BAB 10
ESKALASI KOMITMEN
Dalam bab
sebelumnya, kita telah mengamati satu keputusan dan jalan di mana bias
pertimbangan dan framing dari informasi bisa memengaruhi respons kita
terhadapnya. Namun, banyak keputusan manajerial memperhatikan serangkaian pilihan
dibandingkan suatu pilihan tersendiri. Penelitian manajemen mgnduga bahwa kita
eenderung terhadap tipe tertentu dari bias ketika keputusan didekati secara
seri disebut suatu kecenderungan untuk menaikkan komitmen. Bab ini akan
memperkenalkan Anda kepada suatu aspek spesifik dari fenomena ini yang diteliti
di dalam komponen individu (atau unilateral), komponen kompetitif, dan faktor
lain yang memengaruhi perilaku ini.
Untuk memulai,
perhatikan contoh-contoh berikut.
1. Bagian personalia Anda memutuskan untuk merekrut
manajer tingkat menengah yang barn untuk bekerja dengan Anda.
2. Anda bekerja dengan sesuatu perusahaan yang terkenal
dengan reputasi yang luar biasa.
3. Anda adalah seorang petugas bagi akredit bank. Sebuah
kredit berisiko datang kepada anda dan meminta pinjaman untuk modal awal
sebesar Rp. 50.000.000,
4. Anda telah menghabiskan tiga tahun mengejar gelar
doktor di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas X dan kira-kira
meng-habiskan dana Rp 150 juta. Anda memilih untuk menginvestasikan lebih
banyak waktu untuk menyelesaikan studi, dibandingkan berhenti dan mengganti
bidang lain. Lagipula, Anda telah menginvestasikan banyak dalam program
doktoral Anda. Anda tetap dengannya, dan tiga tahun kemudian Anda memperoleh
gelar Anda. Anda mengambil perkerjaan sebagai instruktur paruh waktu pada
institusi berkualitas rendah, tetapi segera berhenti. Anda berpikir bahwa Anda
layak mendapatkan perhatian lebih dari yang Anda harapkan. Anda bisa bertahan
di posisi ini, tetapi prospek peningkatannya sangat buruk. Kapankah Anda akan
pindah ke bidang yang lain?
Ahli ekonomi
mengatakan bahwa dalam setiap situasi ini kita perlu untuk mengenali bahwa
waktu dan harga yang telah kita investasikan. Oleh karena itu, biaya ini adalah
biaya sejarah atau disebut juga Sunk Cost yang tidak bisa kembali dan
seharusnya tidak dipertimbangkan dalam jalur tindakan di masa depan. Titik
acaun kita atas tindakan seharusnya adalah situasi kita sekarang, dan kita
harus mempertimbangkan semua jalur tindakan aiternatif dengan mengevaluasi
hanya biaya dan keuntungan masa depan yang berhubungan dengan masing-masing
aiternatif.
Psikolog membawa
suatu perspektif tentang masalah eskalasi yang sangat berbeda dengan akuntan
dan ahli ekonomi. Psikolog mulai dengan menjelaskan apa yang pembuat kcputusan
lakukan, dibandingkan menjelaskan terlebih dahulu apa yang harus mereka
lakukan. Umumnya, psikolog telah mendemonstrasikan bahwa pembuat keputusan yang
menyatakan dirinya terhadap jalur tindakan tertentu memiliki suatu
kecenderungan untuk membuat keputusan lanjutan yang akan meneruskan komitmen
tersebut di luar level yang bisa dipikirkan secara rasional. Akibatnya, sumber
daya sering kali dialokasikan dengan cara yang bisa membenarkan komitmen awal,
apakah benar atau tidak komitmen tersebut sekarang.
Dengan demikian,
eskalasi komitmen adalah komitmen seorang pengambil keputusan untuk tetap
melanjutkan dan memperluas komitmen awalnya terhadap pelaksanaan suatu
investasi proyek atau usaha-usaha tertentu yang sudah tidak menguntungkan atau
memberikan umpan balik yang negatif, meskipun keputusan tersebut kemungkinan
akan mengakibatkan risiko kerugian yang lebih besar lagi kelak di kemudian
hari.
A. Paradigma Eskalasi Unilateral
Sejumlah studi telah
mencoba untuk mengeluarkan pengaruh yang diakibatkan oleh seseorang yang
membuat komitmen awal. Studi ini telah menyelidiki perbedaan antara bagaimana
dua kelompok pembuat keputusan membuat suatu keputusan kedua yang mengikuti
suatu kegagalan sebelumnya. Satu kelompok telah membuat diskusi awal, sementara
kelompok yang lain menerima diskusi awal.
Dalam studi awal Staw
(1976) dalam Bazerman (1994) dari jenis ini, satu kelompok dari subjek (diberi
label subjek yang bertanggung jawab tinggi) diminta untuk mengalokasikan dana
penelitian dan pengembangan pada satu atau dua bagian operasional dari suatu
organisasi. Subjek kemudian diberitahu bahwa, setelah tiga tahun, invesatasi
menjadi terbukti berhasil atau tidak berhasil dan sekarang mereka berhadapan
dengan keputusan alokasi dana kedua untuk devisi yang sama. Kelompok kedua
(diberi label subjek yang bertanggung jawab rendah) diberi tahu bahwa petugas
keuangan yang lain dari perusahaan telah membuat keputusan yang kemudian
berhasil atau tidak berhasil (konteks informasi yang sama tentang sukses atau
kegagalan telah diberikan kepada kelompok ini seperti halnya kelompok
sebelumnya) dan mereka akan melakukan alokasi kedua dari dana untuk divisi ini.
Ketika hasil dari
keputusan pertama negatif (investasi tidak berhasil), subjek yang bertanggung
jawab tinggi secara signifikan mengalokasikan lebih banyak dana pada divisi
sebelumnya dalam alokasi kedua di-bandingkan subjek yang bertanggung jawab
rendah. Sebaliknya, untuk keputusan awal yang berhasil, jumlah dana yang
dialokasikan dalam keputusan kedua secara kasar sama di keseluruhan subjek,
menunjukkan bahwa peningkatan yang besar dari komitmen hanya terjadi pada
subjek yang sebelumnya telah membuat keputusan yang tidak berhasil.
Staw menyimpulkan bahwa
mekanisme yang menggarisbawahi eskalasi adalah perselisihan kognitif atau
pembenaran diri. Oleh karena itu, sekali seseorang membuat suatu 'keputusan
awal untuk menjalani suatu jalur tindakan, umpan balik negatif bertentangan
dengan pembuatan keputusan awal. Salah satu cara untuk menghilangkan
pertentangan ini untuk menaikkan komitmen terhadap tindakan awal dengan
kepercayaan bahwa sukses akan diraih dijalur ini sekarang. Suatu kesimpulan
penting dari studi Staw (1976) adalah bahwa perasaan bertanggung jawab oleh
pembuat keputusan terhadap keputusan awal secara signifikan raembiaskan
keputusan selanjutnya menuju eskalasi. Perasaan bertanggung jawab disebut juga
dengan akuntabilitas.
Sejumlah studi lain
telah mengidentifikasi faktor tambahan yang memprediksi apakah perilaku
eskalatorik bisa diamati atau tidak. Sebagai contoh, Staw dan Ross (1978) dalam
Bazerman (1994) menunjukkan bahwa kecenderungan untuk meninggikan komitmen oleh
subjek yang memiliki tanggung jawab tinggi terutama dimunculkan ketika suatu
penjelasan bisa dikembangkan untuk kegagalan awal yang tidak bisa jiprediksi
dan tidak berhubungan dengan tindakan dari pembuat keputusan (sebagai contoh,
ekonoini menderita kemunduran berat atau resesi).
