|
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fikih yang khusus di bidang fikih qadha sejak dahulu sampai
saat ini hampir tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan
kaidah-kaidah ini dalam kajian ilmu syariah (fiqh). Para ulama menghimpun
sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan dibawah kaidah fiqh yang bersifat
khusus di bidang ini dan memberikan peluang bagi ummat yang melakukan studi
terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dipahami.
Kaidah-kaidah fiqh di bidang ini adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak
yang dari akademisi yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama
sekali apa itu kaidah-kaidah fiqh yang khusu di bidang fiqh qadha.
Oleh karena itu, kami ingin menerangkan tentang
pengertia fiqh qadha dan kaidah-kaidah apa saja yang termasuk dalam bidang fiqh
qadha ini. Kaidah-kaidah fiqh qadha merupakan alat untuk memutuskan
perkara-perkara yang belum terdapat nashnya baik dalam Al-qur’an maupun hadits,
termasuk pada ibarat nash yang masih umum atau lafadh ammiyah. Kaidah-kaidah
fiqh di bidang ini masih wasilah, jembatan penghubung antara dalil-dalil dan
hukum.
Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap
pemecahan permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan di zaman modern
ini, maka dari itu hendaklah kita memahami secara baik tentang kaidah-kaidah
ini, karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum islam..
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian dari fikih qadha ?
2. Apa saja kaidah-kaidah yg khusus di bidang fikih qadha?
3. Bagaimana contoh penerapan kaidah-kaidah ini?
1
|
|
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Fikih Qadha’
Di
dalam fiqih, istilah qadha dipakai pada dua tempat yaitu dalam arti lembaga
peradilan dan qadha dalam arti pelaksanan kewajiban, khususnya ibadah.Qadha
dalam pengertian yang pertama secara bahasa mempunyai arti: menyelesaikan, menunaikan, dan
memutusakan hukum atau membuat suatu ketetapan. Sedangkan menurut istilah ahli
fiqh, qadha bearti Lembaga Hukumdan perkataan yang harus dituruti yang
diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umumatau menerangkan hukum
agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut Sallam Madkur qadha
disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil[1].
Karena adanya berbagai pengertian dari kata qadha itu,
maka ia bisa digunakan dalam arti memutuskan perselisishan oleh hakim. Orang
yang melakukanya disebut qadhi. Menurut para ahli fiqh, terminologi syariat
dari kata qadha adalah memutuskan perselisihan dan memnghindarkan perbedaan
serta konflik-konflik.[2]
Dengan definisi tersebut diatas dapat dikatakan bahwa
tugas qadha (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan
menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh
hakim. Hakim hanya menetapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang
belum ada.
Menurut Hukum islam, ada enam unsur peradilan menurut
hukum islam, yaitu hakim (qadhi), hukum, mahkum bihi, mahkum ‘alaihi, mahkum
lahu dan sumber hukum (putusan). Hakim (qadhi) adalah orang yang diangkat oleh
kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan,
dikarenakan penguasa tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
2
|
dengan sendiri. Nabi sendiri juga pernah mengutus
beberapa penggantinya untuk menjadi hakim. Hukum ialah putusan hakim yang
ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Adakalanya hal ini dilakukan
dengan suatu perkataan dan adakalanya dengan pebuatan, misalnya pembagian
secara paksa dan menolak gugatan.[3]
Mahkum bihi adalah sesuatu yang diharuskan oleh qadhi
untuk dipenuhi oleh suatu hak. Hak itu adakalanya dipandang sebagai hak murni
bagi Allah atau bagi hamba dan adakalanya hak yang dipersekutukan antara
keduanya tapi salah satu lebih berat. Diharusakan hak yang merupakan mahkum bihi
dikeal oleh kedua belah pihak.[4]
Unsur berikutnya adalah mahkum ‘alaihi atau si terhukum,
yaitu orang yang dijatuhi hukuman atasnya. Mahkum ‘alaihi dalam hukum syara’
adalah orang yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan
kepadanya, baik dia orang yang tergugat (tertuduh dalam perkara pidana) atau
bukan. Mahkum’alaihi ini boleh satu orang atau lebih.
Selanjutnya adalah mahkum lahu (si pemenang perkara),
yaitu orang yang menggugat suatu hak atau menuduhkan sesuatu dalam perkara
pidana. Hak itu bisa hak murni baginya, ataupun sesuatu yang terdapat padanya,
tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini haruslah dia mengajukan gugatan,
meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri ataupun dengan
perantara wakilnya (kuasa hukumnya). Dalam persidangan, boleh dia sendiri
ataupun wakilnya yang menghadiri.
