Thursday, May 10, 2018

Resume Akuntansi Perilaku Bab 10-14


BAB 10
ESKALASI KOMITMEN

Dalam bab sebelumnya, kita telah mengamati satu keputusan dan jalan di mana bias pertimbangan dan framing dari informasi bisa memengaruhi respons kita terhadapnya. Namun, banyak keputusan manajerial memperhatikan serangkaian pilihan dibandingkan suatu pilihan tersendiri. Penelitian manajemen mgnduga bahwa kita eenderung terhadap tipe tertentu dari bias ketika keputusan didekati secara seri disebut suatu kecenderungan untuk menaikkan komitmen. Bab ini akan memperkenalkan Anda kepada suatu aspek spesifik dari fenomena ini yang diteliti di dalam komponen individu (atau unilateral), komponen kompetitif, dan faktor lain yang memengaruhi perilaku ini.
Untuk memulai, perhatikan contoh-contoh berikut.
1.    Bagian personalia Anda memutuskan untuk merekrut manajer tingkat menengah yang barn untuk bekerja dengan Anda.
2.    Anda bekerja dengan sesuatu perusahaan yang terkenal dengan reputasi yang luar biasa.
3.    Anda adalah seorang petugas bagi akredit bank. Sebuah kredit berisiko datang kepada anda dan meminta pinjaman untuk modal awal sebesar Rp. 50.000.000,
4.    Anda telah menghabiskan tiga tahun mengejar gelar doktor di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas X dan kira-kira meng-habiskan dana Rp 150 juta. Anda memilih untuk menginvestasikan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan studi, dibandingkan berhenti dan mengganti bidang lain. Lagipula, Anda telah menginvestasikan banyak dalam program doktoral Anda. Anda tetap dengannya, dan tiga tahun kemudian Anda memperoleh gelar Anda. Anda mengambil perkerjaan sebagai instruktur paruh waktu pada institusi berkualitas rendah, tetapi segera berhenti. Anda berpikir bahwa Anda layak mendapatkan perhatian lebih dari yang Anda harapkan. Anda bisa bertahan di posisi ini, tetapi prospek peningkatannya sangat buruk. Kapankah Anda akan pindah ke bidang yang lain?
Ahli ekonomi mengatakan bahwa dalam setiap situasi ini kita perlu untuk mengenali bahwa waktu dan harga yang telah kita investasikan. Oleh karena itu, biaya ini adalah biaya sejarah atau disebut juga Sunk Cost yang tidak bisa kembali dan seharusnya tidak dipertimbangkan dalam jalur tindakan di masa depan. Titik acaun kita atas tindakan seharusnya adalah situasi kita sekarang, dan kita harus mempertimbangkan semua jalur tindakan aiternatif dengan mengevaluasi hanya biaya dan keuntungan masa depan yang berhubungan dengan masing-masing aiternatif.
Psikolog membawa suatu perspektif tentang masalah eskalasi yang sangat berbeda dengan akuntan dan ahli ekonomi. Psikolog mulai dengan menjelaskan apa yang pembuat kcputusan lakukan, dibandingkan menjelaskan terlebih dahulu apa yang harus mereka lakukan. Umumnya, psikolog telah mendemonstrasikan bahwa pembuat keputusan yang menyatakan dirinya terhadap jalur tindakan tertentu memiliki suatu kecenderungan untuk membuat keputusan lanjutan yang akan meneruskan komitmen tersebut di luar level yang bisa dipikirkan secara rasional. Akibatnya, sumber daya sering kali dialokasikan dengan cara yang bisa membenarkan komitmen awal, apakah benar atau tidak komitmen tersebut sekarang.
Dengan demikian, eskalasi komitmen adalah komitmen seorang pengambil keputusan untuk tetap melanjutkan dan memperluas komitmen awalnya terhadap pelaksanaan suatu investasi proyek atau usaha-usaha tertentu yang sudah tidak menguntungkan atau memberikan umpan balik yang negatif, meskipun keputusan tersebut kemungkinan akan mengakibatkan risiko kerugian yang lebih besar lagi kelak di kemudian hari.

A.    Paradigma Eskalasi Unilateral
Sejumlah studi telah mencoba untuk mengeluarkan pengaruh yang diakibatkan oleh seseorang yang membuat komitmen awal. Studi ini telah menyelidiki perbedaan antara bagaimana dua kelompok pembuat keputusan membuat suatu keputusan kedua yang mengikuti suatu kegagalan sebelumnya. Satu kelompok telah membuat diskusi awal, sementara kelompok yang lain menerima diskusi awal.
Dalam studi awal Staw (1976) dalam Bazerman (1994) dari jenis ini, satu kelompok dari subjek (diberi label subjek yang bertanggung jawab tinggi) diminta untuk mengalokasikan dana penelitian dan pengembangan pada satu atau dua bagian operasional dari suatu organisasi. Subjek kemudian diberitahu bahwa, setelah tiga tahun, invesatasi menjadi terbukti berhasil atau tidak berhasil dan sekarang mereka berhadapan dengan keputusan alokasi dana kedua untuk devisi yang sama. Kelompok kedua (diberi label subjek yang bertanggung jawab rendah) diberi tahu bahwa petugas keuangan yang lain dari perusahaan telah membuat keputusan yang kemudian berhasil atau tidak berhasil (konteks informasi yang sama tentang sukses atau kegagalan telah diberikan kepada kelompok ini seperti halnya kelompok sebelumnya) dan mereka akan melakukan alokasi kedua dari dana untuk divisi ini.
Ketika hasil dari keputusan pertama negatif (investasi tidak berhasil), subjek yang bertanggung jawab tinggi secara signifikan mengalokasikan lebih banyak dana pada divisi sebelumnya dalam alokasi kedua di-bandingkan subjek yang bertanggung jawab rendah. Sebaliknya, untuk keputusan awal yang berhasil, jumlah dana yang dialokasikan dalam keputusan kedua secara kasar sama di keseluruhan subjek, menunjukkan bahwa peningkatan yang besar dari komitmen hanya terjadi pada subjek yang sebelumnya telah membuat keputusan yang tidak berhasil.
Staw menyimpulkan bahwa mekanisme yang menggarisbawahi eskalasi adalah perselisihan kognitif atau pembenaran diri. Oleh karena itu, sekali seseorang membuat suatu 'keputusan awal untuk menjalani suatu jalur tindakan, umpan balik negatif bertentangan dengan pembuatan keputusan awal. Salah satu cara untuk menghilangkan pertentangan ini untuk menaikkan komitmen terhadap tindakan awal dengan kepercayaan bahwa sukses akan diraih dijalur ini sekarang. Suatu kesimpulan penting dari studi Staw (1976) adalah bahwa perasaan bertanggung jawab oleh pembuat keputusan terhadap keputusan awal secara signifikan raembiaskan keputusan selanjutnya menuju eskalasi. Perasaan bertanggung jawab disebut juga dengan akuntabilitas.
Sejumlah studi lain telah mengidentifikasi faktor tambahan yang memprediksi apakah perilaku eskalatorik bisa diamati atau tidak. Sebagai contoh, Staw dan Ross (1978) dalam Bazerman (1994) menunjukkan bahwa kecenderungan untuk meninggikan komitmen oleh subjek yang memiliki tanggung jawab tinggi terutama dimunculkan ketika suatu penjelasan bisa dikembangkan untuk kegagalan awal yang tidak bisa jiprediksi dan tidak berhubungan dengan tindakan dari pembuat keputusan (sebagai contoh, ekonoini menderita kemunduran berat atau resesi).

