Indonesia adalah sebuah bangsa yang komposisinya
sangat beragam, baik ras, agama, aliran kepercayaan, bahasa, adat istiadat,
orientasi kultur maupun pandangan hidupnya. Keragaman ini (baca: multikultural)
memerlukan paradigma berpikir baru. Sebab, keragaman itu, khususnya dalam
agama, dapat menimbulkan berbagai konflik. Konflik terbuka antar (umat) agama
itu muncul lantaran adanya paham keagamaan yang eksklusif walaupun bukan
satu-satunya penyebab. Namun, agama telah memberikan kontribusi besar terhadap
munculnya konflik di beberapa daerah. Konflik antar agama itu perlu
diselesaikan dengan merumuskan paradigma baru yang bisa mengantarkan umat
beragama bisa hidup damai, toleran dan saling menghormati, terutama umat Islam
sebagai kaum mayoritas. Karena itu, umat Islam perlu merumuskan paradigma ushul
fiqih multikultural yang diharapkan mampu untuk menjawab kepentingan kultural
kemanusiaan yang beragam tersebut.
Pengertian Multikultural
Istilah multikultural adalah gabungan dari kata multy
(banyak) dan cultur (budaya). Multikultural secara singkat, adalah sebuah
paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Dalam tradisi keilmuan, multikulturalitas
teradapat dua orientasi, yaitu Pertama, multikulturalitas statis yang berarti
suatu pandangan mengenai keragaman yang berisfat fragmentatif, keragaman itu
menjadi serpihan-serpihan budaya yang berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan
spesifikasi masing-masing. Kedua, multikulturalitas dinamis yang berarti bahwa
dalam beragam budaya atau tradisi terjadi interkulturalitas. Identitas baru
yang dikonstruksi tidak lagi terkungkung pada lokalitas tertentu, tetapi
menekankan kolektivitas identitas lokalitas masing-masing kelompok identitas
yang telah mengalami kondisi fragmentasi.
Multikultural
Masyarakat Indonesia
Secara umum, masyarakat itu merupakan eksistensi yang
hidup dan dinamis yang dapat membentuk pranata dan tanggung jawabnya sendiri.7
Dinamika kehidupan ini menjadi tuntutan tersendiri untuk membangun budaya yang
berwawasan multikultural di Indonesia. Hal ini didasari beberapa alasan.
Pertama, manusia diciptakan dalam keanekaragaman budaya. Kedua, dalam banyak
kasus konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) pada dasawarsa
terakhir ditengarai berkaitan erat dengan masalah kebudayaan (lihat: AlQadrie,
2005 dan Rahman, 2005). Ketiga, pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan
kebutuhan bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi tantangan global (baca: Samuel
P. Huntington, 1993). Dalam hal konflik agama, para peneliti termasuk Thomas
Santoso menyebutkan bahwa terjadinya pengrusakan rumah ibadah disebabkan adanya
pemahaman keagamaan yang dangkal walaupun agama bukan satu-satunya penyebab
konflik dan kekerasan, sebagaimana temuan Riza Sihbudi. Di atas semua itu,
beragam konflik yang tumbuh subur pada dasawarsa terakhir ini lantaran pada
zaman Orde Baru, dengan jargon “persatuan” dan “kesatuan” yang dikawal serdadu
berusaha untuk menghapus segala potensi benturan atas dasar suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA).
Untuk menjawab hal tersebut adalah dengan merumuskan
paradigma berpikir multikulural, yakni paradigma berpikir yang bisa
menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya, bukan paradigma
monokultural yang mengabaikan keragaman dan telah mendorong munculnya pola
pikir radikal, ekstrim, dan berlebihan. Salah satu persoalan krusial dalam
kehidupan religius bangsa Indonesia adalah pemikiran mayoritas bangsa Indonesia
yang beragama Islam, yakni pemikiran ushul fiqih yang perlu untuk selalu
diperbarui agar terbangun pola hidup dan amalan praktis fiqih kaum Muslim yang
bisa menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya, agama, dan hal
lain.