Unsur terakhir dalam peradilan adalah sumber hukum
(putusan) dalam suatu perkara. Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bahwa
memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan leh seseorang
terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima.
Oleh karena itu sesuatu yang bukan merupakan satu peristiwa atau kejadian, dan
hal-hal itu masuk ke dalam bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang
peradilan.
B. Kaidah-Kaidah Fikih yang Khusus Di Bidang Fikih Qadha (Peradilan dan Hukum
Acara )
Lembaga peradilan pada zaman Umar bin Khatab dibagi menjadi peradilan
perdata dan diangkat petugas khusus yang bertugas menyelesaikan persengketaan
di bidang perdata. Sedangkan di bidang pidana masih tetap di pegang oleh
khalifah dan para penguasa di daerah yaitu gubernur untuk wilayah-wilayah yang
ada di bawah kekuasaanya.[5]
Kemudian di bentuk wilayah al-mazhalim
pada zaman kekhalifahan Abbasiyah, yang mempunyai tugas untuk mengadili para
pejabat yang zalim atau menzalimi rakyat, mirip dengan pengadilan tata usaha
negara. Selanjutnya, lahir dewan hisbah
yang mengurusi pelaksanaan amar ma’ruf
dan nahi munkar di masyarakat. Dewan hisbah inilah yang kemudaian berkembang
menjadi peradilan pidana di dunia islam.[6]
Dalam islam dikenal pembidangan fikih, seperti fiqh ahwal al-syahksiyyah dan
muamalah yang apabila ada persengketaan ditangani oleh Peradilan Perdata.
Di Indonesia, khusus bidang ahwal
al-syakhsiyyah dan wakaf ditangani oleh Peradilan Agama. Fiqh jinayah, yang
apabila ada kejahatan ditangi oleh peradilan pidana. Fiqh siyasah ditangani
oleh wilayah al-mazhalim, sekarang oleh lembaga tata usaha negara.[7]
Lembaga peradilam sekarang sudah berkembang lebih jauh lagi, baik dalam
bidangnya, seperti ada Mahkamah Konstitusi, maupun tingkatannya mulai dari
daerah sampai ke Mahkamah Agung. Dalam islam, hal semacam ini sah-sah saja
selama sesuai dengan perkembanagan masyarakat dan kemaslahatan manusia.[8]
Di antara kaidah-kaidah fikih di bidang ini adalah :
1.
“Hukum yang di putuskan oleh hakim dalam
masalah-masalah ijtihad menghilangkan perbedaan pendapat”
Kaidah diatas sesungguhnya berlaku
pula untuk semua keputusan dari pemegang kekuasaan. Tetapi, menurut al-Qurafi,
kaidah tersebut hanya berlaku di bidang peradilan.[9]
Maksud kaidah tersebut adalah apabila seseorang hakim menghadapi perbedaan
pendapat di kalangan ulama, kemudian dia mentarjih (menguatkan) salah satu
pendapat di antara pendapat-pendapat ulama tersebut, maka bagi orang-orang yang
berpekara harus menerima keputusan tersebut. Orang yang berpekara tidak bisa
menolak keputusan hukum tersebut dengan alasan ada pendapat lain yang berbeda
dengan hasil ijtihad hakim. Sudah barang tentu, keputusan yang tidak boleh
ditentang bukan tanpa syarat, yaitu tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip
syariah, seperti kemaslahatan dan keadilan.[10]
Pada masa sekarang, keputusan yang harus diterima adalah keputusan
hakimyang sudah tetap. Artinya sudah tidak da peluang usaha hukum lain yang
bisa mengubah keputusan tersebut. Misalnya, dengan nik banding ke Pengadilan
Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan, keputusan MA saja di Indonesia,
bisa diubah dengan Peninjauan Kembali (PK) atas keputusan MA. Di satu sisi, hal
ini memberi peluang kepada para pencari keadilan, tetapi di sisi lain
menyebabkan perkaranya menjadi berlarut-larut penyelesainnya.[11]
Kaidah diatas sesuai dengan kaidah:
“Tidak boleh menentang keputusan hakim setelah
diputuskan (dengan keputusan yang tetap)”
1.