B.   Paradigma Eskalasi Kompetitif
Dalam paradigma eskalasi unilateral yang telah dijelaskan, semua usaha pembenaran yang mengarah pada kebohongan eskalasi tidak rasional dalam diri seseorang. Kita meninggikan sesuatu karena komitmen sebelumnya dari diri kita. Namun, dalam paradigma eskalasi kompetitif, tambahan usaha kompetitif memakan proses eskalasi. Bagian ini mengamati proses eskalasi dalam situasi persaingan.
Bayangkan diri Anda dalam suatu ruangan bersama 30 orang lainnya. Orang di depan ruangan mengeluarkan uang Rp 20,00 dari kantongnya dan mengatakan hal berikut.
Saya akan melelang Rp 20,00 ini. Anda bebas berpartisipasi atau hanya menonton tawaran orang lain. Orang akan diundang untuk menyebutkan penawara^nya dalam kelipatan Rp 1,00 sampai tidak ada lagi penawaran, di mana pada titik penawar tertinggi akan membayar sejumlah tawaran dan memenangkan Rp 20,00. Satusatunya yang membedakan lelang ini dari pelelangan tradisional adalah adanya aturan penawar tertinggi kedua juga harus membayar jumlah yang dia tawarkan, walaupun dia jelas-jelas tidak memenangkan Rp 20,00. Sebagai contoh, Bill menawar Rp 3,00 dan Jane menawar Rp 4,00 ketika penawaran berhenti. Saya akan membayar Jane Rpl6,00 (Rp20,00 Rp4,00) dan Bill sebagai penawar tertinggi kedua, akan membayar saya Rp3,00.
Apakah Anda bersedia menawar Rp 2,00 untuk memulai lelang?
Saya telah melangsungkan pelelangan ini dengan murid yang akan lulus, murid yang telah lulus dan eksekutif. Polanya selalu sama. Penawaran dimulai dengan cepat dan bersemangat sampai penawaran mencapai rentang Rpl2,00-Rpl6,00. Pada titik ini, semua orang kecuali kedua penawar tertinggi keluar dari pelelangan. Kedua penawar kemudian mulai merasa terjebak. Seorang penawar telah menawar Rp 16,00 dan yang lain Rpl7,00. Penawar Rpl6,00 harus menawar Rpl8,00 atau menderita kehilangan Rpl6,00. Pilihan yang tidak pasti untuk menawar lebih jauh (suatu pilihan yang akan kembali terulang jika orang yang lain keluar) lebih menarik dibandingkan kekalahan pasti sekarang, jadi penawar Rpl6,00 menawar Rpl8,00. Hal ini berlanjut sampai penawaran Rp 19,00 dan Rp20,00. Mengejutkan lagi, keputusan menawar Rp21,00 sangat mirip dengan keputusan sebelumnya: Anda bisa menerima kekalahan Rpl9,00 atau melanjutkan dan mengurangi kekalahan jika orang yang lain berhenti. Tentu saja, sisa kelompok yang lain berteriak tertawa ketika penawaran berlanjut melebihi Rp20,00 yang kenyataannya memang selalu seperti itu. Sudah sangat jelas, penawar bertingkah tidak masuk akal. Akan terapi, apakah penawaran yang tidak masuk akal tersebut?
Pembaca yang skeptis harus mencoba sendiri pelelangan ini. Hal ini sangat umum untuk memperoleh penawaran akhir dengan rentang Rp30,00 sampai Rp70,00. Secara keseluruhan, saya telah memperoleh lebih dari Rpl0.000,00 menjalankan pelelangan ini dalam kelas selama empat tahun terkahir. Paradigma pelelangan dolar pertama kali diperkenalkan oleh Shubik (1971) dalam Bazerman (1994), seorang teoretis ekonomi dan permainan. Baru-baru ini, Teger (1980) dalam Bazerman (1994) telah menggunakan paradigma ini secara luas untuk menyelidiki pertanyaan mengapa seseorang meninggikan komitmennya terhadap jalur tindakan yang sebelumnya dipilih. Teger berpendapat bahwa subjek secara naif memasuki pelelangan dengan tidak mengharapkan penawaran akan melebihi Rpl,00 (atau Rp20,00). Lagipula, siapa yang akan menawar lebih dari satu rupiah untuk satu rupiah?
Perolehan yang potensial, dipasangkan dengan kemungkinan untuk "memenangkan" pelelangan, ini hanya memerlukan satu dolar ekstra untuk tetap dalam pelelangan dibandingkan menerima kekalahan pasti. Alasan ini, dibarengi dengan kebutuhan kuat untuk membenarkan penawaran memasuki pelelangan di tempat pertama, sudah cukup untuk menjaga sebagian besar penawar untuk menawar lebih banyak seiring dengan waktu.

C.   Mengapa Terjadi Eskalasi?
Bagian-bagian sebelumnya telah menyediakan beberapa petunjuk tentang terjadinya eskalasi. Namun, kunci untuk menghilangkan eskalasi nonrasional adalah kemampuan untuk mengidentifikasi faktor kejiwaan yang memelihara sifat eskalasi. Literatur yang ada dengan jelas menyatakan bahwa terdapat berbagai alasan terjadinya eskalasi.


Bias persepsi
Bias penilaian
Managemen
Penampilan
Kompetisi tidak
Masuk akal
 

Eskalasi komitmen
 
 






