Saturday, May 5, 2018

Makalah Penerapan Kaidah Fiqih


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
 Dalam menerapkan kaidah fikih, setidaknya ada tiga hal vangperlu diperhatikan agar tepat penggunaannya. Ketiga hal tersebut adalah: (J) kehati-hatian dalam penggunaannya; (2) ketelitian dalam mengamati masalah-masalah yang ada di luar kaidali yang digunakan. Dengan kata lain, meneliti masalah-masalah kekecualian (istitsnaiyat) dari kaidail tersebut; dan (3) memerhatikan sejauh mana kaidah yang digunakan berhubungan dengan kaidah-kaidah lain yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas.[1]
Dalam menerapkan kaidah fikih yang perlu diperhatikan agar tepat penggunaanya yang pertama adalah:
1.      Kehati-hatian dalam penggunaanya
2.      Ketelitian dalam mengamati masalah-masalah yang ada diluar kaidah yang digunakan dengan kata lain meneliti masalah-masalah kekecualian dari kaidah tersebut.
3.      Memerhatikan sejauh mana kaidah yang digunakan berhubungan dengan kaidah lain yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang penerapan kaidah fikih tentang kehati-hatian dalam penerapan kaidah fikih dan meneliti masalah-masalah fikih yang merupakan kekecualian yang ada di luar kaidah fikih serta korelasi antara kaidah fikih.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana kehati-hatian dalam menerapkan kaidah?
2.      Meneliti masalah-masalah yang ada di buat kaidah fikih?
3.      Bagaimana keseinambungan antara satu kaidah dengan kaidah lainnya?
C.     Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui kehati-hatian dalam menerapkan kaidah
2.      Untuk mengetahui masalah-masalah yang ada di buat kaidah fikih
3.      Untuk mengetahui keseinambungan antara satu kaidah dengan kaidah lainnya
  