B. Paradigma Eskalasi Kompetitif
Dalam paradigma
eskalasi unilateral yang telah dijelaskan, semua usaha pembenaran yang mengarah
pada kebohongan eskalasi tidak rasional dalam diri seseorang. Kita meninggikan
sesuatu karena komitmen sebelumnya dari diri kita. Namun, dalam paradigma
eskalasi kompetitif, tambahan usaha kompetitif memakan proses eskalasi. Bagian
ini mengamati proses eskalasi dalam situasi persaingan.
Bayangkan diri Anda
dalam suatu ruangan bersama 30 orang lainnya. Orang di depan ruangan
mengeluarkan uang Rp 20,00 dari kantongnya dan mengatakan hal berikut.
Saya akan melelang Rp
20,00 ini. Anda bebas berpartisipasi atau hanya menonton tawaran orang lain.
Orang akan diundang untuk menyebutkan penawara^nya dalam kelipatan Rp 1,00
sampai tidak ada lagi penawaran, di mana pada titik penawar tertinggi akan
membayar sejumlah tawaran dan memenangkan Rp 20,00. Satusatunya yang membedakan
lelang ini dari pelelangan tradisional adalah adanya aturan penawar tertinggi
kedua juga harus membayar jumlah yang dia tawarkan, walaupun dia jelas-jelas
tidak memenangkan Rp 20,00. Sebagai contoh, Bill menawar Rp 3,00 dan Jane
menawar Rp 4,00 ketika penawaran berhenti. Saya akan membayar Jane Rpl6,00
(Rp20,00 Rp4,00) dan Bill sebagai penawar tertinggi kedua, akan membayar saya
Rp3,00.
Apakah Anda bersedia
menawar Rp 2,00 untuk memulai lelang?
Saya telah
melangsungkan pelelangan ini dengan murid yang akan lulus, murid yang telah
lulus dan eksekutif. Polanya selalu sama. Penawaran dimulai dengan cepat dan
bersemangat sampai penawaran mencapai rentang Rpl2,00-Rpl6,00. Pada titik ini,
semua orang kecuali kedua penawar tertinggi keluar dari pelelangan. Kedua
penawar kemudian mulai merasa terjebak. Seorang penawar telah menawar Rp 16,00
dan yang lain Rpl7,00. Penawar Rpl6,00 harus menawar Rpl8,00 atau menderita
kehilangan Rpl6,00. Pilihan yang tidak pasti untuk menawar lebih jauh (suatu
pilihan yang akan kembali terulang jika orang yang lain keluar) lebih menarik
dibandingkan kekalahan pasti sekarang, jadi penawar Rpl6,00 menawar Rpl8,00.
Hal ini berlanjut sampai penawaran Rp 19,00 dan Rp20,00. Mengejutkan lagi,
keputusan menawar Rp21,00 sangat mirip dengan keputusan sebelumnya: Anda bisa
menerima kekalahan Rpl9,00 atau melanjutkan dan mengurangi kekalahan jika orang
yang lain berhenti. Tentu saja, sisa kelompok yang lain berteriak tertawa
ketika penawaran berlanjut melebihi Rp20,00 yang kenyataannya memang selalu
seperti itu. Sudah sangat jelas, penawar bertingkah tidak masuk akal. Akan
terapi, apakah penawaran yang tidak masuk akal tersebut?
Pembaca yang skeptis
harus mencoba sendiri pelelangan ini. Hal ini sangat umum untuk memperoleh
penawaran akhir dengan rentang Rp30,00 sampai Rp70,00. Secara keseluruhan, saya
telah memperoleh lebih dari Rpl0.000,00 menjalankan pelelangan ini dalam kelas
selama empat tahun terkahir. Paradigma pelelangan dolar pertama kali
diperkenalkan oleh Shubik (1971) dalam Bazerman (1994), seorang teoretis
ekonomi dan permainan. Baru-baru ini, Teger (1980) dalam Bazerman (1994) telah
menggunakan paradigma ini secara luas untuk menyelidiki pertanyaan mengapa
seseorang meninggikan komitmennya terhadap jalur tindakan yang sebelumnya
dipilih. Teger berpendapat bahwa subjek secara naif memasuki pelelangan dengan
tidak mengharapkan penawaran akan melebihi Rpl,00 (atau Rp20,00). Lagipula,
siapa yang akan menawar lebih dari satu rupiah untuk satu rupiah?
Perolehan yang
potensial, dipasangkan dengan kemungkinan untuk "memenangkan"
pelelangan, ini hanya memerlukan satu dolar ekstra untuk tetap dalam pelelangan
dibandingkan menerima kekalahan pasti. Alasan ini, dibarengi dengan kebutuhan
kuat untuk membenarkan penawaran memasuki pelelangan di tempat pertama, sudah
cukup untuk menjaga sebagian besar penawar untuk menawar lebih banyak seiring
dengan waktu.
C. Mengapa Terjadi Eskalasi?
Bagian-bagian
sebelumnya telah menyediakan beberapa petunjuk tentang terjadinya eskalasi.
Namun, kunci untuk menghilangkan eskalasi nonrasional adalah kemampuan untuk
mengidentifikasi faktor kejiwaan yang memelihara sifat eskalasi. Literatur yang
ada dengan jelas menyatakan bahwa terdapat berbagai alasan terjadinya eskalasi.
|
|
||||||
Sumber: Bozeman
(1994)
Gambar 10.1 Empat
penyebab eskalasi
Bias persepsi. Bias persepsi vang terjadi setelah kita membuat suatu
komitmen terhadap jalan hidup tertentu menyatakan sejumlah prosedur pembenaran.
Seperti yang direkomendasikan dalam Bab 2, dalam membuat keputusan, kita perlu
menelusuri secara hati-hati terhadap informasi yang t'idak nyaman. Sebaliknya
untuk informasi yang baik, yang intuisi kita cari. Kebutuhan ini terutama
muncul dalam serangkaian keputusan, di mana kita memiliki kecenderungan alami
menuju eskalasi. Sebagai tambahan, mengembangkan suatu sistem pengawasan yang
membantu kita untuk memeriksa persepsi kita sebelum pertimbangan atau keputusan
selanjutnya dibuat dapat terbukti bermanfaat. Ringkasnya, jika suatu keputusan
objektif dapat mengevaluasi keterbukaan kita terhadap informasi yang tidak
mengenakkan, penghalang persepsi terhadap perilaku non eskalasi dapat dikurangi
atau dihilangkan.
Bias pertimbangan. Setelah menyaring informasi yang akan kita gunakan
dalam membuat keputusan, selanjutnya kita masih harus membuat keputusan.
Mengulang tesis sentral dari konsep framing, seseorang cenderung menghindari
risiko terhadap masalah yang di-frame positif dan mencari risiko terhadap
masalah yang di -frame negatif Menduga bahwa Anda adalah petugas peminjaman
bank di awal bab. Anda membuat investasi awal Rp50.000.000 untuk perusahaan
yang baru didirikan. Setelah satu periode singkat, Anda berhadapan dengan
keputusan menerima kehilangan Rp50.000.000 tersebut atau berisiko menambahkan
Rp50.000.000 dengan harapan bahwa penambahan investasi ini akan menghilangkan
kehilangan secara keseluruhan. Respons menghindari risiko adalah untuk menerima
kehilangan pasti Rp50.000.000, sementara tindakan mencari risiko adalah untuk
mencoba memulihkan dana awal dengan mengalokasikan tambahan Rp50.000.000.