Sumber: Bozeman (1994)
Gambar 10.1 Empat penyebab eskalasi

Bias persepsi. Bias persepsi vang terjadi setelah kita membuat suatu komitmen terhadap jalan hidup tertentu menyatakan sejumlah prosedur pembenaran. Seperti yang direkomendasikan dalam Bab 2, dalam membuat keputusan, kita perlu menelusuri secara hati-hati terhadap informasi yang t'idak nyaman. Sebaliknya untuk informasi yang baik, yang intuisi kita cari. Kebutuhan ini terutama muncul dalam serangkaian keputusan, di mana kita memiliki kecenderungan alami menuju eskalasi. Sebagai tambahan, mengembangkan suatu sistem pengawasan yang membantu kita untuk memeriksa persepsi kita sebelum pertimbangan atau keputusan selanjutnya dibuat dapat terbukti bermanfaat. Ringkasnya, jika suatu keputusan objektif dapat mengevaluasi keterbukaan kita terhadap informasi yang tidak mengenakkan, penghalang persepsi terhadap perilaku non eskalasi dapat dikurangi atau dihilangkan.
Bias pertimbangan. Setelah menyaring informasi yang akan kita gunakan dalam membuat keputusan, selanjutnya kita masih harus membuat keputusan. Mengulang tesis sentral dari konsep framing, seseorang cenderung menghindari risiko terhadap masalah yang di-frame positif dan mencari risiko terhadap masalah yang di -frame negatif Menduga bahwa Anda adalah petugas peminjaman bank di awal bab. Anda membuat investasi awal Rp50.000.000 untuk perusahaan yang baru didirikan. Setelah satu periode singkat, Anda berhadapan dengan keputusan menerima kehilangan Rp50.000.000 tersebut atau berisiko menambahkan Rp50.000.000 dengan harapan bahwa penambahan investasi ini akan menghilangkan kehilangan secara keseluruhan. Respons menghindari risiko adalah untuk menerima kehilangan pasti Rp50.000.000, sementara tindakan mencari risiko adalah untuk mencoba memulihkan dana awal dengan mengalokasikan tambahan Rp50.000.000. Penjelasan framing untuk fenomena eskalasi menyatakan solusi yang sama seperti pendekatan yang dikemukakan oleh akuntan. Kita perlu meminta seseorang untuk menilai keputusan baru dari titik acuan netral yang menghilangkan perilaku mencari risiko ekstrim diamati di antara subjek yang bertanggung jawab tinggi (yaitu pembuat keputusan yang telah menyetujui dana atau sumber daya bagi jalan tindakan). Penyimpangan titik acuan ini bisa diselesaikan dengan meyakinkan pembuat keputusan bahwa investasi awal terbukti merugikan, dan keputusan kedua menunjukkan suatu masalah baru untuk diamati secara objektif. Jika hal ini tidak memungkinkan, kita perlu untuk memperkenalkan pembuat keputusan yang baru untuk membuat keputusan selanjutnya.
Eskalasi komitmen dapat dijelaskan dan diprediksi oleh fungsi nilai menurut teori prospek seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya. Dalam teori prospek, tiap pertimbangan dan keputusan dibuat setelah informasi terlebih dahulu disaring melalui decision frame atau ’’bingkai keputusan” oleh pengambil keputusan atau “konsepsi atas tindakan, hasil dan kontinjensi yang berkaitan dengan pilihan tertentu” (Kahneman dan Tversky, 1979). Dampak dari pembingkaian informasi ini adalah pilihan berisiko, bila diproses melalui fungsi nilai yang cekung pada keadaan untung dan cembung pada kondisi rugi, menghasilkan perilaku mencari risiko pada hasil rugi dan penghindaran risiko pada hasil yang untung.
Dalam konteks keputusan investasi dengan pendanaan tinggi, seorang pengambil keputusan yang menerima umpan balik negatif atas keputusan investasi sebelumnya akan berada pada posisi atau kondisi rugi, dan akan mempersepsikan keputusan berikutnya sebagai pilihan antara kerugian pasti yang telah terjadi (yaitu memilih untuk tidak melanjutkan tindakan menambah investasi dengan kucuran dana segar misalnya) dengan kerugian di masa mendatang yang kurang pasti (yaitu mengambil risiko menambah kucuran dana dengan harapan mendapat pengembalian positif). Dalam keadaan dan situasi seperti ini, pengambil keputusan cenderung untuk mencari risiko, memilih kerugian yang probabilitasnya tidak pasti yang memberikan ekspektasi perbaikan (komitmen tambahan dana) dibandingkan kerugian yang pasti. Sebaliknya, jika informasi disajikan dengan bingkai informasi positif, pengambil keputusan dihadapkan pada pilihan antara untung yang pasti (pengembalian investasi yang semula) dengan keuntungan di masa mendatang yang tidak pasti. Pengambil keputusan akan cenderung menghindari risiko dengan mengambil keun-tungan yang pasti daripada menghadapi risiko keuntungan yang tidak pasti, dengan menghentikan proyek. Melanjutkan proyek adalah upaya yang sia-sia.
D.   Strategi Mengurangi Eskalasi
Bowen (1987) dalam Ghosh (1997) mengemukakan bahwa eskalasi muncul dalam kasus yang memilki umpan balik ambigu. Perilaku eskalasi adalah lebih responsif dalam menghadapi dilema dibandingkan perbuatan salah karena penguatan komitmen menjadikan adanya kesempatan tambahan untuk strategi dalam bekerja, atau mengoleksi lebih banyak informasi.
Konsep dan manipulasi dari umpan balik negatif, akan mengindikasikan suatu arah tindakan yang gagal, yang tidak didefmisikan dengan baik dari penelitian eskalasi sebelumnya. Studi-studi awal memfokuskan pada apakah investasi awal memengaruhi keputusan saat ini di mana peneliti mempertimbangkan suatu umpan balik negatif. Staw (1976) dalam Ghosh (1997) memberikan contoh mengenai poin ini.
Pengendalian terhadap proyek-proyek investasi merupakan perencanaan manajemen yang baik, di mana pengeluaran-pengeluaran dibatasi oleh anggaran yang ada. Elemen penting dari pengendalian untuk proyek investasi adalah progress report yang memperlihatkan item-item seperti jumlah yang dianggarkan, tanggal pengeluaran, laporan laba rugi, persentase yang lengkap dan penjelasan-penjelasan untuk seluruh variance.