Deskripsi Tentang Syari‘Ah, Fiqh Dan Ushul Fiqih
Pertama, secara etimologis, syara‘a berarti
“menggambar jalan yang jelas menuju ke sumber air”, sedang secara terminologis,
syari‘ah memiliki arti sebagai ketentuan hukum yang ditetapkan Allah yang
diperuntukkan bagi hamba-Nya untuk diikuti. Dalam arti ini juga tercakup aturan
hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an; lalu aturan yang terkandung dalam al-Hadits
(verbal traditions), dan selanjutnya tafsir, pendapat-pendapat, ijtihad
(personal opinion), fatwa (religious opinion) ulama, dan keputusan-keputusan
hakim. Kedua, secara harfiah, fiqh berarti “pemahaman yang mendalam tentang
tujuan suatu ucapan dan perbuatan”. Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang
hukum-hukum syara‘ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari
dalil-dalil yang tafsili melalui penalaran. Ketiga, ushul fiqih adalah ilmu
yang membahas tentang sumber-sumber pokok dan metode-metode pengambilan
kesimpulan atau istimbat hukum Islam. Para fuqaha’ melakukan usahanya untuk
menemukan pemecahan di bidang hukum dari sumber-sumber dan dalildalil al-Qur’an
dan Sunnah. Menurut Syekh Kamaluddin Ibn Himam, ushul fiqih adalah ilmu tentang
kaidahkaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum fiqih. Atau
dengan kata lain disebutkan bahwa kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara
pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari
dalil-dalil syar’ i.
Pergeseran Paradigma
Ushul Fiqih
1.
Sumber Fiqh
Multikultural
‘Abd al-Wahhâb Khallâf
mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhannya adalah qath‘i baik dari
sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari Nabi Muhammad saw. pada
umatnya. Teks al- Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada
umatnya tanpa ada perubahan dan penggantian sedikit pun. Sementara al-Sunnah
(al-Hadits) sebagai sumber kedua juga memiliki nilai qath‘i tetapi berbeda
dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘i al-wurûd (memiliki validitas
kuat datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah) dan zhanni al-wurûd (tidak
memiliki validitas kuat datanganya dari Nabi; al-Sunnah al-Ahâd). Fuqaha’
monokultural menyatakan bahwa teks al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, qath‘i al-dilâlah adalah teks yang memiliki pengertian yang jelas dan
tidak menimbulkan ta’wil serta tidak ada jalan untuk dipahami selain dari arti
yang jelas itu. Kedua, zhanni al-dilâlah adalah teks yang memiliki suatu
pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wil atau dapat diubah dari
pengertian aslinya kepada pengertian lain. Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya
teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai dan menetapkan ketentuan
hukum/fiqih.
Sementara itu, fuqaha’
multikultural mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah firman literal dan final
dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama menyampaikan misinya sering
menjelaskan dan mengelaborasi arti atau makna teks al-Qur’an, dan menambahkan
keputusan-keputusannya melalui perkataan (statemen) dan perbuatan (action)
serta persetujuannya pada para pengikutnya (sahabat Nabi) berdasarkan
kepentingan kultural (kemaslahatan) umat. Keputusan Nabi ini kemudian dikenal
sebagai al-Sunnah yang dijadikan sumber kedua oleh umat Islam.
Paradigma Ijtihad Fiqih Multikultural
Dalam
perspektif historis, sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan
Piagam Madinahnya menjadi dasar hukum fiqih bagi legalitas multikulturalisme.
Piagam Madinah ini adalah konsensi atas Hijrah
Nabi Muhammad saw yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di
Makkah. Dalam perkembangannya setelah wafatnya
Nabi Muhammad Saw, proses pembentukan hukum fiqih mulai mengalami perdebatan
seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahatan umat) dan wahyu (yang
berasaskan teks/nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat antara Umar
ibn al-Khattab dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian muallaf dan
pembagian harta rampasan perang. Umar berpijak pada kepentingan kultural
masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada tradisi
formal-legalistik. Perkembangan perdebatan fiqih di dunia Islam, khususnya di
Indonesia, juga tidak lepas dari persoalan peran teks dan kultur tersebut.
Tarik
menarik antara peran teks dan kultur menimbulkan polarisasi paradigmatik dalam
pembaruah fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih multikultural yang
berupaya melahirkan kaidah dan rumusan fiqih yang sesuai dengan kepentingan
kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua, paradigma ushul fiqih
monokultural yang meletakkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar
pijaknya dalam menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap tidak mampu
menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang jelas dan rinci. Demikian juga kultur
tidak memiliki peran strategis dalam merumuskan ketentuan fiqih.
