BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Karakter memberikan
gambaran tentang suatu bangsa, sebagai penanda, penciri sekaligus pembeda suatu
bangsa dengan bangsa lainnya. Karakter memberikan arahan tentang bagaimana
bangsa itu menapaki dan melewati suatu jaman dan mengantarkannya pada suatu
derajat tertentu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter yang
mampu membangun sebuah peradaban besar yang kemudian mempengaruhi perkembangan
dunia. Demikianlah yang pernah terjadi dalam sebuah perjalanan sejarah.[1]
Nabi Muhammad SAW
sebagai manusia sempurna yang pernah hidup di muka bumi telah memberikan contoh
keteladanan bagaimana membangun sebuah karakter bangsa dan mempengaruhi dunia.
Sehingga Michael H. Hart penulis buku 100 tokoh berpengaruh di dunia
menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia paling berpengaruh sepanjang
sejarah kemanusiaan, karena mampu mengubah sebuah wajah karakter masyarakat
dari realitas masyarakat yang sangat tidak beradab, suka menyembah patung,
suatu produk manusia yang disembahnya sendiri, suka berjudi, suka membunuh anak
perempuannya karena dianggap melemahkan citra diri keluarga besar (suku),
memberikan penghargaan atas wanita dengan cara yang sangat murah dan keji,
memperjualbelikan manusia dengan sistem perbudakan menjadi beradab dan
bermoral. Semua realitas itu kemudian diubah dengan cara yang sangat indah dan
cerdas melalui keteladanan dan dibangun karakter masyarakatnya, kemudian mampu
mempengaruhi karakter bangsanya sehingga dapat diakui dalam percaturan sebuah
kawasan (jazirah) bahkan hingga mampu mengubah sejarah perjalanan dunia. [2]
Dari sebuah bangsa
yang tidak pernah dikenal dalam sejarah hingga mampu menjadi benchmark (ukuran
standar) sebuah peradaban dunia dan mampu berlangsung sangat lama, 1.400 tahun
mendampingi sejarah perkembangan peradaban dunia hingga saat ini. Semua itu
karena pembangunan karakter bangsa yang dibangun oleh Nabi Besar Muhammad SAW
yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Akhlak.
Akhlak sebagai suatu
nilai dan tindakan perilaku yang tinggi berdasarkan pada nilai-nilai luhur
agama dan wahyu yang dapat mengantarkan manusia pada derajat tertinggi
kemanusiaan baik di sisi manusia maupun di sisi Tuhan Sang Penguasa Kehidupan,
Allah SWT. Inilah yang menjadi tugas utama kenabian Muhammad SAW yaitu untuk
membangun dan memperbaiki Akhlak manusia. Sebagaimana di dalam sabdanya:
“Tidaklah aku diutus (ke muka bumi) kecuali untuk menyempurnakan akhlak
manusia”. Sehingga Nabi Muhammad SAW kemudian benar-benar terfokus dan concern
untuk melakukan proses pembentukan, penyempurnaan, dan penguatan akhlak
(karakter generasi) ini sebagai modal dasar melakukan sebuah perubahan besar
dan pembangunan peradaban besar. [3]
Usaha keras dan
sungguh-sungguh ini dalam waktu yang sangat singkat ternyata telah mampu
menampakkan hasilnya. Generasi terbaik dan kuat itu berhasil terbentuk. Sebuah
generasi yang siap membangun peradaban besar dunia yang memberikan pengaruh
besar bagi perubahan-perubahan besar selanjutnya. Sehingga beliau pernah
bersabda bahwa, “sebaik-baik kaum (kurun/masa) adalah masaku, kemudian
setelahnya (para sahabat), kemudian setelahnya (tabi’in)'’.[4]
Hasil pembentukan
karakter itu bertahan dengan sangat baik, kuat, dan kokoh dalam tiga generasi
selama lebih kurang 500 tahun tetap dijaga, dipelihara, dan dipertahankan dalam
menjalani kehidupan tentu dengan segala pernak-perniknya dan dinamikanya.
