Peneliti: Salim Bela Pilli, adalah Dosen Fakultas FUAD IAIN Bengkulu
A. Tradisi Syarafal
Anam
Syarafal AnaM telah menjadi seni tradisional di
kalangan etnik Melayu, Rejang, Lembak dan Serawai di propinsi Bengkulu. Mereka
melakukan syarafal Anam baik dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan ibadah
dan peringatan keagamaan (PHBI) seperti: akikah, sunatan, pemikahan, maulid
nabi, MTQ, maupun pada acara-acara penting keseharian lainnya seperti memasuki
rumah baru, macam-macam syukuran.[1]
Dalam pementasannya Syarafal Anam dimainkan
oleh para lelaki yang masing-masing memukul sebuah rebana besar dengan
melantukan pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Secara standar jumlah
peserta Syarafal Anam ini berkisar sekitar 20 orang. Namun jumlah ini bisa
bertambah atau berkurang sesuai tempat, moment dan kesiapan-kesiapan peserta.[2]
Dalam ‘Bimbang Gedang’( Kenduri Agung ),
Syarafal Anam dipentaskan dalam bentuk semacam pertandingan antara 2 ‘ kusi’ (
kongsi ) Syaraful Anam yang masing-masing terdiri dari 20 orang bahkan lebih
dan masing-masingnya melantunkan lagu Syaraful Anam sejak selesai waktu Isya’
sampai waktu malam, sedangkan dalm ‘ Bimbang Kecik’ Syaraful Anam bias terdiri
dari sekitar 8 orang saja. Bahkan waktu pentasnya pun bisa panjang atau pendek
sesuai permintaan Sahibul hajat.
Pengaturan panjang pendeknya waktu pentas
ditentukan oleh pilihan- pilihan ‘Pesal’ yang satu sama lainnya berbeda jumlah
nozomnya. Pesal-pesal dalam Nazom Maulud Syarafal Anam antara lain dikenal
dengan nama- nama(l) Assalamualaika, (2) Bisyahri, (3) Tanaqqal, (4) Wulidal
Habib, (5) Shala Alaika, (6) Badat Lan. (7) Asraqal. Pesal-pesal tersebut
mengacu kepada kalimat-kalimat awal atau dominan dalam Nozon Syarafal anam[3].
Kelompok Syaraful Anam memiliki irama
tersendiri dalam melantunkan setiap pesal-pesal tersebut, sehingga mereka
menamakan Assalamualaika dsb sebagai nama lagu, padahal sebutan resmi untuk
jenis lagu dalam Syarafal Anam itu adalah (1) Lagu Yalil / Husaini yang
iramanya seperti Tilawatil Qur’an, (2) Shika / Rekby yang iramanya lebih tinggi
daripada Yalil.(3) Lagu Hijjaz yang iramanya lebih tinggi dari Sikha, (4) Lagu
Nahawan, (5) Lagu naik dan Penutup.[4]
Dilihat dari penampilan pentasnya Syarafal Anam
merupakan semacam pertunjukkan musik perkusi. Rebana-rebana ditabuh dengan
frekuensi cepat, kencang, bertubi-tubi dengan irama yang dominan keras, ditingkahi
oleh suara-suara bersahut-sahutan melafalkan puji-pujian kepada rasul dengan
semangat heroik. Dalam hal ini seringkali suara tetabuhannya terdengar
menenggelamkan kasidah dalam teriakan-teriakan yang sulit ditangkap apa bunyi
persisnya. Kesan demikian semakin menonjol pada pertunjukkan yang lebih
kolosal.
Pada pentas yang minimalis suara
sahutan-sahutan para vokalis terdengar lebih menonjol, kendati masih sulit juga
menangkap lirik-lirik yang dilantunkan. Tapi nampaknya mayoritas masyarakat
pendengar memang tidak fokus untuk menyimaki bunyi lafal qosidah tersebut.
