Sunday, April 22, 2018

Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gusdur


Indonesia adalah sebuah bangsa yang komposisinya sangat beragam, baik ras, agama, aliran kepercayaan, bahasa, adat istiadat, orientasi kultur maupun pandangan hidupnya. Keragaman ini (baca: multikultural) memerlukan paradigma berpikir baru. Sebab, keragaman itu, khususnya dalam agama, dapat menimbulkan berbagai konflik. Konflik terbuka antar (umat) agama itu muncul lantaran adanya paham keagamaan yang eksklusif walaupun bukan satu-satunya penyebab. Namun, agama telah memberikan kontribusi besar terhadap munculnya konflik di beberapa daerah. Konflik antar agama itu perlu diselesaikan dengan merumuskan paradigma baru yang bisa mengantarkan umat beragama bisa hidup damai, toleran dan saling menghormati, terutama umat Islam sebagai kaum mayoritas. Karena itu, umat Islam perlu merumuskan paradigma ushul fiqih multikultural yang diharapkan mampu untuk menjawab kepentingan kultural kemanusiaan yang beragam tersebut.

Pengertian Multikultural
Istilah multikultural adalah gabungan dari kata multy (banyak) dan cultur (budaya). Multikultural secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Dalam tradisi keilmuan, multikulturalitas teradapat dua orientasi, yaitu Pertama, multikulturalitas statis yang berarti suatu pandangan mengenai keragaman yang berisfat fragmentatif, keragaman itu menjadi serpihan-serpihan budaya yang berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Kedua, multikulturalitas dinamis yang berarti bahwa dalam beragam budaya atau tradisi terjadi interkulturalitas. Identitas baru yang dikonstruksi tidak lagi terkungkung pada lokalitas tertentu, tetapi menekankan kolektivitas identitas lokalitas masing-masing kelompok identitas yang telah mengalami kondisi fragmentasi.

Multikultural Masyarakat Indonesia
Secara umum, masyarakat itu merupakan eksistensi yang hidup dan dinamis yang dapat membentuk pranata dan tanggung jawabnya sendiri.7 Dinamika kehidupan ini menjadi tuntutan tersendiri untuk membangun budaya yang berwawasan multikultural di Indonesia. Hal ini didasari beberapa alasan. Pertama, manusia diciptakan dalam keanekaragaman budaya. Kedua, dalam banyak kasus konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) pada dasawarsa terakhir ditengarai berkaitan erat dengan masalah kebudayaan (lihat: AlQadrie, 2005 dan Rahman, 2005). Ketiga, pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi tantangan global (baca: Samuel P. Huntington, 1993). Dalam hal konflik agama, para peneliti termasuk Thomas Santoso menyebutkan bahwa terjadinya pengrusakan rumah ibadah disebabkan adanya pemahaman keagamaan yang dangkal walaupun agama bukan satu-satunya penyebab konflik dan kekerasan, sebagaimana temuan Riza Sihbudi. Di atas semua itu, beragam konflik yang tumbuh subur pada dasawarsa terakhir ini lantaran pada zaman Orde Baru, dengan jargon “persatuan” dan “kesatuan” yang dikawal serdadu berusaha untuk menghapus segala potensi benturan atas dasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Untuk menjawab hal tersebut adalah dengan merumuskan paradigma berpikir multikulural, yakni paradigma berpikir yang bisa menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya, bukan paradigma monokultural yang mengabaikan keragaman dan telah mendorong munculnya pola pikir radikal, ekstrim, dan berlebihan. Salah satu persoalan krusial dalam kehidupan religius bangsa Indonesia adalah pemikiran mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam, yakni pemikiran ushul fiqih yang perlu untuk selalu diperbarui agar terbangun pola hidup dan amalan praktis fiqih kaum Muslim yang bisa menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya, agama, dan hal lain.

