BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Gabungan
melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau
samenloop yang berarti perbarengan
melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Dalam KUHP gabungan
melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare
Feiten yaitu satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana, sementara itu Mas’ad Ma’shum memberikan
definisi gabungan melakukan tindak pidana ini dengan beberapa perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang. Mr. Karni lain lagi, beliau lebih suka memakai
istilah “delik yang tertindih tepat” oleh karena pada concursus tersebut nampak
beberapa delik yang tertindih tepat yang ditimbulkan oleh perbuatan si pembuat.
Pada
delik penyertaan (delneming) terlibat beberapa orang dalam satu perbuatan yang
dapat dihukum, sedangkan pada gabungan beberapa perbuatan atau concursus
terdapat beberapa perbuatan yang dapat dihukum yang dilakukan oleh satu orang,
sebagaimana dalam recidive. Akan tetapi dalam recividive, beberapa perbuatan
pidana yang telah dilakukan diselingi oleh suatu putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan tetap, sehingga karenanya terhukum dinyatakan telah
mengulang kembali melakukan kejahatan. Sementara itu dalam gabungan melakukan
tindak pidana, pelaku telah berturut-turut melakukan beberapa perbuatan pidana
tanpa memberi kesempatan pada pengadilan untuk mengadili dan menjatuhkan
hukuman atas salah satu perbuatan tersebut. Gabungan melakukan tindak pidana
juga sering dipersamakan dengan perbarengan melakukan tindak pidana yaitu
seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan hukum
atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu
berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan
itu belum mendapatkan keputusan tetap.
Gabungan
melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63 sampai 71
buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang
selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan
beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda
sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian
Gabungan (Perbarengan) Tindak Pidana?
2.
Apa saja bentuk-bentuk
perbarengan?
3.
Bagaimana Sistem
Pemberian Pidana / Stelsel Pemidanaan?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
pembahasan makalah ini adalah untuk :
1.
Mengetahui
pengertian Gabungan (Perbarengan) Tindak Pidana
4.
Mengetahui
bentuk-bentuk perbarengan
5.
Mengetahui
Sistem Pemberian Pidana / Stelsel Pemidanaan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Gabungan (Perbarengan) Tindak Pidana
Yang
dimaksud dengan perbarengan atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih
tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali
belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana
berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim. Pada pengulangan juga
terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang.
Perbedaan pokoknya adalah bahwa pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan
pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana pada si
pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada
perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan.[1]
Perbarengan
tersebut dapat dikatakan apakah merupakan dasar pemberat pidana atau peringan
pidana, tergantug pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa
konkrit tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian. Bila
semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana kemudian
dapat diperberat, tanpa melihat disana ada beberapa tindak pidana, maka disini
perbarengan dapat dianggap sebagai pemberatan pidana. Akan tetapi apabila
dilihat semata-mata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu
pidana saja yakni terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya,
walaupun dengan dapat ditambah sepertiga yang terberat (seperti pasal 65) maka
tampaknya pada perbarengan tidak ada pemberatan pidana.[2]
Seperti
orang yang dua kali melakukan pembunuhan yang masing-masing diancam 15 tahun,
yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat dijatuhi pidana berjumlah 30
tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi pidana penjara dua
kali, akan tetapi ditambah sepertiganya yaitu 20 tahun.
Berbeda
dengan pengulangan yang tidak mengatur mengenai ketentuan umumnya, hal
perbarengan dimuat ketentuan umumnya dalam bab VI (pasal 63-71) KUHP. Peraturan
mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaiamana
cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan pidana (system penjatuhan pidana)
dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana
dimana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan.
Konkritnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai; cara
menyidangkan atau memeriksa (meyelesaikan) perkara dan cara atau system
penjatuhan pidananya terhadap satu orang orang pembuat yang telah melakukan
tindak pidana lebih dari satu yang semuanya belum diperiksa dan diputuskan oleh
pengadilan.[3]
Mengenai
cara menyelesaikan perkara demikian, undang-undang menghendaki ialah dengan
memberkas beberapa tindak pidana itu dalamm satu berkas perkara dan
menyidangkannya dalam satu perkara oleh satu Majlis Hakim, dan tidak
dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan menyidangkannya sendiri-sendiri
oleh beberapa majlis hakim. Perwujudan dari kehendak undang-undang ini juga
terdapat dalam pasal 141 KUHP atau dulu pasal 250 ayat (14) HIR.
Ada
dua alasan Pembentuk Undang-undang dalam hal menghendaki agar beberapa tindak
pidana ini diadili secara serentak dan diputus dalam satu putusan pidana dan
tidak dijatuhkan sendiri-sendiri dengan memperhitungkan sepenuhnya ancaman
pidana pada masing-masing tindak pidana yang dilakukan, artinya agar tindak
pidana – tindak pidana dalam perbarengan itu tidak dipidana sepenuhnya sesuai
tindak pidananya masing-masing:
1.
Pertimbangan
psychology, maksudnya ialah bahwa menjalani pidana satu kali dalam waktu yang
lama dirasakan lebih berat dari pada menjalani pidana dua kali dalam jumlah
yang sama.
2.
Pertimbangan
dari segi kesalahan si pembuat, maksudnya ialah kesalahan si pembuat dalam
melakukan tindak pidana berikutnya dipandang lebih ringan daripada kesalahan
dalam hal melakukan tindak pidana yang pertama. Pertimbagan ini dikemukakan
beerhubung dengan adanya anggapan bahwa penjatuhan pidana pada dasarnya adalah
suatu peringatan oleh Negara kepada si pembuat tentang kesalahannya karena
melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal perbarengan, melakukan tindak pidana
yang pertama tidak/belum adanya peringatan semacam itu, maka karenanya jika si
pembuat tadi melakukan tidak pidana lagi sebelum ia dipidana atas tindak pidana
yang pertama, maka kesalahan dalam hal melakukan tindak pidana kedua itu juga
ada pada Negara, tidak pada si pembuat semata-mata.
B.
Bentuk-bentuk
Perbarengan
Undang-undang
membedakan menjadi tiga bentuk perbarengan: perbarengan peraturan (pasal 63)
dengan menggunakan sistem hisapan atau absorbsi, perbuatan berlanjut (pasal
64), perbarengan perbuatan (pasal 65-71)
1. Perbarengan Peraturan (Concursus Idialis /
Eendaadse Samenloop)
Perbarengan
peraturan (concursus idealis) yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih
dari satu aturan pidana. System pemberian pidana yang dipakai adalah system
absorbsi. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat
diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut pasal 285, dan pidana penjara 2
tahun 8 bulan menurut pasal 281. dengan system absorbsi, maka diambil yang
terberat, yaitu 12 tahun penjara.[4]
Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan peraturan pada dasarnya apabila
satu wujud perbuatan (een feit) melanggar lebih dari satu aturan pidana.
Pengertian dasar ini sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh pasal 63 ayat (1),
yang menyatakan “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan
pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan
jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pokok yang paling berat”.
Dalam
hal perbarengan peraturan dengan rumusannya diatas, yang menjadikan persoalan
besar ialah bukan system penjatuhan pidananya sebagaimana pada kalimat
selebihnya dari rumusan ayat (1) dan rumusan ayat (2) dari pasal 63 itu, tetapi
ialah persoalan mengenai suatu perbuatan (een feit). Hal ini juga terdapat dan
sejalan dengan arti perbuatan pada pasal 76 ayat (1) mengenai asas neb is I
idem dalam hukum pidana.