Penjelasan framing untuk fenomena eskalasi menyatakan solusi yang sama seperti
pendekatan yang dikemukakan oleh akuntan. Kita perlu meminta seseorang untuk
menilai keputusan baru dari titik acuan netral yang menghilangkan perilaku
mencari risiko ekstrim diamati di antara subjek yang bertanggung jawab tinggi
(yaitu pembuat keputusan yang telah menyetujui dana atau sumber daya bagi jalan
tindakan). Penyimpangan titik acuan ini bisa diselesaikan dengan meyakinkan
pembuat keputusan bahwa investasi awal terbukti merugikan, dan keputusan kedua
menunjukkan suatu masalah baru untuk diamati secara objektif. Jika hal ini
tidak memungkinkan, kita perlu untuk memperkenalkan pembuat keputusan yang baru
untuk membuat keputusan selanjutnya.
Eskalasi komitmen dapat dijelaskan dan diprediksi oleh fungsi nilai
menurut teori prospek seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya. Dalam teori
prospek, tiap pertimbangan dan keputusan dibuat setelah informasi terlebih
dahulu disaring melalui decision frame atau ’’bingkai keputusan” oleh pengambil
keputusan atau “konsepsi atas tindakan, hasil dan kontinjensi yang berkaitan dengan
pilihan tertentu” (Kahneman dan Tversky, 1979). Dampak dari pembingkaian
informasi ini adalah pilihan berisiko, bila diproses melalui fungsi nilai yang
cekung pada keadaan untung dan cembung pada kondisi rugi, menghasilkan perilaku
mencari risiko pada hasil rugi dan penghindaran risiko pada hasil yang untung.
Dalam konteks keputusan investasi dengan pendanaan tinggi, seorang
pengambil keputusan yang menerima umpan balik negatif atas keputusan investasi
sebelumnya akan berada pada posisi atau kondisi rugi, dan akan mempersepsikan
keputusan berikutnya sebagai pilihan antara kerugian pasti yang telah terjadi
(yaitu memilih untuk tidak melanjutkan tindakan menambah investasi dengan
kucuran dana segar misalnya) dengan kerugian di masa mendatang yang kurang pasti
(yaitu mengambil risiko menambah kucuran dana dengan harapan mendapat
pengembalian positif). Dalam keadaan dan situasi seperti ini, pengambil
keputusan cenderung untuk mencari risiko, memilih kerugian yang probabilitasnya
tidak pasti yang memberikan ekspektasi perbaikan (komitmen tambahan dana)
dibandingkan kerugian yang pasti. Sebaliknya, jika informasi disajikan dengan
bingkai informasi positif, pengambil keputusan dihadapkan pada pilihan antara
untung yang pasti (pengembalian investasi yang semula) dengan keuntungan di
masa mendatang yang tidak pasti. Pengambil keputusan akan cenderung menghindari
risiko dengan mengambil keun-tungan yang pasti daripada menghadapi risiko
keuntungan yang tidak pasti, dengan menghentikan proyek. Melanjutkan proyek adalah
upaya yang sia-sia.
D. Strategi Mengurangi Eskalasi
Bowen (1987) dalam
Ghosh (1997) mengemukakan bahwa eskalasi muncul dalam kasus yang memilki umpan
balik ambigu. Perilaku eskalasi adalah lebih responsif dalam menghadapi dilema
dibandingkan perbuatan salah karena penguatan komitmen menjadikan adanya
kesempatan tambahan untuk strategi dalam bekerja, atau mengoleksi lebih banyak
informasi.
Konsep dan manipulasi
dari umpan balik negatif, akan mengindikasikan suatu arah tindakan yang gagal,
yang tidak didefmisikan dengan baik dari penelitian eskalasi sebelumnya.
Studi-studi awal memfokuskan pada apakah investasi awal memengaruhi keputusan
saat ini di mana peneliti mempertimbangkan suatu umpan balik negatif. Staw
(1976) dalam Ghosh (1997) memberikan contoh mengenai poin ini.
Pengendalian terhadap
proyek-proyek investasi merupakan perencanaan manajemen yang baik, di mana
pengeluaran-pengeluaran dibatasi oleh anggaran yang ada. Elemen penting dari
pengendalian untuk proyek investasi adalah progress report yang memperlihatkan
item-item seperti jumlah yang dianggarkan, tanggal pengeluaran, laporan laba
rugi, persentase yang lengkap dan penjelasan-penjelasan untuk seluruh variance.
BAB 11
PENDEKATAN
KONTINJENSI PADA RANCANGAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI
A. Teori Kontinjensi
Pendekatan teori
kontinjensi untuk merancang sistem akuntansi melyatakan bahwa suatu strategi
umum bisa digunakan untuk semua )rganisasi tidaklah ada. Saat ini, perumusan
kontinjensi telah memperimbangkan pengaruh dari teknologi, struktur organisasi
dan teori, dan ingkungan dalam upaya untuk menjelaskan bagaimana sistem
akuntansi berbeda dalam berbagai situasi.
1. Kerangka Kerja Waterhaouse dan Tiessen
Waterhaouse dan
Tiessen mengusulkan suatu rancangan efisien dari sistem akuntansi manajemen dan
suatu mekanisme dari kontrol yang tergantung pada struktur dan konteks dari
suatu organisasi. Tipe dari struktur organisasi pada akhirnya, diduga akan
memengaruhi proses akuntansi manajemen seperti perencanaan, alokasi sumber
daya, dan pengukuran penampilan.
2. Kerangka Kerja Gordon dan Miller
Gordon dan Miller
mengusulkan suatu kerangka kerja kontinjensi untuk rancangan sistem informasi
yang melakukan perhitungan terhadap lingkungan, atribut organisasional, dan
jenis pembuatan-keputusan manajerial. Gordon dan Miller menyatakan dalam
kenyataannya, bahwa “pola tampaknya lingkungan, organisasional, dan jenis
keputusan tidak tersebar secara acak tetapi bergabung bersama untuk membentuk
pengaturan umum.
3. Kerangka Kerja Macintosh dan Daf
Macintosh dan
Daft menyelidiki hubungan antara satu karakteristik dari organisasi dan
rancangan Sistem Pengendalian. Dengan interdependensi yang mereka temukan suatu
perluasan di mana departemen tergantung satu sama lain dan bertukar informasi
dan sumberdaya untuk menyelesaikan suatu tugas. Hal itu juga suatu variabel
yang relevan untuk mengontrol sistem. Interdependensi bisa (1) dicurangi ketika
departemen relatif otonom dan terdapat sedikit aliran kerja di antara mereka,
(2) berangkaian ketika departemen berkaitan suatu seri, dengan hasil suatu
departemen digunakan sebagi masukan dari departemen berikutnya, dan (3)
berbalasan ketika departemen bekerja suatu proyek dan arus kerja kembali dan
berkumpul di antara mereka. Sistem Pengendalian manajemen dipandang dari
istilah ketika kontrol subsistem: dana operasional, laporan statistik, dan
prosedur operasional standar dan peraturan.
Hipotesis
hubungan dan penggunaan Sistem Pengendalian manajemen adalah sebagai berikut.
a) Dalam kasus kecurangan interdependensi departemental,
rata-rata kontrol yang terbaik adalah standardisasi dan lebih menggantungkan
terhadap prosedur operasional standar dibandingkan dana operasional atau
laporan statistik.
b) Dalam kasus rangkaian interdependensi departemental,
hal kontrol terbaik yang dipilih adalah perencanaan dan pengukuran, dengan
lebih menggantungkan pada dana operasional dan laporan statistik dibandingkan
prosedur operasional standar.
c) Dalam kasus berbalasan interdependensi departemental,
kontrol terbaik yang diharapkan adalah penyesuaian dana bersama; kurang
menggantungkan pada dana operasional, laporan statistik, dan prosedur
operasional standar.
