BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan merupakan suatu system
yang teratur dan mengemban misi yang cukup luas yaitu segala sesuatu
yang bertalian dg perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran,
perasaan, kemauan, sosial sampai kepada masalah kepercayaan atau keimanan. Hal
ini menunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal mempunyai
suatu muatan beban yang cukup berat dalam melaksanakan misi pendidikan
tersebut. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan pesatnya perubahan zaman dewasa
ini yang sangat berpengaruh terhadap anak-anak didik dalam berfikir, bersikap
dan berperilaku, khususnya terhadap mereka yang masih dalam tahap perkembangan
dalam transisi yang mencari identitas diri.[1]
Dalam kaitaannya dengan pendidikan karakter, bangsa Indonesia sangat
memerlukan SDM (sumber daya manusia) yang besar dan bermutu untuk mendukung
terlaksananya program pembangunan dengan baik. Disinilah dibutuhkan pendidikan
yang berkualitas, yang dapat mendukung tercapainya cita-cita bangsa dalam
memiliki sumber daya yang bermutu, dan dalam membahas tentang SDM yang berkualitas serta hubungannya dengan
pendidikan, maka yang dinilai pertama kali adalah seberapa tinggi nilai yang
sering diperolehnya, dengan kata lain kualitas diukur dengan angka-angka,
sehingga tidak mengherankan apabila
dalam rangka mengejar target yang ditetapkan sebuah lembaga pendidikan terkadang
melakukan kecurangan dan manipulasi.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus
diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal
ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting
untuk ditingkatkan.
Membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus
dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa kita
akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah
melalui proses yang panjang. Pendidikan yang merupakan agent of change harus
mampu melakukan perbaikan karakter bangsa kita. Karena itu, pendidikan kita
perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan generasi yang lebih
berkualitas dan memiliki karakter atau akhlak mulia. Dengan kata lain,
pendidikan harus mampu mengemban pembentukan karakter (character building)
sehingga para peserta didik dan para lulusannya dapat berpartisipasi dalam
mengisi pembangunan di masa-masa mendatang tanpa meninggalkan nilai-nilai
karakter mulia.
B. Rumusan
Masalah
Dengan latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian
Pendidikan karakter?
2. Apa fungsi dan
tujuan Pendidikan Karakter?
3. Apa Ciri-ciri
dan Prinsip Pendidikan Karakter?
4. Apa saja
komponen yang pendukung dalam Pendidikan Karakter?
5. Bagaimana
penerapan Pendidikan karakter ?
C. Tujuan
Adapun
tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui pengertian Pendidikan karakter
2. Untuk memahami fungsi
dan tujuan Pendidikan Karakter
3. Untuk memahami Ciri-ciri
dan Prinsip Pendidikan Karakter
4. Untuk memahami komponen
yang pendukung dalam Pendidikan Karakter
5. Untuk memahami
penerapan Pendidikan karakter
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
pendidikan Karakter
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah, bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan
watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan pendidikan dalam arti
sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadiannya
sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.[2]
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Dalam perkembangannya , istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan
atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.
Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam
lebih tinggi dalam arti mental.[3]
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie, berarti
bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan
seseorang atau kelompok lain agar
menjadi dewasa untuk mencapai tingkat
hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental. Sedangkan karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas[4],
adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan
berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan
berwatak.
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah pendidikan
untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang
hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seserorang yaitu tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan
sebagainya.[5]
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tenting pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian,
ada perbedaan-perbedaan pendapat diantara mereka tentang pendekatan dari modus pendidikannya. Berhubungan dengan
pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan
pendidikan moral yang dikembangkan di Negara-negara barat, seperti : pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan
klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan
tradisional, yaitu melalui penanaman nilai-nilai social tertentu.[6]
Berdasarkan grand desain yang dikembangkan kemendiknas, secara
psikologis social cultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan
fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif dan
psikomotorik) dari konteks interaksi social cultural (dalam keluarga, sekolah,
dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.[7]
B. Fungsi dan
Tujuan Pendidikan Karakter
Dalam TAP MPR No. II/MPR/1993, disebutkan bahwa pendidikan bertujuan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian
mandiri, maju, tanggunh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja
profesional, serta sehat jasmani rohani.
Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan
kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang mengarah
kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki
landasan yuridis yang kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi
krisis akhlak yang menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali juga pada
anak-anak usia sekolah. Untuk mencegah lebih parahnya krisis akhlak, kini upaya
tersebut mulai dirintis melalui Pendidikan Karakter bangsa.
