncul ironi suatu kasidah yang berisi tuntunan-tuntunan dari Nabi tinggal menjadi sekedar tontonan belaka. Apabila unsur tuntunannya diabaikan dari kasidah-kasidah, maka unsur keagamaannya (Penghormatan kepada nabi SAW) akan hilang secara perlahan. Jika seni Barzanji ini mengabaikan unsur-unsur tuntunannya, maka sebagai semata karya seni dia akan ditinggalkan bersaing dengan seni-seni kontemporer lainnya.[23]
Kalau kita lihat dinamika kelompok Barzanji atau Syarafal Anam di Bengkulu maka tentu kita akan paham mengapa jenis kesenian tradisional ini semakin sulit untuk berkembang. Ada banyak juga faktor penyebabnya. Disamping oleh sebab-sebab ekstemal berupa globalisasi Budaya-seni hiburann modem juga oleh faktor intern berupa kemenduaan para pengampu tradisi ini. Seni tradisi Syarafal Anam di Bengkulu ini konon dikembangkan oleh kelompok Tarekat Syattariyah. Namun tentu bukan karena berasal dari “ kaum tua” maka para pendukungnya sekarangpun para orang-orang tua pula. Sudah saatnya pula untuk diturunkan ke generasi berikutnya. Bagaimana caranya tentu mesti pula ditemukan, selagi keadaannya sekarang mendapat angin segar dari kelompok-kelompok etnik yang harus menegaskan identitas lokalnya.



[1] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ((P3M) STAIN  Bengkulu, 2012), h. 59
[2] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 59
[3] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 60
[4] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 60
[5] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 61
[6] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot: Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu, (Laporan Penelitian Penelitian, STAIN Bengkulu, 2012), h. 64
[7] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot: Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu,  h. 64
[8] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot: Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu,  h. 64
[9] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot: Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu,  h. 65
[10] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot: Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu,  h. 65
[11] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 66
[12] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 66
[13] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 66
[14] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 67
[15] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 67
[16] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 67
[17] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 68
[18] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 68
[19] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 69
[20] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 69
[21] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 69
[22] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 70
[23] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian: Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama,  ... h. 71

No comments:

Post a Comment