Pembangunan karakter ini kemudian melahirkan orang-orang besar sepanjang
sejarah dan mampu mewarnai dunia melalui kekuatan karakter kepribadiannya.
Misalnya kita bisa mengenal dari generasi sahabat Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Kemudian dari generasi tabi’in,
Umar bin Abdul Aziz, Thariq bin Ziyad, Harun Ar Rasyid dan generasi selanjutnya
yang semua mereka telah tampil dalam pentas sejarah dengan karakternya yang
kuat, penuh gagah berani, akhlak yang agung, mampu membangun sejarah dan
mengubah dunia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
konsep pendidikan karaktrer?
2.
Bagaimana
Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter?
3.
Bagaimana hubungan
Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Akhlak?
C.
Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini
adalah :"
1.
Untuk
mengetahui konsep pendidikan karaktrer
2.
Untuk
mengetahui Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter
3.
Untuk
mengetahui hubungan Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Akhlak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter
telah menjadi polemik di berbagai negara. Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus
pendidikan karakter sejak lama. Sejatinya, pendidikan karakter merupakan bagian
esen- sial yang menjadi tugas sekolah, tetapi selama ini kurang perhatian.
Akibat minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter dalam ranah
persekolahan, sebagaimana dikemukakan Lickona,24 telah menyebabkan
berkembangnya berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Seyogianya,
sekolah tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian akademis, tetapi juga
bertanggung jawab dalam membentuk karakter peserta didik. Capaian akademis dan
pembentukan karakter yang baik merupakan dua misi integral yang harus mendapat
perhatian sekolah. Namun, tuntutan ekonomi dan politik pendidikan menyebabkan
penekanan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peran sekolah dalam pembentukan
karakter.[5]
Raharjo memaknai
pendidikan karakter sebagai suatu proses pendidikan secara holistis yang
menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik
sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup
mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.[6]
Dalam grand desain
pendidikan karakter, pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan
pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan pendidikan (sekolah),
lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Nilai-nilai luhur ini berasal
dari teori- teori pendidikan, psikologi pendidikan, nilai-nilai sosial budaya,
ajaran agama, Pancasila dan UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, serta pengalaman terbaik dan praktik nyata dalam kehidupan
sehari-sehari. Proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur ini juga
perlu didukung oleh komitmen dan kebijakan pemangku kepentingan serta
pihak-pihak terkait lainnya termasuk dukungan sarana dan prasarana yang
diperlukan.
Pendidikan karakter
dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam
bentuk sikap, dan pengamalan (I alam bentuk perilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai luhur yang menjadi jali dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan
Tuhannya, diri sendiri, antarsesama, dan lingkungannya. Nilai-nilai luhur
tersebut antara lain: kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial,
kecerdasan berpikir termasuk kepenasaran akan intelektual, dan berpikir logis.
Oleh karena itu, penanaman pendidikan karakter tidak bisa hanya sekadar
mentransfer ilmu pengetahuan atau melatih suatu keterampilan tertentu.
Penanaman pendidikan karakter perlu proses, contoh teladan, dan pembiasan atau
pembudayaan dalam lingkungan peserta didik dalam lingkungan sekolah, keluarga,
lingkungan masyarakat, maupun lingkungan (exposure) media massa.[7]
Pendidikan karakter
dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada
peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter
dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai
anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan
kreatif.[8]
Pendidikan karakter
secara perinci memiliki lima tujuan. Pertama, mengembangkan potensi
kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang
memiliki nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan
perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal
dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan
dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Keempat,
mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah
sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan
(dignity).[9]
Pendidikan karakter
memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi pembentukan dan pengembangan
potensi. Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi
peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai
dengan falsafah hidup Pancasila. Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan
karakter berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan
bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan
bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Ketiga, fungsi
penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan
menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa yang bermartabat. Ketiga fungsi ini dilakukan melalui: (1)
pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, (2) pengukuhan nilai
dan norma konstitusional UUD 45, (3) penguatan komitmen kebangsaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (4) penguatan nilai- nilai keberagaman
sesuai dengan konsepsi Bhineka Tunggal Ika, dan (5) penguatan keunggulan dan
daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara Indonesia dalam konteks global.[10]
Dengan demikian,
pendidikan karakter adalah segala upaya yang dilalaikan guru, yang mampu
memengaruhi karakter peserta didik. Guru
Pendidikan karakter
sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa mendesak untuk diterapkan.