Hasil dari studi
lapangan Macintosh dan Daft menunjukkan bahwa ketika interdependensi rendah,
kontrol difokuskan pada penggunaan prosedur operasional standar; ketika
menengah, kontrol diserahkan pada pendanaan dan laporan statistik; ketika
tinggi, peranan dari Sistem Pengendalian ditiadakan.
4. Kerangka Kerja Macintosh
Macintosh
mengusulkan suatu model kontekstual dari sistem informasi. Dasarnya, model
menggabungkan tipe keputusan pribadi, teknologi, dan struktur organisasi untuk
menurunkan suatu jenis sistem informasi. Variabel-variabel ini dijabarkan
sebagai berikut.
a) Model jenis keputusan Driver dan Mock digunakan untuk
menentukan variabel jenis keputusan. Model menunjukkan dua dimensi dari
pemrosesan informasi; jumlah informasi yang di-gunakan (dari minimum sampai
maksimum) dan derajat focus dalam penggunaan data (dari satu solusi sampai
banyak solusi). Dua dimensi ini digabung untuk menurunkan empat jenis yang
berlainan, yaitu:
1) Jenis desisif menyatakan penggunaan suatu jumlah
minimum dari data untuk menghasilkan hasil yang berbeda pada waktu yang
berbeda. Individu desisif melihat efisiensi, kecepatan dan konsistensi dalam
informasi yang digunakan.
2) Jenis fleksibel menyatakan penggunaan sejumlah kecil
data untuk menghasilkan hasil yang berbeda pada waktu yang berbeda. Individu
fleksibel melihat, kecepatan, adaptabilitas, dan intuisi dibandingkan
mengembangkan dan beroperasi berdasarkan rencanca.
3) Jenis hierarki menyatakan penggunaan banyak data untuk
menghasilkan satu opini perusahaan. Individu hierarki melihat kesungguhan,
ketepatan dan kesempurnaan.
4) Jenis integratif menyatakan penggunaan banyak data
untuk menghasilkan banyak solusi yang memungkinkan. Individu integratif melihat
penggunaan kreatif dari informasi dalam eksperimen, simulasi dan permainan.
b) Kategori Perrow tentang teknologi digunakan untuk
menentukan variabel teknolog. Model menyatakan dua dimensi teknologi:
pengetahuan tugas (dari bisa dianalisis sampai btidak bisa4 dianalisis) dan
keragaman tugas (dari rendah sampai tinggi). Dua dimensi ini diturunkan dari
kategori pengetahuan yang berbeda:
1) Teknologi keahlian (Pengetahuan tugas yang bisa
dianalisis dan variasi tugas teknologi rendah);
2) Teknologi rutin (pengetahuan tugas yang tidak bisa
dianalisis dan variasi tugas rendah);
3) Teknologi penelitian (pengetahuan tugas yang tidak
bisa dianalisis dan variasi tugas tinggi)
4) Teknologi teknis professional (pengetahuan tugas yang
bisa dianalisis dan variasi tugas tinggi).
c) Akhirnya, empat jenis informasi dibedakan dalam hal
dua dimensi: jumlah dan ambiguitas. Macintosh menjelaskan mereka dengan cara
berikut.
1) Sistem informasi ringkas
Sejumlah kecil sampai
menengah informasi yang tepat dan tidak ambigu, dan digunakan dalam cara yang
cepat dan teliti.
2) Sistem informasi teliti
Sejumlah besar
informasi, sering kali dalam bentuk database atau model simulasi, yang
cenderung terperinci dan tepat; recipient normalnya menggunakan informasi
semacam itu dengan cara yang lambat dan penuh pertimbangan.
3) Sistem informasi kursori
Sejumlah kecil
informasi, tidak tepat, tidak pula terperinci, dan sering kali hanya di
permukaan, mereka digunakan dalam cara yang bisaa namun teliti.
4) Sistem informasi difuse
Informasi menengah
sampai besar meliputi sejumlah luas material, sering kali sangat tidak jelas
dan tidak tepat, umumnya digunakan dengan cara yang lambatdan penuh
pertimbangan.
5. Kerangka Kerja Ewusi-Merxsah
Ewusi menyelidiki
daoipak dari lingkungan organisasi eksternal terhadap sistem informasi
manajemen. Variasi dalam lingkungan organisasi diasumsikan memerlukan proses
keputusan yang berbeda, dan oleh karenanya, memiliki karakteristik informasi
yang berbeda, termasuk kualitas informasi, dampak terhadap pembuatan keputusan,
interaksi organisasional, penelusuran organisasional, waktu respons, cakrawala
waktu, sumber informasi, dan jenis informasi.
B. Penggunaan Teknik Pembiayaan Modal
Untuk membenahi
berbagai keterbatasan teoretis dan metodologis, menggunakan suatu model
teoretis, diturunkan dari teori ekonomi keuangan, yang menunjukkan bahwa
penampilan perusahaan yang ditingkatkan (suatu pengukuran dari data pasar
saham) tidak secara signifikan berkaitan dengan teknik cash flowyang
didiskontokan. Hubungan antara penggunaan teknik pembiayaan permodalan dan
penampilan perusahaan sudah jelas diringankan oleh kontinjensi, karakteristik
spesifik perusahaan. Menggunakan perspektif semacam itu. Haka mengembangkan dan
menguji suatu teori kontinjensi yang bisa memprediksi perusahaan mana yang
tampaknya paling diuntungkan dengan menggunakan teknik pembiayaan permodalan.
Karakteristik eksternal
digunakan dalam model adalah:
1. Strategi perusahaan (bertahan atau prospektor)
2. Prediktabilitas lingkungan (stabil dan dinamis)
3. Keragaman lingkungan (homogen atau heterogen)
Karakteristik
internal adalah :
1. Sistem informasi (mendukung atau tidak mendukung)
2. Struktur penghargaan
3. Derajat desentralisasi
Hasil dari survei memberikan bukti suatu hubungan positif antara
efektivitas dari teknik pembiayaan permodalan rumit dan lingkungan yang bisa
diprediksi, penggunaan dari sistem penghargaan jangka panjang, dan derajat dari
desentralisasi.
C. Strategi Bisnis dan Sistem Pengendalian
Govindarajan dan Gupta
dalam Belkaoui (1989) mengamati keterkaitan antara strategi, sistem bonus insentif,
dan efektivitas pada level strategic businesse unit (SBU) di dalam perusahaan
yang berbeda-beda. Suatu survei umum dari manajer tentang strategic business
unit (SBU) dalam perusahaan terdiversifikasi menghasilkan hal-hal berikut:
1.
Ketergantungan
lebih besar terhadap kriteria jangka panjang se-perti halnya juga
ketergantungan lebih besar terhadap pendekatan subjektif (bukan rumusan) untuk
menentukan SBU manajer umum, bonus berperan untuk efektivitas dalam kasus
membangun SBU, tetapi lambat dalam memanen SBU,
2.
Hubungan dari
perluasan dari ketergantungan terhadap sistem bonus pada kriteria pendek dan
efektivitas SBU secara maya berdiri sendiri dari strategi SBU.
Hasil pertama berdiri di atas alasan yang memberikan pengharapan di mana
unit pembangun akan menghadapi ketidakpastian lingkungan yang lebih besar
dibandingan dengan yang akan dihadapi unit permanen.
Menggunakan tipologi Miles dan Snow (1978), strategi diklasifikasikan
menjadi defender prospektor, dan analiser. Tipe ini dijelaskan sebagai berikut.
Defender beroperasi dalam area produkasi yang relatif stabil, dan berkompetisi
dengan mempertaruhkan kepemimpinan, kualitas, dan pelayanan. Mereka melakukan
sedikit perkembangan produk/pasar. Hasil dari studi ini membuktikan proporsi di
mana perusahaan bergantung pada strategi berbeda menggunakan Sistem
Pengendalian akuntansi dengan cara yang berbeda pula.
