BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keprihatinan tentang
realitas proses pemilihan kepemimpinan NU di berbagai tingkatan yang semakin
kuat dicampuri oleh pihak-pihak dari luar NU demi kepentingan-kepentingan
politik sesaat. Misalnya: calon-calon pilkada yang bertarung mendukung calon
pimpinan NU dari kubu masing-masing. Lebih memprihatinkan lagi,
pertarungan-pertarungan dalam forum-forum permusyawaratan Nahdlatul Ulama di
berbagai tingkatan itu hampir selalu melibatkan politik uang untuk jual-beli
suara. Hal itu jelas akan menjurus kepada kerusakan moral yang luar biasa dalam
jajaran kepemimpinan Nahlatul Ulama.
Pada waktu itu,
PWNU Jawa Timur hendak menerapkan model Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu dalam
Konferensi Wilayah mereka. Tapi karena belum ada payung hukum yang memadai,
PBNU meminta agar maksud itu ditunda. Selanjutnya, dalam Rapat Pleno ke-2 PBNU
di Wonosobo, tanggal 6 – 8 September 2013, Rais ‘Aam K.H. M. A. Sahal Mahfudh
rahimahullah memerintahkan agar PBNU segera memproses gagasan tentang Ahlul Halli
Wal ‘Aqdi itu menjadi aturan yang dapat diterapkan dalam pemilihan kepemimpinan
di seluruh jajaran kepengurusan NU.
Berdasarkan
perintah Rais ‘Aam tersebut kemudian dibentuklan satu tim khusus, dipimpin oleh
K.H. Masdar F. Mas’udi (Rais Syuriah PBNU) dan Drs. Abdul Mun’im DZ (Wakil
Sekjen PBNU). Tim itu segera melaksanakan penelitian dan kajian-kajian hingga
dihasilkan suatu naskah akademis yang cukup mendalam, mencakup landasan
nilai-nilai keagamaan, dasar-dasar filosofis, acuan historis hingga pertimbangan-pertimbangan
terkait dinamika sosial-politik mutakhir yang mengharuskan diterapkannya model
Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Ahlul
halli wal aqdi ?
2. Bagaimana dasar dalil Ahlul
halli wal aqdi dalam Al-Qur’an?
3. Bagaimana Syarat Menjadi Ahlul
halli wal aqdi ?
4. Apa saja Fugsi Dan
Wewenang Ahlul halli wal aqdi ?
C. Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah
ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian
Ahlul halli wal aqdi
2. Untuk mengetahui dasar
dalil Ahlul halli wal aqdi dalam Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui Syarat
Menjadi Ahlul halli wal aqdi
4. Untuk mengetahui Fugsi Dan
Wewenang Ahlul halli wal aqdi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlul Halli Wal Aqdi
Secara bahasa Ahl
al-hall wa al-‘Aqd memiliki pengertian ”orang-orang yang melepas dan megikat”
atau ”orang yang dapat memutuskan dan mengikat”. Sedangkan menurut para Ahli
fiqih siyasah, Ahl al-hall wa al-’Aqd adalah “orang-orang yang memiliki
kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga
negara)”. Atau lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau
suara suatu masyarakat.Keanggotaan dari lembaga ini merupakan representasi dari
rakyat yang nantinya akan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat karena
pemilihannya melalui proses yang demokratis dan berlangsung secara langsung
sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.[1]
Dalam terminologi
politik ahlul halli wal aqdi adalah dewan perwakilan (lembaga
legislatif) sebagai representasi dari seluruh masyarakat (rakyat) yang akan
memilih kepala negara serta menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat.
Dalam hal ini,
Mawardi mendefinisikan ahlul halli wal aqdi sebagai kelompok
orang yang dipilih
oleh kepala negara
untuk memilih kepala negara yang akan menggantikan kepala negara yang
lama. Namun Mawardi tidak menjelaskan tentang unsur-unsur dari ahlul halli
wal aqdi.[2]
Abdul Karim
Zaidan berpendapat, ahlul halli wal aqdi adalah orang orang yang
berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan
kepada mereka. Mereka
menyetujui pendapat wakil-wakilnya karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil
dan kejernihan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan
kepentingan rakyatnya.
