BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah
agama terakhir yang diturunkan sebagai penyempurna agama-agama yang pernah ada
yang disampaikan oleh seorang Rasul pilihan sebagai pembawa rahmat bagi seluruh
alam, Islam merupakan agama yang hak, mutlak kebenarannya. Al – Qur’an kitab
suci sebagai pedoman dan sumber ajaran Islam yang paling utama sekaligus
sebagai bukti dari kesesuaian ajaran Islam dalam segala ruang dan waktu. Dalam
rangka meningkatkan syi’ar Islam diberbagai tempat di Indonesia, terutama di
Jawa, baik lewat pengajian umum, maupun kegiatan lain, seperti Istighostash
Kubraa, Jama’ah yasin dan tahlil, jam’ah dibaiyah manaqiban dan sebagainya.
Maraknya
kegiatan seperti ini memang patut dibanggakan dan dibarengi rasa syukur, namun
dalam prakteknya masih banyak sesuatu yang masih perlu dibenahi agar
pelaksanaan dan hasilnya bisa lebih baik. Dalam hal ini adalah masalah
kuranganya usaha pemahaman dari kegiatan ini, khususnya dari apa yang
senantiasa dibaca para jama’ah, bahkan banyak yang sudah dihafalkannya.
Selama ini
hanya mementingkan rutinnya kegiatan dengan sekedar membaca dengan lagu-lagu
tertentu, namun kebanyakan tidak berusaha memahami arti dan makna yang
terkandung dalam bacaan itu, jadi (maaf) kebanyakan hanya senang berkumpul,
baca Diba’, Manaqib, Yasin tahlil dan sejenisnya, kadang dibarengi arisan
kemudian bubar.selama bertahun-tahun kegiatannya Cuma seperti itu saja. Belum
mengarah pada pemahaman, misalnya jama’ah Yasin tahlil mestinya jangan hanya
berusaha membaca, menghafal saja, namun alangkah baiknya ditambah dengan
pengkajian tentang makna dan kandungan bacaan tersebut.
Untuk itulah,
dalam rangka menambah ilmu dan wawasan serta pemahaman sekaligus meningkatkan
mutu kegiatan-kegiatan masyarakat tersebut. Dan dalam rangka meningkatkan ilmu
pengetahuan dan wawasan keislaman, sejarah singkat untuk melengkapi/menambah
dati sesuatu yang sudah dikisahkan dalam manaqib ini, dengan harapan semoga
kita bisa mengenal lebih dalam lagi terhadap Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani,
seorang Sulfhanul Auliya' dan Wali Quthub, pendiri thariqah-mu'tabarah
Qadiriyah, baik sejarah hidupnya, karamahnya, maupun ajaran-ajarannya, sehingga
kita dapat meneladani beliau dalam segala tingkah laku dan perbuatan dalam
kehidupan ini.
Oleh karena
itu, di dalam makalah ini akan kita bahas bersama mengenai sejarah tarekat
qadariyah, ajaran, praktek serta
penyebarannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah tarekat qadariyah?
2.
Bagaimana ajaran dan praktek tarekat
qadariyah?
3.
Bagaimana proses penyebaran tarekat
qadariyah?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui sejarah tarekatqadariyah
2.
Untuk memahami penyebaran dan praktek ajaran
tarekat qadariyah
3.