D. Pentingnya Pengamatan dan Penggunaan Kontrol
Pembiayaan
Literatur empiris dalam
teori kontinjensi mencoba untuk menjelaskan variasi dalam pentingnya pengamatan
dan/atau menggunakan kontrol pembiayaan pada berbag^i variabel kontinjensi.
Pengawas manajer menggunakan kontrol pembiayaan fleksibel merupakan suatu
fungsi positif dari kompetisi yang dihadapi oleh organisasi mereka. Dia
menyimpulkan hal berikut:
Hal ini menunjukkan
bahwa, saat kompetisi diintensifkan, keuntungan yang diharapkan dari penerapan
kontrol ini cenderung memberatkan biaya mereka. Oleh karena itu, untuk mereka
yang dipercayakan dengan Sistem Pengendalian, adalah penting untuk mengetahui derajat
kompetisi yang dihadapi oleh perusahaan yang tidakmenghadapi kompetisi serius
juga bisa membuat lebih merugikan daripada mendatangkan kebaikan.
Burns dan Waterhouse
(1975) menemukan bahwa kepentingan dan penggunaan Sistem Pengendalian
pembiayaan adalah lebih tinggi dalam organisasi yang lebih besar, lebih
desentralisasi dan lebih banyak menggunakan teknologi dalam mana terdapat
prosedur operasional resmi standar.
E. Pilihan dari Tindakan dan Sistem Pengendalian
Kemampuan anggota
organisasi untuk merancang dan memelihara Sistem Pengendalian untuk sesuai
dengan keseluruhan struktur juga bisa menjadi kontingen pada berbagai faktor
lainnya. Sebagai contoh Das menggunakan suatu pengaturan simulasi, menemukan
bahwa seseorang yang bekerja dalam sualu organisasi organik lebih suka memilih
strategi kontrol yang memotivasi secara intrinsik, dan mereka yang bekerja
dalam organisasi mekanis lebih suka memilih strategi kontrol yang memotivasi
secara ekstrinsik.
Berdasarkan pada bukti
penelitian terbaru, hal itu tampaknya merupakan perubahan umum dalam gaya
manajerial terutama dalam proses kontrol, tidak bisa diharapkan iintuk muncul
sebagai beberapa perubahan penting dalam persepsi dari sifat-sifat
organisasional dan titik jenuh telah terjadi.
1. Hasil pertama menunjukkan bahwa subjek tersebut
bersedia bicara tentang dirinya tampak menerima salah satu kondisi dari sistem
akuntansi yang bertanggung jawab di mana bertanggung jawab terhadap keseluruhan
biaya terkontrol.
2. Hasil kedua menyatakan bahwa subjek yang sama akan menjadi
kurang berkenan untuk menerima kondisi di atas dari sistem akuntansi yang
bertanggung jawab jika kehendak untuk membuka adalah untuk mengungkapkan hal
negatif lawan positif tentang diri mereka, atau untuk mengukur kesungguhan dari
pernyataan mereka.
Kedua hasil bisa diintepresentasikan untuk menentukan kreasi dari
keduanya dalam atmosfer keterbukaan dan kepercayaan di antara mereka yang
dikendalikan menuju penerimaan tanggung jawab dalam sistem akuntansi yang
bertanggung jawab.
F. Pendekatan Kontinjensi untuk Mengukur Penampilan
Suatu pendekatan
kontinjensi untuk mengukur penampilan didemonstrasikan dalam studi Hayes (1977)
dalam Belkaoui (1989). Hasilnya menunjukkan bahwa:
1. Faktor internal merupakan penjelasan utama untuk
penampilan pada departemen produksi.
2. Lingkungan sebagaimana juga halnya variabel
interdependensi memberikan kira-kira sumbangan sementara terhadap penjelasan
terhadap penampilan pada departemen penjualan.
Govindarajan mengamati hubungan antara ketidakpastian lingkungan dan
gaya evaluasi penampUan . Hasilnya mendukung pernyataan berikut.
1. Atasan dari unit bisnis yang menghadapi ketidakpastian
ling-kungan yang lebih tinggi akan menggunakan suatu penampilan yang lebih
subjektif, yaitu pendekatan pujian, sedangkan atasan dari unit bisnis yang
menghadapi ketidakpastian lingkungan yang rendah akan menggunakan lebih banyak
rumusan yang didasarkan pendekatan evaluasi penampilan.
2. Kecocokan kuat antara ketidakpastian lingkungan dan
gaya evaluasi penampilan berkaitan dengan penampilan unit bisnis yang lebih
tinggi.
G. Penentuan Sistem Informasi Akuntansi
Kritikan terhadap penelitian kontinjensi lebih banyak
diarahkan dalam lesain rerangka kontinjensi, terutama pada aspek metode
pengujian. Drazin dan Van de Ven (1985) mengusulkan tiga pendekatan penting
lalam penelitian kontinjensi, meliputi: seleksi, interaksi dan sistem. Kenyataan
bahwa dalam pendekatan seleksi dan interaksi memunculkan :ejumlah kelemahan
baik dalam konsep maupun konsekwensi hasil, arah netode pendekatan kemudian
difokuskan terhadap. pendekatan sistem.
Terdapat tiga
pendekatan dalam kosep fit sebagaimana dikemukakan oleh Drazin dan Van de Ven
(1985), yang meliputi seleksi, interaksi, dan istem. Pendekatan seleksi
menghubungkan antara variabel kontekstual lengan variabel organisasional, namun
tidak secara jelas mengorelasikan mbungan kedua variabel tersebut dengan
kinerja organisasi. Pendekatan nuldple interaction memandang bahwa pengaruh fit
antara variabel :ontekstual dengan variabel organisasional diekspresikan dengan
bentukberkalian antara variabel kontekstual dengan variabel organisasional
lalam model regresi. Koefisien signifikansi dari order tertinggi dari nteraksi
dalam persamaan regresi menunjukkan adanya dukungan erhadap hipotesis yang
dikembangkan.
H. Pendekatan Residual Analysis
Pendekatan residual
analysis mengacu pada konsep nilai residual dari >ersamaan regresi. Dalam
pendekatan ini, residual diasumsikan sebagai m/It dari persamaan regresi.
Terdapat tiga tahap dalam uji ini. Tahap ertama adalah penentuan desain hubungan
variabel organisasional dengan kontekstual. Dalam hal ini, Sistem Pengendalian
didesain sebagai variabel dependen dan PEU sebagai variabel indepeden.
Pendekatan seleksi dan
interaksi dalam fit memfokuskan pada bagaimana faktor tunggal dari variabel kontekstual
berpengaruh terhadap faktorfaktor organisasional dan bagaimana pasangan
variabel kontekstualorganisasional tersebut berinteraksi dalam memengaruhi
kinerja. Oleh kalangan reductionism, cara ini dipandang sebagai dekomposisi
dari variabel-variabel organisasional dan kontekstual yang secara efektif dapat
menjelaskan hubungan keseluruhan organisasi.
BAB 12
ASPEK
KEPERILAKUAN DALAM PENGANGGARAN
A. Budgetary Slack
Pandangan keperilakuan
dari perusahaan memandang pencapaian tujuan sebagai sesuatu yang dinamis dan
merefleksikan kebutuhan individual dan tujuan-tujuan dari sub-subunit yang ada.
Kesepakatan mengenai tujuan dan pencapaian sasar^n dalam kongruensi tujuan
organisasional yang mendukung kelangsungan perusahaan pasti menjadi tujuan
bersama. Namun, apakah itu bisa dicapai dengan mudah? Jawabannya tidak. Ada
banyak variabel dan faktor dalam perusahaan yang bisa jadi menghalangi tujuan.
