BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menerapkan kaidah fikih, setidaknya ada tiga hal
vangperlu diperhatikan agar tepat penggunaannya. Ketiga hal tersebut adalah:
(J) kehati-hatian dalam penggunaannya; (2) ketelitian dalam mengamati
masalah-masalah yang ada di luar kaidali yang digunakan. Dengan kata lain,
meneliti masalah-masalah kekecualian (istitsnaiyat) dari kaidail tersebut; dan
(3) memerhatikan sejauh mana kaidah yang digunakan berhubungan dengan
kaidah-kaidah lain yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas.[1]
Dalam menerapkan kaidah fikih yang perlu diperhatikan
agar tepat penggunaanya yang pertama adalah:
1.
Kehati-hatian dalam penggunaanya
2.
Ketelitian dalam mengamati masalah-masalah yang ada
diluar kaidah yang digunakan dengan kata lain meneliti masalah-masalah
kekecualian dari kaidah tersebut.
3.
Memerhatikan sejauh mana kaidah yang digunakan
berhubungan dengan kaidah lain yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas.
Dalam makalah
ini kami akan membahas tentang penerapan kaidah fikih tentang kehati-hatian
dalam penerapan kaidah fikih dan meneliti masalah-masalah fikih yang merupakan
kekecualian yang ada di luar kaidah fikih serta korelasi antara kaidah fikih.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana kehati-hatian dalam menerapkan kaidah?
2.
Meneliti masalah-masalah yang ada di buat kaidah fikih?
3.
Bagaimana keseinambungan antara satu kaidah dengan kaidah
lainnya?
C. Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui kehati-hatian dalam menerapkan kaidah
2.
Untuk mengetahui masalah-masalah yang ada di buat kaidah
fikih
3.
Untuk mengetahui keseinambungan antara satu kaidah dengan
kaidah lainnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehati-Hatian
Dalam Menerapkan Kaidah
Kehati-hatian dalam menggunakan kaidah ini diperlukan
agar aiitara masalah yang akan dipecahkan dengan kaidah yang digunakan bisa
tepat (pas). Sebab, antara masalah hukum yang dihadapi dengan kaidah fikih yang
digunakan seperti kunci dan anak kuncinya. Artinya, harus pasangannya, tidak
kebesaran dan tidak kekecilan, agar pintu bisa dibuka.[2]
Oleh karena itu, masalah yang dihadapi harus diteliti
dahulu, setidaknya dalam lima aspek, yaitu: (1) mang lingkup masalah yang
dihadapi. Apakah masalah tersebut dalam bidang ibadah, munakahat, muamalah,
jinayah, siyasah, atau peradilan, atau menyangkut keseluruhan bidang tersebut;
(2) apakah masalah yang dihadapi tersebut, substansinya perubahan hukum atau bukan;
(3) apakah masalah tersebut berhubunjan dengan masalah prioritas karena adanya
benturan atau pertentangan kepentingan sehingga diperlukan pilihan-pilihan mana
yang akan diambil; (4) apakah masalah tersebut ruang lingkupnya sangat kecil
yang hanya berhubungan dengan bab-bab tertentu dari bidang-bidapg
hukum Islam sehingga cukup digunakan al-qawaid al- tafshiliyah atau dhabith
atau mulhaq-nya; dan (5) hubungan antara masalah yang akan dipecahkan tersebut
dengan teori-teori fikih dalam arti teori materi fikih.
Misalnya, apakah masalah tersebut berhubungan dengan
teori-teori fikih tentang akad (transaksi) atau tentang kepemilikan, tentang
subjek hukum baik pribadi (syahhshiyah) atau badan hukum (syakhshiyah
hukmiyah), tentang hak dan lain-lain.[3]
Untuk teori kepemilikan misalnya, dibicarakan tentang
pengertiannya, sebab-sebabnya, dan pembagiannya, kekhususan kepemilikan,
perbedaan antara kepemilikan benda dan kepemilikan manfaat. hak memanfaatkan,
dan lain-lainnya.
