BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan
menjadi pedoman manusia hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan
Al-hadits. Allah juga menurunkan syariat samawiyah kepada para utusanNya untuk
memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah
dan mu’amalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan masyarakat. Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang
berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa
mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu, perjalanan dakwah
pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalannya sesudah
memasuki era perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian hikmah tasyri’
(pemberlakuan hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada
periode yang lain. Tetepi tidak diragukan bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah,
rahmat dan ilmuNya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan
melarang pun hanya milikNya.
Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan
syari’at lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya
yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah :
1. Apa pengertian
Nasikh dan Mansukh dan Syarat-syaratnya?
2. Bagaimana
sejarah Nasikh dan Mansukh?
3. Apa saja
klasifikasi Nasikh dan Mansukh?
4. Apa perbedaan
antara Nasikh dan Mansukh?
5. Apa fungsi
memahami Nasikh Mansukh?
6. Bagaimana
pendapat tentang Nasikh dan Mansukh?
C. Tujuan
Adapun
tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh dan Syarat-syaratnya
2. Untuk
mengetahui sejarah Nasikh dan Mansukh
3. Untuk
mengetahui klasifikasi Nasikh dan Mansukh
4. Untuk
mengetahui perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
5. Untuk
mengetahui fungsi memahami Nasikh Mansukh
6. Untuk
mengetahui pendapat tentang Nasikh dan Mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nasikh dan Mansukh dan Syarat-Syaratnya
Nasikh menurut bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan.
Misalnya dikatakan nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari
menghilangkan bayang-bayang dan nasakhat ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin
menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya:nasakhtu al-
kitab, artinya, saya menyalin isi kitab. Didalam Al-quran dikatakan:[1]
هَٰذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّا
كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya:
“ Sesunguhnya kami menyuruh untuk menasakhkan apa dahulu kalian kerjakan.”
(Al-jatsiyah:29).
Maksudnya, kami (Allah) memindahkan amal perbuatan kedalam
lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut istilah nakh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum
syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.” Disebutkan disini kata “hukum”,
menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah
Al-ashliyah) tidak termasuk yang di naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum
syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian
atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Contohnya: [2]
وَ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ
وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui. Disitulah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [2] : 115.)
Kemudian
di nasakh oleh ayat:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “maka palingkanlah mukamu ke arah
masjidil haram....” (QS. Al-Baqarah:144)
Ada yang berpendapat inilah yang
benar, bahwa ayat pertama tidak di naskh
sebab ia berkanaan dengan sholat sunnah saat dalam perjalanan yang
dilakukan diatas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian,
hkum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam Ash-Shahihain. Sedang
ayat kedua berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang benar, ayat
kedua ini menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Sedangkan pengertian mansukh adalah
hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau
hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum
wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:[3]
1. Hukum yang
mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian hari
khitab yang hukumnya di mansukh
Khitab yang dihapuskan atau diangkat
hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak
demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhiranya waktu tersebut. Dan yang
demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: “segolongan Ulama
menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti
firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya” (QS. Al-Baqarah;109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia
dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada
naskh di dalamnya.
B. Sejarah Nasikh
dan Mansukh
Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-ayat yang
menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan
sebutan al-badadiperselisihkan dikalangan antar pemeluk agama.Penolakan Yahudi
dan Nasrani terhadap kemungkinan bada’ dan penerimaan kaum muslimin terhadap
naskh antar agama, pada dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga
agama ini terhadap kenabian dan kitab sucinya. Yahudi dan Nasrani tidak
mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep al-bada’,
yakni muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, naskh itu adakalanya
tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu
kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula
bagi-Nya.[4]
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing
hikmah naskh dan mansukh telah diketahui oleh Allah labih dahulu. Jadi
pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa
hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena sesuatu
maslahat yang telah diketahuiNya yang absolut terhadap segala milikNya.
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai manfaat besar, agar
pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur dan tidak terjadi kesalahpahaman.
Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah
ini. Seperti yang diriwayatkan Ali pada suatu hari, ia bertanya pada seorang
hakim “Apakah kamu mengetahui yang naskh dan yang mansukh?” “Tidak” jawab hakim
itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamupun akan mencelakakan orang lain.”
Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan
tegas dari Nabi
2. Ijma’ umat
bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh
3. Mengetahui mana
yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
C. Klasifikasi
Nasikh dan Mansukh
1. Naskh Al-qur’an
dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani bil Qur’aani)
Bagian ini dsiepakati kebolehannyaa
dan telah terjadi di dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh.
Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.[5]
2. Naskh Al-qur’an
dengan As-Sunnah(Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Naskh ini ada dua macam:
a) Naskh Al-qur’an
dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh
hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan,
sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula
menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun
(diduga).
b) Naskh Al-qur’an
dengan hadits mutawattir. Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah,
dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Artinya:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)
Dalam pada itu
Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh
seperti ini, berdasarkan firman Allah,
* $tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106)
Sedang hadits tidak lebih baik dari
atau sebanding dengan Al-qur’an.