BAB 11
PENDEKATAN KONTINJENSI PADA RANCANGAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI

A.    Teori Kontinjensi
Pendekatan teori kontinjensi untuk merancang sistem akuntansi melyatakan bahwa suatu strategi umum bisa digunakan untuk semua )rganisasi tidaklah ada. Saat ini, perumusan kontinjensi telah memperimbangkan pengaruh dari teknologi, struktur organisasi dan teori, dan ingkungan dalam upaya untuk menjelaskan bagaimana sistem akuntansi berbeda dalam berbagai situasi.
1.    Kerangka Kerja Waterhaouse dan Tiessen
Waterhaouse dan Tiessen mengusulkan suatu rancangan efisien dari sistem akuntansi manajemen dan suatu mekanisme dari kontrol yang tergantung pada struktur dan konteks dari suatu organisasi. Tipe dari struktur organisasi pada akhirnya, diduga akan memengaruhi proses akuntansi manajemen seperti perencanaan, alokasi sumber daya, dan pengukuran penampilan.
2.    Kerangka Kerja Gordon dan Miller
Gordon dan Miller mengusulkan suatu kerangka kerja kontinjensi untuk rancangan sistem informasi yang melakukan perhitungan terhadap lingkungan, atribut organisasional, dan jenis pembuatan-keputusan manajerial. Gordon dan Miller menyatakan dalam kenyataannya, bahwa “pola tampaknya lingkungan, organisasional, dan jenis keputusan tidak tersebar secara acak tetapi bergabung bersama untuk membentuk pengaturan umum.
3.    Kerangka Kerja Macintosh dan Daf
Macintosh dan Daft menyelidiki hubungan antara satu karakteristik dari organisasi dan rancangan Sistem Pengendalian. Dengan interdependensi yang mereka temukan suatu perluasan di mana departemen tergantung satu sama lain dan bertukar informasi dan sumberdaya untuk menyelesaikan suatu tugas. Hal itu juga suatu variabel yang relevan untuk mengontrol sistem. Interdependensi bisa (1) dicurangi ketika departemen relatif otonom dan terdapat sedikit aliran kerja di antara mereka, (2) berangkaian ketika departemen berkaitan suatu seri, dengan hasil suatu departemen digunakan sebagi masukan dari departemen berikutnya, dan (3) berbalasan ketika departemen bekerja suatu proyek dan arus kerja kembali dan berkumpul di antara mereka. Sistem Pengendalian manajemen dipandang dari istilah ketika kontrol subsistem: dana operasional, laporan statistik, dan prosedur operasional standar dan peraturan.
Hipotesis hubungan dan penggunaan Sistem Pengendalian manajemen adalah sebagai berikut.
a)    Dalam kasus kecurangan interdependensi departemental, rata-rata kontrol yang terbaik adalah standardisasi dan lebih menggantungkan terhadap prosedur operasional standar dibandingkan dana operasional atau laporan statistik.
b)    Dalam kasus rangkaian interdependensi departemental, hal kontrol terbaik yang dipilih adalah perencanaan dan pengukuran, dengan lebih menggantungkan pada dana operasional dan laporan statistik dibandingkan prosedur operasional standar.
c)    Dalam kasus berbalasan interdependensi departemental, kontrol terbaik yang diharapkan adalah penyesuaian dana bersama; kurang menggantungkan pada dana operasional, laporan statistik, dan prosedur operasional standar.
Hasil dari studi lapangan Macintosh dan Daft menunjukkan bahwa ketika interdependensi rendah, kontrol difokuskan pada penggunaan prosedur operasional standar; ketika menengah, kontrol diserahkan pada pendanaan dan laporan statistik; ketika tinggi, peranan dari Sistem Pengendalian ditiadakan.
4.    Kerangka Kerja Macintosh
Macintosh mengusulkan suatu model kontekstual dari sistem informasi. Dasarnya, model menggabungkan tipe keputusan pribadi, teknologi, dan struktur organisasi untuk menurunkan suatu jenis sistem informasi. Variabel-variabel ini dijabarkan sebagai berikut.
a)    Model jenis keputusan Driver dan Mock digunakan untuk menentukan variabel jenis keputusan. Model menunjukkan dua dimensi dari pemrosesan informasi; jumlah informasi yang di-gunakan (dari minimum sampai maksimum) dan derajat focus dalam penggunaan data (dari satu solusi sampai banyak solusi). Dua dimensi ini digabung untuk menurunkan empat jenis yang berlainan, yaitu:
1)    Jenis desisif menyatakan penggunaan suatu jumlah minimum dari data untuk menghasilkan hasil yang berbeda pada waktu yang berbeda. Individu desisif melihat efisiensi, kecepatan dan konsistensi dalam informasi yang digunakan.
2)    Jenis fleksibel menyatakan penggunaan sejumlah kecil data untuk menghasilkan hasil yang berbeda pada waktu yang berbeda. Individu fleksibel melihat, kecepatan, adaptabilitas, dan intuisi dibandingkan mengembangkan dan beroperasi berdasarkan rencanca.
3)    Jenis hierarki menyatakan penggunaan banyak data untuk menghasilkan satu opini perusahaan. Individu hierarki melihat kesungguhan, ketepatan dan kesempurnaan.
4)    Jenis integratif menyatakan penggunaan banyak data untuk menghasilkan banyak solusi yang memungkinkan. Individu integratif melihat penggunaan kreatif dari informasi dalam eksperimen, simulasi dan permainan.
b)    Kategori Perrow tentang teknologi digunakan untuk menentukan variabel teknolog. Model menyatakan dua dimensi teknologi: pengetahuan tugas (dari bisa dianalisis sampai btidak bisa4 dianalisis) dan keragaman tugas (dari rendah sampai tinggi). Dua dimensi ini diturunkan dari kategori pengetahuan yang berbeda:
1)    Teknologi keahlian (Pengetahuan tugas yang bisa dianalisis dan variasi tugas teknologi rendah);
2)    Teknologi rutin (pengetahuan tugas yang tidak bisa dianalisis dan variasi tugas rendah);
3)    Teknologi penelitian (pengetahuan tugas yang tidak bisa dianalisis dan variasi tugas tinggi)
4)    Teknologi teknis professional (pengetahuan tugas yang bisa dianalisis dan variasi tugas tinggi).
c)    Akhirnya, empat jenis informasi dibedakan dalam hal dua dimensi: jumlah dan ambiguitas. Macintosh menjelaskan mereka dengan cara berikut.
1)    Sistem informasi ringkas
Sejumlah kecil sampai menengah informasi yang tepat dan tidak ambigu, dan digunakan dalam cara yang cepat dan teliti.
2)    Sistem informasi teliti
Sejumlah besar informasi, sering kali dalam bentuk database atau model simulasi, yang cenderung terperinci dan tepat; recipient normalnya menggunakan informasi semacam itu dengan cara yang lambat dan penuh pertimbangan.
3)    Sistem informasi kursori
Sejumlah kecil informasi, tidak tepat, tidak pula terperinci, dan sering kali hanya di permukaan, mereka digunakan dalam cara yang bisaa namun teliti.
4)    Sistem informasi difuse
Informasi menengah sampai besar meliputi sejumlah luas material, sering kali sangat tidak jelas dan tidak tepat, umumnya digunakan dengan cara yang lambatdan penuh pertimbangan.
5.    Kerangka Kerja Ewusi-Merxsah
Ewusi menyelidiki daoipak dari lingkungan organisasi eksternal terhadap sistem informasi manajemen. Variasi dalam lingkungan organisasi diasumsikan memerlukan proses keputusan yang berbeda, dan oleh karenanya, memiliki karakteristik informasi yang berbeda, termasuk kualitas informasi, dampak terhadap pembuatan keputusan, interaksi organisasional, penelusuran organisasional, waktu respons, cakrawala waktu, sumber informasi, dan jenis informasi.
B.   Penggunaan Teknik Pembiayaan Modal
Untuk membenahi berbagai keterbatasan teoretis dan metodologis, menggunakan suatu model teoretis, diturunkan dari teori ekonomi keuangan, yang menunjukkan bahwa penampilan perusahaan yang ditingkatkan (suatu pengukuran dari data pasar saham) tidak secara signifikan berkaitan dengan teknik cash flowyang didiskontokan. Hubungan antara penggunaan teknik pembiayaan permodalan dan penampilan perusahaan sudah jelas diringankan oleh kontinjensi, karakteristik spesifik perusahaan. Menggunakan perspektif semacam itu. Haka mengembangkan dan menguji suatu teori kontinjensi yang bisa memprediksi perusahaan mana yang tampaknya paling diuntungkan dengan menggunakan teknik pembiayaan permodalan.
Karakteristik eksternal digunakan dalam model adalah:
1.    Strategi perusahaan (bertahan atau prospektor)
2.    Prediktabilitas lingkungan (stabil dan dinamis)
3.    Keragaman lingkungan (homogen atau heterogen)
Karakteristik internal adalah :
1.    Sistem informasi (mendukung atau tidak mendukung)
2.    Struktur penghargaan
3.    Derajat desentralisasi
Hasil dari survei memberikan bukti suatu hubungan positif antara efektivitas dari teknik pembiayaan permodalan rumit dan lingkungan yang bisa diprediksi, penggunaan dari sistem penghargaan jangka panjang, dan derajat dari desentralisasi.

C.   Strategi Bisnis dan Sistem Pengendalian
Govindarajan dan Gupta dalam Belkaoui (1989) mengamati keterkaitan antara strategi, sistem bonus insentif, dan efektivitas pada level strategic businesse unit (SBU) di dalam perusahaan yang berbeda-beda. Suatu survei umum dari manajer tentang strategic business unit (SBU) dalam perusahaan terdiversifikasi menghasilkan hal-hal berikut:
1.    Ketergantungan lebih besar terhadap kriteria jangka panjang se-perti halnya juga ketergantungan lebih besar terhadap pendekatan subjektif (bukan rumusan) untuk menentukan SBU manajer umum, bonus berperan untuk efektivitas dalam kasus membangun SBU, tetapi lambat dalam memanen SBU,
2.    Hubungan dari perluasan dari ketergantungan terhadap sistem bonus pada kriteria pendek dan efektivitas SBU secara maya berdiri sendiri dari strategi SBU.
Hasil pertama berdiri di atas alasan yang memberikan pengharapan di mana unit pembangun akan menghadapi ketidakpastian lingkungan yang lebih besar dibandingan dengan yang akan dihadapi unit permanen.
Menggunakan tipologi Miles dan Snow (1978), strategi diklasifikasikan menjadi defender prospektor, dan analiser. Tipe ini dijelaskan sebagai berikut. Defender beroperasi dalam area produkasi yang relatif stabil, dan berkompetisi dengan mempertaruhkan kepemimpinan, kualitas, dan pelayanan. Mereka melakukan sedikit perkembangan produk/pasar. Hasil dari studi ini membuktikan proporsi di mana perusahaan bergantung pada strategi berbeda menggunakan Sistem Pengendalian akuntansi dengan cara yang berbeda pula.