Mereka hanya ingin mencari tontonan bukan tuntunan. Untuk menonton mereka cukup
dengan melihat penampilam atraktif para pemain Syarafal Anam, sedangkan untuk
memperoleh tuntunan mestinya mereka paham apa-apa yang diucapkan dalam
lirik-lirik kasidah tersebut. Lirik-lirik kasidah tersebut diucapkan dalam
bahasa aslinya yaitu bahasa Arab disinilah baik para penonton bahkan mungkin
pemainnya sendiri justru tidak paham arti liriknya tersebut.mereka asyik
menonton lantaran sudah terbawa irama musik perkusi.[5]
Padahal sebagai sebuah seni membaca Nazom yang
semacam poetry reading dalam bahasa Arab criteria,penilaian baik atau tidak
baiknya Syaraful Anam hendaknya ditetapkan berdasarkan kaedah-kaedah ilmu
Tajwid atau ilmu Qira’ah dalam alqur’an sehingga maksud penciptaan Syarafal
Anam atau Barzanji tersebut sebagai kasidah-kasidah untuk nabi tidak hilang
oleh riuh rendahnya bunyi gendang ditabuh.
Untuk memperoleh persfektif sudut pandang
tentang Syarafal Anam ini, penulis ingin membahasnya dalam tiga wacana (1)
Syarafal Anam sebagai semacam Shalawat. (2) Syarafal Anam sebagai Genre sasra
Islam.(3) Syarafal Anam sebagai tradisi seni budaya local.
B. Syarafal
Anam Sebagai Shalawat
Syarafal anam, lebih tepatnya lagi “ Maulid Syarafil
Anam “ merupakan bagian awal dari kitab Barzanji. Dari segi isi “Syarafal Anam”
merupakan Shalawat salam dan Tabarruk atas nabi. Karena itu untuk dapat melihat
dan mendudakkan syarafal anam pada posisi yang tepat orang harus terlebih
dahulu memahami Maqam Shalawat atas Nabi SAW.[6]
Dalam membicarakan shalawat terdapat tiga
aspek, yaitu, Mushalli (yaitu orang yang menyampaikan shalawat), Mushalla
(orang yang kepadanya shalawat disampaikan), dan “Shalawat” itu sendiri. Untuk
lebih jelasnya ketiga aspek tersebut akan diuraikan sekedamya:
Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan
“Mushalli”. Dalam hal ini terdapat perintah yang jelas dan langsung bersumber
dari al-qur’an dan sunnah rasul. Hal ini dapat kita baca Q.S. al-Ahzab (33) :
56.
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áã n?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ
“Sesungguhnya Allah
dan malaikat-malaikatnya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi, dan ucapkanlah Salam penghormatan kepadanya.”
Allah bershalawat kepada Nabi SAW artinya Allah
memberi rahmat kepada beliau, malaikat bershalawat kepada Nabi artinya malaikat
memintakan ampunan bagi Nabi. Orang-orang mukmin (disuruh) bershalawat artinya
berdo’a supaya nabi saw & dirinya diberi rahmat oleh allah swt. Ucapan
standar yang minimal untuk shalawat ini ialah : “Allahumma Shalli ‘ala Muhammad”.[7]
Sebagai perintah syariat. Nabi mengajarkan
bacaan-bacaan shalawat tertentu yang pada masanya dikenal dengan istilah
“Shalawat Masyru’ah”. Diantara shalawat Masyru’ah yang terkenal adalah
“Shalawat Ibrahimiyah” yang dibaca dalam ibadah shalat, pembuka do’a, khutbah-
khutbah jum’at, hari raya, dan nikah.
Masalahnya : apakah orang-orang mukmin dalam
menjalankan perintah bershalawat tersebut harus terbatas kepada model
“Shalawat- Shalawat Masyru’ah” saja, atau boleh dengan kalimat-kalimat lain?
Masalah ini telah dikaji dalam ilmu fiqih dan tafsir-tafsir sebagaimana dapat
kita simak dari karya-karya:
1. Imam Baihaqy (
Dalail an Nubuwwah)
2. Qodhi Iyadh (
asy-Syifa’)
3. Ibnul Janzi (
Syifa al-Shafwa)
4. Imam Nawawi (
Tahzib al asma Wa shifah )
5. Imam Jahluddin
Suyuthi ( al-khasaish al-kubra)
6. Imam nabahani (
al-anwar al- muhammady dan majmuatus shalawat) dll.