Dalam pemberian Pendidikan Karakter bangsa di sekolah, para pakar
berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang. Pertama, bahwa
Pendidikan Karakter bangsa diberikan berdiri sendiri sebagai suatu mata
pelajaran. Pendapat kedua, Pendidikan Karakter bangsa diberikan secara
terintegrasi dalam mata pelajaran PKN, pendidikan agama, dan mata pelajaran
lain yang relevan. Pendapat ketiga, Pendidikan Karakter bangsa terintegrasi ke
dalam semua mata pelajaran.[8]
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan
dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang,
sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan
peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,
mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan
akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah
pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua
warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri
khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.[9]
C. Ciri-ciri
dasar dan Prinsip, Pendidikan karakter
Forester menyebutkan paling tidak
ada empat cirri dasar dalam pendidikan karakter; [10]
1.
Keteraturan
interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan herarki nilai. Maka
nilai menjadi pedoman yang bersifat normative dalam setiap tindakan
2.
Koherensi yang member keberanian membuat
seseorang teguh ada prinsip, dan tidak mudah terombang ambing pada situasi baru
atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu
sama lain. Tidak adanya koherensi dapat meruntuhkan kredibilitas seseorang.
3.
Otonomi. Disana seseorang menginternalisasikan
aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat
dari penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain.
4.
Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan
daya tahan seseorang guna menginginkan apapun yang di pandang baik. Dan
kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.[11]
Lebih lanjut Madjid menyebutkan
bahwa kematangan keempat karakter tersebut diatas, memungkinkan seseorang
melewati tahap individualitas menuju profesionalitas. Orang-orang modern sering
mencampur adukan antara individualitas menuju personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara indepedensi
eksterior dan interior. Karakter inilah yang menentukan performa seseorang
dalam segala tindakannya.
Kemudian Rosworth Kidder
dalam “how Good People Make Tough Choices (1995)” yang dikutip oleh Majid
(2010) menyampaikan tujuan kualitas yang diperlukan dalam pendidikan karakter.
Pemberdayaan
(empowered), maksudnya bahwa guru harus mampu memberdayakan dirinya untuk
mengajarkan pendidikan karakter dengan dimulai dari dirinya sendiri.
1.
Efektif ( effective), proses pendidikan
karakter harus dilaksanakan dengan efektif.
2.
Extended into community, maksudnya bahwa
komunitas harus membantu dan mendukung
sekolah dalam menanamkan nilai-nilai tersebur kepada peserta didik
3.
Embedded, integrasikan seluruh nilai ke dalam
kurikulum dan seluruh rangkaian proses pembelajaran.
4.
Enganged, melibatkan komunitas dan menampilkan
topic-topik yang cukup esensial.
5.
Epistemological, harus ada koherensi antara
cara berpikir makna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu peserta
didik menerapkannya secara benar.
6.
Evaluative, menurut Kidder terdapat lima hal
yang harus diwujudkan dengan menilai manusia berkarakter, (a) diawali dengan
kesadaran etik; (b) adanya kesadaran diri untk berpikir dan membuat keputusan
tentang etik; (c) mempunyai kapasitas untuk menampilkan kepercayaan diri secara
praktis dalam kehidupan; (d) mempunyai kapasitas dalam menggunakan pengalaman
praktis terhadap sebuah komunitas; (e) mempunyai kapasitas untuk menjadi agen
perubahan (agent of change) dalam merealisasikan
ide-ide etik dan menciptakan suasana yang berbeda.[12]
D. Komponen
Pendukung dalam Pendidikan Karakter
Sebagaimana halnya dunia pendidikan pada umumnya, pendidikan yang
mensyaratkan keterlibatan banyak pihak
di dalamnya. Kita tidak bisa menyerahkan tugas pengajaran, terutama dalam rangka
mengembangkan karakter peserta didik,
hanya semata-mata kepada guru. Sebab, setiap peserta didik memiliki latar
belakang yang berbeda, yang ikut menentukan kepribadian dan karakternya. Oleh
karena itu, guru, orang tua maupun masyarakat seharusnya memiliki keterlibatan,
baik secara langsung maupun tidak langsung.[13]
Selain itu ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam rangka
menjalankan pendidikan karakter diantaranya sebagai berikut;
1. Partisipasi
Masyarakat
Dalam hal ini, masyarakat meliputi
tenaga pendidik, orangtua, anggota masyarakat, dan peserta didik itu sendiri,
semua komponen itu hendaknya dapat bekerja sama dan membantu memberikan
masukan, terutama mengenai langkah-langkah penanaman karakter bagi peserta
didik.