D.   Pentingnya Pengamatan dan Penggunaan Kontrol Pembiayaan
Literatur empiris dalam teori kontinjensi mencoba untuk menjelaskan variasi dalam pentingnya pengamatan dan/atau menggunakan kontrol pembiayaan pada berbag^i variabel kontinjensi. Pengawas manajer menggunakan kontrol pembiayaan fleksibel merupakan suatu fungsi positif dari kompetisi yang dihadapi oleh organisasi mereka. Dia menyimpulkan hal berikut:
Hal ini menunjukkan bahwa, saat kompetisi diintensifkan, keuntungan yang diharapkan dari penerapan kontrol ini cenderung memberatkan biaya mereka. Oleh karena itu, untuk mereka yang dipercayakan dengan Sistem Pengendalian, adalah penting untuk mengetahui derajat kompetisi yang dihadapi oleh perusahaan yang tidakmenghadapi kompetisi serius juga bisa membuat lebih merugikan daripada mendatangkan kebaikan.
Burns dan Waterhouse (1975) menemukan bahwa kepentingan dan penggunaan Sistem Pengendalian pembiayaan adalah lebih tinggi dalam organisasi yang lebih besar, lebih desentralisasi dan lebih banyak menggunakan teknologi dalam mana terdapat prosedur operasional resmi standar.

E.    Pilihan dari Tindakan dan Sistem Pengendalian
Kemampuan anggota organisasi untuk merancang dan memelihara Sistem Pengendalian untuk sesuai dengan keseluruhan struktur juga bisa menjadi kontingen pada berbagai faktor lainnya. Sebagai contoh Das menggunakan suatu pengaturan simulasi, menemukan bahwa seseorang yang bekerja dalam sualu organisasi organik lebih suka memilih strategi kontrol yang memotivasi secara intrinsik, dan mereka yang bekerja dalam organisasi mekanis lebih suka memilih strategi kontrol yang memotivasi secara ekstrinsik.
Berdasarkan pada bukti penelitian terbaru, hal itu tampaknya merupakan perubahan umum dalam gaya manajerial terutama dalam proses kontrol, tidak bisa diharapkan iintuk muncul sebagai beberapa perubahan penting dalam persepsi dari sifat-sifat organisasional dan titik jenuh telah terjadi.
1.    Hasil pertama menunjukkan bahwa subjek tersebut bersedia bicara tentang dirinya tampak menerima salah satu kondisi dari sistem akuntansi yang bertanggung jawab di mana bertanggung jawab terhadap keseluruhan biaya terkontrol.
2.    Hasil kedua menyatakan bahwa subjek yang sama akan menjadi kurang berkenan untuk menerima kondisi di atas dari sistem akuntansi yang bertanggung jawab jika kehendak untuk membuka adalah untuk mengungkapkan hal negatif lawan positif tentang diri mereka, atau untuk mengukur kesungguhan dari pernyataan mereka.
Kedua hasil bisa diintepresentasikan untuk menentukan kreasi dari keduanya dalam atmosfer keterbukaan dan kepercayaan di antara mereka yang dikendalikan menuju penerimaan tanggung jawab dalam sistem akuntansi yang bertanggung jawab.

F.    Pendekatan Kontinjensi untuk Mengukur Penampilan
Suatu pendekatan kontinjensi untuk mengukur penampilan didemonstrasikan dalam studi Hayes (1977) dalam Belkaoui (1989). Hasilnya menunjukkan bahwa:
1.    Faktor internal merupakan penjelasan utama untuk penampilan pada departemen produksi.
2.    Lingkungan sebagaimana juga halnya variabel interdependensi memberikan kira-kira sumbangan sementara terhadap penjelasan terhadap penampilan pada departemen penjualan.
Govindarajan mengamati hubungan antara ketidakpastian lingkungan dan gaya evaluasi penampUan . Hasilnya mendukung pernyataan berikut.
1.    Atasan dari unit bisnis yang menghadapi ketidakpastian ling-kungan yang lebih tinggi akan menggunakan suatu penampilan yang lebih subjektif, yaitu pendekatan pujian, sedangkan atasan dari unit bisnis yang menghadapi ketidakpastian lingkungan yang rendah akan menggunakan lebih banyak rumusan yang didasarkan pendekatan evaluasi penampilan.
2.    Kecocokan kuat antara ketidakpastian lingkungan dan gaya evaluasi penampilan berkaitan dengan penampilan unit bisnis yang lebih tinggi.

G.   Penentuan Sistem Informasi Akuntansi
Kritikan  terhadap penelitian kontinjensi lebih banyak diarahkan dalam lesain rerangka kontinjensi, terutama pada aspek metode pengujian. Drazin dan Van de Ven (1985) mengusulkan tiga pendekatan penting lalam penelitian kontinjensi, meliputi: seleksi, interaksi dan sistem. Kenyataan bahwa dalam pendekatan seleksi dan interaksi memunculkan :ejumlah kelemahan baik dalam konsep maupun konsekwensi hasil, arah netode pendekatan kemudian difokuskan terhadap. pendekatan sistem.
Terdapat tiga pendekatan dalam kosep fit sebagaimana dikemukakan oleh Drazin dan Van de Ven (1985), yang meliputi seleksi, interaksi, dan istem. Pendekatan seleksi menghubungkan antara variabel kontekstual lengan variabel organisasional, namun tidak secara jelas mengorelasikan mbungan kedua variabel tersebut dengan kinerja organisasi. Pendekatan nuldple interaction memandang bahwa pengaruh fit antara variabel :ontekstual dengan variabel organisasional diekspresikan dengan bentukberkalian antara variabel kontekstual dengan variabel organisasional lalam model regresi. Koefisien signifikansi dari order tertinggi dari nteraksi dalam persamaan regresi menunjukkan adanya dukungan erhadap hipotesis yang dikembangkan.

H.   Pendekatan Residual Analysis
Pendekatan residual analysis mengacu pada konsep nilai residual dari >ersamaan regresi. Dalam pendekatan ini, residual diasumsikan sebagai m/It dari persamaan regresi. Terdapat tiga tahap dalam uji ini. Tahap ertama adalah penentuan desain hubungan variabel organisasional dengan kontekstual. Dalam hal ini, Sistem Pengendalian didesain sebagai variabel dependen dan PEU sebagai variabel indepeden.
Pendekatan seleksi dan interaksi dalam fit memfokuskan pada bagaimana faktor tunggal dari variabel kontekstual berpengaruh terhadap faktorfaktor organisasional dan bagaimana pasangan variabel kontekstualorganisasional tersebut berinteraksi dalam memengaruhi kinerja. Oleh kalangan reductionism, cara ini dipandang sebagai dekomposisi dari variabel-variabel organisasional dan kontekstual yang secara efektif dapat menjelaskan hubungan keseluruhan organisasi.