Sedangkan menurut Imam an-Nawawi, ahlul halli wal aqdi ialah para
ulama, pemimpin, pemuka
rakyat yang mudah dikumpulkan untuk memimpin umat dan
mewakili kepentingan- kepentingannya.
Beberapa ulama
yang lain memberikan
istilah ahlul halli wal aqdi dengan sebutan ahlul ikhtiyar, yaitu
orang-orang yang memiliki kompetensi untuk memilih. Muhammad Abduh berpendapat,
bahwa ahlul halli wal aqdi sama dengan ulil amri, Lebih lanjut Abduh
menjelaskan dengan lebih rinci beserta
unsur-unsurnya dengan mengatakan, "Ahlul halli wal aqdi terdiri
dari para amir, para
hakim, para ulama,
para pemimpin militer,
dan semua pimpinan yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan dan
kemaslahatan publik”.
Pendapat yang
sama di sampaikan oleh Rasyid Ridha, ia mengatakan bahwa ulil amri adalah ahlul
halli wal awdi yang terdiri dari para ulama, para pimpinan militer, para
pemimpin pekerja untuk kemaslahatan
publik seperti pedagang,
tukang, petani, para tokoh wartawan. Al-Razi juga menyamakan
pengertian ahlul halli wal aqdi dengan ulil amri. Demikian juga
al-Maraghi yang berpendapat sama dengan Abduh dan Ridha.
Istilah Ahlul
halli wal aqdi ini banyak kita dapati pada buku-buku siyasah syar'iyyah,
seperti Ahkam Sulthaniyah-nya Abul Hasan Al-Mawardi dan Abu Ya'la Al Farra'.
Adapun secara bahasa, Istilah Ahlul halli wal aqdi terdiri dari tiga
kalimat: [3]
1. Ahlul, yang berarti orang
yang berhak (yang memiliki).
2. Halli, yang berarti,
melepaskan, menyesuaikan, memecahkan.
3. Aqdi, yang berarti
mengikat, mengadakan transaksi, membentuk.
Dari pengertian secara bahasa di atas, dapat kita simpulkan pengertian Ahlul
halli wal aqdi secara istilah yaitu "Orang-orang yang berhak membentuk
suatu sistem didalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika dipandang
perlu".
Musyawarah dalam politik Islam adalah hak partisipasi rakyat dalam
masalah – masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Akan tetapi musyawarah
tidak mungkin dilaksanakan oleh seluruh rakyat, maka musyawarah dilaksanakan
antar kelompok yang benar – benar mewakili rakyat yang dapat dipercaya dan
merasa tenang dari keputusan mereka. Mereka itu tidak lain melainkan Ahl
Al-Hall Wa Al ‘Aqdi. Metode ini
sekarang dinamakan dengan “Politik Kekuasaan Rakyat”. Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa pemimpin tidak boleh meninggalkan musyawarah, sebab Allah SWT
memerintahkan Nabi-Nya dengan hal itu. Bahkan para ulama sepakat bahwa
musyawarah diperintahkan dalam Al Qur’an dan menjadikannya sebagai salah satu
unsur pijakan Negara Islam.[4]
Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd ada dalam sistem pemerintahan Islam dikarenakan
adanya suatu perintah dalam Al Qur’an untuk bermusyawarah. Musyawarah tersebut
menurut para Ahli merupakan salah satu sistem hukum dalam Islam dan juga metode
hidup dalam pemerintahan.
B. Dasar Ahlul Hilli Wal
Aqdi dalam Al-Qur’An
Bila Al-Qur’an
dan sunah sebagai dua sumber perundang-undangan islam tidak menyebutkan Ahlul
Hilli Wa Aqdi atau dewan perwakilan rakyat, namun sebutan itu hanya ada di
dalam turats fiqih di bidang politik keagamaan dan pengambilan hukum
substansial dari dasar-dasar menyelururuh, maka dasar sebutan ini didalam
Al-Qur’an ada dalam mereka yang disebut dengan “ulil amri” firman Allah saw, dalam surat An-Nisa ayat 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dasar sebutan ini juga ada dalam mereka yang disebut dengn umat dalam
firman Allah surat AlQuran surat Al- Imran ayat 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya: “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Dengan demikian, fiqh politik islam telah mencipakan satu bentuk
musyawarah dimasa awal timbulnya daulah islamiyah di madinah, sebagaimana ia
juga telah menciptakan satu bentuk konstitusi yang dikenal dengan konstitusi
madinah. Bentuk musyawarah itu tidak lain kecuali apa yang dikenal dengan Ahlul
Hilli Wal Aqdi atau dewan perwakilan rakyat atau Ahlul ikhtiar diawal islam,
yang mereka telah dipercaya oleh rakyat dengan keilmuan dan kecendekiawan
mereka serta keikhlasan mereka juga dengan keseriusan mereka dalam membuat
hukum-hukum yang diperlukan, baik yang berkenaan dengan peraturan sipil,
politik, dan administratif.