Faktor-faktor yang dimaksud bisa bersifat personalitas maupun lingkungan
organisasi.
Anggaran merupakan
bagian penting dalam perusahaan atau organisasi sektor publik. Umum sudah
mengetahui bahwa anggaran adalah alat peng<jndalian. Penting dan urgennya fungsi
anggaran sebagai perencana dan pengendali perusahaan menjadikan penganggaran
sebagai area penting bagi keberhasilan perusahaan. Anggaran diharapkan menjadi
rerangka kerja untuk menentukan prestasi dan kinerja karyawan. Anggaran seperti
yang telah dijelaskan terlebih dahulu, merupakan penentu tujuan atau tujuan itu
sendiri, dengan kata lain anggaran sebagai alat mengimplementasikan tujuan
tersebut. Lebih luas lagi, anggaran dapat mencerminkan kesuksesan kaiyawan pada
tugas yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, anggaran dapat menjadi suatu
pertimbangan, melalui perbandingan antara prestasi yang sebenarnya atau yang
telah ditetapkan dalam anggaran. Anggaran sektor publik, berupa APBD misalnya
merupakan represen-tasi dari tujuan pemerintah sendiri dan dibahas bersama
DPRD. APBD merupakan roh dari manajemen pemerintah daerah.
B. Konsekuensi Disfungsional
Menurut Gudono (1993)
penyusunan anggaran dapat menimbulkan dampak psikologis langsung pada karyawan.
Tidak sedikit manajer departemen tertentu mengalami keresahan jika prestasinya
(dilihat dari realisasi) tidaklah bagus setelah dibandingkan dengan anggaran
yang harus dicapai. Sebaliknya, banyak pula manajer yang justru mempunyai
motivasi semakin besar setelah ada anggaran.
Tidak sedikit pimpinan
departemen yang sengaja menyusun target atau rencana yang mudah dicapai.
Misalnya jika departemen produksi merasa mampu mencapai target kos per unit Rp
1000, ia mungkin al&n menyodorokan anggaran kos per unit Rp 1.200. Dengan
demikian, setelah realisasinya dibandingkan seolah-olah ia mampu melakukan
efisiensi produksi (Rp 200/unit) meskipun sesungguhnya efisiensi itu semu belaka.
Contoh lain, manajer pemasaran mungkin akan menyodorkan target harga jual Rp
4.000 meskipun sebetulnya ia mampu menjual dengan harga Rp 5000. Target yang
terlalu rendah ini akan menimbulkan apa yang disebut budgetary slack atau
senjangan anggaran. Secara teoretis bisa kita katakan; bila partisipasi
anggaran tidak dilaksanakan dengan baik dapat mendorong pelaksana anggaran
melakukan senjangan anggaran. Hal ini mempunyai implikasi negatif seperti
kesalahan alokasi sumber daya dan bias dalam evaluasi kinerja bawahan terhadap
unit pertanggungjawaban mereka. Senjangan anggaran akan menjadi lebih besar
dalam kondisi informasi asimetris karena informasi asimetris mendorong
bawahan/pelaksana anggaran membuat senjangan anggaran. Secara teoritis,
informasi asimetris dapat dikurangi dengan memperkuat monitoring dan
meningkatkan kualitas pengungkapan.
Dengan demikian, ada
konsekuensi disfungsional dari proses pengangga-ran:
1. Rasa tidak percaya: dalam kenyataannya anggaran dapat
disesuaikan, tetapi akan menjadi suatu sumber tekanan yang dapat menimbulkan
rasa tidak percaya. Orang merasa pesimis, apakah mampu menjawab target yang
dibebankan kepadanya.
2. Resistensi: anggaran bisa jadi menimbulkan penolakan,
karena orang mempunyai status quo masing-masing, terbiasa dengan cara-cara
lama, dan dirugikan secara pribadi. Resistensi muncul karena adanya
prerequisite yang tidak proporsional. Prerequisite yang dimaksud disini adalah
kenikmatan-kenikmatan yang diperoleh karena memangku jabatan. Kalau anggarannya
tiba-tiba dipotong, tentu saja akan menimbulkan keterkejutan.
3. Konflik internal: konflik internal akan muncul mana
kala anggaran sebagai pusat koordinasi tidak berjalan. Masing-masing
menjalankan ego sendiri-sendiri. Seharusnya anggaran berfungsi sebagai alat
koordinasi sehingga dapat memitigasi konflik internal. Namun, kadang-kadang
susah dilakukan karena desentralisasi tanpa disertai dengan pemahaman mengenai
kongruensi tujuan yang jelas. Meskipun punya banyak segmen, organisasi atau
perusahaan tetap dianggap sebagai suatu erAitas yang tunggal.
BAB 13
ASPEK
KEPERILAKUAN DALAM PENGAUDITAN
A. Hakikat Audit
Hakikat dari audit
adalah proses pembuktian oleh orang independen (imparsial) terhadap suatu
asersi manajemen dengan menggunakan judgment (pertimbangan) dan bukti yang membuktikan
(evidential matter). Pengauditan adalah suatu kegiatan yang penting. Setiap
organisasi atau perusahaan selayaknya secara suka rela melakukan audit untuk
memberikan umpan balik atas kinerja yang telah dilakukan. Audit dilakukan oleh
auditor yang jati dirinya adalah seorang manusia. Komputer atau malahan robot
sekalipun bisa saja membantu proses pengluditan, tetapi tetap saja manusia yang
menentukan dalam memberikan jertimbangan dan pengambilan keputusan. Manusia
dengan segala keterjatasannya akan menentukan kualitas pertimbangan yang
dihasilkan. Ada :aktor human &e//2^(keinginan manusia), emosi dan
subjektivitas.
Menurut Siegel dan
Marconi (1989) seharusnya auditor terlepas dari iaktor-faktor personalitas
dalam melakukan audit. Personalitas akan bisa Tienyebabkan kegagalan audit
sekaligus membawa risiko yang tinggi bagi mditor. Untuk itu risiko inheren
dalam audit harus diperhitungkan iengan baik. Ada dua tipe keperilakuan yang
dihadapi oleh auditor.
1. Auditor dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap
lingkungan audit. Misalnya ketika menilai pengendalian intern yang diterapkan
oleh perusahaan. Perusahaan besar akan dianggap memiliki pengendalian intern
yang memadai padahal belum tentu demikian.
2. Auditor harus inenyelaraskan dan sinergi dalam
pekerjaan mereka, karena audit hakikatnya adalah pekerjaan kelompok, sehingga
perlu ada proses review di dalamnya. Interaksi ini akan banyak menimbulkan
proses keperilakuan dan sosial.
B. Pertimbangan dan Pengambilan Keputusan pada
Pengauditan
Dalam beberapa dekade tahun
belakangan ini para akademisi menaruh perhatian yang sangat serius terhadap
pertimbangan (judgment) dalam pengauditan. Pertimbangan auditor dipengaruhi
oleh persepsi terhadap situasi yang ada. Pertimbangan auditor dipengaruhi oleh
pendidikan, budaya, dan pengalaman. Tabel 13.1 berikut ini menyajikan proses
audit yang membutuhkan pertimbangan auditor:
C. Rational-Emotive Therapy dalam Audit
Menurut Goleman (2007)
untuk menjadi auditor yang mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan
menjunjung tinggi etika profesinya, kecerdasan intelektual hanya menyumbang
20%, sedangkan 80% dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kecerdasan yang lain, salah
satunya adalah kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan emosional seorang
auditor diharapkan mampu mengatur perasaan dengan baik, mampu memotivasi diri
sendiri, berempati ketika menghadapi gejolak emosi diri maupun diri orang lain,
fleksibel dalam situasi dan kondisi yang sering berubah, sehingga dengan akal
sehat mampu berpikir positif dalam menghadapi tekanan dan gangguan yang dapat
memengaruhi independensinya. Dengan demikian, hasil pemeriksaan yang
dilaksanakan tidak memihak pihak manapun.