Oleh sebab itu, setiap sekolah yang
akan menerapkan pendidikan karakter bagi peserta didiknya harus memiliki badan
khusus yang dibentuk sebagai sarana komunikasi antara peserta didik, tenaga
pendidik, orangtua dan masyarakat. Badan ini bertugas membicarakan konsep dan
nilai-nilai yang diperlukan untuk mendidik karakter peserta didik.
2. Kebijakan
Pendidikan
Meskipun pendidikan karakter lebih
mengedepankan aspek moral dan tingkah laku, namun bukan berarti sama sekali tidak menetapkan kebijakan-kebijakan.
Sebagaimana dalam dunia formal pada umunnya. Sekolah tetap menetapkan landasan
filosofi yang tepat dalam membuat pendidikan karakter, serta menentukkan dan
menetapkan tujuan, visi dan misi, maupun beberapa kebijakan lainnya, hal ini
bisa dilakukan dengan mengadopsi kebijakan pendidikan formal atau kebijakan
baru.[14]
3. Kesepakatan
Betapapun pentingnya dan mendesaknya
lembaga pendidikan menerapkan pendidikan karakter sebagai tambahan kurikulum di
dalamnya, namun bukan berarti itu ditetapkan secara sepihak. Sekolah harus
mengadakan pertemuan dengan orang tua peserta didik terlebih dahulu dengan
melibatkan tenaga guru dan perwakilan
masyarakat guna mencari kesepakatan-kesepakatan di antara mereka. Pertemuan itu
bertujuan memperoleh kesepakatan definisi pendidikan karakter, fungsi dan
manfaatnya, serta cara mewujudkannya.
4. Kurikulum
Terpadu
Agar tujuan penerapan karakter dapat
berjalan secara maksimal, sekolah perlu membuat kurikulum terpadu di semua tingkatan kelas. Sebab, setiap
peserta didik memiliki hak yang sama untuk mendapatkan materi mengenai
pengembangan karakter. Oleh karena itu, meskipun pendidikan karakter perlu
diperkenalkan sejak dini, namun bukan berarti tidak berlaku bagi peserta didik
yang sudah dewasa. Dan, salah satu cara penerapannya adalah pemberlakuan
kurikulum terpadu dengan semua mata pelajaran.
5. Pengalaman
Pembelajaran
Pendidikan karakter sebenarnya lebih
menitik beratkan pada pengalaman daripada sekedar pemahaman. Oleh karena itu,
melibatkan peserta didik dalam berbagai aktivitas positif dapat membantunya
mengenal dan mempelajari kenyataan yang dihadapi
Pelayanan yang baik oleh seorang
guru berupa kerja sama, pendampingan, dan pengarahan optimal, yang merupakan
komponen yang perlu diberlakukan secara nyata. Sebab, hal itu akan memberikan kesan
positif bagi peserta didik dan mempengaruhi cara berpikirnya sekaligus
karakternya.[15]
6. Evaluasi
Guru perlu melakukan evaluasi sejauh
mana keberhasilan pendidikan karakter yang sudah diterapkan .evaluasi dilakukan
tidak dalam ragka mendapatkan nilai, melainkan mengetahui sejauh mana peserta
didik mengalami perilaku di bandingkan sebelumnya.
Dalam hal ini, guru harus
mengapresiasi setiap aktivitas kebaikan
yang dilakukan peserta didik, kemudian memberinya penjelasan mengenai
akibat aktivitas tersebut dalam pengembangan karakternya.[16]
7. Bantuan Orang
Tua
Untuk mendukung keberhasilan, pihak
sekolah hendaknya meminta orangtua peserta didik untuk ikut terlibat memberikan
pengajaran karakter ketika peserta didik berada di rumah. Bahkan, sekolah perlu
memberikan gambaran umum tentang prinsip-prinsip yang diterapkan disekolah dan
dirumah, seperti aspek kejujuran, dan lain sebagainya.
Tanpa melibatkan peran orangtua di
rumah, berarti sekolah akan tetap kesulitan menerapkan pendidikan karakter
terhadap peserta didik. Sebab, interaksinya justru lebih banyak di habiskan
dirumah bersama keluarga.
