Tuesday, May 1, 2018

Makalah Ahlul Halli Wal Aqdi


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Keprihatinan tentang realitas proses pemilihan kepemimpinan NU di berbagai tingkatan yang semakin kuat dicampuri oleh pihak-pihak dari luar NU demi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Misalnya: calon-calon pilkada yang bertarung mendukung calon pimpinan NU dari kubu masing-masing. Lebih memprihatinkan lagi, pertarungan-pertarungan dalam forum-forum permusyawaratan Nahdlatul Ulama di berbagai tingkatan itu hampir selalu melibatkan politik uang untuk jual-beli suara. Hal itu jelas akan menjurus kepada kerusakan moral yang luar biasa dalam jajaran kepemimpinan Nahlatul Ulama.
Pada waktu itu, PWNU Jawa Timur hendak menerapkan model Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu dalam Konferensi Wilayah mereka. Tapi karena belum ada payung hukum yang memadai, PBNU meminta agar maksud itu ditunda. Selanjutnya, dalam Rapat Pleno ke-2 PBNU di Wonosobo, tanggal 6 – 8 September 2013, Rais ‘Aam K.H. M. A. Sahal Mahfudh rahimahullah memerintahkan agar PBNU segera memproses gagasan tentang Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu menjadi aturan yang dapat diterapkan dalam pemilihan kepemimpinan di seluruh jajaran kepengurusan NU.
Berdasarkan perintah Rais ‘Aam tersebut kemudian dibentuklan satu tim khusus, dipimpin oleh K.H. Masdar F. Mas’udi (Rais Syuriah PBNU) dan Drs. Abdul Mun’im DZ (Wakil Sekjen PBNU). Tim itu segera melaksanakan penelitian dan kajian-kajian hingga dihasilkan suatu naskah akademis yang cukup mendalam, mencakup landasan nilai-nilai keagamaan, dasar-dasar filosofis, acuan historis hingga pertimbangan-pertimbangan terkait dinamika sosial-politik mutakhir yang mengharuskan diterapkannya model Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan Ahlul halli wal aqdi ?
2.      Bagaimana dasar dalil Ahlul halli wal aqdi dalam Al-Qur’an?
3.      Bagaimana Syarat Menjadi Ahlul halli wal aqdi ?
4.      Apa saja Fugsi Dan Wewenang Ahlul halli wal aqdi ?

C.     Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian Ahlul halli wal aqdi
2.      Untuk mengetahui dasar dalil Ahlul halli wal aqdi dalam Al-Qur’an
3.      Untuk mengetahui Syarat Menjadi Ahlul halli wal aqdi
4.      Untuk mengetahui Fugsi Dan Wewenang Ahlul halli wal aqdi

