Sebagai sarana ibadah,
bentuk shalawat ini banyak dikembangkan dan disumbangkan oleh imam-imam mazhab
sufi. Setiap Tarekat memiliki beberapa jenis shalawat yang mereka istiqamahkan
membacanya dalam “aurad” (wirid-wirid) harian mereka. Untuk menyebut beberapa
contoh saja, misalnya dari tarekat Sadzilliyah berkembang Shalawat “ Annural
adz-Dzati“ & “Shalawat Annawiyah Li Ziyarah fi Qobrin Nabi“. &
“Shalawat li ziyarah fi hadhratin nubuwah”. Dari Syekh Ahmad bin Idris al Fasi
dikenal sekitar 8 macam shalawat, yaitu shalawat Ummiyah, shalawat Khusluqil
adzim, shalawat Haqaiqul qubra, Shalawat Tanbah, shalawat Jam’ul jami wa farqul
farqi, Shalawat Majlalkamatat, shalawat intihaaiy dan shalawat Saiyyidul
Shalawat’. Shalawat-shalawat karya Ahmad bin idris al-fasi ini dikembangkan
oleh tarekat-tarekat Idrisiyyah, Khidriyah, Sanusiyah, Rasyidiyah, Amirganiyah,
Dasuqiyah & Dardawiyah.[8]
Dari macam-macam
shalawat yang berkembang dikalangan ahli tasauf/tarekat tersebut, beberapa
dikenal cukup luas dikalangan masyarakat Islam secara umum. Diantaranya seperti
shalawat-shalawat Munziyat, shalawat Kamilah, shalawat Nariyah, shalawat
Nuriyah, shalawat Fatihiyah, shalawat Adzimiyah, shalawat Ummiyah &
shalawat Aliliyah. Kalau ditelusuri asal-usulnya maka akan ditemukan juga sumbemya
dari kelompok- kelompok tarekat yang berkembang luas di nusantara ini yaitu
dari Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Sammaniyah, Ritaiyah dll.
Dalam menyikapi shalawat
sebagai suatu ibadah kaum muslimin mesti melaksanakanya dengan
ketentuan-ketentuan mengenai “kaifiyah” (tata cara ) dan adab-adab khusus,
seperti adanya suasana khidmat, tempat & pakaian yang suci dan pengucapan
yang tepat. Syarafal anam, barzanji adalah shalawat juga karena itu harus
disikapi dengan adab-adab tertentu. Karena itu bias dimaklumi bila ada yang
melaksanakanya pada acara walimah nikah, akiqah, atau macam-macam syukuran
& selamatan. Ada juga yang mengaitkan pembacaannya dengan keistimewaan
& khasiat-khasiat penyembuhan.[9]
Kedua, wacana yang
berkaitan dengan “Mushalla”. Sebagai idola yang kepadanya shalawat diwajibkan
Muhammad SAW adalah profil manusia sempuma (insane kamil) yang diakui kawan dan
lawannya, masyarakat awam, maupun elite intelektual, dari dalam sampai sekarang
bahkan masa depan. Al- Qur’an suci mengabadikannya dalam Q.S. al-Ahzab (33) :
21. “sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Karena itulah, tanpa
diperintahkan Tuhan sekalipun, kaum Muslimin yang pelaksanaan ibadah ritual
sehari-harinya minus pun akan memberikan penghormatan & pujian kepada
Baginda Nabi SAW. Ironis tapi nyata, bahkan ada yang mengidentifikasikan
keislamannya dengan keikutsertaanya dalam acara-acara Mauludan.
Tapi begitulah,
penghormatan dan pujian terhadap Muhammad SAW bersumber dari kepribadian beliau
sendiri. Bagaimana manusia tidak akan memujinya bilamana para malaikat &
Allah sendiri telah memujinya.
Ketiga, masalah sekitar
ungkapan. “lafadz shalawat”. Berkaitan dengan lafadz dalam Shalawat ini
terdapat beberapa pendapat. Ada yang ketat berpegang pada ketentuan dalil
literal/teks, ada yang longgar yang menyatakan boleh mengungkapkannya dalam
lafadz apapun asal untuk menghormati, memuji, menyanjung, bertabarukk kepada
Rasul. Pendapat ini muncul lantaran memang Rasulullah mengajarkan sendiri
lafadz khusus untuk shalawat tersebut. Disamping itu juga beliau memberi
ketentuan untuk tidak menggunakan lafadz “SAYYIDINA”.[10]
Pendapat pertama
menyatakan ungkapan lafadz shalawat itu harus mengikuti petunjuk (dalil) Rasul.