8. Pengembangan
Staf
Perlu disediakan waktu pelatihan dan
pengembangan bagi para staf di sekolah sehingga mereka dapat membuat dan
melaksanakan pendidikan karakter secara berkelanjutan. Hal itu termasuk waktu
untuk diskusi dan pemahaman dari proses dan program, serta demi menciptakan
pelajaran dan kurikulum selanjutnya. Perlu di ingat bahwa semua pihak disekolah
merupakan sarana yng perlu dimanfaatkan untuk membantu menjalankan pendidikan
karakter
9. Program
Program kependidikan karakter harus
dipertahankan dan diperbaharui melalui pelaksanaan dengan perhatian khusus pada
tingkat komitmen yang tinggi dari atas, dana yang memadai, dukungan untuk
koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi, pengembangan profesional
berkelanjutan dan jaringan, serta dukungan system bagi guru yang melaksanakan
program tersebut
E. Penerapan
dan Pengembangan Pendidikan karakter
Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan
pendidikan karakter ialah nilai moral universal yang dapat digali dari
agama. Meskipun demikian, ada beberapa
nilai karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan kepada peserta didik. Yakni rasa cinta kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaany-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun,
kasih sayang, peduli, mampu bekerjasama, percaya diri, kreatif,mau bekerja
keras, pantang menyerah, adil, serta memiliki sikap kepemimpinan, baik, rendah
hati, toleransi, cinta damai dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain dalam
upaya menerapkan pendidikan karakter guru harus berusaha menumbuhkan
nilai-nilai tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekedar
pengajaran dan wacana.
Beberapa pendapat lain menyatakan bahwa nilai-nilai karakter dasar yang
harus diajarkan kepada peserta didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya,
rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani,
tekun, disiplin, visioner, adil dan punya integritas.
Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah
hendaknya berpijak pada nilai-nilai karakter tersebut, yang selanjutnya
dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau tinggi (yang bersifat
tidak absolute atau relative), yang sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan
lingkungan sekolah itu sendiri.
Pembentukan karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing),
pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada
pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu
mampu bertindak sesuai dengan pengetahuaanya., jika tidak terlatih(menjadi
kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut, karakter juga menjangkau wilayah
emosi dan kebiasan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen yang baik
(component og good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral),
moral feeling atau perasaan (penguatan
emosi) tentang moral, dan moral action, atau perbuatan bermoral. Hal ini
diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam
system pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan
mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan.[17]
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi
ranah kognitif adalah kesadaran moral ( moral awareness), pengetahuan tentang
nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective
taking), logika moral ( moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision
making), dan pengenalan diri ( self knowledge). Moral feeling merupakan
penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter.
Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh
peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri ( Conscience), percaya diri (self
asteem), kepekaan terhadap derita orang lain (empathy), kerendahan hati
(humility), cinta kebenaran (Loving the good), pengendalian diri (self
control). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan
hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang
mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act Morally) maka harus dilihat
tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will),
dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu system pendidikan adalah keterkaitan
antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang
dapat dilakukan atau bertindakn secara bertahap dan saling berhubungan antara
pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk
melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa
dan Negara serta dunia internasional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school
life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di
sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan.
Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku
warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan karakter adalah sebuah system
yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung
komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, srta adanya kemauan dan
tindakan untuk melaksanakan nlai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, linkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud
insane kamil.
B. Saran
Dengan berbagai uraian di atas, tentunya tidak lepas dari berbagai
kekurangan baik dari segi isi materi, teknik penulisan dan sebagainya, untuk
itu sangat diharapkan saran maupun kritikan yang membangun dalam perbaikan
makalah selanjutnya. Baik dari dosen pembimbing maupun rekan-rekan mahasiswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid, Pendidikan Karakter dalam
Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010)
Abdullah Munir, Pendidikan Karakter,
(Yoggyakarta: Pedagogia, 2010)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pembinaan
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. (Jakarta: Kemendiknas 2010)
Depdiknas . Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta ;Balai Pustaka. 2001)
Heri Gunawan, Pendidkan Karakter,
(Bandung: Alfabeta, 2012)
Mohamad Mustari. Nilai Karakter Refleksi
Untuk Pendidikan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014)
Sudirman N, Ilmu Pendidikan, (Bandung
: Remaja Rosdakarya, 1992)
Zubaedi. Desain
Pendidikan Karakter. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012)
[2]Zubaedi. Desain Pendidikan
Karakter. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) h. 14
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pembinaan Pendidikan
Karakter di Sekolah Menengah Pertama.
(Jakarta: Kemendiknas 2010) h. 12
[9]Abdul Majid, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010) h. 27
[11] Mohamad Mustari. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan. (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2014) h. xvii
[12] Mohamad Mustari. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan. (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2014) h. xxxi
No comments:
Post a Comment