Untuk memahami proses penyebaran tarekat
qadariyah
D.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah
adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu `Abd al-Qâdir
Jîlânî, yang terkenal dengan sebutan Syeikh `Abd al-Qâdir Jilani al-ghawsts atau quthb
al-awliyâ’. Syeikh `Abd al-Qâdir lahir di desa
Naif kota Gilan tahun 470/1077, yaitu wilayah yang terletak 150 km
timurlautBagdad. Ibunya seorang yang salih bernama Fathîmah bint ‘Abdullah
as-Shamâ’î al-Husaynî, ketika melahirkan Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni
ibunya berumur 60 tahun, suatu kelahiran yang tidak lazim terjadi bagi wanita
yang seumurnya.[1] Ayahnya bernama Abû Shâlih, yang jauh
sebelum kelahirannya ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw, yang
diiringi oleh para sahabat, imam mujahidin, dan wali. Nabi Muhammad berkata,
“Wahai Abû Shâlih, Allah akan memberi anak laki-laki, anak itu kelak akan
mendapat pangkat yang tinggi dalam kewalian sebagaimana halnya aku mendapat
pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.” Ayahnya meninggal pada
saat usianya masih teramat belia, sehingga dia dibesarkan dan diasuh oleh
kakeknya.[2]
Syeikh `Abd
al-Qâdir meninggal di Bagddad pada tahun 561/1166. Makamnya sejak dulu hingga
sekarang tetap diziarahi khlayak ramai, dari segala penjuru dunia Islam. Di
kalangan kaum sufi Syeikh `Abd al-Qâdir diakui sebagai sosok yang menempati
hierarki mistik yang tertinggi (al-Ghawts al-A`zham). Hujwîrî mebuat
klasifikasi dan hierarki para penerima pencerahan Ilahi, yang terbagi pada enam
tingkatan. Tingkat dasar adalah Akhyâr berjumlah 300 orang,
tingkat Abdâl berjumlah 40 orang, tingkat Abrâr 7
orang, tingkat Autâd 4 orang, Nuqabâ 3 orang,
dan yang tertinggi adalah Quthb atauGhawts 1
orang. Ibn `Arabî menyebut Syeikh `Abd al-Qâdir sebagai wali Quthb pada
zamannya.[3]
Kontribusinya
terhadap spiritualitas Islam memang amat penting. Ia mendirikan suatu gerakan
yang amat kuat dalam membentuk budaya spiritual Islam yang bersifat massif.
Beberapa pendiri tarekat, seperti Khwajah Mu`in al-Dîn al-Khistî dan
Syeikh Najîb al-Dîn `Abd al-Qâhir Suhrawardî terpengaruh oleh ajaran-ajarannya
dan ungkapan para sahabatnya. Bahkan cerita yang populer dan sekaligus
diperdebatkan menceritakan kehebatan Syeikh `Abd al-Qâdir. Dilaporkan bahwa
Syeikh `Abd al-Qâdir pernah berkata, “Kakiku ada di atas kepala seluruh wali.”
Meskipun ungkapan sejenis ini sering dicela, perkataannya itu tetap
menjadi pegangan bagi pengikutnya, bahkan semakin banyak ungkapan yang amat
menyanjung kehebatan Syeikh `Abd al-Qâdir.[4]
Cerita tentang
kehebatan Syeikh `Abd al-Qâdir banyak diungkapkan dalam berbagai buku tarekat,
terutama Manakib Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlânî, bahkan mengungkapkan kehebatan
syeikh tersebut merupakan kewajiban ketika akan memulai pengjian. Memang agak
sulit untuk membedakan antara fakta sejarah dengan legenda dalam mengkaji sosok
Syeikh `Abd al-Qâdir karena sejarah dan ajarannya ditulis beberapa puluh tahun
setelah dia wafat dan yang menulis adalah para pengikut yang amat setia.
Nama lengkap
Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni adalah Abu Muhammad `Abd al-Qâdir Jîlâni ibn Abi
Shalih ibn Musa bin Janki Dusat (Janka Dusat) bin Abi Abdillah bin Yahya
az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdilllah al-Mahdhi bin Hasan
al-Musanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra
al-Batul binti Rasulullah saw.[5]
Syeikh `Abd
al-Qâdir Jîlâni semenjak kecil telah dianugerahi kejujuran serupa kejujuran
sahabat Abu Bakar as-Sidik dan keadilan serupa keadilannya sahabat Umar bin
Khatab al-Faruq, kehalusan pekerti serupa kehalusan sahabat Usman bin Affan
Dzun-Nurain, dan keberanian serupa keberanian sahabat Ali bin Abu Thalib
Karamallah Wajhah.[6]
Seperti
anak-anak pada umumnya di desa, beliau mencoba menggembala onta, satu
ketrampilan dasar bagi anak-anak saat itu. Sesampainya di tengah kebun gembala,
salah satu onta berbicara: “Hai `Abd al-Qâdir engkau diciptakan bukan untuk
ini” yaitu menggembala. Segera beliau pulang mengadukan kejadian itu.