3. Naskh sunah
dengan Al-qur’an(Naskhus Sunnah bil Qur’aani)
Naskh ini menghapuskan hukum yang
ditetapkan berdasarkan sunnah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan
Al-qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’. Contohnnya seperti
berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga
dinasakh firman Allah:
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
Artinya: “Maka barang siapa
menyaksikan bulan Ramadlan hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185)
Maksudnya, semula
berpuasa hari Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan
puasa pada bulan Ramadlan, maka puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi,
sehingga ada orang yang berpuasa dan ada yang tidak.[6]
4. Nasikh sunah
dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah)
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’
dan qiyas dengan qiyas atau menasakh keduanya, maka pendapat yang shohih tidak
membolehkannya.
D. Perbedaan
antara Nasikh dan Mansukh
Adat Naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum
yang telah ada. Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah
ada. Pada hakikatnya Nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat
hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau
dipindahkan. Dan Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
E. Fungsi
memahami Nasikh dan Mansukh
Fungsi
memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
1. Memelihara
kepentingan hamba
2. Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia
3. Cobaan dan
ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika
Nasikh itu beralih ke hal yang lebih
berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang
mengandung kemudahan dan keringanan.[7]
Pengetaguan yang benar terhadap teks
yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu seseorang di dalam
memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat mengetahui bagian mana
teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun kemudian.Disisi lain,
pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan kita bahwa
sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan
sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak
dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.
F. Pendapat
tentang Nasikh dan Mansukh dan ketetapannya
Dalam
masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat golongan:
1. Orang Yahudi.
Mereka tidak mangakui adanya Naskh, karena menurutnya, Naskh mengandung konsep
al-bada’, yakni Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka
ialah, Naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan
adakalanya Karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti
terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun
mustahilbagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat
dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh dan Mansukh telah diketahui Allah
lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru
muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum ke hukum yang lain adalah
karena suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan
hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.[8]
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa
syari’at Musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun
terdapat Naskh, sepert pengharaman sebagian binatang atas Bani Israil yang
semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ
إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ
فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Semua makanan adalah halal bagi
Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk
dirinya sendiri.” (QS. Ali Imran [3]:93)
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam
menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan
pernikahan dengan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar
membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun
kemudian perintah in idicabut kembali.
2. Orang Syi’ah
Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan Naskh dan meluaskannya.
Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi
Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang
Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan
ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga
dengan firman Allah:
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب
Artinya: “Allah menghapuskan apa
yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d [13]:39)
dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan
yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah:
Allah menghapuskan segala sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan
menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu
penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan
keburukan dengan kebaikan.
3. Abu Muslim
al-Asfahani. Menurutnya, secara logika Naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya
terjadi Naskh dalam Al-Qur’an.[9]
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat
diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak didahului oleh
kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4. Jumhur Ulama.
Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah
pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a) Perbuatan-perbuatan
Allah tidak tergantung padahal alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya
Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b) Nas-nas kitab
dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya. Antara lain:
Firman
Allah:
“Dan
apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl
[16]:101)
c) Dalam sebuah
hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan
paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun
meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan
meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW,
padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)[10]
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hokum syara’ yang
lain. Disebutkan kata “hukum” disisni, menunjukkan bahwa prinsip “segala
sesuatu hokum asalnya boleh”. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau
dihapuskan. Nasikh terdapat empat macam bagian, diantaranya:
a)
Naskh Al-qur’andengan Al-qur’an
b)
Naskh Al-qur’andengan As-sunnah
c)
Naskh As-sunnahdengan Al-qur’an
d)
Naskh As-sunnahdengan As-sunnah
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh
diantaranya sebagai berikut:
1. Memelihara
kepentingan hamba
2. Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia
3. Cobaan dan
ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat
Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam
hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a) Perbuatan-perbuatan
Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu
pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang
lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b) Nas-nas kitab
dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu Firman Allah:
B. Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai nasikh dan mansukh, semoga dapat
bermanfaat bagi rekan pembaca sekalian dalam menambah wawasam di bidang Ulumul
Qur’an, kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah
kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tengku Mohammad, Ilmu-Ilmu Al-quran (Semarang:
PT Pustaka Riski Putra, 2002)
Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran
(Bekasi: Media Grafika, 2002)
Rosihon Anwar, Ulum Al-quran (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2008)
Ibnu Qoyyim, Belajar
Mudah Ulum Al-quran (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002)
[1]
Tengku Mohammad, Ilmu-Ilmu Al-quran (Semarang: PT Pustaka Riski Putra,
2002), h. 150
[2]
Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran (Bekasi: Media Grafika,
2002), h. 50
[3]
Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran (Bekasi: Media Grafika, 2002),
h. 52
No comments:
Post a Comment