Karena dalam ibadah termasuk shalawat tidak boleh ditambah-tambahkan, apalagi
ditambahkan dengan lafadz yang Rasulullah sendiri telah melarangnya.
Dalam sebuah Hadits
Shahih riwayat muslim dari Ibnu Mas’ud ra. Basyir bin Sahal bertanya kepada
Rasulullah tentang bagaimana menyatakan shalawat kepada beliau. Maka Nabi SAW
menjawab : “Katakanlah : Allahumma Shalli ala Muhammad, wa ‘ala ali Muhammad
kama sallaita ‘ala ali Ibrahim, wa barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad,
kama barakta ‘ala ali Ibrahim, fil alamina innaka hamidun majid”.
Pendapat kedua justru
menyatakan pemakaian lafadz : “sayyidina” adalah lebih utama (afdhal). Tambahan
kata sayyidina merupakan adab sopan santun seorang mukmin kepada Rasulnya. Nabi
“melarang” umat ber”sayyidina” kepada beliau untuk menunjukkan sikap tawadhu
beliau. Jadi merupakan sopan santun juga bukan “larangan” dalam arti tidak
boleh mengerjakannya
Dari kedua pendapat yang
masing-masing punya dalil tersebut dapat diambil jalan tengahnya. Pertama,
untuk bacaan shalawat dalam ibadah “mahdah” seperti dalam Tahiyyat Shalat,
khotbah-khotbah sebaiknya mengikuti bacaan sebagaimana Rasulullah ajarkan dalam
Shalawat Ibrahimiyah. Tanpa kata Sayyidina bukan berarti Nabi tidak sopan
kepada dirinya maupun Nabi Ibrahim as. Kedua, untuk kegiatan selain ibadah
mahdah, sebaiknya diberikan keleluasaan untuk menguungkap rasa cinta, kagum,
pemuliaan, tabarruk, puji-pujian kepada sang Rasul sepanjang tidak menimbulkan
Syirik. Karena bagaimanapun Rasul sendiri tidak pemah menyatakan dirinya
memiliki sifat-sifat supra-manusiawi. Dia ingin tetap menjadi “seorang hamba,
seorang makhluk biologis (basyar) yang kepadanya wahyu diturunkan”. (QS. 41:5).
C. Syarafal
Anam Sebagai Genre Sastra
Jika dibuat perbandingan antara mana shalawat
yang merupakan ibadah mahdah & mana yang bukan, maka secara sederhananya
dapat dibedakan sebagai berikut : shalaw yang ibadah mahdah itu bentuk ungkapan
dan waktu pembacaanya telah ditentukan Rasul sebagai smber Syari’ah. Umat tidak
punya inisiatif untuk itu. Sedangkan shalawat yang merupakan ungkapan
penghormatan, cinta Rasul merupakan karya gubahan individual muslim, baik dia
ulama, maupun seniman (penyair).[11]
Berkaitan dengan jenis shalawat yang digubah
oleh para penyair ini, dunia sastra Islam mengenal apa yang sekarang dikenal
dengan istilah “kasidah”, “puisi-puisi Naktiyah”, atau “madah”. Puisi Naktiyah
ini dikenal sejak masa hidup Nabi. Ungkapan terhadap kekaguman diri pribadi
Muhammad SAW telah melahirkan generasi- generasi penyair besar dalam
kesusatraan Arab, Persia, Urdu, Turki, bahkan juga Spanyol dan Jerman.[12]
Bangsa Arab yang sangat bangga denagn
kesusastraannya, mendapat pesona baru dalam figure Muhammad Saw, mereka
mengekspresikan segala potensi sastra & daya estetiknya untuk memuji Nabi
Arab ini. Penghormatan & kekaguman para penyair ini memperkaya obyeknya dan
temanya kearah orang-orang dekat Nabi: anak keturunanya, istri-istrinya,
sahabat-sahabat, dan pengikut-pengikutnya. Mengenai diri Nabi sendiri
pujian-pujian tersebut bukan hanya atas sifat-sifat mulia atau mukjizatnya,
melainkan juga atas rekam jejak sejarahnya. Sejak nama-namnya kelahiran,
pengasuhan, remaja,dewasa, pemikahan, rumah tangga, peperangan, kenabian,
sampai wafatnya. Akan tetapi juga pada ketampanan lahiriah beliau.[13]
Secara historis puisi-puisi naktiyah telah
dirintis oleh penyair-penyair Arab yang hidup pada Zaman Nabi. Diantaranya yang
terkenal sebagai penyair nabi yaitu Kaib bin Zubair dan Hasan bin Tsabit.
