BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna jika dibandingkan dengan
makhluk ciptaan lainnya, karena manusia terdiri dari unsur jasmani dan unsur
rohani, yang keduanya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, keduanya
saling menunjang dalam kehidupan. Di sisi lain, manusia adalah makhluk
individu dan juga sebagai makhluk
sosial. Sebagai makhluk, kedudukan manusia sebagai hamba/pengabdi dan juga
sebagai khalifah di muka bumi.
Pemahaman
isi Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam tidak lagi terbatas
pada pemahaman tekstual/tersurat saja, tetapi perlu dikembangkan ke arah
pemahaman yang kontekstual/tersirat. Dengan kata lain, pendekatan yang
digunakan dalam studi Islam dan keislaman tidak lagi hanya menggunakan
pendekatan normatifitas saja, tetapi perlu dan sangat penting untuk menggunakan
jenis-jenis pendekatan lain yang dapat diterima oleh masyarakat yang sangat
majemuk/kompleks. Agar Islam dapat diterima, dipelajari, dipahami dan diamalkan ajarannya oleh umat manusia yang tersebar
diseluruh penjuru dunia yang berbeda-beda suku, adat istiadat, ras, bahasa,
letak geografis, dan lainnya, maka perlu tindakan nyata yang lebih arif dan
bijaksana dari para ilmuwan Islam.
Dengan
pendekatan-pendekatan yang sesuai dalam studi Islam dan keislaman, maka
diharapkan akan tercapai Islam yang ideal dan benar-benar menjadi rahmatan lil
‘alamin. Dalam hal ini, para ilmuwan mengemukakan beberapa pendekatan
dalam studi Islam yang dapat diterapkan yaitu pendekatan teologis normatis,
antropologis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan dan psikologi. Dengan berbagai pendekatan ini, diharapkan
umat Islam akan terbebas dari belenggu yang senantiasa mengungkungnya.
Salah
satu pendekatan yang perlu diterapkan dalam studi Islam adalah pendekatan
antropologi. Antropologi seperti semua disiplin ilmu pengetahuan lainnya, harus
membebaskan dirinya dari visi yang sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang
baru, sederhana, tetapi kebenaran yang primordinal dari semua ilmu pengetahuan
yaitu kebenaran pertama Islam. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa itu
antropologi dan pendekatan antropologi dalam studi agama, serta bagaimana
implementasi pendekatan antropologi dalam studi Islam, maka penulis berusaha
untuk mengkaji dan mengungkap lebih jauh tentang “Pendekatan Antropologi dalam
Studi Islam”.
B. Rumusan
Masalah
Beberapa
permasalahan pokok yang perlu diuraikan dalam pembahasan ini antara lain :
1. Apakah
antropologi dan pendekatan antropologi itu?
2. Apa saja obyek
kajian dalam pendekatan antropologi?
3. Bagaimakah cara
kerja pendekatan antropologi dalam studi Islam?
4. Bagaimana Wilayah
Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam?
5. Apa saja Kelebihan
dan Kekurangan Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam?
6. Bagaimana Pengaruh
Antara Pendekatan Antropologi Dalam
Studi Islam Terhadap Pembaharuan Dalam Islam?
C. Tujuan
Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam
makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui arti antropologi dan pendekatan antropologi.
2. Untuk
mengetahui obyek kajian dalam pendekatan antropologi.
3. Untuk
mengetahui cara kerja pendekatan antropologi dalam studi Islam.
4. Untuk
mengetahui Wilayah Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam
5. Untuk
mengetahui Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam
6. Untuk
mengetahui Pengaruh Antara Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam Terhadap Pembaharuan Dalam
Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Antropologi dan Pendekatan
Antropologi Dalam Studi Islam
1.
Pengertian antropologi
Antropologi berasal dari kata anthropos yang
berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Kata antropologi
dalam bahasa Inggris yaitu “anthropology” yang didefinisikan sebagai the social
science that studies the origins and social relationships of human beings atau
the science of the structure and functions of the human body.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa antropologi adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang asal usul,
aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau,
ilmu tentang organisme manusia dan tentang manusia sebagai obyek sejarah alam.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat
serta kebudayaan yang dihasilkan.[2]
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan
atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul,
dengan menetralkan nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).
Dari beberapa pengertian yang telah
dikemukakan, dapat disimpulkan suatu pengertian
bahwa antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia
dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku,
tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkannya, sehingga di antara satu
manusia dengan yang lainnya berbeda-beda.