Deskripsi Tentang Syari‘Ah, Fiqh Dan Ushul Fiqih
Pertama, secara etimologis, syara‘a berarti “menggambar jalan yang jelas menuju ke sumber air”, sedang secara terminologis, syari‘ah memiliki arti sebagai ketentuan hukum yang ditetapkan Allah yang diperuntukkan bagi hamba-Nya untuk diikuti. Dalam arti ini juga tercakup aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an; lalu aturan yang terkandung dalam al-Hadits (verbal traditions), dan selanjutnya tafsir, pendapat-pendapat, ijtihad (personal opinion), fatwa (religious opinion) ulama, dan keputusan-keputusan hakim. Kedua, secara harfiah, fiqh berarti “pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan”. Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‘ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili melalui penalaran. Ketiga, ushul fiqih adalah ilmu yang membahas tentang sumber-sumber pokok dan metode-metode pengambilan kesimpulan atau istimbat hukum Islam. Para fuqaha’ melakukan usahanya untuk menemukan pemecahan di bidang hukum dari sumber-sumber dan dalildalil al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Syekh Kamaluddin Ibn Himam, ushul fiqih adalah ilmu tentang kaidahkaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum fiqih. Atau dengan kata lain disebutkan bahwa kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’ i.

Pergeseran Paradigma Ushul Fiqih
1.      Sumber Fiqh Multikultural
‘Abd al-Wahhâb Khallâf mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhannya adalah qath‘i baik dari sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari Nabi Muhammad saw. pada umatnya. Teks al- Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada umatnya tanpa ada perubahan dan penggantian sedikit pun. Sementara al-Sunnah (al-Hadits) sebagai sumber kedua juga memiliki nilai qath‘i tetapi berbeda dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘i al-wurûd (memiliki validitas kuat datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah) dan zhanni al-wurûd (tidak memiliki validitas kuat datanganya dari Nabi; al-Sunnah al-Ahâd). Fuqaha’ monokultural menyatakan bahwa teks al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian: Pertama, qath‘i al-dilâlah adalah teks yang memiliki pengertian yang jelas dan tidak menimbulkan ta’wil serta tidak ada jalan untuk dipahami selain dari arti yang jelas itu. Kedua, zhanni al-dilâlah adalah teks yang memiliki suatu pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wil atau dapat diubah dari pengertian aslinya kepada pengertian lain. Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai dan menetapkan ketentuan hukum/fiqih.
Sementara itu, fuqaha’ multikultural mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah firman literal dan final dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama menyampaikan misinya sering menjelaskan dan mengelaborasi arti atau makna teks al-Qur’an, dan menambahkan keputusan-keputusannya melalui perkataan (statemen) dan perbuatan (action) serta persetujuannya pada para pengikutnya (sahabat Nabi) berdasarkan kepentingan kultural (kemaslahatan) umat. Keputusan Nabi ini kemudian dikenal sebagai al-Sunnah yang dijadikan sumber kedua oleh umat Islam.
Paradigma Ijtihad Fiqih Multikultural
Dalam perspektif historis, sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya menjadi dasar hukum fiqih bagi legalitas multikulturalisme. Piagam Madinah ini adalah konsensi atas Hijrah Nabi Muhammad saw yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah. Dalam perkembangannya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, proses pembentukan hukum fiqih mulai mengalami perdebatan seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahatan umat) dan wahyu (yang berasaskan teks/nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat antara Umar ibn al-Khattab dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian muallaf dan pembagian harta rampasan perang. Umar berpijak pada kepentingan kultural masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada tradisi formal-legalistik. Perkembangan perdebatan fiqih di dunia Islam, khususnya di Indonesia, juga tidak lepas dari persoalan peran teks dan kultur tersebut.