“Membelanjakan harta atas perintah hakim
seperti membelanjaknnya atas perintah pemilik”
Kaidah ini menegaskan bahwa perintah hakim yang diputuskannya dalam
pengadilan wajib ditaati, sebab memiliki kedudukan yang sama dengan perintah si
pemilik harta. Termasuk dalam kaidah ini adalah boleh menyita barang atas dasar
keputusan pengadilan yang sudah tetap. Demikian pula orang yang menemukan
barang temuan boleh menggunakannya atas perintah hakim.[12]
Dalam kasus jinayah, keputusan hakim yang memerintahkan terdakwa
mengembalikan harta hasil korupsi adalah sama dengan perintah dari negara yang
memilki harta tersebut. Sedangkan dalam contoh pencurian atau perampokan,
keputusan hakim sama dengan perintsh dari si pemilik harta.[13]
2.
“Kesalahan seorang hakim ditanggung oleh Bait al-Mal”
Seorang hakim yang dengan tidak sengaja salah dalam keputusannya sehingga
menyebabkan dia harus menanggung kerugian berupa harta, maka harta tersebut
diambil dari Bait al-Mal (perbendaharaan
negara), bukan diambil dari harta milik si hakim. Karena hakim hanyalah
pelaksana hukum dan mewakili negara dalam melaksanakan tugasnya dalam
menegakkan keadilan.[14]
Contohnya: seorang hakim menjatuhkan hukuman kepada si A, tetapi kemudian
ternyata bukan si A yang melakukan kejahatan tetapi si B. Selanjutnya si A
menuntut balik kepada si hakim untuk memberikan ganti rugi kepadanya. Maka
ganti rugi tersebut diambil dari Bait al-
Mal.[15]
Kaidah ini juga menunjukkan bagaimanasi hakim dalam menegakkan
keadilanharus telii dan hati-hati disertai bukti-bukti yang meyakinkan agar tidak
salah dalam menjatuhkan hukuman.[16]
Kesalahan seorang hakim setidaknya da tiga macam kemungkinan: pertama, salah dalam hukumnya sendiri
yaitu bertentangan dengan nash. Kedua, salah dalam sebabnya hukum
seperti mengambil pembuktian dengan saksi palsu. Ketiga, salah dalam prosedur seperti harusnya diputuskan dalam
majelis hakim tetapi diputuskan sendiri. Dalam hal ini, keputusan hakim bisa
ditolak dan tidak jadi tanggungan Bait
al-Mal.[17]
3.
“Bukti wajib diberikan oleh penggugat dan
sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari”
Seseorang yang menggugat orang lain dengan gugatan yang berbeda dengan
kenyataan lahirnya, maka kepadanya diwajibkan mengajukan bukti-buktinya. Adapun
bagi si tergugat dapat menolak atau mengingkari gugatan tadi. Dalam hal ini,
dimungkinkan bohongnya si tergugat dalam mengingakari gugatan tadi. Oleh karena
itu, si tergugat dapat diminta
mengucapakan sumpah apabial diminta penggugat.[18]
Kaidah yang sama maksudnya dengan kaidah tersebut di atas adalah:
“Bukti adalah untuk menetapkan yang berbeda
dengan keadaan lahirnya dan sumapah untuk menetapkan keadaan asalnya”[19]
4.
“Bukti adalah hujjah (alasan hukum) berdampak
kepada orang lain sedangkan pengakuan adalah hujjah yang hanya berlaku bagi
orang yang mengakuinya saja”
Pengakuan adalah pernyataan dari seseorang yang menyatakan tentang adanya
hak orang lain pada dirinya. Sedangkan bukti seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim (w.751 H)
adalah sesuatu yang menjelaskan tentang kebenaran. Ini artinya lebih luas
daripada alat bukti yang dijelaskan para fuqaha bahwa bukti adalah persaksian
dan sumpah. Sementara Salam Madkur menyebutkan baha tidak kuarang dari sepuluh
alat bukti yang dipraktikkan di pengadilan-pengadialn di dunia Islam.[20]
Maksud kaidah tersebut adalah bahwa suatu kasus yang dibuktikan dengan
alat-alat bukti, maka lat-alat bukti tadi bisa melibatkan orang lain, baik itu berupa saksi maupun keterangan ahli.
Bahakan saksi apabila ada bukti-bukti lain tentang keterlibatannya dalam suatu
perkara pidana, bisa berubah statusnya menjadi tersangka. Sedangkan pengakuan
hanya melibatkan diri orang yang mengaku saja, tidak bisa melibatakan diri
orang lain. Contohnya: apabila seseorang mengaku berzina, maka pengakuan
tersebut hanya berlaku bagi dirinya sendiri. Sedangkan orang lain yang diakuinya
berzina, tidak bisa dilibatkan apabila dia menyangkalnya, selama tidak ada
bukti lai n yang menguatkan pengakauan tadi.[21]
5.