Sering terjadi orang menggunakan kaidah yang ruang
lingkupnya besar untuk masalah yang kecil. Memang masalah yang kecil pasti
masuk dalam lc-.idah fikih yang ruang lingkupnya besar. Tetapi, lebih tepat
apabila untuk masalah-masalah yang kecil, selain ruang lingkupnya yang besar
juga disertakan kaidah fildh yang ruang lingkupnya kecil. Misalnya, fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) No. 19/DSN MUI/IX/200U tentang al-qardh yaitu suatu akad
pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana
yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada waktr. yang telah
disepakati oleh LKS dan nasabah. Dalam fatwa tersebut, setelah menggunakan
dasar-dasar Al-Qur’an da:’ Hadis Nabi juga menggunakan kaidah fikih yang memang
ruang lingkupnya khusus tentang utang piutang, yaitu: [4]
كُلٌ قَرْ ضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبَا
“Setiap utang piutang yang mendatangkan
manfaat (bagi yang berpiutang, muqridhy) adalah riba”
Apa yang diuraikan di atas sesungguhnya mengandung dua
hal, yaitu: (1) meneliti dan mengidentifikasi masalah sebagai pertimbangan
keadaan; dan (2) meneliti ayat-ayat, hadis, dan kaidah-kaidah fikih sebagai
pertimbangan hukum.
Dalam falwa-fatwa lainnya, pada
umumnya DSN memakai kaidah.
اَلاَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الآِ بَاحَةُ إِلاً أَنْ يَدُ
لَّ دَلِيْلٌ عَلَئ تَحْرِ يْمِهَا
"Hukum asai dalam semua bentuk
muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya"
Dan kaidah:
الضَّرَرُ يُزَ الُ
"Segala
kemudaratan harus dihilangkan"
Hanya untuk
kasus Letter of Cred.it (L/C) impor dan ekspor .syariah, sertifikat investasi
mudharabah antarbank (IMA), digunakan lima kaidah fikih. Untuk pembiayaan
rekening koran syariah dan obligasi syariah digunakan empat kaidah fikih.
Tetapi ada juga fatwa DSN yang tidak mengguvakan kaidah fikih seperti dalam
fatwa tentang Safe Deposit Bcx (SDB) dan jual beli mata uang.
Sesungguhnya
untulc SDB bisa digunakan kaidah-kaidah di bidang muamalah. Uniuk valas atau
jual beli valuta asing dari empat macam transaksi, yaitu transaksi spot,
forward, swap dan option. Hanya satu macam transaksi yang dibolehkan yaitu
transaksi spot. Transaksi spo' adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta
asing untuk penyerah an pada saat itu (over tfye counter)*a.taxi
penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Sedangkan ketiga transaks:
lainnya (forward, swap, dan option) dinyatakan haram hukumnya oleh DSN (fatwa
DSN No. 28/DSN-MUI/III/2002)
Melihat
keputusan fatwa DSN tersebut, untuk kasus valas ini setidaknya bisa digunako;i
dua kaidah fikih yang juga biasa digunakan oleh DSN dalam fatwa-fatwa lainnya,
yaitu kaidah:[5]
الحَا جَةُ تَنْزِ لُ مَنْزِلَةَ الضَّرُ ةِ
"Keperluan
dapat menduduki posisi keadaan darurat”
دَرْءُ المَفَا سِدِ مُقَدَّمٌ عَلَئ جَلْبِ المَصَالِحِ
“Menolak
mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”
Setelah
menggunakan kaidah fikih itu, menghasilkan suatu hukum ijtihadiyah atau hukum
fikih, mungkin haram, makruh, mubah, sunnah, atau wajib. Kemudian hasil
tersebut harus diukur oleh dalil-dalil kidli, baikberupa Al-Qur’an, hadis nabi,
semangat ajaran, dan kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah (kaidah asasi). Selain
itu, hasil tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan dasar dan prinsip
hukum Islam, seperti: keadilan, kerahmatan, kemaslahatan, dan aaa maknanya bagi
kehidupan (hikmah)
Apabila
setelah diukur dari sisi kesesuaiannya dengan dalil-dalil kulli dan tidak
bertentangan dengan dasar dan prinsip hukum Islam, maka masalah tersebut telah
terselesaikan dengan hasil ijtihad yang kadar kebenarannya, insya Allah, cukup
tinggi. Sebagai ilustrasi proses tersebut bisa digambai*Kan secara sederhana
sebagai berikut:
|
B. Meneliti
Masalah-Masalah Fikih Yang Merupakan Kekecualian Yang Ada Di Luar Kaidah Fikih
Dalam menerapkan kaidah fikih harus memerhatikan masalah-
masalah furu’ atau materi-materi fikih yang ada di luar kaidah fikih yang
digunakan. Hal ini penting karena setiap kaidah fikih memiliki
kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup
kaidah tertentu. Dengan demikian, kita akan terhindarkan dari kesalahan
memasukkan masalah yang akan dijawab atau yang akan dipecahkan ke dalam kaidah,
yang sesungguhnya masalah tersebut merupakan kekecualian dari kaidah yang
digunakan.[6]
Makin luas ruang lingkup suatu kaidah, makin banyak
masalah- masalah fikih yang nrasuk dalam cakupannya. Sebaliknya, makin sempit
ruang lingkup suatu kaidah maka makin sedikit masalah fikih yang ada dalam
cakupannya. Dengan kata lain, makin luas ruang lingkup suatu kaidah makin
sedikit kekecualiannya, sedangkan makin sempit ruang lingkup suatu kaidah makin
banyak kekecualiannya.