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Ahlul  Halli Wal Aqdi
Secara bahasa Ahl al-hall wa al-‘Aqd memiliki pengertian ”orang-orang yang melepas dan megikat” atau ”orang yang dapat memutuskan dan mengikat”. Sedangkan menurut para Ahli fiqih siyasah, Ahl al-hall wa al-’Aqd adalah “orang-orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara)”. Atau lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara suatu masyarakat.Keanggotaan dari lembaga ini merupakan representasi dari rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat karena pemilihannya melalui proses yang demokratis dan berlangsung secara langsung sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.[1]
Dalam terminologi politik ahlul halli wal aqdi adalah dewan perwakilan (lembaga legislatif) sebagai representasi dari seluruh masyarakat (rakyat) yang akan memilih kepala negara serta menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat.
Dalam hal ini, Mawardi mendefinisikan ahlul halli wal aqdi sebagai  kelompok  orang  yang  dipilih  oleh  kepala  negara  untuk memilih kepala negara yang akan menggantikan kepala negara yang lama. Namun Mawardi tidak menjelaskan tentang unsur-unsur dari ahlul halli wal aqdi.[2]
Abdul Karim Zaidan berpendapat, ahlul halli wal aqdi adalah orang orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan   kepercayaan   kepada   mereka.   Mereka   menyetujui pendapat wakil-wakilnya karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kejernihan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.
Sedangkan  menurut Imam an-Nawawi,  ahlul halli wal aqdi ialah  para  ulama,  pemimpin,  pemuka  rakyat  yang  mudah dikumpulkan untuk memimpin umat dan mewakili kepentingan- kepentingannya.
Beberapa  ulama  yang  lain  memberikan  istilah ahlul halli wal aqdi dengan sebutan ahlul ikhtiyar, yaitu orang-orang yang memiliki kompetensi untuk memilih. Muhammad Abduh berpendapat, bahwa ahlul halli wal aqdi sama dengan ulil amri, Lebih lanjut Abduh menjelaskan  dengan lebih rinci beserta unsur-unsurnya dengan mengatakan, "Ahlul halli wal aqdi terdiri dari para  amir,  para  hakim,  para  ulama,  para  pemimpin  militer,  dan semua pimpinan  yang dijadikan  rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik”.
Pendapat yang sama di sampaikan oleh Rasyid Ridha, ia mengatakan bahwa ulil amri adalah ahlul halli wal awdi yang terdiri dari para ulama, para pimpinan militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan  publik  seperti  pedagang,  tukang,  petani,  para  tokoh wartawan. Al-Razi juga menyamakan pengertian ahlul halli wal aqdi dengan ulil amri. Demikian juga al-Maraghi yang berpendapat sama dengan Abduh dan Ridha.
Istilah Ahlul halli wal aqdi ini banyak kita dapati pada buku-buku siyasah syar'iyyah, seperti Ahkam Sulthaniyah-nya Abul Hasan Al-Mawardi dan Abu Ya'la Al Farra'. Adapun secara bahasa, Istilah Ahlul halli wal aqdi terdiri dari tiga kalimat: [3]
1.      Ahlul, yang berarti orang yang berhak (yang memiliki).
2.      Halli, yang berarti, melepaskan, menyesuaikan, memecahkan.
3.      Aqdi, yang berarti mengikat, mengadakan transaksi, membentuk.
Dari pengertian secara bahasa di atas, dapat kita simpulkan pengertian Ahlul halli wal aqdi secara istilah yaitu "Orang-orang yang berhak membentuk suatu sistem didalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu".
Musyawarah dalam politik Islam adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah – masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Akan tetapi musyawarah tidak mungkin dilaksanakan oleh seluruh rakyat, maka musyawarah dilaksanakan antar kelompok yang benar – benar mewakili rakyat yang dapat dipercaya dan merasa tenang dari keputusan mereka. Mereka itu tidak lain melainkan Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqdi.  Metode ini sekarang dinamakan dengan “Politik Kekuasaan Rakyat”. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemimpin tidak boleh meninggalkan musyawarah, sebab Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya dengan hal itu. Bahkan para ulama sepakat bahwa musyawarah diperintahkan dalam Al Qur’an dan menjadikannya sebagai salah satu unsur pijakan Negara Islam.[4]
Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd ada dalam sistem pemerintahan Islam dikarenakan adanya suatu perintah dalam Al Qur’an untuk bermusyawarah. Musyawarah tersebut menurut para Ahli merupakan salah satu sistem hukum dalam Islam dan juga metode hidup dalam pemerintahan.
B.     Dasar Ahlul Hilli Wal Aqdi dalam Al-Qur’An
Bila Al-Qur’an dan sunah sebagai dua sumber perundang-undangan islam tidak menyebutkan Ahlul Hilli Wa Aqdi atau dewan perwakilan rakyat, namun sebutan itu hanya ada di dalam turats fiqih di bidang politik keagamaan dan pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar menyelururuh, maka dasar sebutan ini didalam Al-Qur’an ada dalam mereka yang disebut dengan “ulil amri”  firman Allah saw, dalam surat An-Nisa ayat 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dasar sebutan ini juga ada dalam mereka yang disebut dengn umat dalam firman Allah surat AlQuran surat Al- Imran ayat 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
Artinya:  “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Dengan demikian, fiqh politik islam telah mencipakan satu bentuk musyawarah dimasa awal timbulnya daulah islamiyah di madinah, sebagaimana ia juga telah menciptakan satu bentuk konstitusi yang dikenal dengan konstitusi madinah. Bentuk musyawarah itu tidak lain kecuali apa yang dikenal dengan Ahlul Hilli Wal Aqdi atau dewan perwakilan rakyat atau Ahlul ikhtiar diawal islam, yang mereka telah dipercaya oleh rakyat dengan keilmuan dan kecendekiawan mereka serta keikhlasan mereka juga dengan keseriusan mereka dalam membuat hukum-hukum yang diperlukan, baik yang berkenaan dengan peraturan sipil, politik, dan administratif.