BAB 12
ASPEK KEPERILAKUAN DALAM PENGANGGARAN

A.    Budgetary Slack
Pandangan keperilakuan dari perusahaan memandang pencapaian tujuan sebagai sesuatu yang dinamis dan merefleksikan kebutuhan individual dan tujuan-tujuan dari sub-subunit yang ada. Kesepakatan mengenai tujuan dan pencapaian sasar^n dalam kongruensi tujuan organisasional yang mendukung kelangsungan perusahaan pasti menjadi tujuan bersama. Namun, apakah itu bisa dicapai dengan mudah? Jawabannya tidak. Ada banyak variabel dan faktor dalam perusahaan yang bisa jadi menghalangi tujuan. Faktor-faktor yang dimaksud bisa bersifat personalitas maupun lingkungan organisasi.
Anggaran merupakan bagian penting dalam perusahaan atau organisasi sektor publik. Umum sudah mengetahui bahwa anggaran adalah alat peng<jndalian. Penting dan urgennya fungsi anggaran sebagai perencana dan pengendali perusahaan menjadikan penganggaran sebagai area penting bagi keberhasilan perusahaan. Anggaran diharapkan menjadi rerangka kerja untuk menentukan prestasi dan kinerja karyawan. Anggaran seperti yang telah dijelaskan terlebih dahulu, merupakan penentu tujuan atau tujuan itu sendiri, dengan kata lain anggaran sebagai alat mengimplementasikan tujuan tersebut. Lebih luas lagi, anggaran dapat mencerminkan kesuksesan kaiyawan pada tugas yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, anggaran dapat menjadi suatu pertimbangan, melalui perbandingan antara prestasi yang sebenarnya atau yang telah ditetapkan dalam anggaran. Anggaran sektor publik, berupa APBD misalnya merupakan represen-tasi dari tujuan pemerintah sendiri dan dibahas bersama DPRD. APBD merupakan roh dari manajemen pemerintah daerah.

B.   Konsekuensi Disfungsional
Menurut Gudono (1993) penyusunan anggaran dapat menimbulkan dampak psikologis langsung pada karyawan. Tidak sedikit manajer departemen tertentu mengalami keresahan jika prestasinya (dilihat dari realisasi) tidaklah bagus setelah dibandingkan dengan anggaran yang harus dicapai. Sebaliknya, banyak pula manajer yang justru mempunyai motivasi semakin besar setelah ada anggaran.
Tidak sedikit pimpinan departemen yang sengaja menyusun target atau rencana yang mudah dicapai. Misalnya jika departemen produksi merasa mampu mencapai target kos per unit Rp 1000, ia mungkin al&n menyodorokan anggaran kos per unit Rp 1.200. Dengan demikian, setelah realisasinya dibandingkan seolah-olah ia mampu melakukan efisiensi produksi (Rp 200/unit) meskipun sesungguhnya efisiensi itu semu belaka. Contoh lain, manajer pemasaran mungkin akan menyodorkan target harga jual Rp 4.000 meskipun sebetulnya ia mampu menjual dengan harga Rp 5000. Target yang terlalu rendah ini akan menimbulkan apa yang disebut budgetary slack atau senjangan anggaran. Secara teoretis bisa kita katakan; bila partisipasi anggaran tidak dilaksanakan dengan baik dapat mendorong pelaksana anggaran melakukan senjangan anggaran. Hal ini mempunyai implikasi negatif seperti kesalahan alokasi sumber daya dan bias dalam evaluasi kinerja bawahan terhadap unit pertanggungjawaban mereka. Senjangan anggaran akan menjadi lebih besar dalam kondisi informasi asimetris karena informasi asimetris mendorong bawahan/pelaksana anggaran membuat senjangan anggaran. Secara teoritis, informasi asimetris dapat dikurangi dengan memperkuat monitoring dan meningkatkan kualitas pengungkapan.
Dengan demikian, ada konsekuensi disfungsional dari proses pengangga-ran:
1.    Rasa tidak percaya: dalam kenyataannya anggaran dapat disesuaikan, tetapi akan menjadi suatu sumber tekanan yang dapat menimbulkan rasa tidak percaya. Orang merasa pesimis, apakah mampu menjawab target yang dibebankan kepadanya.
2.    Resistensi: anggaran bisa jadi menimbulkan penolakan, karena orang mempunyai status quo masing-masing, terbiasa dengan cara-cara lama, dan dirugikan secara pribadi. Resistensi muncul karena adanya prerequisite yang tidak proporsional. Prerequisite yang dimaksud disini adalah kenikmatan-kenikmatan yang diperoleh karena memangku jabatan. Kalau anggarannya tiba-tiba dipotong, tentu saja akan menimbulkan keterkejutan.
3.    Konflik internal: konflik internal akan muncul mana kala anggaran sebagai pusat koordinasi tidak berjalan. Masing-masing menjalankan ego sendiri-sendiri. Seharusnya anggaran berfungsi sebagai alat koordinasi sehingga dapat memitigasi konflik internal. Namun, kadang-kadang susah dilakukan karena desentralisasi tanpa disertai dengan pemahaman mengenai kongruensi tujuan yang jelas. Meskipun punya banyak segmen, organisasi atau perusahaan tetap dianggap sebagai suatu erAitas yang tunggal.



BAB 13
ASPEK KEPERILAKUAN DALAM PENGAUDITAN

A.    Hakikat Audit
Hakikat dari audit adalah proses pembuktian oleh orang independen (imparsial) terhadap suatu asersi manajemen dengan menggunakan judgment (pertimbangan) dan bukti yang membuktikan (evidential matter). Pengauditan adalah suatu kegiatan yang penting. Setiap organisasi atau perusahaan selayaknya secara suka rela melakukan audit untuk memberikan umpan balik atas kinerja yang telah dilakukan. Audit dilakukan oleh auditor yang jati dirinya adalah seorang manusia. Komputer atau malahan robot sekalipun bisa saja membantu proses pengluditan, tetapi tetap saja manusia yang menentukan dalam memberikan jertimbangan dan pengambilan keputusan. Manusia dengan segala keterjatasannya akan menentukan kualitas pertimbangan yang dihasilkan. Ada :aktor human &e//2^(keinginan manusia), emosi dan subjektivitas.
Menurut Siegel dan Marconi (1989) seharusnya auditor terlepas dari iaktor-faktor personalitas dalam melakukan audit. Personalitas akan bisa Tienyebabkan kegagalan audit sekaligus membawa risiko yang tinggi bagi mditor. Untuk itu risiko inheren dalam audit harus diperhitungkan iengan baik. Ada dua tipe keperilakuan yang dihadapi oleh auditor.
1.    Auditor dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap lingkungan audit. Misalnya ketika menilai pengendalian intern yang diterapkan oleh perusahaan. Perusahaan besar akan dianggap memiliki pengendalian intern yang memadai padahal belum tentu demikian.
2.    Auditor harus inenyelaraskan dan sinergi dalam pekerjaan mereka, karena audit hakikatnya adalah pekerjaan kelompok, sehingga perlu ada proses review di dalamnya. Interaksi ini akan banyak menimbulkan proses keperilakuan dan sosial.