Mujtahid Yang Berwawasan Multikultural
Ijtihad merupakan usaha
yang sungguh-sungguh dari mujtahid dalam menemukan hukum-hukum syar‘i. Mujtahid
harus memenuhi tiga syarat: Pertama, pengerahan segala kemampuan dari mujtahid.
Kedua, usaha yang sungguh-sungguh itu adalah untuk mencari hukum-hukum syar‘i
yang bersifat zhanni. Ketiga, pencarian hal-hal yang zhanni itu adalah dari
teks syar‘i (al-Qur’an dan al-Sunnah). Syarat mujtahid meliputi beberapa hal
berikut: Pertama, syarat umumnya adalah baligh, berakal, memahami masalah, dan
beriman. Kedua, syarat utamanya adalah mengetahui bahasa Arab, ilmu ushul
fiqih, ilmu mantiq (logika), dan mengetahui hukum asal. Ketiga, syarat yang
pokok adalah mengetahui al- Qur’an, al-Sunnah, maqâsid al-syar‘i, asrâr
al-syar‘i, dan mengetahui qawâid al-fiqhiyyah. Adapun mujtahid meliputi tiga
tingkatan: Pertama, mujtahid al-madzhab adalah seorang mujtahid yang mengikuti
(yuqallidu) teori ijtihad dari salah satu imam madzhab, sedangkan produk
hukumnya boleh berbeda. Kedua, mujtahid al-mas’alah adalah seorang mujtahid
yang boleh melakukan ijtihad dengan hanya berbekal pengetahuan yang berhubungan
dengan satu persoalan yang akan dipecahkan dan produk hukumnya boleh berbeda.
Ketiga, mujtahid al-mutlaq adalah seseorang yang memiliki kemampuan mencetuskan
teori dan rumusan ketentuan hukum syar‘i. Di luar tiga hal tersebut adalah
muqallid, yang tindakannya sering disebut “taqlid”.
Salah satu contoh
gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar yang menempatkan gagasan
fiqihnya yang berbasis kultural, kepentingan penduduk setempat, dalam masalah
harta rampasan perang (baca: al-Qur’an 59: 6-10). Gagasan Umar itu
mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat setempat, sehingga ia
dapat mengamalkan pesan living tradition dari Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi
dalam wujud tindakan baru yang sudah mengalami the autonomisation of action
–meminjam istilah Ricoeur- dari pelaku aslinya, Nabi. Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada
apresiasi luar biasa terhadap kepentingan kultural kemanusiaan melalui urf.
Misalnya, Imam Hanafi menolak qiyâs demi mempertahankan urf/tradisi yang baik.
Demikian juga Imam Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih
yang valid. Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid
pada hakikatnya juga memiliki perhatian terhadap aspek kultural/urf.
Dalam kehidupan
Indonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab memiliki arti penting untuk
memberikan sumbangan penting bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam agar mereka memiliki paradigma (fiqih) Islam yang berwawasan
multikultural, bukan paradigma (fiqih) Islam yang bertitik tolak pada pemikiran
dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang hanya berpijak pada
akar pemikiran rasional dan empiris.34 Hal ini penting untuk menjawab kelemahan
padarigma ushul fiqih di Indonesia yang monolitik (single entities) dan
berwawasan taqlid.
Paradigma usul fikih yang
diperlukan saat ini adalah paradigma usul fikih multikultural, bukan paradigma
usul fikih monokultural, yang memiliki beberapa karakteristik berikut: Pertama,
ia menekankan pada pengambilan nilai-nilai budaya manusia sebagai prinsipnya dalam
merumuskan hukum fikih, yakni mendasarkan diri pada ayat-ayat universal, bukan ayat-ayat
partikular, untuk menangkap dan mengakomodasi keragaman kepentingan budaya manusia
yang sahih. Kedua, ia mendorong kaum Muslim untuk selalu menangkap realitas aktual
kekiniannya melalui pergeseran paradigma berpikir. Ketiga, ia berusaha
menghargai dan menghormati adanya perbedaan gaya hidup beragama sebagai
keniscayaan sebagai konter terhadap adanya gerakan formalisasi hukum fikih yang
ekslusif dan sektarian di sejumlah daerah di Indonesia.
No comments:
Post a Comment