BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Qawaidul
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang
mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa
kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasan dalam makalah ini yaitu al-‘adah
al-muhakkamah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan
suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui segala permasalahan
fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih
sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi
yang seringkali berubah-ubah.
Dan
dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya (adat atau
kebiasaan ) serta lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa
tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan
kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang adat
(kebiasaan) dengan kaidah, al-‘adah al-muhakkamah dengan arti adat atau
kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum. Dalam makalah
ini akan dikaji mengenai pengertian al-‘aadah,
dasar-dasar hukum, cabang kaidah al-a’aadah muhkamah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari al-‘aadah?
2. Apa dasar-dasar hukum al-‘aadah?
3. Apa saja cabang kaidah al-‘adah al-muhakkamah?
4. Apa saja Perbedaan antara al-’Adah dengan al-’Urf?
5.
Bagaimana Kedudukan
‘adah dan ‘urf dalam pandangan fuqaha’?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan pembahasan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari hukum al-‘aadah
2.
Untuk
mengetahui dasar hukum dari kaidah al-‘adah
3.
Untuk
mengetahui cabang kaidah al-‘adah al-muhakkamah
4.
Untuk
mengetahui Perbedaan antara al-’Adah
dengan al-’Urf
5.
Untuk
mengetahui Kedudukan ‘adah dan ‘urf dalam pandangan fuqaha’
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
kaidah al-‘adah al-muhakkamah
اَلْعَادَةُ
مُحَكَّمَةٌ
“’Adah (adat) itu
bisa dijadikan patokan hukum”
Yang
dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan
untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua
adat bisa dijadikan pijakan hukum.[1]
Dan
pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh
nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga
mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan
nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat
meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka
sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah
yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan
sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat
sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan
proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang
hukum-hukum syara’.[2]
Secara
bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa
dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang
baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun
definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما
يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan
dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa
diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.
Dalam
pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu
al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya
atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:[3]
العرف هو ما
تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa
yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan
perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum".
Sedangkan
arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan
senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan
sengketa yang diajukan ke meja hijau.
Jadi
maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat
menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama
oleh seorang hakim dalam sebuah
pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus
melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu
umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.
Namun
bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena suatu
adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak
menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan
ditetapkan hukumnya.
B.
Dasar
hukum kaidah al-‘adah al-muhakkamah
Dasar hukum didalam
Al-Qur’an yaitu:
وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Dan suruhlah
orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang
bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah
mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
žw yy$uZã_ ö/ä3ø‹n=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr&
(#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur ’n?tã ÆìÅ™qçRùQ$# ¼çnâ‘y‰s% ’n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâ‘y‰s% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu
mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan”.(QS.Al-Baqarah: 236).
Dasar hukum didalam
Hadits yaitu:
مَا رَءَاهُ
اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ
سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
“Apa yang dipandang
baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang
dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai
perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu
Mas'ud).[4]
C.
Cabang
kaidah al-‘adah al-muhakkamah
“المعرف
و عرفا كالمشروط شرطا”
“Sesuatu yang
telah dikenal dengan urf seperti yang di syaratkan dengan suatu syarat”.
Maksudnya
adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang
dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan, dan sesuatu yang telah dikenal
(masyhur) secara ‘urf (adat) dalam sebuah komunitas masyarakat adalah menempati
posisi (hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang disyaratkan (disebutkan dengan
jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam sebuah akad (tsansaksi) atau
ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan (dihukumi) ada, sebagaimana
sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akad haruslah ada atau dilakukan.
Namun dengan syarat sesuatu yang makruf atau masyhur itu tidak bertentangan
dengan syariat Islam.[5]
Contohnya
: apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan
adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak
bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu
atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun
lalu dia bekerja disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu
atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran. Contoh selanjutnya yaitu
kasus menjual buah dipohon, menurut qiyas, hukumnya tidak boleh dan tidak sah,
karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan
yang umum dilakukan ditengan masyarakat , maka ulama membolehkannya.
“المعروف بين التّجّار
كالمشروط بينهم”
“Sesuatu yang
telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Maksud
kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti
disyaratkan dalam transaksi.
Kaidah
ini lebih mengkhususkan adat atau ‘urf yang ada (terbiasa) diantara para
pedagang saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah
al-adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu yang sudah
umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi (status hukum)
sesuatu ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku
diantara mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam sebuah
akad atau ucapan. Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi
antara sesama pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan
pembeli, selama terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli.
Adapun contoh aplikasi kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi
penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu
bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
Contoh
lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya pengiriman barang
menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah menjadi tanggung jawab
pembeli, sehingga walaupun dalam akad pembelian meubel misalnya, tidak
disebutkan biaya (ongkos) pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi
tanggungjawab penjual.[6]
Sedangkan
contoh aplikasi kaidah ini, diantara sesama pedagang adalah misalnya seorang
pedagang kehabisan satu jenis barang dagangannya, padahal saat itu ada pembeli
yang membutuhkan, maka biasanya pedagang itu akan mengambil (membeli) barang
tersebut dari temannya sesama pedagang. Lalu apakah pedagang itu membeli dari
temannya dengan harga pokok (harga kulakan) saja atau dengan harga laba yang
dibagi dua antara dia dan temannya? Maka hal ini harus dikembalikan kepada
kebiasaan yang terdapat diantara mereka, sehingga jika memang adatnya hanya
dengan harga pokok, maka dia boleh membayar harga pokoknya saja, walaupun saat
ini membeli tidak menyebutkan berapa harga barang tersebut.