Tarik menarik antara peran teks dan kultur menimbulkan polarisasi paradigmatik dalam pembaruah fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih multikultural yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan fiqih yang sesuai dengan kepentingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua, paradigma ushul fiqih monokultural yang meletakkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pijaknya dalam menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap tidak mampu menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang jelas dan rinci. Demikian juga kultur tidak memiliki peran strategis dalam merumuskan ketentuan fiqih.
Mujtahid Yang Berwawasan Multikultural
Ijtihad merupakan usaha yang sungguh-sungguh dari mujtahid dalam menemukan hukum-hukum syar‘i. Mujtahid harus memenuhi tiga syarat: Pertama, pengerahan segala kemampuan dari mujtahid. Kedua, usaha yang sungguh-sungguh itu adalah untuk mencari hukum-hukum syar‘i yang bersifat zhanni. Ketiga, pencarian hal-hal yang zhanni itu adalah dari teks syar‘i (al-Qur’an dan al-Sunnah). Syarat mujtahid meliputi beberapa hal berikut: Pertama, syarat umumnya adalah baligh, berakal, memahami masalah, dan beriman. Kedua, syarat utamanya adalah mengetahui bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu mantiq (logika), dan mengetahui hukum asal. Ketiga, syarat yang pokok adalah mengetahui al- Qur’an, al-Sunnah, maqâsid al-syar‘i, asrâr al-syar‘i, dan mengetahui qawâid al-fiqhiyyah. Adapun mujtahid meliputi tiga tingkatan: Pertama, mujtahid al-madzhab adalah seorang mujtahid yang mengikuti (yuqallidu) teori ijtihad dari salah satu imam madzhab, sedangkan produk hukumnya boleh berbeda. Kedua, mujtahid al-mas’alah adalah seorang mujtahid yang boleh melakukan ijtihad dengan hanya berbekal pengetahuan yang berhubungan dengan satu persoalan yang akan dipecahkan dan produk hukumnya boleh berbeda. Ketiga, mujtahid al-mutlaq adalah seseorang yang memiliki kemampuan mencetuskan teori dan rumusan ketentuan hukum syar‘i. Di luar tiga hal tersebut adalah muqallid, yang tindakannya sering disebut “taqlid”.
Salah satu contoh gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar yang menempatkan gagasan fiqihnya yang berbasis kultural, kepentingan penduduk setempat, dalam masalah harta rampasan perang (baca: al-Qur’an 59: 6-10). Gagasan Umar itu mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat setempat, sehingga ia dapat mengamalkan pesan living tradition dari Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi dalam wujud tindakan baru yang sudah mengalami the autonomisation of action –meminjam istilah Ricoeur- dari pelaku aslinya, Nabi.  Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada apresiasi luar biasa terhadap kepentingan kultural kemanusiaan melalui urf. Misalnya, Imam Hanafi menolak qiyâs demi mempertahankan urf/tradisi yang baik. Demikian juga Imam Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih yang valid. Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid pada hakikatnya juga memiliki perhatian terhadap aspek kultural/urf.
Dalam kehidupan Indonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab memiliki arti penting untuk memberikan sumbangan penting bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam agar mereka memiliki paradigma (fiqih) Islam yang berwawasan multikultural, bukan paradigma (fiqih) Islam yang bertitik tolak pada pemikiran dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang hanya berpijak pada akar pemikiran rasional dan empiris.34 Hal ini penting untuk menjawab kelemahan padarigma ushul fiqih di Indonesia yang monolitik (single entities) dan berwawasan taqlid.
Paradigma usul fikih yang diperlukan saat ini adalah paradigma usul fikih multikultural, bukan paradigma usul fikih monokultural, yang memiliki beberapa karakteristik berikut: Pertama, ia menekankan pada pengambilan nilai-nilai budaya manusia sebagai prinsipnya dalam merumuskan hukum fikih, yakni mendasarkan diri pada ayat-ayat universal, bukan ayat-ayat partikular, untuk menangkap dan mengakomodasi keragaman kepentingan budaya manusia yang sahih. Kedua, ia mendorong kaum Muslim untuk selalu menangkap realitas aktual kekiniannya melalui pergeseran paradigma berpikir. Ketiga, ia berusaha menghargai dan menghormati adanya perbedaan gaya hidup beragama sebagai keniscayaan sebagai konter terhadap adanya gerakan formalisasi hukum fikih yang ekslusif dan sektarian di sejumlah daerah di Indonesia.

No comments:

Post a Comment