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Kehati-Hatian Dalam Menerapkan Kaidah
Kehati-hatian dalam menggunakan kaidah ini diperlukan agar aiitara masalah yang akan dipecahkan dengan kaidah yang digunakan bisa tepat (pas). Sebab, antara masalah hukum yang dihadapi dengan kaidah fikih yang digunakan seperti kunci dan anak kuncinya. Artinya, harus pasangannya, tidak kebesaran dan tidak kekecilan, agar pintu bisa dibuka.[2]
Oleh karena itu, masalah yang dihadapi harus diteliti dahulu, setidaknya dalam lima aspek, yaitu: (1) mang lingkup masalah yang dihadapi. Apakah masalah tersebut dalam bidang ibadah, munakahat, muamalah, jinayah, siyasah, atau peradilan, atau menyangkut keseluruhan bidang tersebut; (2) apakah masalah yang dihadapi tersebut, substansinya perubahan hukum atau bukan; (3) apakah masalah tersebut berhubunjan dengan masalah prioritas karena adanya benturan atau pertentangan kepentingan sehingga diperlukan pilihan-pilihan mana yang akan diambil; (4) apakah masalah tersebut ruang lingkupnya sangat kecil yang hanya berhubungan dengan bab-bab tertentu dari   bidang-bidapg hukum Islam sehingga cukup digunakan al-qawaid al- tafshiliyah atau dhabith atau mulhaq-nya; dan (5) hubungan antara masalah yang akan dipecahkan tersebut dengan teori-teori fikih dalam arti teori materi fikih.
Misalnya, apakah masalah tersebut berhubungan dengan teori-teori fikih tentang akad (transaksi) atau tentang kepemilikan, tentang subjek hukum baik pribadi (syahhshiyah) atau badan hukum (syakhshiyah hukmiyah), tentang hak dan lain-lain.[3]
Untuk teori kepemilikan misalnya, dibicarakan tentang pengertiannya, sebab-sebabnya, dan pembagiannya, kekhususan kepemilikan, perbedaan antara kepemilikan benda dan kepemilikan manfaat. hak memanfaatkan, dan lain-lainnya.
Sering terjadi orang menggunakan kaidah yang ruang lingkupnya besar untuk masalah yang kecil. Memang masalah yang kecil pasti masuk dalam lc-.idah fikih yang ruang lingkupnya besar. Tetapi, lebih tepat apabila untuk masalah-masalah yang kecil, selain ruang lingkupnya yang besar juga disertakan kaidah fildh yang ruang lingkupnya kecil. Misalnya, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 19/DSN MUI/IX/200U tentang al-qardh yaitu suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada waktr. yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah. Dalam fatwa tersebut, setelah menggunakan dasar-dasar Al-Qur’an da:’ Hadis Nabi juga menggunakan kaidah fikih yang memang ruang lingkupnya khusus tentang utang piutang, yaitu: [4]
كُلٌ قَرْ ضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبَا
 “Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang, muqridhy) adalah riba”
Apa yang diuraikan di atas sesungguhnya mengandung dua hal, yaitu: (1) meneliti dan mengidentifikasi masalah sebagai pertimbangan keadaan; dan (2) meneliti ayat-ayat, hadis, dan kaidah-kaidah fikih sebagai pertimbangan hukum.
Dalam falwa-fatwa lainnya, pada umumnya DSN memakai kaidah.
اَلاَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الآِ بَاحَةُ إِلاً أَنْ يَدُ لَّ دَلِيْلٌ عَلَئ تَحْرِ يْمِهَا
"Hukum asai dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya"
Dan kaidah:
الضَّرَرُ يُزَ الُ
"Segala kemudaratan harus dihilangkan"
Hanya untuk kasus Letter of Cred.it (L/C) impor dan ekspor .syariah, sertifikat investasi mudharabah antarbank (IMA), digunakan lima kaidah fikih. Untuk pembiayaan rekening koran syariah dan obligasi syariah digunakan empat kaidah fikih. Tetapi ada juga fatwa DSN yang tidak mengguvakan kaidah fikih seperti dalam fatwa tentang Safe Deposit Bcx (SDB) dan jual beli mata uang.
Sesungguhnya untulc SDB bisa digunakan kaidah-kaidah di bidang muamalah. Uniuk valas atau jual beli valuta asing dari empat macam transaksi, yaitu transaksi spot, forward, swap dan option. Hanya satu macam transaksi yang dibolehkan yaitu transaksi spot. Transaksi spo' adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerah an pada saat itu (over tfye counter)*a.taxi penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Sedangkan ketiga transaks: lainnya (forward, swap, dan option) dinyatakan haram hukumnya oleh DSN (fatwa DSN No. 28/DSN-MUI/III/2002)
Melihat keputusan fatwa DSN tersebut, untuk kasus valas ini setidaknya bisa digunako;i dua kaidah fikih yang juga biasa digunakan oleh DSN dalam fatwa-fatwa lainnya, yaitu kaidah:[5]
الحَا جَةُ تَنْزِ لُ مَنْزِلَةَ الضَّرُ ةِ
"Keperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat”
دَرْءُ المَفَا سِدِ مُقَدَّمٌ عَلَئ جَلْبِ المَصَالِحِ
“Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”
Setelah menggunakan kaidah fikih itu, menghasilkan suatu hukum ijtihadiyah atau hukum fikih, mungkin haram, makruh, mubah, sunnah, atau wajib. Kemudian hasil tersebut harus diukur oleh dalil-dalil kidli, baikberupa Al-Qur’an, hadis nabi, semangat ajaran, dan kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah (kaidah asasi). Selain itu, hasil tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan dasar dan prinsip hukum Islam, seperti: keadilan, kerahmatan, kemaslahatan, dan aaa maknanya bagi kehidupan (hikmah)
Apabila setelah diukur dari sisi kesesuaiannya dengan dalil-dalil kulli dan tidak bertentangan dengan dasar dan prinsip hukum Islam, maka masalah tersebut telah terselesaikan dengan hasil ijtihad yang kadar kebenarannya, insya Allah, cukup tinggi. Sebagai ilustrasi proses tersebut bisa digambai*Kan secara sederhana sebagai berikut:


 