“Pertanyaan itu terulang dalam jawaban”
Maksud kaidah ini adalah bahwa hukum dari jawaban itu terletak pada
soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada tergugat (dalam hal ini
suamai): Apakah engkau telah menalak istrimu? Dijawab: Ya. Maka bagi istri
telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.[22]
6.
“Orang yang dipercaya, perkataanya dibenarkan
dengan sumpah”
Seseorang yang bermaksud membebaskan diri dari tanggungan dan tuduhan, maka
agar hal itu bisa dipercaya, harus dikuatkan dengan sumpah. Contohnya: Orang
yang meminjamkan barang menggugat peminjam bahwa barang pinjamannya belum
dikembalikan. Sedangkan si peminjam memngatakan bahwa barang pinjamannya telah
dikembalikan. Maka untuk membenarkan perkataannya, dia harus bersumpah.[23]
7.
“Tidak bisa dijadikan hujjah (alasan)
keterangan-keterangan yang bertentangan, akan tetapi keputusan-keputusan hakim
tetap berlaku”
Kaidah ini berhubungan dengan keterangan saksi yang saling bertentangan di
depan sidang pengadilan. Akan tetapi, keputusan hakimyang diucapkan didepan
sidang pengadilan tetap berlaku dan tidak menyebabkan rusak dengan kesaksian
seorang saksi yang bertentangan.[24]
8.
“Seseorang dituntut karena pengakuannya”
Seorang subjek hukum yang telah memiliki kecakapan bertindak hukum secara
sempurna, harus mempertanggungjawabkan atas ucapannya dan perbuatannya.
Demikian pula pengakuan yang dia ucapakan mengikat kepadanya dan harus
mempertanggungjawabkannya. Misalnya, seseorang mengakui telah menjual rumah
dengan pembayaran diutang. Maka dia wajib menyerahkan rumah tersebut meskipun
harga belum dibayar lunas.[25]
9.
“Tidak dapat dijadikan hujjah (alasan) dengan
danya kemungkinan-kemungkinanyang timbul dari sutau petunjuk”
Dalil itu pegangan pokok dalam menetapkan hukum, karena dalil adalah sutau
keterangan yang objektif. Tetapi apabial dalil itu memberi kemungkinan
penyimpanagn dari maksudnya, maka tidak bisa dijadikan alasan untuk memutuskan
suatu perkara.[26]
Contohnya: ayah dan ibu serta anak-anaknya atau saudaranya dari tergugat
atau penggugat, tidak bisa dijadikan saksi karena bisa memberikan
keterangan-keterangan yang tidak sebenarnya.[27]
10.
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah
boleh kecuali perdamaina yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram”
Perdamaian diantara penggugat dan tergugat adalah baik dan dibolehkan,
kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal. Kaidah inilah yang dilakukan oleh hakim, yaitu harus mendamaikan kedua
belah pihak. Sesungguhnya perdamaian (al-Shulh)
tidak hanya berlaku dalam sidang pengadilan, tetapi berlaku pula dalam hal
lainnya,seperti pedamaian Hudaibiyah,dan
lain-lain[28]
11.
“Apa yang ditetapkan dengan bukti-bukti yang
adil seperti yang ditetapkan berdasar kenyataan”[29]
12.
“Darimana kamu dapatkan ini”
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam hukum pidana Islam, seseorang tersangka
harus membuktikan bahwa harta yang dimilikinaya, bukan dari hasil usaha yang
haram, seperti hasil pencurian,perampokan, atau korupsi.[30]
C.
Contoh Penerapan
Kaidah
- Apabila dalam suatu pernikanan
disepakati maharnya berupa pengajaran hafalan surat at-Baqarah dari si
suami kepada isterinya. Setelah beberapa waktu si isteri menuduh suaminya
belum menunaikannya hanya saja, faktanya si isteri tehah hafal surat
al-Baqarah. Penyebab hafalnya si istri ini memiliki beberapa kemungkinan.
Mungkin karena diajari suami mungkin juga karena yang lain. Dalam masalah
ini penyebab yang zhahir adalah diajari suami, karena mereka tinggal
serumah dan diajari suami, sementara penyebab yang lainnya adalah sebab
yang belum pasti, atau sekedar dugaan. Berdasarkan kaidah di atas, bahwa
hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka dalam
hal ini ditetapkan, si suami telah menunaikan mahar, dan tuduhan isteri
tertolak, kecuali jika ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa suami belum
menunaikan mahar tersebut.[31]
- Apabila ada seseorang yang
sedang dalam keadaan ihram melukai binatang buruan namun tidak
mematikan. Beberapa waktu kemudian binatang itu ditemukan
dalam keadaan mati dan tidak ada luka lain kecuali luka yang pertama.