Pendidikan karakter menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan
Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan
global. Di antara karakter yang perlu dibangun adalah karakter yang
berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik (giving the best) sebagai
prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran. Inti karakter adalah
kejujuran. Karakter dasar seseorang adalah mulia. Namun, dalam proses
perjalanannya mengalami modifikasi atau metamorfosis, sehingga karakter
dasarnya dapat hilang. Contohnya, hewan singa memiliki karakter dasar yang
galak, tetapi karena mengalami proses modifikasi menjadi bagian dari
pertunjukan sirkus, maka singa kehilangan kegalakannya.
Pendidikan karakter
dari sisi substansi dan tujuannya sama dengan pendidikan budi pekerti, sebagai
sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar, karena membawa perubahan
individu sampai ke akar-akarnya.36 Istilah budi pekerti mengacu pada pengertian
dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas
mengandung beberapa pengertian, antara lain: adat-istiadat, sopan santun, dan
perilaku. Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur
menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama
dan sopan santun, dan norma budaya dan adat-istiadat masyarakat. Budi pekerti
akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam
perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik.[11]
Pengertian budi
pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan
sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: a)
adat istiadat, b) sopan santun, dan c) perilaku. Namun pengertian budi pekerti
secara hakiki adalah perilaku. Sementara itu, menurut draf kurikulum berbasis
kompetensi budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan iliukur
menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata karma
dan sopan santun, dan norma budaya dan .ul.it istiadat masyarakat. Budi pekerti
akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam
perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik.[12]
Istilah karakter juga
memiliki kedekatan dan titik singgung dengan etika. Karena umumnya orang
dianggap memiliki karakter yang baik '.ctclah inampu bertindak berdasarkan
etika yang berlaku di tengah- tengah masyarakat. Etika, berasal dari bahasa
Yunani ethikos yang diambil dari kata dasar ethos, yang berarti tempat tinggal
yang biasa, piulang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, akhlak, perasaan,
sikap atau cara berpikir.
B.
Dimensi-dimensi
Pendidikan Karakter
Setiap manusia dalam
hidupnya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, baik perubahan yang
bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan yang
bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis.
Perubahan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam
manusia (internal) atau yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor
itulah yang akan menentukan apakah proses perubahan manusia mengarah pada
hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya mengarah pada perubahan yang
bersifat negatif.[13]
Disadari bahwa
karakter/akhlak/moral yang dimiliki manusia bersifat fleksibel atau luwes serta
bisa diubah atau dibentuk. Karakter/ akhlak/moral manusia suatu saat bisa baik
tetapi pada saat yang lain sebaliknya menjadi jahat. Perubahan ini tergantung
bagaimana proses interaksi antara potensi dan sifat alami yang dimiliki manusia
dengan kondisi lingkungannya, sosial budaya, pendidikan, dan alam.[14]
Pendidikan karakter
selama ini baru dilaksanakan pada jenjang pendidikan pra sekolah (taman bermain
dan taman kanak-kanak), sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya
kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum optimal dalam menyentuh aspek karakter
ini, meskipun sudah terdapat materi pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan.
Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu sumber daya manusia dan segera
bangkit dari ketinggalannya, maka Indonesia harus merombak sistem pendidikan
yang ada saat ini, antara lain memperkuat pendidikan karakter.[15]
Pendidikan karakter
mengemban misi untuk mengembangkan watak-watak dasar yang seharusnya dimiliki
oleh peserta didik. Penghargaan (respect) dan tanggung jawab (responsibility)
merupakan dua nilai moral pokok yang harus diajarkan oleh sekolah. Nilai-nilai
moral yang lain adalah kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan,
kedisiplinan diri, suka menolong, rasa kasihan, kerja sama, keteguhan hati, dan
sekumpulan nilai-nilai demokrasi.
Pendidikan karakter
di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar. Karakter dasar
menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan pilar karakter dasar ini, antara
lain: (1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab,
disiplin, dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang,
peduli, dan kerja sama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati, dan (9)
toleransi, cinta damai, dan persatuan.[16]
Pendidikan karakter
dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai
dasar karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada
dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya
adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi
bangsa I ntlonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan
pendidikan nasional.[17]
Nilai-nilai yang
dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari
empat sumber. Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
beragama. Oleh karena IIu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu
didasari pada .tjaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan
kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Karenanya,
nilai- ml.ii pendidikan karakter harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah
yang berasal dari agama.
Kedua, Pancasila.
Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan iit.is prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut I ’.incasila. Pancasila terdapat pada
Pembukaan UUD 1945 yang dijabar- I .m lebih lanjut ke dalam pasal-pasal yang
terdapat dalam UUD 1945. A11 i nya, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi,
kemasyarakatan, Imilaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa
bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik
y.ulu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai
pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.[18]
Ketiga, budaya.
Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia mg hidup bermasyarakat yang
tidak didasari nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai budaya
ini dijadikan dasar dalam memberikan makna terhadap suatu konsep dan arti dalam
komunikasi angora masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian penting dalam
kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nllal dalam pendidikan
budaya dan karakter bangsa.
Keempat, tujuan
pendidikan nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (HU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional
C.
Hubungan
Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Akhlak
Dalam kaitannya
dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter mempunyai
orientasi yang sama, yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan
akhlak terkesan timur dan Islam, sedangkaan pendidikan karakter terkesan Barat
dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataannya keduanya
memiliki ruang untuk saling mengisi.[19] Bahkan Lickona sebagai
Bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat
antar karakter dan spiritualitas. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan
karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan
yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedangkan
rendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber Karakter
baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal
ini sekaligus menjadi entrypoint bahwa pendidik- an karakter memiliki ikatan
yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas dan agama.
Pola bentukan
definisi “akhlak” di atas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi
antara Khalik (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik,
yang kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk hablum minallah yang
verbal, biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut
dengan hablum minannas (pola hubungan antarsesama makhluk).[20]
Ibnu Athir dalam
bukunya an-Nihayah menerangkan bahwa hakikat makna khuluq tersebut ialah
gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang
khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, dan tinggi
rendah tubuhnya)
Senada dengan
pendapat Ibnu Athir ini, Imam al-Ghazali menyatakan bahwa bilamana orang
mengatakan si A itu baik khalqu-nya dan khuluq-nya, berarti si A itu baik sifat
lahir dan sifat batinnya”. Berpijak pada sudut pandang kebahasaan, definisi
akhlak dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan “budi pekerti”,
kesusilaan, sopan santun, tata krama (versi bahasa Indonesia) sedang dalam
bahasa Inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau ethic.[21]
Dalam tinjauan
kebahasaan, Abd. Hamid Yunus menyatakan bahwa : “Akhlak ialah segala sifat
manusia yang terdidik.” Memahami ungkapan tersebut bisa dimengerti
sifat/potensi yang dibawa setiap manusia sejak lahir: artinya, potensi ini
sangat tergantung dari cara pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya
positif, outputnya adalah akhlak mulia; sebaliknya apabila pembinaannya
negatif, yang terbentuk adalah akhlak mazmuniah (tercela).