Sejarawan Muslim Ibnu Sayyid al-Nashi (w.732) telah menulis suatu karya khusus
mengenai masalah ini dalam kitab-kitab “Minah al Madh” (Karunia Pujian), dimana
dia mengantologikan syair-syair pujian yang ditulis oleh hamper 200 orang
sahabat Nabi SAW. Syair-syair tersebut memang dimaksudkan untuk mengangungkan
pribadi Muhammad SAW dengan sifat-sifat beliau yng mulia. Diantara syair-syair
tersebut terdapat bait-bait yang dibacakan dihadapan beliau.
Syair-syair pujian dan penghormatan kepada Nabi
sebagai Asrafal Anam ( Manusia Paling Agung/ Mulia ) terus ditulis sepanjang
abad-abad berikutnya, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Persi, Urdu sampai
mencapai puncak kematangannya pada abad ke 12 dan ke 13 bersamaan dengan
memuncaknya perkembangan sastra sufi.[14]
Dalam kaitannya sebagai warisan seni islam,dari
sekian banyak karya sastra Naktiyah (ode) secara fenomenal oamg mengenai dua
Kasidah Monumental.yaitu “Kasidah Barzanji“ dan “Kasidah al burdah” Kasidah al
Burdah,merupakan madah-madah yang dikarang oleh Syarafadin Muhamad al Bushiri.
Terdiri dari 162 bait,dengan perincian: 10 bait tentang cinta kasih,16 bait
tentang hawa nafsu, 30 bait tentang pujian Nabi SAW, 19 bait tentang kelahiran
Nabi, 10 bait tentang doa, 10 bait tentang pujian terhadap AlQuran, 3 bait
tentang peristiwa Israk Mikraj,2 bait tentang jihad, 14 bait tentang
istighfar,dan selebihnya munajat-munajat.[15]
Semula imam al Bushiri menamai
kasidahnya”al-Kawakaib al- Duriah fi madh khayr al Baririyah”. (bintang
cemerlang dalam memuji makluk terbaik). Sedangkan Burdah (1) adalah baju
kebesaran Nabi Muhamad SAW yang kemudian pada masa umayyah menjadi atribut
khilafah atau simbul resmi kekuasaan kalifah.(2) nama kasidah yang digubah oleh
penyair Muhadramim Kaab bin Zahair bin
Abi Salma untuk dipersembahkan kepada SAW. Kasidah Imam Busiri pada giliranya
dikenal sebagai “Kasidah Burdah”setelah suatu peristiwa penting yang
dialaminya,yaitu suatu ketika Imam Bushiri sakit parah yang membuat dirinya tidak
bisa berbuat banyak selain melantukan bait-bait puisinya kepada sang Nabi
SAW.Imam Bushiribaru sembuh setelah bermimpi di selimuti rasul-rasul dengan
gurdah belua, sejak saat itu Al Kawakib Aduriah lebih dikenal sebagai Kasidah
Burdah.[16]
Adapun Kasidah Barzanji adalah nama pouler
untuk kitab, Iqdul Jawahir” (kalung permata) karya Syekh Jakfar al Barzanji bin
Husein bin Abdul Karim.kata”Barzanji” sendiri berasal dari”Barzinj” nama sebuah
kota di Kurdistan.Albarzanji berarti orang barzinj. Kitab”Iqdul Jawahir”(Al
barzanji) berisi kasidah tentang (1) silsilah Nabi SAW.(2)masa kanak- kanak.(3)
masa Remaja (dari 12 tahun sampai 25 tahun)(4) masa setelah pemikahan (25
Tahun).(5) sejak dari masa kenabiaan sampai ahkir hayat Muhamad SAW . Sejak
usia 40-63 tahun. Masing-masing periode tersebut diceritakan dengan penuh
keagungan, penghormatan, bahkan menurut sebagian pendapat berlebih-lebihan
sehingga cenderung menjurus kepada kultus individu.[17]
Kitab Albarzanji dalam bahasa aslinya (arab)
dibanyak wilayah- wilayah muslim dibaca dalam banyak kesempatan dan banyak
variasasi gaya pembaca (lagu).dalam acara yang penuh kehidmal,rindu dan heroik
al Barzanji dilagukan dengan variasi-variasi tilawah.[18]
Di Indonesia sekarang, kitab Barzanji dalam
bentuk aslinya yaitu kitab Iqdul Jawahir agak susah untuk ditemukan, akan
tetapi kitab Maulid Syarafal Anam yang semula merupakan bagian dari isi Iqdul
Jawahir tadi dengan mudah dapat kita temukan dikalangan muslim tradisional.