Lima komponen untuk
membentuk kecerdasan emosional seorang auditor adalah:
1. Mengenali emosi diri: kesadaran diri untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan kecerdasan emosional. Kemampuan
untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan
psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan diri
sendiri yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan.
2. Mengelola emosi: mengelola emosi berarti menangani
perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan
kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil
dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan mampu bangkit kembali dengan
cepat. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dapat mengelola emosi akan
terus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal
negatif yang merugikan dirinya sendiri.
3. Memotivasi diri sendiri: kemampuan seseorang
memotivasi diri dapat ditelusuri melalui bagaimana caranya mengendalikan
dorongan hati, derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang.
Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung
memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam
dirinya.
4. Mengenali emosi orang lain: empati atau mengenai emosi
orang lain dibangun berdasarkan.pada kesadaran diri. Jika sesorang terbuka pada
emosi diri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang
lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya
sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
5. Membina hubungan dengan orang lain: seni dalam membina
hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung
keberhasilan pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan sesorang
akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Orang yang tidak memiliki
keterampilan ini akan dianggap angkuh, menggangu atau tidak berperasaan
terhadap orang lain.
Untuk mengatasi keperilakuan sebagai upaya meningkatkan kualitas
pertimbangan, Shannon dan Stevens dalam Siegel dan Marconi (1989) mengusulkan
suatu terapi apa yang disebut dengan Rational-Emotive Therapy (RET).
Tujuan RET adalah untuk memperoleh suatu kondisi emosional dari
netralitas—untuk mengeliminasi sebanyak mungkin perasaan negatif yang tidak
diinginkan. Ini berdasarkan ide di mana seseorang mungkin lebih mudah
memecahkan suatu permasalahan dalam suasana pikiran yang tenang dibandingkan
ketika seseorang mendekati suatu permasalahan dalam kondisi marah, cemas, atau
depresi.
D. Menerapkan RET
Berikut ini cerita
menarik tentang interaksi seseorang yang bernama Sara dan seorang bernama
Krenshaw. Proses RET dimulai, seperti yang telah kita lihat, dengan pemicu
peristiwa berikut. Krenshaw mengatakan, “Dan seberapa banyak kantor dan
Perusahaan, Akuntan Publik Bersertifikat, akan meminta kita untuk waktu ini?”
Sara mungkin mengalami
sejumlah reaksi mental terhadap peristiwa itu. Ini biasanya mengambil bentuk
serangkaian pemikiran seperti berikut.
1. Orang dungu bodoh itu telah keterlaluan!
2. Krenshaw semestinya lebih menghormati saya.
3. Krenshaw semestinya tidak berbicara dengan saya
seperti itu— mempermalukan saya di depan staf saya dan juga orangorangnya.
4. Saya akan menyuruhnya diam.
Emosi yang
bagaimana yang pemikiran pendek ini akan diarahkan?
Alternatifnya,
Sara bisa mengalami sesuatu seperti serangkaian pemikiran berikut.
1. Saya tidak bisa menang.
2. Krenshaw tidak akan memberikan saya istirahat.
3. Saya tidak akan piemperoleh promosi (dan itu sangat
buruk).
Perasaan seperti
apa yang Anda semestinya hasilkan dari pemikiran ini?
Masing-masing dari urutan reaksi mental ini mengarah kepada perasaan
negatif. Perangkat pertama dari pemikiran mungkin memuncak dalam perasaan marah
dan kemudian cemas, patah semangat, atau depresi.
BAB 14
TOPIK-TOPIK
PENELITIAN AKUNTANSI KEPERILAKUAN
A. Penelitian Akuntansi Keperilakuan dalam Akuntansi
Manajemen
Salah satu tujuan dan
prinsip fundamental dari akuntansi manajemen adalah meningkatkan nilai
perusahaan untuk menjamin pengaruh aktivitas dan efisiensi dengan sumber daya
yang terbatas. Sistem akuntansi manajemen menyediakan informasi yang dapat
meningkatkan kemampuan karyawan dalam rangka membuat keputusan yang
berkualitas, memampukan tujuan dan sasaran organisasi. Sistem akuntansi manajemen
seharusnya bisa menyeleraskan kepentingan pengelola dan pemilik sehingga bisa
mengarahkan elemen-elemen perusahaan menuju tujuan perusahaan. Informasi yang
dihasilkan oleh sistem akuntansi manajemen perusahaan mempunyai dua peran
penting: (1) informasi untuk perencanaan dan pengambilan keputusan, dan (2)
memotivasi individuindividu yang ada di perusahaan untuk berbuat terbaik demi
kepentingan perusahaan. Dengan demikian sangatlah penting peranan studi empiris
tentang bagaimana peranan informasi akuntansi manajemen berpengaruh terhadap
perilaku individu dalam organisasi yang penuh dengan kompleksitas permasalahan.
Penelitian dalam
akuntansi manajemen bisa membantu praktik-praktik akuntansi manajemen yang
secara aktual memotivasi individu untuk mengurangi divergensi antara
kepentingan karyawan dan pemilik. Penelitian dalam akuntansi manajemen juga
menentukan motif-motif sosial, nilai-nilai individu, dan sistem informasi
informal perusahaan yang berinteraksi dengan prosedur pengelolaan untuk
menjamin supaya karyawan melakukan yang terbaik.
Penelitian akuntansi
manajemen yang menggunakan empiris-archival (arsip dan database) dan studi
lapangan mempunyai masalah-masalah ekonometrika yang banyak. Data arsip atau
database mungkin sangat sedikit yang tersedia. Lagipula, variabel bebas yang
diinvestigasi sangat mungkin sudah terkontaminasi oleh self-selection bias dan
sample selection bias (Sprinkle dan Wiiliamson, 2007). Kadang-kadang variabel
terikat dan bebas tidak diukur dengan tepat sehingga mengandung gangguan secara
acak dan sistematik. Kelemahan yang paling menonjol dari studi database dan
lapangan adalah dalam hal validitas internal.
1. Dari Pendekatan Normatif ke Deskriptif
Menurut Hudayati
(2002), pada awal perkembangannya, desain pene-litian dalam bidang akuntansi
manajemen masih sangat sederhana dan konvensional, hanya memfokuskan pada
masalah penghitungan harga pokok produk dan biaya produksi. Seiring dengan
perkembangan teknologi dan manajemen operasional, permasalahan penelitian di perluas
dengan diangkatnya topik tentang penganggaran, akuntansi pertanggungjawaban
serta masalah transfer pricing. Namun demikian berbagai penelitian tersebut
masih bersifat normatif, yang hanya mengangkat permasalahan desain pengendalian
manajemen dengan berbagai model-model normatif seperti discounted cash flow;
atau linier programming untuk membantu manajer membuat keputusan ekonomik yang
optimal tanpa melibatkan pada faktor-faktor lain yang memengaruhi efektivitas
desain pengendalian manajemen, seperti perilaku manusia, serta kondisi
lingkungan organisasi. Pada masa itu berbagi faktor-faktor tersebut dianggap
sebagai “kotak hitam” yang kurang diperhatikan.