2. Pengertian
pendekatan antropologi Dalam Studi Islam
Dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah
pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat
dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.
Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai tekhnik yang
digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara
melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian
pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau
cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian, tetapi juga mencakup
pengertian, metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan
pendekatan tersebut.[3]
Menurut Abudin Nata, “Pendekatan antropologis
dalam memahami agama dapat di artikan sebagai salah satu upaya memahami agama
dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dangan masalah-masalah
yang di hadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yangdi gunakan dalam disiplin ilmu antropologi
dalam melihat suatu masalah di gunakan pula untuk memahami agama”.
Islam adalah agama samawi yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Islam tidak hanya
diperuntukkan kepada Nabi Saw, tetapi juga untuk umatnya (manusia). Supaya
Islam dapat diterima dan ajarannya dipahami serta dilaksanakan oleh umat
manusia, maka dalam penyampaiannya harus menggunakan pendekatan atau metodologi
yang sesuai dan tepat. Jika tidak, maka
dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama Islam hanya tinggal namanya
saja. Hal ini perlu disadari oleh para
ilmuwan muslim. Dan karena agama itu sangat erat hubungannya dengan manusia,
maka pendekatan antropologi sangat penting untuk diterapkan didalam studi
Islam.[4]
Pendekatan antropologi dapat diartikan sebagai
suatu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang
menjadi perhatian terkait bentuk fisik dan kebudayaan sebagai hasil dari
cipta, karsa dan rasa manusia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pendekatan antropologi dalam studi Islam adalah suatu cara pandang yang
mendalam dan proporsional praktik keberagamaan kaum muslim sebagai suatu gejala
yang terkait dengan budaya lokal, politik, ekonomi, sosial dan pengaruh fakto-faktor lainnya dalam
kehidupan.
B.
Obyek Kajian Dalam Pendekatan Antropologi
Secara
umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu
antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan
antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik dan etnografi.
Meski antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek
moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi
pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang
diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.
Ada lima
fenomena agama yang dapat dikaji melalui antropologi, yaitu:
1.
Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan
simbol agama.
2.
Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama,
yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3.
Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat,
haji, puasa, perkawinan dan waris.[5]
4.
Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci
dan semacamnya.
5.
Organisasi keagamaan tempat para penganut agama
berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja
Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena
kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi
manusia.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jika ditinjau
dari pengertian antropologi secara umum, obyek kajian dalam antropologi
mencakup 2 (dua) hal yaitu :
1. Keanekaragaman
bentuk fisik manusia.
2. Keanekaragaman
budaya/kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia.
Sedangkan secara khusus pengkajian antropologi dalam studi Islam, maka
obyek kajian antropologi meliputi lima
hal yaitu :
1. Scripture atau
naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
Pada
bagian ini antropologi mengkaji bagaimana cara pandang penganut agama terhadap
al-Qur’an dan al-Hadits sebagai naskah atau sumber ajaran agama Islam yang
dianutnya, serta bagaimana cara menfsirkan isi ajaran tersebut dan
diimplementasikan dalam kehidupannya.[6]
2. Para penganut
atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para
penganutnya.
Terhadap
penganut, pemimpin atau pemuka agama,
antropologi mengamati, mengkaji dn meneliti sikap, perilaku dan
penghayatan terhadap ajaran agama yang dianutnya serta pengaruh sosial, budaya,
ekonomi, politik, pendidikan dan lainnya, bahkan sampai pada pengaruh faktor
geografis dalam pengamalan ajaran yang dianutnya.
3. Ritus, lembaga
dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
Dalam
beragama ibadah-ibadah ritual merupakan suatu hal yang sangat sakral, terjaga
dan terpelihara, namun hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh budaya dan aspek-aspek kehidupan
manusia lainnya dan hal tersebut menyatu dan berlangsung dalam kehidupan
manusia.
4. Alat-alat
seperti masjid, peci dan semacamnya.
Alat-alat
seperti masjid, tasbih, sorban, peci dan lainnya merupakan symbol atau lambang
dalam kehidupan keberagamaan, dan hal inipun tidak terlepas dari pengaruh
berbagai aspek kehidupan manusia di mana ia berada.
5. Organisasi
keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, Syi’ah dan
lain-lain.