Di sinilah pentingnya membagi kaidah fikih ke dalam
berbagai ruang lingkup secara beijenjang dari yang paling luas sampai kepada
yang paling sempit. Muhammad al-Ruki menjelaskan tentang kaidah fikih secara
berjenjang dengan meneliti kitab al-isyraf. Al-Qadhi Abd al-Wahab bin Ali bin
Nashr al-Baghdadi al-Maliki (w. 422 H) yang lebih dikenal dengan Al-Qadhi Abd
al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, beliau hidup di Baghdad dan bermazhab Malild.
Karangannya yang berhubungan dengan kaidah fikih adalah al-lsyraf ‘ala Masail
al- Khilaf.5 Dalam kitab tersebut terdapat 81 kaidah fikih yang terdiri dari
kaidah asasi dan cabang-cabangnya dengan 53 kaidah; kemudian kaidah di bidang
fikih ibadah yang terdiri dari 8 kaidah, di bidang muamalah terdiri dari 15
kaidah, dan kaidah lainnya ada 5 kaidah. Selanjutnya Imam Tajjuddin al-Subki
(w. 771 H) dalam kitabnya al- Asybah wa al-Nazha’ir, membagi kaidah secara
beijenjang, mulai dari kaidah asasi yang lima, kemudian kaidah-kaidah umum yang
terdiri dari 27 kaidah; selanjutnya kaidah-kaidah khusus yang terdiri dari 185
kaidah yang dibagi dalam fikih ibadah, muamalah (jual beli), pengakuan,
peradilan, dan munakahat. Terakhir Izzuddin bin Abd al- Salani telah
mengembalikan semua masalah fikih kepada “jalb al- indshalih wa dar’u
al-mafasid” (meraih kemaslahatan dan menolak ke- mafsadatan).
Penjenjangan kaidah dari yang ruang lingkupnya paling
besar sampai kepada yang paling kecil telah dibicarakan pada BAB II, yang
dirinci menjadi lima lingkaran ruang lingkup dan cakupan.[7]
Dengan adanya kaidah-kaidah fikih dalam bidang-bidang
hukum tertentu akan mempermudah kita dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Apabila masalahnya dalam bidang muamalah, maka cari dahulu kaidah-kaidah fikih
di bidang tersebut. Apabila masalahnya di bidang jinayah, maka cari dahulu
kaidah-kaidah fikih di bidang tersebut, dan seterusnya. Apabila tidak
ditemukan, maka ditelusuri kepada kaidah-kaidah yang lebih umum. Apabila tidak
ditemukan juga, barangkali masih diperlukan memunculkan kaidah-kaidah baru
karena belum ter-cover oleh kaidah-kaidah yang ada. Walaupun demikian, apabila
masalah tersebut dikembalikan kepada kaidah asasi yang lima atau menurut mazhab
Hanafi kaidah fikih yang enam, maka pasti ter-cover, analagi kalau dikembalikan
kepada kaidah dari Izzuddin bin Abd al- Salam, yaitu: “meraih kemaslahaian dari
menolak kemaf/sadatan”.
Langkah-langkah ini penting diambil untuk mengetahui
kekecualian-kekecualian dari kaidah dan menghindari risiko kesalahan
menggunakan kaidah yang terlalu besar untuk masalah yang ruang lingkupnya
kecil. Atau sebaliknya, memaksakan untuk memasukkan kepada kaidah yang kecil
untuk masalah yang ruang lingkup dan cakupannya besar.