Penjatuhan
pidana pada bentuk perbarengan peraturan dengan menggunakan system hisapan,
artinya hanya dipidana terhadap salah satu dari atura pidana itu, dan jika
diantara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman pidananya, maka yang
dikenakan adalah terhadap aturan pidana terberat ancaman pidana pokoknya, dan
apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan pidana umum yang sekaligus masuk
dalam aturan pidana khusus, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana
khusus itu saja.[5]
Jadi
berdasarkan ketentuan pasal 63 mengenai system hisapan pada perbarengan
peraturan ini, dapat dikenakan pada tiga kemungkinan, yaitu:
a)
Pada
perbarengan peraturan dari tindak pidana dengan ancaman pidana pokok yang sama
berat.
b)
Pada
perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokoknya
tidak sama berat.
c)
Pada
perbarengan peraturan di mana satu perbuatan masuk atau diatur dalam suatu
aturan pidana umum yang sekaligus masuk aturan pidana yag khusus.
2.
Perbuatan
Berlanjut (Voortgezette Handeling)
Mengenai
perbuatan berlanjut ini diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai
berikut:
a)
Jika
antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
satu perbuatan berlanjut (voortegezette handeling), maka hanya dikeakan satu
aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang berat.
b)
Begitu
juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan salah melakukan
pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau
yang dirusak itu.
c)
Akan
tetapi, jika orang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373,
379 dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang
ditimbulkan jumlahnya lebih dari Rp.25,- maka ia dikenai aturan pidana tersebut
dalam pasal 362, 372, 378, da 406.
Berdasarkan rumusan ayat 1 tadi, dapat
ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yaitu:
1)
Adanya
beberapa perbuatan, meskipun berupa pelanggaran ataupun kejahatan;
2)
Antara
perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut;
Perbuatan berlanjut itu sendiri
terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing adalah
berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian satu sama lain. Jadi
masing-masing perbuatan pidana itu mempunyai tempat, waktu dan daluarsanya sendiri-sendiri.
Para ahli dan demikian juga dalam
praktik oleh berbagai putusan Hoge Raad menarik kesimpulan tentang 3 syarat
tentang syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang
sekaligus menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari
perbuatan berlanjut itu, ialah:
1)
Harus ada
satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;
2)
Perbuatan-perbuatan
itu harus sama atau sejenis;
3)
Jangka
waktu antara melakukan tindak pidana yang satu dengan yang berikutnya tidak
boleh berlangsung terlalu lama;
Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan
khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan pasal 64 ayat (3)
merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahata ringan yang terdapat
dalam pasal 364 (pencurian ringan), pasal 373 (penggelapan rigan), pasal 407
ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakuka sebagai perbuatan berlanjut.
3.
Perbarengan
Perbuatan (Concursus Realis / Meerdaadse Samenloop)
Yang
dimaksud dengan gabungan beberapa beberapa perbuatan ialah apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan
masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang
berupa kejahatan atau pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman
oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
KUHP
menyinggung concursus realis itu dalam pasal 65 dan 66: ,,gabungan dari
beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan
tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan”. Berdasarkan apa
yang ditentukan dalam kedua pasal ini, maka VOS (hal. 312) membuat definisi
sebagai berikut: concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta-fakta, yang
harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing
merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu
terjadinya masing-masing fakta itu tidak diputuskan hukuman terhadap salah satu
fakta-fakta tersebut. Berdasarkan rumusa
ayat 1 pasal 65 dan 66, maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing tindak
pidana-tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain adalah
terpisah dan berdiri sendiri. Inilah cirri pokok dari perbarengan perbuatan.[6]
C.
Sistem
Pemberian Pidana / Stelsel Pemidanaan
1.
Concursus
Idealis (pasal 63).
a)
Menurut
ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang
terberat. Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara)
dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara). Maksimum pidana penjara yang dapat
dikenakan ialah 12 tahun.
b)
Apabila
Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama,
maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
c)
Apabila
menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka
penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti
tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya
memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka
pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.
d)
Dalam
pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum
dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi
generali”Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya
dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan
pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang
terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.[7]
2.
Perbuatan
berlanjut (pasal 64).
a)
Menurut
pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya
dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan
pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana
pokok yang terberat.
b)
Pasal 64
ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata
uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana
penjara 15 tahun) kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu
(pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A
tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai
perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15
tahun penjara
c)
Pasal 64
ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang
terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379
(penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai
perbuatan berlanjut.