Organisasi
sebagai wadah berhimpunnya para penganut, tokoh atau pemuka agama yang
terkotak-kotak sesuai dengan isme-isme yang dianutnya serta sikap dan perilaku
kelompok menjadi suatu budaya dan bahkan menjadi suatu kekuatan dalam kehidupan
keberagamaan dan kemasyarakatan .[7]
Bustanuddin
Agus mengemukakan bahwa, Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka
agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama
yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama
dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada
yang sacral.
Menurut
pendapat tersebut, bahwa praktik yang nyata dalam kehidupan yang dimaksud
adalah praktik keberagamaan, bukan agama.Artinya bahwa praktik dalam keseharian
kehidupan manusia adalah telah adanya pengaruh budaya, social, ekonomi,
politik, sejarah dan keadaan geografis terhadap ajaran agama dalam kehidupan,
dan hal tersebut itulah merupakan obyek kajian pendekatan antropologi.
C.
Cara Kerja
Pendekatan Antropologi dalam studi Agama (Islam)
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan dalam disiplin
ilmu agama. Antropologi lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya
partisipatif.Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang
mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan
sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke
lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan
diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak
sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang
menggunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian historis.[8]
Penelitian
antropologi agama harus dibedakan dari pendekatan-pendekatan lain. Para
peneliti antropologi harus melakukan atau menawarkan sesuatu yang lain dari
yang lain. Ia harus menimbulkan pertanyaan sendiri yang spesifik, berasal dari
perspektif sendiri yang spesifik, dan mempraktekkan metode sendiri yang
spesifik pula. Antropologi dapat dianggap sebagai ilmu keragaman manusia, dalam
tubuh mereka dan perilaku mereka. Dengan demikian, antropologi agama akan
menjadi penyelidikan scientific keragaman agama manusia.
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama.Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan
pendekatan yang holistik dan komitmen antropologiakan pemahaman tentang
manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk
mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.[9]
Posisi
penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.Karena
manusialah sebagai pelaku dalam keberagamaan dan kebudayaan.Persoalan-persoalan
yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya, sebab
Islam sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits meliputi semua
aspek kehidupan.Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam
kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common
sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense
mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan
rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah
kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun
teknologi.
Dengan
demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak
akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya
adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata.Terlebih dari
itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan
pengamalan agama.Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami
Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang
telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya
dari keberagamaan manusia. Karena begitu pentingnya penggunaan pendekatan
antropologi dalam studi Islam (agama), maka Amin Abdullah mengemukakan 4 ciri
fundamental cara kerja pendekatan antropologiterhadap agama, yaitu :
1. Bercorak descriptive,
bukannya normative.
Pendekatan antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work),
berhubungan dengan orang,
masyarakat, kelompok setempat yang
diamati dan diobservasi dalam jangka
waktu yang lama dan mendalam. Inilah
yang biasa disebut dengan thick
description(pengamatan dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius,
terstuktur, mendalam dan berkesinambungan).
Thick description dilakukan
dengan cara antara lain Living in , yaitu hidup bersama masyarakat yang diteliti,
mengikuti ritme dan pola hidup
sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama. Bisa berhari-hari,
berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, jika ingin memperoleh hasil yang
akurat dan dapat dipertanggungjawabkansecara akademik. John R Bowen, misalnya, melakukan penelitian
antropologi masyrakat muslim Gayo,di Sumatra, selama bertahun-tahun. Begitu juga
dilakukan oleh para antropolog kenamaan yang lain, seperti Clifford
Geertz. Field note research (penelitian
melalui pengumpulan catatan lapangan)
dan bukannya studi teks atau pilologi
seperti yang biasa dilakukan oleh para orientalis adalah andalan utama
antropolog.
2. Yang terpokok
dilihat oleh pendekatan antropologi
adalah local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan.
Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan,
lebih-lebih ketika manusia melewati hari-hari
atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa
saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
tersebut (rites de pessages) ?
Persitiwa kelahiran, perkawinan,
kematian, penguburan . Apa yang
dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan[10]
3. Antropologi
selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain
kehidupan secara lebih utuh (connections
across social domains).
Bagaimana hubungan antara wilayah ekonomi,
sosial, agama, budaya dan
politik. Kehidupan tidak dapat
dipisah-pisah.Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan
manusia. Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat
berdiri sendiri, terlepas dan tanpa
terkait dan terhubung dengan lainnya.
4. Comparative, artinya studi dan pendekatan
antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan
agama-agama.