Dalam penelitian
penilaian kinerja, bukti empiris menunjukkan bahwa kesesuaian antara sistem
penilaian kinerja dengan ketidakpastian ling-kungan memengaruhi kinerja. Temuan
yang ada sudah mendukung sistem pengendalian yang bersifat kontinjen, namun
mengingat berbagai penelitian yang ada sebagian besar hanya menjelaskan satu
atau dua dimensi saja dari sistem pengendalian, temuan-temuan ini masih
bersifat parsial dalam menjelaskan nilai ekonomis atau kegunaan dari sistem
pengendalian bagi perusahaan secara keseluruhan.
Menurut Riyanto
(2003) penjelasan beberapa faktor kontekstual adalah sebagai berikut.
a) Ketidakpastian lingkungan. Merupakan salah satu
variabel yang banyak dipercaya akan memengaruhi keefektifan sistem
pengen-dalian. Pandangan organisasi sebagai entitas yang hidup dalam sistem
terbuka (perusahaan merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yaitu
lingkungan) merupakan salah satu faktor yang mengilhami para peneliti.
Interkasi perusahaan dengan pemangku kepentingan lainnya akan menimbulkan
ketidakpastian karena pemangku kepentingan yang berbeda dan juga, dalam
beberapa hal, bersaing untuk sumber daya yang sama. Kemampuan perusahaan untuk
bertahan hidup ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk menemukan masalah dan
mengembangkan suatu adaptasi yang baik.
b) Struktur organisasi. Bercerita tentang pola pekerjaan
dan ketompok pekerjaan dalam organisasi, yang sangat memengaruhi perilaku
anggota-anggota organisasi. Dari struktur organisasi kita juga memperoleh
distribusi wewenang untuk mengambil keputusan suatu organisasi.
c) Faktor individu. Hubungan antara sistem pengendalian
dan kinerja juga dipengaruhi oleh faktor individual. Argumen yang mendasari
pengaruh positif partisipasi terhadap kinerja memang berasal dari konsep
perilaku individual, di antaranya adalah komitmen dan motivasi. Beberapa
penelitian awal di bidang partisipasi, goal setting, menjelaskan bahwa
partsipiasi dalam penyusunan anggaran akan meningkatkan rasa kepemilikan pada
perusahaan.
B. Berbagai Perspektif Teoretis
Penelitian akuntansi
keperilakuan di bidang akuntansi manajemen didominasi pada dua landasan
konseptual, yaitu teori keperilakuan khususnya perilaku organisasi serta teori
agensi yang mendasarkan pada ilmu ekonomi (Hudayati, 2002).
1. Teori Atribusi (Attribution Theory)
Teori atribusi
mempelajari proses bagaimana seseorang mengintrepretasikan suatu peristiwa,
mempelajari bagaimana seseorang menginterpretasikan alasan atau sebab
perilakunya. Teori ini dikembangkan oleh Fritz Heider yang mengargumentasikan
bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal
(internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang
misalnya kemampuan atau usaha dan kekuatan eksternal, yaitu faktor-faktor yang
berasal dari luar, misalnya kesulitan tugas atau keberuntungan.
2. Teori Harapan (Expectancy Theory)
Teori ini
sebenarnya telah mulai dikembangkan sejak tahun 1930-an. Tetapi model
expectancy theory yang sistematis dan komprehensif pertama kali dikemukakan
oleh Victor Vroom pada bukunya Work and Motivation (1964). Usaha Vroom tersebut
kemudian dikembangkan oleh peneliti lainnya. Dalam expectancy theory motivasi
individu ditentukan oleh expentancies dan valences. Expectancies adalah
keyakinan tentang kemungkinan bahwa perilaku tertentu (seperti misalnya bekerja
lebih keras) akan menimbulkan hasil tertentu (seperti misalnya kenaikan gaji).
Valences berarti nilai yang diberikan individu atas outcome (hasil) atau
rewards yang akan dia terima.
3. Teori Tujuan (Goal Theory)
Teori ini
mula-mula dikembangkan oleh Locke (1968) dalam Hudayati (2002). Teori ini
mengemukakan bahwa perilaku seseojrang ditentukan oleh dua cognitions yaitu
values dan intentions (atau tujuan). Yang dimaksud dengan values adalah apa
yang dihargai seseorang sebagai upaya mendapatkan V.emakmuranl welfare. Orang
telah menentukan goal atas perilakunya di masa depan dan goal tersebut akan
memengaruhi perilaku yang sesungguhnya. Teori ini juga menyatakan bahwa perilaku
individu diatur oleh ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat
dipandang sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Jika
seorang individu komit dengan sasaran tertentu, maka hal ini akan memengaruhi
tindakannya dan memengaruhi konsekuensi kinerjanya. Penelitian yang menggunakan
teori ini bisa dilihat dari variabel penelitian yang dipergunakan antara lain
level tujuan, komitmen tujuan, kebutuhan untuk berprestasi, dan setting tujuan.
Penelitian yang menggunakan pendekatan teori tujuan memfokuskan hubungan antara
desain pengendalian manajemen terhadap variabel motivasional seperti motivasi,
komitmen organisasi, kinerja serta kepuasan kerja.
4. Teori Agen
Penelitian
akuntansi keperilakuan yang menggunakan teori agen mendasarkan pemikiran
bagaimana adanya perbedaan informasi antara atasan dan bawahan atau antara
kantor pusat dan kantor cabang atau adanya informasi asimetri memengaruhi
penggunaan sistem akuntansi. Teori ini mendasarkan pada teori ekonomi. Dari
sudut pandang teori agen, prinsipal (pemilik atau top manajemen) membawahi agen
(karyawan atau manajer yang lebih rendah) untuk melaksanakan kinerja yang
efisien. Teori ini mengasumsikan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh usaha
dan pengaruh kondisi lingkungan. Teori ini secara umum mengasumsikan bahwa
prinsipal adalah risk-neutral dan agen adalah risk and effort averse. Agen dan
prinsipal diasumsikan dimotivasi oleh kepentingannya sendiri dan sering
kepentingan antara keduanya berbenturan. Menurut pandangan prinsipal kompensasi
yang diberikan kepada agen tersebut didasarkan pada hasil, sedangkan menurut
agen dia lebih suka kalau sistem kompensasi tersebut tidak semata-mata melihat
hasil tetapi juga tingkat usahanya.
C. Penelitian Akuntansi Keperilakuan dalam Pengauditan
Penelitian dengan
menggunakan auditor sebagai partisipan akan mengurangi masalah validitas
eksternal yang sering menjadi masalah ketika mahasiswa yang digunakan sebagai
partisipan untuk memerankan auditor. Namun di sisi lain, penggunaan auditor
sebagai partisipan membutuhkan setting tugas yang lebih realistik karena
keahlian (expertise) mereka sangat sensitif terhadap variasi tugas dan
settingnya. Namun, penggunaan mahasiswa juga mengandung sisi positif, yaitu
tidak terkontaminasi oleh keadaan sesungguhnya.
Beberapa topik dalam
penelitian di bidang ini berkaitan dengan judgment auditor, yaitu di antaranya
adalah topik konsensus dan pengalaman auditor, penggunaan statistik dan
judgment auditor, dan judgment dengan menggunakan aiat bantu pengambilan
keputusan. Topik mengenai konsensus auditor sebagai cermin dari respons auditor
dalam pengambilan keputusan merupakan topik yang paling awal. Kemudian
penelitian beralih kepada pengalaman auditor karena diproposisikan bahwa
auditor yang lebih berpengalaman memiliki judgment yang lebih baik.
Penelitian akuntansi
keperilakuan pada bidang pengauditan mengalami perkembangan yang dinafriis.
Mayoritas penelitian eksperimen di bidang audit adalah dalam judgment and
decision making (JDM) seperti yang digambarkan Bonner (2008) berikut ini.
No comments:
Post a Comment