Kitab Syarafal Ana mini dibukukan terpisah dari induknya bersama kitab lainnya
dalam berbagai variasi bentuk antara lain, kitab ‘Majmu’atul Maulid’ dan ‘Majmu’atul
Maulid wa ‘adi’yah”yang berisi Syarafiil Anam, Kasidah Burdah, ad-Diba’, doa
hatam Barzanji bersama doa-doa istiharah, tahajud, istigashas dan yang lainnya,
begitu juga salawat-salawat seperti Badar, Munjiah, Nariyah dll. Bahkan juga
doa Talqin May it dst. Kasidah mauled Syaraful Ana mini pembukuan dan
peredaranya berlangsung seperti penulisan dan peredaran surat yasin bersama
doa-doa Tahlilan, sehingga bias jadi orang memiliki Yasin Tahlilan beberapa
buah tapi tidak memiliki al-Qur’an satupun sebagaiman orang memiliki banyak
kitab Syarafal Anam tapi tidak memiliki kitab Iqdul Jawahir.[19]
D. Syarafal
Anam sebagai Tradisi seni Lokal
Seni tradisi local yang hidup dan berkembang di
suatu komunitas budaya masyarakat merupakan ekspresi hidup dan kehidupannya, ia
merupakan media untuk mengungkapkan pandangan hidupnya, serta menjadi sumber
inspirasi bagi tegaknya kehidupan spiritual, moral dan social.[20]
Namun, kedudukan dan fungsi seni tradisi local
yang demikian itu dewasa ini semakin mengalami marginalisasi. Kondisi ini
disebabkan oleh berbagai factor, baik internal maupun ekstemal. Penyebab
internal berhubungan dengan kreatifitas inovatif dari pelaku seni dari pelaku
seni tradisi untuk mengadopsi perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakatnya dianggap telah out of date . dengan situasi internal demikian,
upaya-upaya pelestarian dan terlebih lagi upaya-upaya pengembangan seni tradisi
semakin sulit mendapat ruang apresiasi.[21]
Penyebab ekstemal dapat dikaji dari beberapa
sisi. Tiga di antara penyebab ekstemal yang terpenting dan berlangsung secara
simultan adalah: (1) proses globalisasi yang didominasi budaya barat; (2)
hegemoni Negara dengan konsep “budaya nasional” yang menkooptasi “budaya
daerah”; (3) hegemoni agama formal (organized religion) yang lebih
mengedepankan pendekatan syariah daripada pendekatan spiritual, moral dan
sosiologis. Syarafal Anam sebagai tradisi seni local di Bengkulu, profilnya
sudah kita ilustrasikan sebelumnya. Nasibnya juga akan tergantung kepada
masyarakat pendukungnya sendiri, serta tergantung kepada siapa saja yang masih
memiliki “rasa memiliki”nya. Moment otonomisasi daerah memberi peluang kepada
kesenian-kesenian tradisional di daerah-daerah tersebut untuk merevitalisasi
diri dalam kerangka penguatan identifikasi dan citra ekslusif & eksotik
daerah.[22]
Tulisan ini, mengandung juga
persfektif-persfektif kritis terhadap Syarafal Anam, namun tidak bias
dilepaskan dari rasa kepedulian untuk mendukung keberadaannya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kasidah
barzanji pada mulanya merupakan karya sastra tulis. Karya ini kemudian
dibacakan pada majlis- majlis keagamaan ditempelkan di dinding-dinding mesjid,
madrasah-madrasah untuk kemudian dihafalkan. dari pembacaan-pembacaan ini
kemudian muncul variasi-variasi lagu sebagaimana munculnya jenis-jenis tilawah
dalam pembacaan alQur’an. Namun untuk pembacaan barzanji ini atau kasidah-
kasidah lainnya itu jenis tilawah tersebut jauh lebih banyak dan ditoleransi.