Dalam hal ini ada dua kemungkinan penyebab kematiannya. Pertama,
sebab yang maklum (nampak) yaitu luka. Kedua, sebab yang masih
diperkirakan, yaitu sebab-sebablainnya, seperti jatuh, kelaparan dan
semisalnya. Berdasarkan kaidah di atas bahwa hukum suatu perkara
ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka
berdasarkan ini ditetapkan kematiannya disebabkan oleh luka dari orang yang sedang ihram tersebut. Sehingga, dia berkewajiban menggantinya dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang mati itu.[32] - Jika seseorang melukai orang
lain dengan luka yang tidak mematikan. Selang beberapa waktu kemudian
temyata orang itu meninggal. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan
penyebab kematiannya. Mungkin disebabkan semakin parahnya luka tersebut
dan ini adalah sebab yang maklum (nampak); Dan mungkin juga disebabkan
perkara lain yang diperkirakan. Sehingga berdasarkan kaidah ini
kematiannya disandarkan kepada sebab yang maklum, yaitu semakin parahnya
luka tersebut. Maka dalam kasus ini, wajib diterapkan hukum qishosh jika
hal itu terjadi karena 'amdun 'udwan (sengaja dan terencana) atau wajib
diyat jika hal itu terjadi karena khatha' (tersalah), atau syibhu 'amdin
(menyerupai sengaja).6 Namun, dalam kasus
seperti ini perlu ada pemeriksaan dari dokter Muslim yang berkompeten yang
menegaskan bahwa kematian tersebut memang disebabkan lukanya yang semakin
parah.[33]
Sebagaimana
yang dikatakan oleh ulama ushul bahwa qaidah fiqhiyyah itu adalah qaidah-qaidah
umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqhi yang menjadi pedoman
untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyyah baik yang telah ditunjuk oleh
nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Oleh karena itu,
dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, seseorang telah memiliki pedoman untuk
menetapkan hukum untuk setiap peristiwa fiqhiyyah, seperti bayi tabung,
transplantasi organ tubuh dan sebagainya.
Di
samping itu juga berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk
mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyyah dan sebagai qoidah (dalil)
untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang telah ditunjuk oleh nash yang
sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu,
setiap orang yang sanggup menguasai qaidah-qaidah fiqhiyyah niscaya mampu
menguasai seluruh bagian masalah fiqh dan sanggup menetapkan ketentuan hukum
setiap peristiwa yang belum atau tidak ada nashnya.
Selain
itu, kebutuhan para penggali hokum fiqh untuk menghapal qaidah, dewasa ini
semakin mendesak. Hal itu antara lain, karena semakin kompleksnya berbagai
masalah dalam kehidupan.
|
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di dalam fiqih, istilah qadha dipakai pada dua tempat yaitu dalam
arti lembaga peradilan dan qadha dalam arti pelaksanan kewajiban, khususnya
ibadah.Qadha dalam pengertian yang pertama secara bahasa mempunyai arti: menyelesaikan,
menunaikan, dan memutusakan hukum atau membuat suatu ketetapan. Sedangkan
menurut istilah ahli fiqh, qadha bearti Lembaga Hukumdan perkataan yang harus
dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umumatau
menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut
Sallam Madkur qadha disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan
tidak adil.
Dalam islam dikenal pembidangan fikih, seperti fiqh ahwal al-syahksiyyah dan
muamalah yang apabila ada persengketaan ditangani oleh Peradilan
Perdata. Di Indonesia, khusus bidang ahwal
al-syakhsiyyah dan wakaf ditangani oleh Peradilan Agama. Fiqh jinayah, yang
apabila ada kejahatan ditangi oleh peradilan pidana. Fiqh siyasah ditangani
oleh wilayah al-mazhalim, sekarang oleh lembaga tata usaha negara.
B. Kritik dan Saran
Masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui tentang kaidah-kaidah fikih yang khusus di bidang fikih qhada’
ini,untuk itu disarankan kepada orang-orang yang lebih mengetahui dan paham
tentang hal ini untuk mengadakan sosialisasi kepada masyarakat.
14
|
|
Djazuli.2011.Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana
Imam,Musbikin. 2011. Qawa’id
Al-Fiqhiyah.
Jakarta : Raja Grafindo Persada
Jaih
Mubarok, 2002. Kaidah Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Muchlis Usman,
1999. Kaidah-Kaidah ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
[31] Usman, Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
(Jakarta : Rajawali Pers, 1999), h. 66
[32]Usman,
Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, , h. 67
[33]Usman,
Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, , h. 69
No comments:
Post a Comment