Studi dan pendekatan antropologi memerlukan
perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Talal Asad menegaskan lagi disini bahwa “What
is distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded
concepts (representation) between societies differently located in time or
space. The important thing in this comparative analysis is not their origin
(Western or non-Western), but the forms of life that articulate them, the power
they release or disable.” Setidaknya,
Cliffort Geertz pernah memberi contoh bagaimana dia membandingkan
kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko.
Bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi yang terpokok
adalah untuk memperkaya perspektif dan
memperdalam bobot kajian. Dalam dunia
global seperti saat sekarang ini, studi komparatif sangat membantu memberi
perspektif baru baik dari kalangan
outsider maupun insider.[11]
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang
mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama.Antropologi
mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami
perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan
komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya
antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi
sosialnya dengan berbagai budaya.
D.
Wilayah Pendekatan Antropologi dalam Studi
Islam
Antropologi
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh
pendekatan yang holistic dan komitmennya tentang manusia, sesungguhnya
antropologi merupakan ilmu penting untuk mempelajari agama dan interaksi
sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa
pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam karena konsep
manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, misalnya merupakan symbol akan
pentingnya posisi manusia dalam Islam.[12]
Posisi
penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia sesungguhnya adalah persoalan agama
yang sebenarnya.Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaanya.
Pemahaman
Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak lengkap tanpa
memahami manusia. Realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan.
Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan terletak pada interpretasi
dan pengalaman agama. Oleh karena itu antropologi diperlukan untuk memahami
Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang
telah dipraktikkan yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagaman manusia.
Oleh
karena itu, dapat diketahui bahwa signifikansi antropologi dalam studi islam
adalah sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan
kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Penelitian
antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak
pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan
teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan
dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model
matematics, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan
dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama
dapat ditemukan adanya hubungan positif dengan berbagai bidang kehidupan,
diantaranya:[13]
1. Agama
berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
Golongan masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya, lebih tertarik
kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan
perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih
cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sydah mapan secara
ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883),
sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu
sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa
disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya agama bisa disalahfungsikan
oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama
yang mendukung sistem kapitalsime di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya
dengan Max Weber (1864-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran
Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan
dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja semangat masyarakat industri yang
kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah
dalam karyanya The Religion of Tokugawa.Dia juga melihat adanya korelasi
positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran
agama budha dan sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja
orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Prancis,
Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi
islam itu lebih dekat dengan sistem kapitalisme atau sekurang-kurangnya tidak
mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
2. Agama dalam
hubungannya dengan mekanisme organisasi social budaya.
Peneliti
Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java melihat adanya klasifikasi
sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi, dan abangan.
Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan
dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun kontruksi stratifikasi sosial
yang dikemukakannya cukup membuat orang berfikir ulang untuk mengecek ulang
keabsahannya.
3. Keterkaitan
agama dengan psikoterapi.
Sigmund
Freud (1856-1939) pernah mengaitkan agama dengan oedipus complex, yakni
pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya dihadapan kekuatan dan
kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam psikoanalisanya
dia mengungkapkan adanya hubungan antara id, ego dan superego. Meskipun hasil
penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagamaan
manusia, tetapi temuannya ini cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus
keberagamaan tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial mupun kejiwaan.
Jika Freud dianggap terlalu minor melihat fenomina keberagaman manusia, lain
halnya dengan psikoanalis yang dikemukakan C.G.Jung. Jung malah menemukan hasil
temuan psikoanalisanya yang berbalik arah dari apa yang ditemukan Freud.
Menurutnya ada korelasi antara agama dan kesehatan mental.
4. Agama dengan
Budaya
Jika
kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat
relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi
sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian
agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi
agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu
manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk
dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan
kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan
agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami
manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.[14]
Kesulitan
mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana,
pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama,
dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena
ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu
untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama
adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci
Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang
tak perlu lagi dipahami.
Namun
sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh
budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh
manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk
menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia,
jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan
mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti
oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih
adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama
sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya.
Secara
garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat
kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut
pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap
masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu
masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah dengan mendefinisikan agama sebagai
kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini
sangat minimalis, definisi ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi
realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis.