C. Syarat – Syarat Ahl
Al-Hall Wa Al ‘Aqdi
Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd harus
memenuhi tiga syarat, antara lain :[5]
1. Keadilan yang memenuhi
segala persyaratannya.
2. Memiliki pengetahuan
tentang orang berhak menjadi imam dan persyaratan – persyaratannya.
3. Memiliki kecerdasan dan
kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan
paling mampu serta paling mampu tentang kebijakan – kebijakan yang membawa
kemaslahatan bagi umat.
Ibn Al Farra berpendapat: Ahli
Ikhtiyar harus memliki tiga syarat berikut :
1. Adil
2. Mempunyai ilmu pengetahuan
yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat mengetahui siapa saja yang berhak
memegang tongkat kepemimpinan.
3. Ahli Ikhtiyar harus
terdiri dari para pakar dan alhi manajemen yang dpat memilih siapa yang lebih
pantas untuk memegang tongkat kepemimpinan.
Ungkapan syarat yang dikemukakan oleh Al Mawardi dan Ibn Al Farra
tersebut sangat mirip. Selain itu syarat
yang harus dipenuhi adalah sperti syarat dalam hal – hal yang lain seperti,
baligh, merdeka, laki – laki dan beragama Islam. Akan tetapi untuk syarat laki
– laki dan beragama Islam terjadi perbedaan pendapat antara para ulama. Ulama
salaf berpendapat bahwa wanita dan kafir dzimmi tidak boleh menjadi anggota
majelis syura,karena pada masa Nabi kafir dzimmi menjadi warga nomor dua dalam
urusan politik, sedangkan wanita pada zaman nabi itu hanya menjadi ibu rumah
tangga. Sedangkan ulama fikih kontemporer seperti Fu’ad Abdul Mun’im Ahmad
(pakar politik Islam kontemporer Mesir) memperbolehkan dengan batasan batasan
tertentu yang tidak melanggar syari’at hukum.
Namun demikian, ada beberapa perbedaan mendasar antara dua lembaga
tertinggi negara tersebut, sehingga banyak ulama yang menolak eksistensi
DPR/MPR sebagai lembaga tertinggi didalam sebuah negara, dengan sistem
demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara Islam. Adapun perbedaan sistem
khilafah dengan Ahlul halli wal aqdi dengan sistem Parlemen DPR/MPR
adalah sebagai berikut ;[6]
1. Dari Segi Perkembangannya
Sistem Ahlul halli wal aqdi berkembang
sejak adanya pemerintahan Islam pertama kali pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
yang merupakan Ijma' Shahabat ra, dan merupakan hujjah yang tidak terbantahkan.
(untuk rincian dan contoh-contohnya akan diterangkan kemudian). Adapun sistem
parlemen berkembang akibat benturan antara kekuasaan dan gereja yang terjadi di
Eropa, dan mulai menjadi sistem yang mapan setelah revolusi Perancis pada tahun
1789M.