B.     Meneliti Masalah-Masalah Fikih Yang Merupakan Kekecualian Yang Ada Di Luar Kaidah Fikih
Dalam menerapkan kaidah fikih harus memerhatikan masalah- masalah furu’ atau materi-materi fikih yang ada di luar kaidah fikih yang digunakan. Hal ini penting karena setiap kaidah fikih memiliki kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah tertentu. Dengan demikian, kita akan terhindarkan dari kesalahan memasukkan masalah yang akan dijawab atau yang akan dipecahkan ke dalam kaidah, yang sesungguhnya masalah tersebut merupakan kekecualian dari kaidah yang digunakan.[6]        
Makin luas ruang lingkup suatu kaidah, makin banyak masalah- masalah fikih yang nrasuk dalam cakupannya. Sebaliknya, makin sempit ruang lingkup suatu kaidah maka makin sedikit masalah fikih yang ada dalam cakupannya. Dengan kata lain, makin luas ruang lingkup suatu kaidah makin sedikit kekecualiannya, sedangkan makin sempit ruang lingkup suatu kaidah makin banyak kekecualiannya.
Di sinilah pentingnya membagi kaidah fikih ke dalam berbagai ruang lingkup secara beijenjang dari yang paling luas sampai kepada yang paling sempit. Muhammad al-Ruki menjelaskan tentang kaidah fikih secara berjenjang dengan meneliti kitab al-isyraf. Al-Qadhi Abd al-Wahab bin Ali bin Nashr al-Baghdadi al-Maliki (w. 422 H) yang lebih dikenal dengan Al-Qadhi Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, beliau hidup di Baghdad dan bermazhab Malild. Karangannya yang berhubungan dengan kaidah fikih adalah al-lsyraf ‘ala Masail al- Khilaf.5 Dalam kitab tersebut terdapat 81 kaidah fikih yang terdiri dari kaidah asasi dan cabang-cabangnya dengan 53 kaidah; kemudian kaidah di bidang fikih ibadah yang terdiri dari 8 kaidah, di bidang muamalah terdiri dari 15 kaidah, dan kaidah lainnya ada 5 kaidah. Selanjutnya Imam Tajjuddin al-Subki (w. 771 H) dalam kitabnya al- Asybah wa al-Nazha’ir, membagi kaidah secara beijenjang, mulai dari kaidah asasi yang lima, kemudian kaidah-kaidah umum yang terdiri dari 27 kaidah; selanjutnya kaidah-kaidah khusus yang terdiri dari 185 kaidah yang dibagi dalam fikih ibadah, muamalah (jual beli), pengakuan, peradilan, dan munakahat. Terakhir Izzuddin bin Abd al- Salani telah mengembalikan semua masalah fikih kepada “jalb al- indshalih wa dar’u al-mafasid” (meraih kemaslahatan dan menolak ke- mafsadatan).
Penjenjangan kaidah dari yang ruang lingkupnya paling besar sampai kepada yang paling kecil telah dibicarakan pada BAB II, yang dirinci menjadi lima lingkaran ruang lingkup dan cakupan.[7]
Dengan adanya kaidah-kaidah fikih dalam bidang-bidang hukum tertentu akan mempermudah kita dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Apabila masalahnya dalam bidang muamalah, maka cari dahulu kaidah-kaidah fikih di bidang tersebut. Apabila masalahnya di bidang jinayah, maka cari dahulu kaidah-kaidah fikih di bidang tersebut, dan seterusnya. Apabila tidak ditemukan, maka ditelusuri kepada kaidah-kaidah yang lebih umum. Apabila tidak ditemukan juga, barangkali masih diperlukan memunculkan kaidah-kaidah baru karena belum ter-cover oleh kaidah-kaidah yang ada. Walaupun demikian, apabila masalah tersebut dikembalikan kepada kaidah asasi yang lima atau menurut mazhab Hanafi kaidah fikih yang enam, maka pasti ter-cover, analagi kalau dikembalikan kepada kaidah dari Izzuddin bin Abd al- Salam, yaitu: “meraih kemaslahaian dari menolak kemaf/sadatan”.
Langkah-langkah ini penting diambil untuk mengetahui kekecualian-kekecualian dari kaidah dan menghindari risiko kesalahan menggunakan kaidah yang terlalu besar untuk masalah yang ruang lingkupnya kecil. Atau sebaliknya, memaksakan untuk memasukkan kepada kaidah yang kecil untuk masalah yang ruang lingkup dan cakupannya besar.
Dari uraian di atas jelas bahwa memahami ruang lingkup dan cakupan itu menjadi penting dan dimulai dari memahami maksud kaii' ah. Sebagai contoh yang banyak dikritisi adalah kaidah:


 “Suatu hasil ijtihad tidak bisa dihapuskan oleh ijtihad yang lain"
Di antara kritik terhadap kaidah ini adalah bisa saja terjadi hasil ijtihad dihapus oleh ijtihad lain yang dianggap lebih benar, seperti qaul qadim dan qauljadid Imam al-Syafi’i. Selain itu banyak hasil ijtihad yang dihapus oleh ijtihad lain dalam kenyataannya.
Baik Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dari mazhab al-Syafi’i7 maupun Ibnu Nuzaim dari mazhab Hanafi8 memasukkan kaidah tersebut ke dalam kaidah kidliyah yang bisa dikembalikan kepadanya banyak sekali masalah-masalah fikih. Artinya tidak termasuk Ife dalam kaidah yang diperselisihkan, tetapi termasuk kaidah yang disepakati oleh ulama-ulama di bidang kaidah fikih.
Rupanya, pokok masalahnya terletak daiam kesalahan memahami masalah tersebut. Yang dimaksud dengan kaidah di atas adalah “hasil ijtihad yang telah lalu tidak dihapus hukumnya dengan hasil ijtihad yang datang kemudian”. Hal ini berarti adalah sah segala perbuatan yang telah dilakukan dengan dasar ijtihad yang pertama. Tetapi kemudian dengan pentarjihin, muncul hukum hasil ijtihad yang baru dan diterapkan. Dengan demikian, hasil ijtihad yang lalu berlaku pada masa yang lalu dan hasil ijtihad yang sekarang berlaku pada masa sekarang sampai narti adf.-iya lagi perubahan. Artinya pula hasil ijtihad yang sekarang tidak berlaku surut kepada masa yang lalu, sehingga menghapuskan hasil ijtihad yang telah lalu.
Sesungguhnya kaidah di atas berlaku dalam kehidupan kita sekarang. Contohnya, seperti amendemer..terhadap UUD atau UU. Maka UUD atau UU yang telah diamendemen mulai berlaku sejak perubahan dan hasil amendemen diberlakukan. Sedangkan untuk masa yang telah lalu sebelum adanya amendemen adalah sah segala kebijakan ataupun perbuatan berdasar kepada UUD atau UU yang belum dian;endemen. Inilah yang dimaksud oleh kaidah tersebut di atas.
Oleh karena itu, untuk menghindarkan kesalahpahaman terhadap kaidah tersebut, ada baiknya diperjelas dengan:

 “Hukum ijtihad yang telah lalu tidak dihapus (tetap berlaku pada masa lalu) dengan adanya hukum hasil ijtihad yang datang kemudian (yang mulai berlaku sejak ditetapkannya)”
Dari uraian di atas rasanya cukup jelas apa yang dimaksud dengan kaidah: “al-ijtihad la yunqadhu hi al-ijtihadi”.

C.     Kesinambungan Antara Satu Kaidah Dengan Kaidah Lainnya
Dalam penerapan kaidah fikih perlu juga diperhatikan keseimbangan. antara satu kaidah yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan kaidah lain yang lebih luas ruang lingkup dan cakupannya. Hal ini memang tidak terlalu mudah, perlu menguasai keseluruhan kaidah fikih dari mata rantai kaidah vang paling kecil sainpai kepada yang paling besar dalam suatu sistem kaidah. Kalau kaidah fikih itu dimisalkan pohon, maka ada hubungan antara akar, batang, cabang, ranting, dan daunnya. Dengan demikian, kita akan tahu persis di mana letaknya kaidah fikih yang akan kita gunakan dalam sistem bangunan kaidah fikih, lata pun akan tahu persis ketepatan atau tidaknya kaidah tersebut digunakan untuk memecahku? masalah yang dihadapi.[8]
Sebagai salah satu contoh kecil misalnya, seseorang meminjam uang dengan dijanjikan pada waktu dibayar harus ada tambahannya atau singkatnya meminjam dari rentenir. Pendekatan kaidah fikih dalam kasus ini cukup dengan menggunakan kaidah tafshiliyali, yaitu:
“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang mengutangkan) adalah riba”
Dengan menggunakan kaidah tersebut, jelas bahwa meminjam uang dari rentenir hukumnya haram karena termasuk riba. Kaidah atas berhubungan dengan kaidah fikih dalam muamalah. Tetapi, bukan dari sisi kebolehannya muamalah, melainkan dari sisi ada bukti ke- laramannya yaitu riba, yaitu kaidah:
 


