BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam sejarah manusia, kita kenal tiga
era atau zaman yang memiliki ciri khasnya masing-masing yaitu pra-modern,
modern dan postmodern. Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia
sebagai subjek. Apalagi setelah pernyataan Rene Descartes, “cogito ergo sum”
yang artinya ‘aku berpikir maka aku ada’. Melalui pernyataan tersebut, manusia
dibimbing oleh rasionya sebagai subjek yang berorientasi pada dirinya sendiri
sehingga rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali manusia terutama
tingkah lakunya.
Pada masa ini munculah berbagai macam
teori yang berlaku sampai sekarang. Pada akhirnya yaitu zaman dimana kita
berada sekarang yaitu zaman postmodern. Pemikiran pada periode ini menamakan
dirinya postmodern, memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada
kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal yang saling
berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh Habermas bahwa keberadaan demokrasi
ditunjang oleh sains dan teknologi.
Dalam makalah ini akan dikemukakan
sejarah munculnya postmodern sebagai ‘isme’ yang mengritik modernitas, juga
akan dipaparkan beberapa tokoh pada periode ini beserta ajarana-ajaran pokok
meraka.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan teori post modern?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan teori post
modern?
3. Apa saja teori-teori post modern?
C.
Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan teori
post modern
2. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan teori
post modern
3. Untuk mengetahui teori-teori post modern
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Post Modern
Teori sosial postmodern lahir dari
para pemikir aliran postmodernisme. Postmodernisme merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalan memenuhi janji-janjinya. Pemikir postmodern
cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia, metanarasi,
totalitas, dan sebagainya.
Postmodernisme cenderung
menggembar-gemborkan fenomena besar pramodern, seperti: emosi, perasaan,
intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman pribadi, kebiasaan, kekerasan,
metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan
pengalaman mistik.[1]
Banyak tokoh-tokoh postmodernisme yang
sering diperbincangkan dalam kancah teori sosial karena karyanya yang unik dan
menghebohkan. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Jacques Derrida (Gramatologi
dan Utusan), Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Skizoanalisis), Jacques Lacan
(Imaginer, Simbolik, Nyata), Paul Virilio (Dramologi), Ulrich Beck (Modernitas
dan Resiko), Jurgen Habermas (Modernitas: Proyek Yang Tak Selesai), Daniel Bell
(Masyarakat Post-Industri), Fredric Jameson (Logika Kultural Kapitalisme
Akhir), dan Anthony Giddens (Lokomotif Modernitas dan Teori Strukturasi)
Untuk memudahkan memahami
postmodernisme, ada baiknya kita mengkontraskan ‘isme’ ini dengan lawan sejarah
dan nuansa berpikirnya, yakni modernisme. Mengkontraskan kedua ‘isme’ tersebut
dipandang perlu karena postmodernisme, dalam banyak hal, bisa dikatakan sebagai
reaksi dan kritik terhadap modernisme.
1.
Modernisme
Secara
etimologis modern (adj.) bermakna, ‘pertaining to recent or present time’.
Dalam sub bab yang bertemakan postmodernisme, Romo Tom Jacob mengartikan
‘modern’ sebagai: (1) terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta
bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
Sedangkan
menurut Kant menyebutnya sebagai, ’pencapaian transendentalisasi jauh dari
imanensi manusia. Sehingga manusia bisa mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemampuan
rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Di
samping Kant, sejarah kematangan kebudayaan modern ditunjukkan oleh Frederich
Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam
alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori).
Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut). Konstruksi kebudayaan
modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas,
ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi,
emansipasi serta oposisi biner.[2]
Dalam
perspektif seorang postmodernis yang berasal dari traadisi filsafat, modernisme
bisa disebut sebagai ‘semangat yang diandaikan ada pada masyarakat intelektual
sejak zaman renaissance (abad ke-18) hingga paruh pertama abad ke-20. Semangat
yang dimaksud adalah semangat untuk progress --meraih kemajuan—dan untuk
humanisasi manusia’. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan yang sangat
optimistik dari kamum modernis akan kekuatan rasio manusia.
Di
era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk
memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas,
dan estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal yang
menentukan segala-galanya.
Pengakuan
atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas
harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai
subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas-- adalah penentu arah perkembangan
sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme.
Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme,
liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu.
Modernisme
juga bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan menemukan kebenaran
asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran universial. Rasio manusia dianggapa
mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar
yang esensial dan universal dari kenyataan.
2.
Postmodernisme
Secara
etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post,
dalam Webster’s Dictionary Library adalah bentuk prefix, diartikan dengan
‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern maka akan berarti
sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan
pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang muncul karena adanya
modernitas itu sendiri.
Sedangkan
secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline Rosenau (1992)
mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara
lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan
kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik
segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi
pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan
teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan
prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal,
birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian
objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan
rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya
dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan
sebagainya.
Postmodernisme
bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah
relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain.
Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan
mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada dengan definisi dari Friedrich
Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900) dikenal sebagai nabi dari postmedernisme.
Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional,
objektivitas, dan pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche
berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh
sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”
Menurut
Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat
menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan
mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering ditemukan dalam
fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau yang harus diganti
dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme.
B.