2. Dari Segi Keanggotaan
a) Di dalam sistem Ahlul
halli wal aqdi, anggotanya harus seorang muslim yang adil. Adapun dalam
sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama Islam, orang Komunis/atheis
pun bisa menjadi anggota, bahkan menjadi ketua DPR/MPR, selama rakyat
mendukung,
b) Di dalam sistem Ahlul
Halli walAqdi anggotanya harus seorang laki-laki. Namun dalam sistem parlemen,
perempuan dibolehkan mejadi anggota didalamnya. (Benarkah ulama berbeda
pendapat didalam masalah ini? Ataukah orang-orang yang sering tidak puas denga
ketentuan ini salah didalam memahami perkataan ulama? Keterangannya bisa
diikuti pada kajian-kajian mendatang)
c) Anggota Ahlul halli wal
aqdi harus seorang yang berpengetahuan luas terhadap ajaran Islam,
sedangkan anggota Parlemen boleh dari orang yang paling goblok tentang masalah
agama.[7]
Dari Segi Tugas dan Peranannya
Tugas Ahlul
halli wal aqdi harus sesuai denga aturan Syariah Islamiyyah. Mereka tidak
boleh merubah aturan Allah dan Rasul-Nya yang sudah paten dan mapan, walau
seluruh anggota dan rakyat menghendaki perubahan itu. Adapun didalam Parlemen,
mereka bebas dan leluasa menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan
merubah hukum Allah selama hal itu disepakati seluruh anggota atau atas
kehendak rakyat.
D. Beberapa wewenang dan
fungsi Ahlul Hall wal ‘aqdi
Tugas Ahlul Hilli
Wal Aqdi tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan,
mengeluarkan Undang-Undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak
bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan
melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negra saja.
Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan
legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap
pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran
terhadap satu hak dari hak-hak Allah.
Tugas Ahlul Hilli
Wal Aqdi antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung.
Oleh karena itu Ahlul Hilli Wal Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahl
ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peranan golongan ini sangat penting
untuk memilih salah seorang diantar ahl imamah (golongan yang berhak dipilih)
untuk menjadi khalifah. Ahlu Hilli Wal Aqdi adalah orang-orang yang langsung
berhubungan langsung dengan rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada
mereka.
1. Ahlul halli wal aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang
mempunyai wewenang untuk memilih dan membai’at imam serta untuk memecat dan
memberhentiakan khalifah.
2. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd
mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd
mempunyai wewenang membuat undang – undang yang mengikat kepada seluruh umat
didalam hal – hal yang tidak diatur tegas oleh Al Qur’an dan al Hadits.
4. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd
tempat konsultasi imam didalam menentukan kebijakannya.
5. Ahl Al-Hall Wa Al ‘Aqd
mengawasi jalannya pemerintahan,
Wewenang tersebut hampir mirip dengan MPR, DPR dan DPA di Indonesial
sebelum amendemen UUD 45.Ahl Al-Hall Wa
Al ‘Aqd sangat penting dalam kehidupan bernegara. Karena dalam Negara pada
hakekatnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan rakyat
sendiri tidak memungkinkan untuk berkumpul bersama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara bahasa
Ahlu Halli Wal Aqdi memiliki pengertian orang-orang yang melepas dan mengikat
atau orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Sedangkan para ahli fiqh siyasah
Ahlu Halli Wal Aqdi adalah orang-orang yang memiliki kewenangan untuk
memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Atau lembaga
perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara suatu masyarakat.
Dasar Ahlul Hilli Wal Aqdi terdapat pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59 dan
83, juga terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 104.
Terdapat tiga
syarat untuk menjadi Ahlul Halli Wal Aqdi yang dikemukakan oleh Al-Farra dan
Al-Mawardi, syarat keduanya sangat mirip. Tugas Ahlul Hilli Wal Aqdi antara
lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung. Oleh karena itu
Ahlul Hilli Wal Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahl ikhtiyar
(golongan yang berhak memilih). Selain tugas Ahlul Halli Wal Aqdi juga
mempunyai wewenang yang wewenang itu hampir mirip dengan MPR,DPR,DPA
diindonesia sebelum amandemen UUD 1945.
B. Saran
Demikianlah
pembahasan makalah mengenai Ahlul hall wal aqdi, semoga dapat bermanfaat bagi
kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan
makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1,
1973)
Farid Abdullah Khaliq, Fikih Politik
Islam, (jakarta, Amzah, 2005)
Dhiauddin Rais, An-Nazhariyatu
As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie al- Kattani “Teori Politik Islam”,
(Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001)
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012)
[1] Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973), hlm. 53.
[3] Dhiauddin Rais, An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj.
Abdul Hayyie al- Kattani “Teori Politik Islam”, (Jakarta: Gema Insani
Press, Cet. ke-1, 2001), hlm. 178.
[4] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
(Yogyakarta: Bagaskara, 2012), hlm. 79
No comments:
Post a Comment