“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan S kecuali ada dalil yang mengharamkannya”        
Jadi, haramnya meminjam dari rentenir merupakan kekecualian dari hukum asai karena ada bukti tentang riba. Kaidah di atas termasuk kaidah yang khusus. Apabila kaidah di atas dihubungkan dengan kaidah yang ruang lingkupnya lebih luas- (kaidah fikih yang umum), maka kaidah tersebut di atas berhubungan dengan kaidah:


 


“Setiap syarat yang menyalahi prinsip syariah adalah batal”
Dalam kasus di atas, rentenir mensyaratkan riba, maka syarat tersebut adalah batal. Bagi orang yang mengatakan bahwa riba itu ada untungnya atau manfaatnya, tetapi jelas riba diharamkan, yang berarti mafsadah bagi kehidupan, hal ini terkena oleh kaidah:[9]



“Menolak mafsadah harus didahulukan daripada meraih maslahat”
Kedua kaidah di atas apabila dihubungkan dengan kaidah asasi merupakan bagian dari kaidah:  tersebut jelas pula ada dalam bidang fiqh muamalah. Dan kaidah


 

“Segala kemudaratan harus dihilangkan” '
Terakhir, kaidah asasi di atas berhubungan dengan kaidah inti, yaitu:
“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”
Dalam kasus rentenir di atas, perbuatannya adalah haram karena membawa mafsadah sedangkan mafsadah harus ditolak.
Dari contoh di atas jelas terlihat keseimbangan satu kaidah dengan kaidah lainnya. Hal ini berarti bahwa penggunaan kaidah tafshiliyah dalam contoh di atas yang mengharamkan rentenir cukup akurat digunakan dalam memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
Mungkin saja terjadi dalam penelusuran mata rantai kesinambung- an ini ada salah satu mata runtai yang putus, maka di sinilah salah satu tugas dari para ahli untuk menggali dan menemukan mata rantai yang putus. Hal semacam ini adalah wajar di dunia ilmu dan diperlukan untuk pengembangan dan melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa Dalam menerapkan kaidah fikih harus memperhatikan masalah-masalah furu’ atau materi-materi fikih yang ada diluar kaidah fikih yang digunakan. Karena setiap kaidah fikih memiliki kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah tertentu. apabila kita menemukan masalah maka yang harus kita lakukan adalah:
1.      cari dahulu kaidah fikih dalam bidang tersebut apabila tidak ditemukan
2.      cari pada kaidah yang lebih umum, apabila tidak ditemukan juga
3.      Diperlukan memunculkan kaidah baru karena belum ter-cover oleh kaidah-kaidah yang ada.
4.      Atau kembali kepada kaidah “meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai penerapanm kaidah fiqih, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.  


DAFTAR PUSTAKA

A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2011)

Abbas Fauzi Afifi, Baik dan Buruk dalam persepektif ushul fiqh, (Adelina Bersaudara jakarta : 2010)


[1] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 183
[2] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 184
[3] Abbas Fauzi Afifi, Baik dan Buruk dalam persepektif ushul fiqh, (Adelina Bersaudara jakarta : 2010) hal 208
[4] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih,  … h. 184
[5] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih,  … h. 185
[6] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih,  … h. 187
[7] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih,  … h. 188
[8] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih,  … h. 190
[9] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih,  … h. 191

No comments:

Post a Comment