Obyek kajian dari antropologi Islam adalah
sebagai berikut ini :
a) Penciptaan
manusia, meliputi awal penciptaan manusia dan bagaimana manusia kemudian
berkembang termasuk teori evolusi Darwin sebagai komparasinya. Juga pertanyaan
tentang apakah sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan
Iqbal, misalnya, yang mengatakan dalam bukunya The Reconstraction of Religious
Thought in Islam, bahwa Adam yang disebut dalam al Qur’an lebih banyak bersifat
konsep tinimbang histories.
b) Susunan
manusia, meliputi susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh, akal, hati,
mata hati dan nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai
dengan konsep Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat,
jin, hewan, tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia
dengan makhluk tersebut.
c) Macam-macam
manusia, yaitu perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan, suku-suku,
bangsa-bangsa, perbedaan bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
d) Tujuan
diciptakannya manusia dan apa misi yang dibawanya di atas bumi, pengkajian
tentang ibadah, khilafah, pembumidayaan dunia dan sebagainya.
e) Hubungan
manusia dengan semesta, yakni manusia sebagai pusat semesta dan pembahasan
tentang lingkungan hidup.
f)
Hubungan manusia dengan Tuhan-nya, yakni
mengkaji tentang beragama manusia, peran nabi-nabi, kitab-kitab suci dan
ibadah.
g) Manusia masa
depan, yang mengkaji tentang rekayasa manusia masa depan yaitu tentang
pembibitan buatan, bioteknologi, manusia robot dan hal-hal lainnya.
h) Manusia setelah
mati, yang membahas bagaiman manusia setelah mati, serta apa yang harus ia
persiapkan di dunia ini bagi kehidupannya di akherat nanti.
E.
Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Antropologi
Dalam Studi Islam
Setiap
metode atau pendekatan dalam penelitian dan pengkajian terhadap suatu masalah
pasti terdapat kelebihan dan kekurangan dari pendekatan yang digunakan. Begitu
pula pada pendekatan Antropologi dalam studi Islam, kita akan menemukan
kelebihan dan kekurangannya.
Dalam
pengkajian makalah ini kami dapat mengemukakan beberapa kekurangan dan
kelebihan yang terdapat pada pendekatan antropologi dalam studi Islam, sebagai
berikut :[15]
1. Kelebihan
Kelebihan yang terdapat pada pendekatan
antropologi dalam studi Islam yaitu :
a) Pendekatan
antropologi bercorak deskriptif dan denganmelakukan pengamatan langsung,
sehingga peneliti mengetahui dengan sebenarnya praktik keberagamaan (local
practices) praktik yang nyata di suatu tempat.
b) Antropologiselalu
mencariketerkaitan atau hubungan antara berbagai domain kehidupan secara lebih
utuh dan melakukan perbandingan dari berbagai tradisi.
c) Dengan
antropologi kita dapat meneliti asal-usul agama, dan dengan itu kita dapat mengerti cara berpikir manusia
yang menganut agama tersebut pada zamannya,sehingga dengan melakukan kajian
lewat agama kita dapat mengetahui pola berpikir manusia pada zaman dahulu,
karena pasti ada keterkaitan antara agama dan manusia.
d) Antropologi
lebihterfokus pada symbol-simbol dan unsur-unsur dalam agama seperti sholat,
puasa, haji, golongan agama, pemuka agama dan sebagainya, karena hal itu dapat
mempengaruhi manusia.
2. Kekurangan
Kekurangan yang terdapat pada pendekatan
antropologi dalam studi Islam yaitu :
a) Antropologi
tidak membahas fungsi agama bagi manusia, tetapi membahas isi dan unsur-unsur
pembentuk dalam agama itu berkaitan dengan manusia dan kebudayaan sehingga akan
sulit mengamati terjadinya sekularisasi.
b) Dalam kehidupan
terjadinya pembauran antara budaya dan agama, sehingga dalam praktiknya jika
kita tidak cermat mengamatinya, maka tidak dapat dibedakan antara agama dan
budaya.
F.
Pengaruh Antara Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam Terhadap Pembaharuan Dalam
Islam
Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa pendekatan antropologi dalam studi Islam adalah
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.[16]
Sebagaimana
Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujarat: 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r&
yYÏã «!$# öNä39s)ø?r&
4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama.Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka
untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan
yang holistik dan komitmen antropologiakan pemahaman tentang manusia, maka
sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama
dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Sedangkan
pembaharuan dalam Islam menurut Harun Nasution adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi modern.