Firman Allah dalam
al-Qur’an surat As-Syam ayat 8 menegaskan:
Artinya: Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Al-Ghazali mendefinisikan
akhlak sebagai berikut yang artinya: “Akhlaq adalah suatu perangai
(watak/tabiat) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya
perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa
dipikirkan atau direncanakan sebelumnya”.
Dalam memaknai akhlaq
al-kanmah, akhlak tersebut merupakan sikap yang melekat pada seseorang berupa
ketaatan pada aturan dan ajaran syariah Islam yang tercermin dalam berbagai
amal, baik amal batin seperti zikir, berdoa, maupun amalan lahir seperti
kepatuhan pelaksanaan ibadah dan sikap tata krama berinteraksi dengan orang
lain. Adapun akhlaq al-madzmumah bagi peneliti adalah sikap yang melekat pada
diri berupa kebiasaan pelanggaran-pelanggaran kepada ketentuan dan aturan
syariah baik secara amalan batin seperti dengki, hasad, maupun amalan lahir
seperti berzina, menyakiti orang lain, dan seterusnya.[22]
Rasulullah dinyatakan
berakhlak mulia karena sikap dan ketaatannya pada ajaran yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Ketaatan beliau menjadi bagian yang tak terpisahkan pada setiap
suasana kehidupannya, sehingga jawaban Aisyah Radhiyallahu Anha tentang akhlak
beliau menjadi batasan ideal tentang pemaknaan seorang itu sempurna tidaknya
akhlaq al-kanmah-nya.[23]
Akhlak juga merupakan
rahasia kehidupan yang menghantarkan kesuksesan para Nabi dan Rasul-rasul Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam mengemban tugas, fungsi, dan risalah-Nya. Menurut
Muhammad Rabbi’ Mahmud Jauhari, kesempurnaan akhlak seorang Muslim merupakan
salah satu faktor diterimanya ajaran Islam di berbagai wilayah di dunia.
Menurutnya penyebaran Islam di berbagai dunia tidak selalu diiringi oleh
pasukan tentara, ada dua faktor yang membuat tersebar dan diterimanya Islam:
Pertama, akhlak yang
ditampilkan oleh para generasi awai Islam saat itu; Kedua, ajaran akhlak yang
dibawa oleh Islam berfungsi sebagai solusi dari kerusakan kehidupan masyarakat
umum saat itu.
Menurut Mohammad
Natsir, akhlak ibarat tarikan magnet (besi berani) yang dapat menarik terhadap
apa saja yang bersifat logam, yang bermutu tinggi atau rendah. Akhlak juga
dapat diibaratkan sumber tenaga. Sumber tenaga bagi daya tarik itu tidak lagi
terletak pada ilmu, dan tidak pada hikmah. Ilmu dan hikmah hanya pembuka jalan.
Sumber tenaganya sendiri terletak pada akhlak pribadi dari pembawa pesan. Baik
atau buruknya amal perbuatan yang terbit secara spontan itu, tergantung pada baik
atau buruknya akhlak pribadi yang bersangkutan. Lisan al- hal yang baik dan
uswah hasanah yang menarik hanya bisa terbit dari akhlak yang baik dan mulia,
yaitu akhlaq al-karimah.[24]
Ruang Lingkup Akhlak
Konsep akhlaq
al-karimah merupakan konsep hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Allah, manusia dengan alam sekitarnya dan manusia dengan manusia itu sendiri.