C.     Syarat – Syarat Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqdi
Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd harus memenuhi tiga syarat, antara lain :[5]
1.      Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya.
2.      Memiliki pengetahuan tentang orang berhak menjadi imam dan persyaratan – persyaratannya.
3.      Memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan paling mampu serta paling mampu tentang kebijakan – kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
Ibn Al Farra  berpendapat: Ahli Ikhtiyar harus memliki tiga syarat berikut :
1.      Adil
2.      Mempunyai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat mengetahui siapa saja yang berhak memegang tongkat kepemimpinan.
3.      Ahli Ikhtiyar harus terdiri dari para pakar dan alhi manajemen yang dpat memilih siapa yang lebih pantas untuk memegang tongkat kepemimpinan.
Ungkapan syarat yang dikemukakan oleh Al Mawardi dan Ibn Al Farra tersebut sangat mirip.  Selain itu syarat yang harus dipenuhi adalah sperti syarat dalam hal – hal yang lain seperti, baligh, merdeka, laki – laki dan beragama Islam. Akan tetapi untuk syarat laki – laki dan beragama Islam terjadi perbedaan pendapat antara para ulama. Ulama salaf berpendapat bahwa wanita dan kafir dzimmi tidak boleh menjadi anggota majelis syura,karena pada masa Nabi kafir dzimmi menjadi warga nomor dua dalam urusan politik, sedangkan wanita pada zaman nabi itu hanya menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan ulama fikih kontemporer seperti Fu’ad Abdul Mun’im Ahmad (pakar politik Islam kontemporer Mesir) memperbolehkan dengan batasan batasan tertentu yang tidak melanggar syari’at hukum.
Namun demikian, ada beberapa perbedaan mendasar antara dua lembaga tertinggi negara tersebut, sehingga banyak ulama yang menolak eksistensi DPR/MPR sebagai lembaga tertinggi didalam sebuah negara, dengan sistem demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara Islam. Adapun perbedaan sistem khilafah dengan Ahlul halli wal aqdi dengan sistem Parlemen DPR/MPR adalah sebagai berikut ;[6]
1.      Dari Segi Perkembangannya
Sistem Ahlul halli wal aqdi berkembang sejak adanya pemerintahan Islam pertama kali pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq yang merupakan Ijma' Shahabat ra, dan merupakan hujjah yang tidak terbantahkan. (untuk rincian dan contoh-contohnya akan diterangkan kemudian). Adapun sistem parlemen berkembang akibat benturan antara kekuasaan dan gereja yang terjadi di Eropa, dan mulai menjadi sistem yang mapan setelah revolusi Perancis pada tahun 1789M.
2.      Dari Segi Keanggotaan
a)      Di dalam sistem Ahlul halli wal aqdi, anggotanya harus seorang muslim yang adil. Adapun dalam sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama Islam, orang Komunis/atheis pun bisa menjadi anggota, bahkan menjadi ketua DPR/MPR, selama rakyat mendukung,
b)      Di dalam sistem Ahlul Halli walAqdi anggotanya harus seorang laki-laki. Namun dalam sistem parlemen, perempuan dibolehkan mejadi anggota didalamnya. (Benarkah ulama berbeda pendapat didalam masalah ini? Ataukah orang-orang yang sering tidak puas denga ketentuan ini salah didalam memahami perkataan ulama? Keterangannya bisa diikuti pada kajian-kajian mendatang)
c)      Anggota Ahlul halli wal aqdi harus seorang yang berpengetahuan luas terhadap ajaran Islam, sedangkan anggota Parlemen boleh dari orang yang paling goblok tentang masalah agama.[7]
Dari Segi Tugas dan Peranannya
Tugas Ahlul halli wal aqdi harus sesuai denga aturan Syariah Islamiyyah. Mereka tidak boleh merubah aturan Allah dan Rasul-Nya yang sudah paten dan mapan, walau seluruh anggota dan rakyat menghendaki perubahan itu. Adapun didalam Parlemen, mereka bebas dan leluasa menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan merubah hukum Allah selama hal itu disepakati seluruh anggota atau atas kehendak rakyat.