Apabila nilai kerugian yang timbul
dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu
lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana
yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362
(pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
3.
Concursus
Realis (pasal 65 s/d 71).
a)
Untuk
concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku
pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah
maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Misal
: A melakukan 3 jenis kejahatan yang
masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini yang
dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini
berlaku system absorbsi yang dipertajam.
A
melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun
dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah
ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum
pidana untuk masing-masing kejahatan tersebut.
b)
Untuk
concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis
berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan
dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum piudana yang
terberat ditambah sepertiga, system ini disebut system Kumulasi yang
diperlunak.
Misalnya:
si A melakukan 2 jenis kejahatan yang
masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara. Dalam hal
ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun
maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33
bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun
penjara dan 8 bulan kurungan. Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis
kejahatan yang masing-masing diancam 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- ?
mengenai hal ini ada dua pendapat :[8]
Menurut
Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-; Menurut
blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti
yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimumnya ialah
6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka
6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau
sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- (atau dibulatkan menjadi Rp.
334,-_
Perhitungan
blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih didasarkan pada
perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut UU No.
18 tahun 1960. Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung
sama dengan satu hari kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3)
maksimum kurungan pengganti 6 bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya
kurungan penggantinya 6 bulan. Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka
1 hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen
dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,- kurungan penggantinya sama dengan
134 hari (dibulatkan).
Dengan
demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum
8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan
pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76. Bagaimanakah
dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351
(diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360
(diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan). Dalam hal ini hakim
harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana
yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat
(pasal 65).
c)
Untuk
Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system
kumulasi.
Misal
A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan
dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut
pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan
kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam
pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan
bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau
hanya 16 bulan.
d)
Untuk
Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364,
373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi
dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal
: A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373)
yang masing-masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi).
Tetapi
apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam
pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi)
tetapi 8 bulan penjara.
e)
Untuk
Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat
berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb:
“Jika
seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena
melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka
pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan
menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili
pada saat yang sama”
Misal
: A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
1)
Tgl. 1/1 :
pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);
2)
Tgl. 5/1 :
penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);
3)
Tgl. 10/1
: penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);
4)
Tgl. 20/1
: penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).
Kemudian A ditangkap dan diadili dalam
satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5
tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk keempat tindak pidana itu, hakim
menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada
tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (pasal 372 yang
diancam pidana penjara 4 tahun), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk
penggelapan itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8
bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perbarengan
atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang
dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana.
Menurut
ilmu hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabungan melakukan tindak
pidana, yaitu:
1.
Gabungan
satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse Samenloop ialah gabungan suatu
perbuatan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dan dengan melakukan
perbuatan itu ia melakukan pelanggaran atas beberapa peraturan pidana atau
suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana
2.
Perbuatan
berlanjut / Voorgezette Handeling ialah Perbuatan yang terdiri dari perbuatan
pidana-perbuatan pidana yang masing-masing berdiri sendiri, akan tetapi
mempunyai pertalian yang erat antara satu sama lainnya.
3.
Gabungan beberapa
perbuatan / concursus realis / Meerdaadse Samenloop ialah apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan
masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang
berupa kejahatan atau pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman
oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
B.
Kritikan
Dan Saran
Kami
dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari
kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu kami berharap kepada pembaca, terutama dosen
pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang
bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana 2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002)
Teguh Prasetyo, Hukum
Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), cet. ke-2
Adami chazawi, Pelajaran
Hukum Pidana 2, (Jakarta: Rajawali Pers. 2002)
Moeljatno, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet. ke-29
[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2002), hal. 109
[2] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), cet. ke-2, hal. 179
[3] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), cet. ke-2, hal. 180
[4] Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: Rajawali
Pers. 2002), hal. 122
[5] Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: Rajawali
Pers. 2002), hal. 125
[6] Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), cet. ke-29. hal. 28
[7] Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), cet. ke-29. hal. 30
[8] Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), cet. ke-29. hal. 30
No comments:
Post a Comment