Menurut
Abd. Rahman Assegaf bahwa gagasan dan ide modernisasi Islam muncul sebagai
upaya interpretasi kaum muslim terhadap sumber-sumber ajaran Islam dalam rangka
menghadapi berbagai perubahan social-kultural yang terjadi dalam setiap waktu
dan tempat masing-masing.
Menurut
H. Abudin Nata, pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi,
menambah teks al-Qur’an maupun teks al-Hadits, melainkan hanya mengubah atau
menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman…selain itu
pembaharuan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti
ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan
karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki al-Qur’an dengan kenyataan
yang terjadi di masyarakat.[17]
Dari
beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa modernisasi atau
pembaharuan dalam Islam adalah sebuah bentuk
implementasi dari ajaran Islam secara kontekstual atas dasar
interpretasi atau penafsiran, dan hal tersebut merupakan respond an jawaban
kaum muslim atas segala persoalan yang dihadapi di zamannya serta mereka harus
menyambutnya dengan arif dan bijaksana.
Dengan
demikian menurut pendapat kami, bahwa ada pengaruh antara pendekatan antropologi dalam studi
Islam dan pembaharuan dalam Islam, karena keduanya mengkaji masalah
keberagamaan dan menempatkannya secara proporsional. Pendekatan antropologi
dalam Islam meneliti manusia dengan praktik keberagamaan yang beraneka ragam
karena dipengaruhi oleh berbagai factor kehidupan sedangkan dengan adanya
pembaharuan dalam Islam, dapat diketahui inti ajaran Islam yang sebenarnya,
baik secara tekstual maupun kontekstual serta mengetahui dan memahami
praktik-praktik keberagamaan lokal yang dipengaruhi oleh berbagai factor
tersebut(budaya, social, ekonomi, politik dan lain-lain).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemahaman
isi Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam tidak lagi terbatas
pada pemahaman tekstual/tersurat saja, tetapi perlu dikembangkan ke arah
pemahaman yang kontekstual/tersirat. Dengan kata lain, pendekatan yang
digunakan dalam studi Islam dan keislaman tidak lagi hanya menggunakan
pendekatan normatifitas saja, tetapi perlu dan sangat penting untuk menggunakan
jenis-jenis pendekatan lain yang dapat diterima oleh masyarakat yang sangat
majemuk/kompleks. Agar Islam dapat diterima, dipelajari, dipahami dan
diamalkan ajarannya oleh umat manusia
yang tersebar diseluruh penjuru dunia yang berbeda-beda suku, adat istiadat,
ras, bahasa, letak geografis, dan lainnya, maka perlu tindakan nyata yang lebih
arif dan bijaksana dari para ilmuwan Islam.
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama.Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan
pendekatan yang holistik dan komitmen antropologiakan pemahaman tentang
manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk
mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
B. Saran
Demikianlah
makalah ini dapat kami sampaikan, kami menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan baik berupa sistematika penulisan, isi maupun bahasa
yang digunakan.
Oleh
karana itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan dalam rangka
perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Tajul Arifin, Pengantar Antropologi,
(CV. Pustaka Setia, Bandung, 2012)
William A. Havilland, R.G. Soekadijo, Jilid
1 Antropologi , (Surakarta: Penerbit Erlangga,1999),
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, (PT RINEKA CIPTA, Jakarta : 2002)
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Hasan Baharun dan Akmal Mundiri, Metodologi
Studi Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011)
Parsudi Suparlan, Agama Islam: Tinjauan
Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan
antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I,
1998)
William A. Havilland, R.G. Soekadijo, Jilid
1 Antropologi , (Surakarta: Penerbit Erlangga,1999),
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam
dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2004)
Achmad Fedyanisaifuddin, Antropologi
Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta :
Kencana, 2006)
[2] Hasan Baharun dan Akmal Mundiri, Metodologi Studi Islam,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) hlm.232
[3] Parsudi Suparlan, Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”,
Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu,
(Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), h. 110
[5] William A. Havilland, R.G. Soekadijo, Jilid 1 Antropologi ,
(Surakarta: Penerbit Erlangga,1999), hlm.12.
[6] William A. Havilland, R.G. Soekadijo, Jilid 1 Antropologi ,
(Surakarta: Penerbit Erlangga,1999), hlm.15
[8] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 15.
[11] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 21
[15] Achmad Fedyanisaifuddin, Antropologi Kontemporer : Suatu
Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm.10
[16] Achmad Fedyanisaifuddin, Antropologi Kontemporer : Suatu
Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm.14
No comments:
Post a Comment