“التعيين
بالمعرف كالتعيين بالنص”
“Yang sudah tetap
berdasarkan kebiasaan sama halnya dengan yang sudah tetap berdasarkan nash”.
Redaksi
kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda, namun arti dan maksudnya
tetap sama, yaitu kata ta’yin (ketentuan) diganti dengan kata thabit
(ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-‘urf ka al-thabit bi al-nas.
Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya, hanya saja
kaidah ini lebih memperkuat aspek legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum
yang didasarkan pada adat (tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa
sejajar kekuatan legalitas hukumnya dengan nash syariat.
Alhasil,
sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu sama seperti ketentuan hukum atas
dasar nash syariat Islam. Sehinggga tidak ada alasan bagi siapapun untuk
menolaknya, terlebih jika telah diputuskan hakim dalam sebuah sengketa misalnya
perdata. Kaidah ini mirip atau searti dengan kaidah Tasbitu al-Ma’ruf berikut:
ا لتّا بت با لمعروف كا لتّا بت با
لنّصّ
“Yang ditetapkan
oleh (adat) ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”.
Contoh
dari kaidah ini yaitu dalam adat
minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu matrilenial, artinya: keturunan
itu hanya dihitung menurut gasis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami
dan anaknya harus diam dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun
demikian pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh suami. Dalam hal ini Islam
bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun
hadits. Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi
orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan
perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang
punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.[7]
D.
Perbedaan
antara al-’Adah dengan al-’Urf
Proses
pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung
terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati
individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi
‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama
kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi
‘urf.[8]
Oleh
sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi
terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah
‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi
hukum yang berbeda.
Sekalipun
demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai
kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari
kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari
pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan
urgen, selama dilakukan secara kolektif, dan hal seperti masuk dalam ketegori
‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa
melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.
Dari
pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan
‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
1.
‘urf hanya menekankan pada adanya aspek
pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya
lebih menekankan pada posisi pelakunya.
2.
‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan
boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada
pekerjaan.
Sedangkan
persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta
sesuai dengan karakter pelakunya.
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf
memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya,
istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara
al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh
pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus dijalani oleh komunitas tertentu.
Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih
menekankan aspek pelakunya. Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah
pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan
berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab,
al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata
al-ma’ruf yang sering disebut dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang
sesuai dengan adat (kepantasan).
E.
Kedudukan
‘adah dan ‘urf dalam pandangan fuqaha’
Untuk
mengetahui masalah kedudukan ‘adah atau ‘urf sebagai salah satu patokan hukum,
fuqohah’beragam pendapat dalam memeganginya sebagai dalil hukum, yaitu sebagai
berikut: [9]
1.
Abu
Hanifah : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf masyarakat.
2.
Imam Malik
: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishhab, maslahah mursalah,
syadduzdharai’ dan ‘urf.
3.
Malikiyyah,
membagi ‘adah kebiasaan atau ‘urf menjadi tiga, yaitu:
a)
Yang dapat
ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan,
b)
Jika
mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau mengabaikan syara’.
c)
Yang tidak
dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran tidak ada larangan.
4.
Imam
Syafi’i tidak mempergunakan ‘urf atau ‘adah sebagai dalil, karena beliau
berpegang pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan ijtihad yang hanya dibatasi dengan
qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah diambil oleh imam syafi’i dalam
wujud “qaul jadid” itu merupakan suatu imbangan terhadap penetapan hukumnya di
bagdad dalam wujud “qaul qadim’
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwasannya
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab
terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan
al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah
Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah
adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan.
Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan
oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh
komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan
al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima
akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan
karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring
perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di
bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat
istiadat itu berubah.
B.
Saran
Demikianlah
pembahasa makalah mengenai AL Adah Muhamkkamah, semoga dapat menjadi wawasan
bagi rekan pembaca sekalian. Pemakalah menyarankan agar mari kita menambah
referensi bacaan mengenai qawaid fiqihiyah, agar dapat menambah wawasan dan
pengetahuan kita. Kritik dan saran sangat
pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah
Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), (Malang: UIN Maliki Press,2010)
Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah
Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2002)
A, Dzazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis),(Jakarta:Kencana,2007)
[1] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),
(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.203
[2] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam
(Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002).hlm.210
[3] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam
(Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah), hlm.212
[4] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),
(Malang: UIN Maliki Press,2010).hlm.209
[5] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), … hlm.210
[6] A, Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007).hlm.86
[7] A, Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis), … hlm.88
[8] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah), … hlm.214
[9] Dahlan,
Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah) … hlm.246
No comments:
Post a Comment