Jika dalam tilawah alQuran muncul sekitar 14 jenis tilawah yang mana hanya
separuhnya saja ( 7 tilawah ) yang dibolehkan atau Sahih/ valid, maka dalam
melantunkan kasidah tuntutan untuk harus muktaabarahnya riwayat tilawah
tersebut dapat dikatakan tidak ada sehingga model pembacaan Barzanji terus pula
berkembang dengan improvisasi dari dialek-dialek local bahkan kemudian dengan
improvisasi gerak kinetic dan bunyian ( suara ) lainnya, pembacaan kasidah lalu
menjadi seni vokal, seni music sekaligus juga seni tari. Ketika pemain-pemain
lebih menganggap barzanji ini sebagai seni musik ( perkusi) dan begitu pula
para penikmat-penikmatnya lebih menghayati diri sebagai penonton pertunjukan
seni perkusi maka urusan apa yang harus di ucapkan menjadi tidak penting lagi
tampaknya.
Dari sinilah muncul ironi suatu kasidah yang
berisi tuntunan-tuntunan dari Nabi tinggal menjadi sekedar tontonan belaka.
Apabila unsur tuntunannya diabaikan dari kasidah-kasidah, maka unsur
keagamaannya (Penghormatan kepada nabi SAW) akan hilang secara perlahan. Jika
seni Barzanji ini mengabaikan unsur-unsur tuntunannya, maka sebagai semata
karya seni dia akan ditinggalkan bersaing dengan seni-seni kontemporer lainnya.[23]
Kalau kita lihat dinamika kelompok Barzanji
atau Syarafal Anam di Bengkulu maka tentu kita akan paham mengapa jenis
kesenian tradisional ini semakin sulit untuk berkembang. Ada banyak juga faktor
penyebabnya. Disamping oleh sebab-sebab ekstemal berupa globalisasi Budaya-seni
hiburann modem juga oleh faktor intern berupa kemenduaan para pengampu tradisi
ini. Seni tradisi Syarafal Anam di Bengkulu ini konon dikembangkan oleh
kelompok Tarekat Syattariyah. Namun tentu bukan karena berasal dari “ kaum tua”
maka para pendukungnya sekarangpun para orang-orang tua pula. Sudah saatnya
pula untuk diturunkan ke generasi berikutnya. Bagaimana caranya tentu mesti
pula ditemukan, selagi keadaannya sekarang mendapat angin segar dari
kelompok-kelompok etnik yang harus menegaskan identitas lokalnya.
[1] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, (Pusat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat ((P3M) STAIN Bengkulu, 2012), h. 59
[2] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 59
[3] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 60
[4] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 60
[5] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 61
[6] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot:
Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu, (Laporan
Penelitian Penelitian, STAIN Bengkulu, 2012), h. 64
[7] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot:
Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu, h. 64
[8] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot:
Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu, h. 64
[9] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam dan Tabot:
Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu, h. 65
[10] Salim Bela Pilli, Syarafal Anam
dan Tabot: Sebagai Tradisi Seni Lokal dan Warisan Islam di Bengkulu, h. 65
[11] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 66
[12] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 66
[13] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 66
[14] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 67
[15] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 67
[16] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 67
[17] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 68
[18] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 68
[19] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 69
[20] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 69
[21] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 69
[22] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 70
[23] Salim Bela Pilli, Laporan Penelitian:
Syarafal Anam Dalam Perspektif Budaya dan Agama, ... h. 71
No comments:
Post a Comment