B.   Pertimbangan dan Pengambilan Keputusan pada Pengauditan
Dalam beberapa dekade tahun belakangan ini para akademisi menaruh perhatian yang sangat serius terhadap pertimbangan (judgment) dalam pengauditan. Pertimbangan auditor dipengaruhi oleh persepsi terhadap situasi yang ada. Pertimbangan auditor dipengaruhi oleh pendidikan, budaya, dan pengalaman. Tabel 13.1 berikut ini menyajikan proses audit yang membutuhkan pertimbangan auditor:

C.   Rational-Emotive Therapy dalam Audit
Menurut Goleman (2007) untuk menjadi auditor yang mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan menjunjung tinggi etika profesinya, kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20%, sedangkan 80% dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kecerdasan yang lain, salah satunya adalah kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan emosional seorang auditor diharapkan mampu mengatur perasaan dengan baik, mampu memotivasi diri sendiri, berempati ketika menghadapi gejolak emosi diri maupun diri orang lain, fleksibel dalam situasi dan kondisi yang sering berubah, sehingga dengan akal sehat mampu berpikir positif dalam menghadapi tekanan dan gangguan yang dapat memengaruhi independensinya. Dengan demikian, hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak pihak manapun.
Lima komponen untuk membentuk kecerdasan emosional seorang auditor adalah:
1.    Mengenali emosi diri: kesadaran diri untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan diri sendiri yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan.
2.    Mengelola emosi: mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan mampu bangkit kembali dengan cepat. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dapat mengelola emosi akan terus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
3.    Memotivasi diri sendiri: kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui bagaimana caranya mengendalikan dorongan hati, derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.
4.    Mengenali emosi orang lain: empati atau mengenai emosi orang lain dibangun berdasarkan.pada kesadaran diri. Jika sesorang terbuka pada emosi diri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
5.    Membina hubungan dengan orang lain: seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan sesorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Orang yang tidak memiliki keterampilan ini akan dianggap angkuh, menggangu atau tidak berperasaan terhadap orang lain.
Untuk mengatasi keperilakuan sebagai upaya meningkatkan kualitas pertimbangan, Shannon dan Stevens dalam Siegel dan Marconi (1989) mengusulkan suatu terapi apa yang disebut dengan Rational-Emotive Therapy (RET).
Tujuan RET adalah untuk memperoleh suatu kondisi emosional dari netralitas—untuk mengeliminasi sebanyak mungkin perasaan negatif yang tidak diinginkan. Ini berdasarkan ide di mana seseorang mungkin lebih mudah memecahkan suatu permasalahan dalam suasana pikiran yang tenang dibandingkan ketika seseorang mendekati suatu permasalahan dalam kondisi marah, cemas, atau depresi.

D.   Menerapkan RET
Berikut ini cerita menarik tentang interaksi seseorang yang bernama Sara dan seorang bernama Krenshaw. Proses RET dimulai, seperti yang telah kita lihat, dengan pemicu peristiwa berikut. Krenshaw mengatakan, “Dan seberapa banyak kantor dan Perusahaan, Akuntan Publik Bersertifikat, akan meminta kita untuk waktu ini?”
Sara mungkin mengalami sejumlah reaksi mental terhadap peristiwa itu. Ini biasanya mengambil bentuk serangkaian pemikiran seperti berikut.
1.    Orang dungu bodoh itu telah keterlaluan!
2.    Krenshaw semestinya lebih menghormati saya.
3.    Krenshaw semestinya tidak berbicara dengan saya seperti itu— mempermalukan saya di depan staf saya dan juga orangorangnya.
4.    Saya akan menyuruhnya diam.
Emosi yang bagaimana yang pemikiran pendek ini akan diarahkan?
Alternatifnya, Sara bisa mengalami sesuatu seperti serangkaian pemikiran berikut.
1.    Saya tidak bisa menang.
2.    Krenshaw tidak akan memberikan saya istirahat.
3.    Saya tidak akan piemperoleh promosi (dan itu sangat buruk).
Perasaan seperti apa yang Anda semestinya hasilkan dari pemikiran ini?
Masing-masing dari urutan reaksi mental ini mengarah kepada perasaan negatif. Perangkat pertama dari pemikiran mungkin memuncak dalam perasaan marah dan kemudian cemas, patah semangat, atau depresi.



BAB 14
TOPIK-TOPIK PENELITIAN AKUNTANSI KEPERILAKUAN

A.    Penelitian Akuntansi Keperilakuan dalam Akuntansi Manajemen
Salah satu tujuan dan prinsip fundamental dari akuntansi manajemen adalah meningkatkan nilai perusahaan untuk menjamin pengaruh aktivitas dan efisiensi dengan sumber daya yang terbatas. Sistem akuntansi manajemen menyediakan informasi yang dapat meningkatkan kemampuan karyawan dalam rangka membuat keputusan yang berkualitas, memampukan tujuan dan sasaran organisasi. Sistem akuntansi manajemen seharusnya bisa menyeleraskan kepentingan pengelola dan pemilik sehingga bisa mengarahkan elemen-elemen perusahaan menuju tujuan perusahaan. Informasi yang dihasilkan oleh sistem akuntansi manajemen perusahaan mempunyai dua peran penting: (1) informasi untuk perencanaan dan pengambilan keputusan, dan (2) memotivasi individuindividu yang ada di perusahaan untuk berbuat terbaik demi kepentingan perusahaan. Dengan demikian sangatlah penting peranan studi empiris tentang bagaimana peranan informasi akuntansi manajemen berpengaruh terhadap perilaku individu dalam organisasi yang penuh dengan kompleksitas permasalahan.
Penelitian dalam akuntansi manajemen bisa membantu praktik-praktik akuntansi manajemen yang secara aktual memotivasi individu untuk mengurangi divergensi antara kepentingan karyawan dan pemilik. Penelitian dalam akuntansi manajemen juga menentukan motif-motif sosial, nilai-nilai individu, dan sistem informasi informal perusahaan yang berinteraksi dengan prosedur pengelolaan untuk menjamin supaya karyawan melakukan yang terbaik.
Penelitian akuntansi manajemen yang menggunakan empiris-archival (arsip dan database) dan studi lapangan mempunyai masalah-masalah ekonometrika yang banyak. Data arsip atau database mungkin sangat sedikit yang tersedia. Lagipula, variabel bebas yang diinvestigasi sangat mungkin sudah terkontaminasi oleh self-selection bias dan sample selection bias (Sprinkle dan Wiiliamson, 2007). Kadang-kadang variabel terikat dan bebas tidak diukur dengan tepat sehingga mengandung gangguan secara acak dan sistematik. Kelemahan yang paling menonjol dari studi database dan lapangan adalah dalam hal validitas internal.
1.    Dari Pendekatan Normatif ke Deskriptif
Menurut Hudayati (2002), pada awal perkembangannya, desain pene-litian dalam bidang akuntansi manajemen masih sangat sederhana dan konvensional, hanya memfokuskan pada masalah penghitungan harga pokok produk dan biaya produksi. Seiring dengan perkembangan teknologi dan manajemen operasional, permasalahan penelitian di perluas dengan diangkatnya topik tentang penganggaran, akuntansi pertanggungjawaban serta masalah transfer pricing. Namun demikian berbagai penelitian tersebut masih bersifat normatif, yang hanya mengangkat permasalahan desain pengendalian manajemen dengan berbagai model-model normatif seperti discounted cash flow; atau linier programming untuk membantu manajer membuat keputusan ekonomik yang optimal tanpa melibatkan pada faktor-faktor lain yang memengaruhi efektivitas desain pengendalian manajemen, seperti perilaku manusia, serta kondisi lingkungan organisasi. Pada masa itu berbagi faktor-faktor tersebut dianggap sebagai “kotak hitam” yang kurang diperhatikan.
Dalam penelitian penilaian kinerja, bukti empiris menunjukkan bahwa kesesuaian antara sistem penilaian kinerja dengan ketidakpastian ling-kungan memengaruhi kinerja. Temuan yang ada sudah mendukung sistem pengendalian yang bersifat kontinjen, namun mengingat berbagai penelitian yang ada sebagian besar hanya menjelaskan satu atau dua dimensi saja dari sistem pengendalian, temuan-temuan ini masih bersifat parsial dalam menjelaskan nilai ekonomis atau kegunaan dari sistem pengendalian bagi perusahaan secara keseluruhan.
Menurut Riyanto (2003) penjelasan beberapa faktor kontekstual adalah sebagai berikut.
a)    Ketidakpastian lingkungan. Merupakan salah satu variabel yang banyak dipercaya akan memengaruhi keefektifan sistem pengen-dalian. Pandangan organisasi sebagai entitas yang hidup dalam sistem terbuka (perusahaan merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yaitu lingkungan) merupakan salah satu faktor yang mengilhami para peneliti. Interkasi perusahaan dengan pemangku kepentingan lainnya akan menimbulkan ketidakpastian karena pemangku kepentingan yang berbeda dan juga, dalam beberapa hal, bersaing untuk sumber daya yang sama. Kemampuan perusahaan untuk bertahan hidup ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk menemukan masalah dan mengembangkan suatu adaptasi yang baik.
b)    Struktur organisasi. Bercerita tentang pola pekerjaan dan ketompok pekerjaan dalam organisasi, yang sangat memengaruhi perilaku anggota-anggota organisasi. Dari struktur organisasi kita juga memperoleh distribusi wewenang untuk mengambil keputusan suatu organisasi.
c)    Faktor individu. Hubungan antara sistem pengendalian dan kinerja juga dipengaruhi oleh faktor individual. Argumen yang mendasari pengaruh positif partisipasi terhadap kinerja memang berasal dari konsep perilaku individual, di antaranya adalah komitmen dan motivasi. Beberapa penelitian awal di bidang partisipasi, goal setting, menjelaskan bahwa partsipiasi dalam penyusunan anggaran akan meningkatkan rasa kepemilikan pada perusahaan.