Dari uraian di atas jelas bahwa memahami ruang lingkup
dan cakupan itu menjadi penting dan dimulai dari memahami maksud kaii' ah.
Sebagai contoh yang banyak dikritisi adalah kaidah:
|
“Suatu hasil ijtihad tidak bisa dihapuskan
oleh ijtihad yang lain"
Di antara
kritik terhadap kaidah ini adalah bisa saja terjadi hasil ijtihad dihapus oleh
ijtihad lain yang dianggap lebih benar, seperti qaul qadim dan qauljadid Imam
al-Syafi’i. Selain itu banyak hasil ijtihad yang dihapus oleh ijtihad lain
dalam kenyataannya.
Baik Imam
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dari mazhab al-Syafi’i7 maupun Ibnu Nuzaim
dari mazhab Hanafi8 memasukkan kaidah tersebut ke dalam kaidah kidliyah yang
bisa dikembalikan kepadanya banyak sekali masalah-masalah fikih. Artinya tidak
termasuk Ife dalam kaidah yang diperselisihkan, tetapi termasuk kaidah yang
disepakati oleh ulama-ulama di bidang kaidah fikih.
Rupanya, pokok
masalahnya terletak daiam kesalahan memahami masalah tersebut. Yang dimaksud
dengan kaidah di atas adalah “hasil ijtihad yang telah lalu tidak dihapus
hukumnya dengan hasil ijtihad yang datang kemudian”. Hal ini berarti adalah sah
segala perbuatan yang telah dilakukan dengan dasar ijtihad yang pertama. Tetapi
kemudian dengan pentarjihin, muncul hukum hasil ijtihad yang baru dan
diterapkan. Dengan demikian, hasil ijtihad yang lalu berlaku pada masa yang
lalu dan hasil ijtihad yang sekarang berlaku pada masa sekarang sampai narti
adf.-iya lagi perubahan. Artinya pula hasil ijtihad yang sekarang tidak berlaku
surut kepada masa yang lalu, sehingga menghapuskan hasil ijtihad yang telah lalu.
Sesungguhnya
kaidah di atas berlaku dalam kehidupan kita sekarang. Contohnya, seperti
amendemer..terhadap UUD atau UU. Maka UUD atau UU yang telah diamendemen mulai
berlaku sejak perubahan dan hasil amendemen diberlakukan. Sedangkan untuk masa
yang telah lalu sebelum adanya amendemen adalah sah segala kebijakan
ataupun perbuatan berdasar kepada UUD atau UU yang belum dian;endemen. Inilah
yang dimaksud oleh kaidah tersebut di atas.
Oleh karena
itu, untuk menghindarkan kesalahpahaman terhadap kaidah tersebut, ada baiknya
diperjelas dengan:
“Hukum ijtihad yang telah lalu tidak
dihapus (tetap berlaku pada masa lalu) dengan adanya hukum hasil ijtihad yang
datang kemudian (yang mulai berlaku sejak ditetapkannya)”
Dari uraian di
atas rasanya cukup jelas apa yang dimaksud dengan kaidah: “al-ijtihad la
yunqadhu hi al-ijtihadi”.
C. Kesinambungan
Antara Satu Kaidah Dengan Kaidah Lainnya
Dalam penerapan kaidah fikih perlu juga diperhatikan
keseimbangan. antara satu kaidah yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan
kaidah lain yang lebih luas ruang lingkup dan cakupannya. Hal ini memang tidak
terlalu mudah, perlu menguasai keseluruhan kaidah fikih dari mata rantai kaidah
vang paling kecil sainpai kepada yang paling besar dalam suatu sistem kaidah.