D.    Beberapa wewenang dan fungsi Ahlul Hall wal ‘aqdi
Tugas Ahlul Hilli Wal Aqdi tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan Undang-Undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negra saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah.
Tugas Ahlul Hilli Wal Aqdi antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung. Oleh karena itu Ahlul Hilli Wal Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahl ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peranan golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang diantar ahl imamah (golongan yang berhak dipilih) untuk menjadi khalifah. Ahlu Hilli Wal Aqdi adalah orang-orang yang langsung berhubungan langsung dengan rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada mereka.
1.      Ahlul halli wal aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan membai’at imam serta untuk memecat dan memberhentiakan khalifah.
2.      Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3.      Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang membuat undang – undang yang mengikat kepada seluruh umat didalam hal – hal yang tidak diatur tegas oleh Al Qur’an dan al Hadits.
4.      Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd tempat konsultasi imam didalam menentukan kebijakannya.
5.      Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd mengawasi jalannya pemerintahan,
Wewenang tersebut hampir mirip dengan MPR, DPR dan DPA di Indonesial sebelum  amendemen UUD 45.Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd sangat penting dalam kehidupan bernegara. Karena dalam Negara pada hakekatnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan rakyat sendiri tidak memungkinkan untuk berkumpul bersama.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Secara bahasa Ahlu Halli Wal Aqdi memiliki pengertian orang-orang yang melepas dan mengikat atau orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Sedangkan para ahli fiqh siyasah Ahlu Halli Wal Aqdi adalah orang-orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Atau lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara suatu masyarakat. Dasar Ahlul Hilli Wal Aqdi terdapat pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59 dan 83, juga terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 104.
Terdapat tiga syarat untuk menjadi Ahlul Halli Wal Aqdi yang dikemukakan oleh Al-Farra dan Al-Mawardi, syarat keduanya sangat mirip. Tugas Ahlul Hilli Wal Aqdi antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung. Oleh karena itu Ahlul Hilli Wal Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahl ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Selain tugas Ahlul Halli Wal Aqdi juga mempunyai wewenang yang wewenang itu hampir mirip dengan MPR,DPR,DPA diindonesia sebelum amandemen UUD 1945.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai Ahlul hall wal aqdi, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.  


DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973)

Farid Abdullah Khaliq, Fikih Politik Islam, (jakarta, Amzah, 2005)

Dhiauddin Rais, An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie al- Kattani “Teori Politik Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001)

Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012)


[1] Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973), hlm. 53.
[2] Farid Abdullah Khaliq, Fikih Politik Islam, (jakarta, Amzah, 2005),hlm. 82.
[3] Dhiauddin Rais, An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie al- Kattani “Teori Politik Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001), hlm. 178.
[4] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012), hlm. 79
[5] Farid Abdullah Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta, Amzah, 2005),hlm. 109
[6] Farid Abdullah Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta, Amzah, 2005),hlm. 112
[7] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012), hlm. 81

No comments:

Post a Comment