Keseluruhan konsep-konsep akhlak tersebut diatur dalam sebuah ruang lingkup
akhlak.[25]
Menurut Muhammad
Abdullah Darraz konsep ruang lingkup akhlak sangat luas karena mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia, mulai dari hubungan manusia kepada Allah maupun
hubungan manusia kepada sesamanya. Darraz membaginya menjadi lima bagian;
Pertama, akhlak pribadi (al-akhlaq al-fardiyah) yang mencakup akhlak yang
diperintahkan, yang dilarang dan yang dibolehkan serta akhlak yang dilakukan
dalam keadaan darurat. Kedua, akhlak berkeluarga (al-akhlaq al-usariyah) yang
mencakup tentang kewajiban antara orangtua dan anak, kewajiban antara suami
istri dan kewajiban terhadap keluarga dan kerabat. Ketiga, akhlak bermasyarakat
(al-akhlaq al-ijtima’iyah) yang mencakup akhlak yang dilarang dan yang
dibolehkan dalam bermuamalah serta kaidah-kaidah adab. Keempat, akhlak
bernegara (al-akhlaq al-daulah) yang mencakup akhlak di antara pemimpin dan
rakyatnya serta akhlak terhadap negara lain.
Ketiga, akhlak
bermasyarakat dan muamalah yang di dalamnya mencakup hubungan antarmanusia.
Akhlak ini mengatur konsep hidup seorang Muslim dalam bermuamalah di segala
sektor, seperti dalam sektor ekonomi, kenegaraan, maupun sektor komunikasi,
baik itu kepada Muslim atau non Muslim dalam tataran lokal ataupun global.[26]
Pendidikan akhlak
dalam Al-Qur’an untuk manusia ini tergambar dalam berbagai ayat-ayat yang
tersebar di berbagai surat. Pendidikan yang disampaikan tersebut sangat kaya
akan model pengungkapannya. Seperti tergambar dalam kisah-kisah dan
dialog-dialog, misal pada permulaan QS Al-A’raf yang berbicara tentang seruan
agar mengikuti Al-Qur’an dengan mengingatkan kembali kisah umat terdahulu dan
kisah Iblis. Ada pula pendidikan yang diungkap dalam bentuk hasil proses
mentadabburi alam ciptaannya, seperti digambarkan dalam QS Ar-Rahman yang
mencoba memberikan pendidikan melalui penekanan kalimat berulang-ulang hingga
timbul keyakinan bagi manusia tentang pemilik nama Ar-Rahman, Dzat yang Maha
Agung. Karena itu, proses pendidikan atau pembinaan yang dilakukan melalui
ayat-ayat Al-Qur’an memiliki corak dan model yang amat beragam.[27]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa pendidikan karakter
sebagai suatu proses pendidikan secara holistis yang menghubungkan dimensi
moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi
terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki
prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pendidikan karakter
sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa mendesak untuk diterapkan.
Pendidikan karakter menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan
Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan
global. Di antara karakter yang perlu dibangun adalah karakter yang
berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik (giving the best) sebagai
prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran. Inti karakter adalah
kejujuran. Karakter dasar seseorang adalah mulia. Namun, dalam proses
perjalanannya mengalami modifikasi atau metamorfosis, sehingga karakter
dasarnya dapat hilang. Contohnya, hewan singa memiliki karakter dasar yang
galak, tetapi karena mengalami proses modifikasi menjadi bagian dari
pertunjukan sirkus, maka singa kehilangan kegalakannya.
B.
Saran
Demikianlah
pembahasan makalah mengenai pendidikan karakter dalam perspektif Islam, semoga
dapat bermanfaat bagi rekan pembaca sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah
harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012),
Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter
Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafndo Persada, 2012)
Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan
Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga, 2012)
[1] Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta:
Erlangga, 2012), h. 1
[2] Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, … h. 1
[3] Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, … h. 2
[4] Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, … h. 2
[5] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 14
[6] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 14
[7] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 17
[8] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 17
[9] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 17
[10] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 18
[11] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 18
[12] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 18
[13] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 71
[14] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 71
[15] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 71
[16] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 72
[18] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 73
[19] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 65
[20] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 66
[21] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, … h. 66
[22] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta:
PT. Raja Grafndo Persada, 2012), h. 74
[23] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an,
… h. 74
[24] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an,
… h. 74
[25] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an,
… h. 79
[26] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an,
… h. 80
[27] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an,
… h. 80
No comments:
Post a Comment