B.   Berbagai Perspektif Teoretis
Penelitian akuntansi keperilakuan di bidang akuntansi manajemen didominasi pada dua landasan konseptual, yaitu teori keperilakuan khususnya perilaku organisasi serta teori agensi yang mendasarkan pada ilmu ekonomi (Hudayati, 2002).
1.    Teori Atribusi (Attribution Theory)
Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang mengintrepretasikan suatu peristiwa, mempelajari bagaimana seseorang menginterpretasikan alasan atau sebab perilakunya. Teori ini dikembangkan oleh Fritz Heider yang mengargumentasikan bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang misalnya kemampuan atau usaha dan kekuatan eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar, misalnya kesulitan tugas atau keberuntungan.
2.    Teori Harapan (Expectancy Theory)
Teori ini sebenarnya telah mulai dikembangkan sejak tahun 1930-an. Tetapi model expectancy theory yang sistematis dan komprehensif pertama kali dikemukakan oleh Victor Vroom pada bukunya Work and Motivation (1964). Usaha Vroom tersebut kemudian dikembangkan oleh peneliti lainnya. Dalam expectancy theory motivasi individu ditentukan oleh expentancies dan valences. Expectancies adalah keyakinan tentang kemungkinan bahwa perilaku tertentu (seperti misalnya bekerja lebih keras) akan menimbulkan hasil tertentu (seperti misalnya kenaikan gaji). Valences berarti nilai yang diberikan individu atas outcome (hasil) atau rewards yang akan dia terima.
3.    Teori Tujuan (Goal Theory)
Teori ini mula-mula dikembangkan oleh Locke (1968) dalam Hudayati (2002). Teori ini mengemukakan bahwa perilaku seseojrang ditentukan oleh dua cognitions yaitu values dan intentions (atau tujuan). Yang dimaksud dengan values adalah apa yang dihargai seseorang sebagai upaya mendapatkan V.emakmuranl welfare. Orang telah menentukan goal atas perilakunya di masa depan dan goal tersebut akan memengaruhi perilaku yang sesungguhnya. Teori ini juga menyatakan bahwa perilaku individu diatur oleh ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Jika seorang individu komit dengan sasaran tertentu, maka hal ini akan memengaruhi tindakannya dan memengaruhi konsekuensi kinerjanya. Penelitian yang menggunakan teori ini bisa dilihat dari variabel penelitian yang dipergunakan antara lain level tujuan, komitmen tujuan, kebutuhan untuk berprestasi, dan setting tujuan. Penelitian yang menggunakan pendekatan teori tujuan memfokuskan hubungan antara desain pengendalian manajemen terhadap variabel motivasional seperti motivasi, komitmen organisasi, kinerja serta kepuasan kerja.
4.    Teori Agen
Penelitian akuntansi keperilakuan yang menggunakan teori agen mendasarkan pemikiran bagaimana adanya perbedaan informasi antara atasan dan bawahan atau antara kantor pusat dan kantor cabang atau adanya informasi asimetri memengaruhi penggunaan sistem akuntansi. Teori ini mendasarkan pada teori ekonomi. Dari sudut pandang teori agen, prinsipal (pemilik atau top manajemen) membawahi agen (karyawan atau manajer yang lebih rendah) untuk melaksanakan kinerja yang efisien. Teori ini mengasumsikan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi lingkungan. Teori ini secara umum mengasumsikan bahwa prinsipal adalah risk-neutral dan agen adalah risk and effort averse. Agen dan prinsipal diasumsikan dimotivasi oleh kepentingannya sendiri dan sering kepentingan antara keduanya berbenturan. Menurut pandangan prinsipal kompensasi yang diberikan kepada agen tersebut didasarkan pada hasil, sedangkan menurut agen dia lebih suka kalau sistem kompensasi tersebut tidak semata-mata melihat hasil tetapi juga tingkat usahanya.

C.   Penelitian Akuntansi Keperilakuan dalam Pengauditan
Penelitian dengan menggunakan auditor sebagai partisipan akan mengurangi masalah validitas eksternal yang sering menjadi masalah ketika mahasiswa yang digunakan sebagai partisipan untuk memerankan auditor. Namun di sisi lain, penggunaan auditor sebagai partisipan membutuhkan setting tugas yang lebih realistik karena keahlian (expertise) mereka sangat sensitif terhadap variasi tugas dan settingnya. Namun, penggunaan mahasiswa juga mengandung sisi positif, yaitu tidak terkontaminasi oleh keadaan sesungguhnya.
Beberapa topik dalam penelitian di bidang ini berkaitan dengan judgment auditor, yaitu di antaranya adalah topik konsensus dan pengalaman auditor, penggunaan statistik dan judgment auditor, dan judgment dengan menggunakan aiat bantu pengambilan keputusan. Topik mengenai konsensus auditor sebagai cermin dari respons auditor dalam pengambilan keputusan merupakan topik yang paling awal. Kemudian penelitian beralih kepada pengalaman auditor karena diproposisikan bahwa auditor yang lebih berpengalaman memiliki judgment yang lebih baik.
Penelitian akuntansi keperilakuan pada bidang pengauditan mengalami perkembangan yang dinafriis. Mayoritas penelitian eksperimen di bidang audit adalah dalam judgment and decision making (JDM) seperti yang digambarkan Bonner (2008) berikut ini.



No comments:

Post a Comment