Memasuki usia
baligh nampak kecenderungan ilmu yang sangat luar biasa. Beliau lebih nampak
berdiam diri dan condong terhadap hal ikhwal spiritual. Hingga suatu saat untuk
memenuhi kecenderungan pada ilmu beliau berpamitan kepada ibunya, meninggalkan
desa kelahirannya untuk menemui sejumlah ulama.
Beranjak
dewasa beliau berguru ilmu fikih kepada Syeikh Abdul Wafa’ Ali ibnu Ail dan
Syeikh Abul Husain Muhammad al-Qadhi Abi Ya’la, serta berguru kepada setiap
ulama yang dipandang memiliki kedalaman ilmu agama. Beliau berguru ilmu tata
krama, akhlak, dan kebudayaan kepada Syeikh Abu Zakaria Yahya bin Ali
at-Tabrizi yang sangat mempengaruhi wacana keilmuan Syeikh `Abd al-Qâdir
Jîlâni. Setelah itu beliau menuntut ilmu bidang falsafat tasawuf yaitu ilmu
Tarekat, fak ilmu yang mengkhususkan dalam bidang kema’rifatan (ketuhanan)
kepada Syeikh Abul Khoer Hammad bin Muslim ad-Dabbasi dan Syeikh al-Qadhi Abi
Said al-Mubarok.[7]
Ketika beliau
memasuki gerbang wilayah kota Irak beliau ditemani seseorang, yang
baru kemudian hari beliau mengetahui kalau temannya itu adalah seorang nabi,
yaitu Nabi Khidir a.s. Nabi Khidir berwasiat kepada Syeikh `Abd al-Qâdir
Jîlâni: “Jangan sesekali menyalahi janji dengan Nabi Khidir, pengingkaran janji
akan berakibat perpisahan”.
“Wahai Syeikh
engkau aku minta untuk tinggal di sini”. Beliau tinggal di suatu tempat yang
ditunjuk Nabi Khidir sampai tiga tahun tanpa pergi sekalipun. Setiap setahun sekali
Nabi Khidir datang menjenguk. Hari-hari dilaluinya dengan latihan batin,
ibadat, dan puasa sesuai petunjuk Nabi Khidir.
Semenjak usai
menjalani beragam tempaan batin dan terus menjaga kesucian dari hadas kecil
maupun besar, hingga anugerah Allah meliputi dirinya dengan beragam cahaya
ketuhanan. Cahaya beliau terus berkilau menembus batas ruang dan waktu,
terpancar ke segala arah, mengungguli semua cendekiawan dan ulama yang ada pada
zamannya. Unggul dalam ilmu, amal, dan kema’rifatan kepada Allah.
Beberapa
kekeramatan Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni yang terdapat di dalam kitab Haqoiq dikisahkan
sebuah cerita, ada seorang wanita mengadukan perihal anaknya, “Wahai Syeikh
`Abd al-Qâdir Jîlâni saya mempunyai anak satu-satunya, sekarang ini telah
tenggelam di lautan, namun saya berkeyakinan bahwa Syeikh dapat
mengembalikannya dan menghidupkannya!”. Beliau menjawab: “Ya sudah, sekarang
anakmu sudah ada di rumah kembalilah!”. Segera wanita itu pulang ke rumahnya,
tapi tidak didapatinya anak itu, segera ia kembali lagi: “Wahai Syeikh, anakku
tidak ada di rumah”. Beliau menjawab: “O.. kalau sekarang pasti sudah ada”. Si
wanita itu segera ke rumah dan tidak didapatinya anaknya, segera kembali ke
Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni perihal anaknya. Beliau menjawab: “Kalau sekarang
pasti sudah ada anakmu itu”. Dan segera kembali wanita itu dan ia dapati
anaknya telah ada sehat wal’afiat.