Kalau kaidah fikih itu dimisalkan pohon, maka ada hubungan antara akar, batang,
cabang, ranting, dan daunnya. Dengan demikian, kita akan tahu persis di mana
letaknya kaidah fikih yang akan kita gunakan dalam sistem bangunan kaidah
fikih, lata pun akan tahu persis ketepatan atau tidaknya kaidah tersebut
digunakan untuk memecahku? masalah yang dihadapi.[8]
Sebagai salah satu contoh kecil misalnya, seseorang
meminjam uang dengan dijanjikan pada waktu dibayar harus ada tambahannya atau
singkatnya meminjam dari rentenir. Pendekatan kaidah fikih dalam kasus ini
cukup dengan menggunakan kaidah tafshiliyali, yaitu:
“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang mengutangkan)
adalah riba”
Dengan menggunakan kaidah tersebut, jelas bahwa meminjam
uang dari rentenir hukumnya haram karena termasuk riba. Kaidah atas berhubungan
dengan kaidah fikih dalam muamalah. Tetapi, bukan dari sisi kebolehannya
muamalah, melainkan dari sisi ada bukti ke- laramannya yaitu riba, yaitu
kaidah:
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan S kecuali
ada dalil yang mengharamkannya”
Jadi, haramnya meminjam dari rentenir merupakan
kekecualian dari hukum asai karena ada bukti tentang riba. Kaidah di atas
termasuk kaidah yang khusus. Apabila kaidah di atas dihubungkan dengan kaidah
yang ruang lingkupnya lebih luas- (kaidah fikih yang umum), maka kaidah
tersebut di atas berhubungan dengan kaidah:
|
“Setiap syarat yang menyalahi prinsip
syariah adalah batal”
Dalam kasus di atas, rentenir mensyaratkan riba, maka
syarat tersebut adalah batal. Bagi orang yang mengatakan bahwa riba itu ada
untungnya atau manfaatnya, tetapi jelas riba diharamkan, yang berarti mafsadah
bagi kehidupan, hal ini terkena oleh kaidah:[9]
|
“Menolak mafsadah harus didahulukan
daripada meraih maslahat”
Kedua kaidah
di atas apabila dihubungkan dengan kaidah asasi merupakan bagian dari kaidah: tersebut jelas pula ada dalam bidang
fiqh muamalah. Dan kaidah
|
“Segala kemudaratan harus dihilangkan”
'
Terakhir, kaidah asasi di atas
berhubungan dengan kaidah inti, yaitu:
“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”
Dalam kasus
rentenir di atas, perbuatannya adalah haram karena membawa mafsadah sedangkan
mafsadah harus ditolak.
Dari contoh di
atas jelas terlihat keseimbangan satu kaidah dengan kaidah lainnya. Hal ini
berarti bahwa penggunaan kaidah tafshiliyah dalam contoh di atas yang
mengharamkan rentenir cukup akurat digunakan dalam memecahkan masalah yang ada
di masyarakat.
Mungkin saja
terjadi dalam penelusuran mata rantai kesinambung- an ini ada salah satu mata
runtai yang putus, maka di sinilah salah satu tugas dari para ahli untuk
menggali dan menemukan mata rantai yang putus. Hal semacam ini adalah wajar di
dunia ilmu dan diperlukan untuk pengembangan dan melengkapi kekurangan-kekurangan
yang ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II dapat pemakalah
simpulkan bahwa Dalam menerapkan kaidah fikih harus memperhatikan
masalah-masalah furu’ atau materi-materi fikih yang ada diluar kaidah fikih
yang digunakan. Karena setiap kaidah fikih memiliki kekecualian-kekecualian
(istitsnaiyat) yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah tertentu. apabila
kita menemukan masalah maka yang harus kita lakukan adalah:
1.
cari dahulu kaidah fikih dalam bidang tersebut apabila tidak
ditemukan
2.
cari pada kaidah yang lebih umum, apabila tidak ditemukan
juga
3.
Diperlukan memunculkan kaidah baru karena belum ter-cover
oleh kaidah-kaidah yang ada.
4.
Atau kembali kepada kaidah “meraih kemaslahatan dan
menolak kemafsadatan”.
B.
Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai penerapanm kaidah
fiqih, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat
pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
A, Djazuli , Kaidah-Kaidah Fikih,
(Jakarta: Kencana, 2011)
Abbas Fauzi
Afifi, Baik dan Buruk dalam persepektif ushul fiqh, (Adelina Bersaudara
jakarta : 2010)
[1] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 183
[2] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 184
[3] Abbas Fauzi Afifi, Baik
dan Buruk dalam persepektif ushul fiqh, (Adelina Bersaudara jakarta : 2010)
hal 208
[4] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah
Fikih, … h. 184
[5] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah
Fikih, … h. 185
[6] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah
Fikih, … h. 187
[7] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah
Fikih, … h. 188
[8] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah
Fikih, … h. 190
[9] A, Djazuli , Kaidah-Kaidah
Fikih, … h. 191
No comments:
Post a Comment