Perkembangan
Sejarah dan Tokoh-tokoh Postmodern
Pada awalnya, kata postmodern tidak
muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Wacana postmodern ini pada awalnya
muncul dalam arsitektur dan kemudian juga dalam sastra. Arsitektur dan sastra
‘postmodern’ lebih bernafaskan kritik terhadap arsitektur dan sastra ‘modern’
yang dipandang sebagai arsitektur totaliter, mekanis dan kurang human.
Akhirnya, kritik terhadap seni arsitektur dan sastra modern ini menjadi kritik
terhadap kebudayaan modern pada umumnya yang dikenal sebagai era postmodern. [3]
Benih posmo pada awalnya tumbuh di
lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya The Language of Postmodern
Architecture (1975) menyebut post modern sebagai upaya mencari pluralisme gaya
arsitekture setelah ratusan terkukung satu gaya. Postmodernisme lahir di St.
Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan,
proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur
modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang
menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan
manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja.
Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya,
setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di
bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles
Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh,
peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran
postmodernisme
Akhirnya, pemikiran postmodern ini
mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat,
ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan
atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk,
dan apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai.[4]
C.
Teori-teori
Post Modern
1.
Michael
Foucault: Kekuasaan dan Wacana
Perhatian
Faucault (1926-1984) terpusat pada bagaimana pengetahuan dihasilkan dan
digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kekuasaan dan wacana terkait dengan
pengetahuan. Radikalisme Faucault adalah bagian dari apa yang disebut
kecenderungan posmodern dalam sosiologi, yaitu penolakan atas teori besar
(metanarasi) tentang masyarakat dan sejarah.
Foucault
melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu
yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami
sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak.
Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi
kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang
telah ditetapkjan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan berpretensi mengahasilkan
rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh
kekuasaan
2.
Jean
Baudrillard: Simulacra
Menurut
Baudrillard, masyarakat itu tidak ada. Jika ada, ia sepenuhnya tersusun dari
tanda-tanda atau simulasi (yang juga diistilahkan dengan simulacra) karena kita
hidup dalam jenis masyarakat pascaindustri. Hal ini dapat dibuktikan bahwa
komunikasi televisual dan tanda-tandanya telah begitu mendominasi realitas
global sehingga orang-orang sangat kesulitan untuk memutuskan mana kenyataan
sebenarnya.
Baudillard
berpandangan bahwa apa disebut realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat
dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Namun
masyarakat semakin tersimulasi, tertipu dalam citra dan wacana yang secara
cepat dan keras menggantikan pengalaman manusia dan realitas. Iklan adalah
salah satu kendaraan utama simulasi ini. Simulasi juga cenderung memikirkan
hidup untuk mereka sendiri, melebih-lebihkan kenyataan atas sesuatu.[5]
3.
Jean
Francois Lyotard: Narasi Besar
Lyotard
berpandangan bahwa narasi besar atau cerita tentang sejarah dan masyarakat yang
diungkap oleh Marxisme dan ahli lain, harus diabaikan dalam dunia postmodern,
majemuk, dan polivokal ini. Lyotard lebih menyukai cerita kecil tentang masalah
sosial yang dikatakan oleh manusia itu sendiri pada tingkat kehidupan dan
perjuangan mereka di tingkat lokal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teori dalam ilmu sosial pun mencari
keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya.
Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku
warga/pelaku sosial pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat
makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang
relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga
mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang
mana saja, walaupun sering dibedakan antara teori-teori besar (grand theory)
dan teori yang cakupannya tidak seluas itu.
Sosiologi dalam dunia praksis tidak
hanya meneliti masalah sosial untuk membangun proposisi dan teori tetapi
sosiologi bukanlah seperangkat doktrin yang kaku dan selalu menekan apa yang
seharusnya terjadi tetapi sebagai sudut pandang atau ilmu atau ilmu yang selalu
mencoba “mengupas” realitas guna mengungkap fakta realitas yang tersembunyi
dibalik realitas yang tampak.
Untuk selalu membedah dan
mengembangkan teori sosiologi, seorang pengamat sosial atau sosiolog dituntut
selalu tidak percaya pada apa yang tampak sekilas dan selalu mencoba menguak
serta membongkar apa yang tersembunyi (laten) di balik realitas nyata (manifes)
karena sosiologi berpendapat bahwa dunia bukanlah sebagaimana yang tampak
tetapi dunia yang sesungguhnya baru bisa dipahami jika dikaji secara mendalam
dan diinterpretasikan.
B.
Saran
Demikianlah pembahasan makalah
mengenai teori post modern, semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritik
dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami
selanjutnaya.
DAFTAR PUSTAKA
Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam
Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002)
Ari Purnomo, Narasi Kecil Sebagai
Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern Menurut Jean Francois Lyotard,
(Jurnal; Yogyakarta: FTW, 2006)
Sholihan, Modernitas, Postmodernitas,
dan Agama. (Semarang: Walisongo press. 2008).
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan
Sosial, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2004),
[1] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan
Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002)
h. 5
[2] Ari Purnomo, Narasi Kecil Sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan
era Postmodern Menurut Jean Francois Lyotard, (Jurnal; Yogyakarta: FTW,
2006) h. 14
[3] Sholihan, Modernitas, Postmodernitas, dan Agama. (Semarang:
Walisongo press. 2008). Hlm 48
[4] Sholihan, Modernitas, Postmodernitas, dan Agama. (Semarang:
Walisongo press. 2008). Hlm 50
[5] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta:
Prenadamedia Grup, 2004), hlm.85-86
No comments:
Post a Comment