Dari kejadian
tersebut Beliau bermunajat: “Ya Allah saya teramat malu kepada anak itu, baru
yang ketiga kalinya ia dapati anaknya, apakah sebabnya dan apakah hikmahnya
sehingga terlambat, dan aku dipermalukan sampai dua kali?”. Allah menjawab:
“Pembicaraan dengan wanita itu memang benar saat pertama kali, tapi jiwa raga
anak itu baru dikumpulkan oleh malaikat, yang kedua baru dibugarkan badannya
dan dihidupkan yang ketiga kali baru dientaskan dari laut dan dihadirkan ke
rumahnya sehingga ia dapati sudah ada anaknya itu”.[8]
B.
Ajaran dan Praktek Tarekat Qadiriyah
1. Aspek Teoritis
Aspek teoritis adalah ungkapan tentang
nasehat-nasehat dan wasiat-wasiat yang dengannya Syeikh `Abd al-Qâdir
Jîlâni menasehati pengikut-pengikutnya agar berpegang teguh kepada al-Kitab dan
as-Sunnah serta berpegang kepada akhlak yang terpuji. Seakan-akan beliau
berkata tidak akan meletakkan wirid-wirid, dzikir-dzikir, atau ibadah-ibadah
yang tidak dijelaskan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah.
Bukti-bukti yang jelas tentang aspek teoritis
tarekat Qadiriyah antara lain:
Pertama: Penegasan agar berpegang kepada al-Kitab
dan as-Sunnah. Ketika beliau menasehati anaknya, Abdurrazaq, beliau berkata: “Aku
berwasiat kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mentaati-Nya, menjalankan
syari’at, dan menjaga hukum-hukum-Nya. Ketahuilah wahai anakku, semoga Allah
memberikan taufik kepada kita, kamu, dan kaum muslimin, bahwa tarekat kita ini
dibangun atas dasar al-Kitab, as-Sunnah, ketulusan hati, kedermawanan tangan,
kesungguhan dakwah, pencegahan dari keburukan, ketabahan dalam menanggung
kesusahan, dan ketulusan dalam mencari saudara”.
Kedua: Bersihnya tarekat Syeikh `Abd al-Qâdir
Jîlâni dari pemikiran dan filsafat yang dominan pada masanya sebagai hasil dari
penerjemahan ilmu pengetahuan Yunani dan pengaruhnya terhadap akal dan
pemahaman sehingga banyak di antara para sufi yang terjerat dalam
jaring-jaringnya sehingga mereka membuat istilah-istilah yang aneh-aneh
seperti: hoyle (aksidensi yang melekat pada jism, yang
memungkinkan untuk bersambung dan lepas dari jism. Lihat al-Jurjani, at-Ta’rif, hal.
321), ‘aradh(wujud yang keberadaannya membutuhkan tempat untuk
berpijak/aksidensi), dan jauhar (inti sesuatu,
jika dia ada pada sesuatu maka dia tidak berada pada tempat tertentu. Dia
tersarikan dalam lima hal, yaitu hoyle, bentuk, jisim,
jiwa, dan akal).
Ketiga, Memusatkan perhatian pada aspek praktis
dan menghindari dari larut dalam perkara-perkara teoritis serta premis-premis
yang kontroversial. Buktinya adalah apa yang beliau praktekkan dalam hidupnya,
cara dan tarekat yang disusunnya yang bersandar kepada tujuh prinsip dasar,
yaitu:mujahadah, tawakkal, akhlak yang baik, syukur, jujur, ridha, dan sabar.
2. Aspek Praktis
Aspek praktis ini diciptakan oleh para
pengikut-pengikutnya atau orang-orang sesudahnya, yang kemudian dinisbatkan
kepadanya dan muncul tanda-tanda bid’ah serta penyelewengan dari al-Kitab dan
as-Sunnah, diantaranya adalah:
Pertama: Berkhalwat (Bersemedi)
Menurut kaum
sufi, berkhalwat merupakan suatu salah satu keharusan rohani yang harus
ditempuh oleh seorang salik untuk menjadi seorang sufi. Mereka juga meyakini
bahwa berkhalwat menjadi bukti atas kesungguhan taubat dan menguatkan
keikhlasan. Berkhalwat dianggap sebagai masa-masa terbaik yang dilakukan
seorang manusia bersama Tuhannya. Tujuan berkhalwat menurut mereka adalah untuk
mengetahui sejauh mana kesiapan seseorang untuk pindah dari satu maqam kepada
maqam berikutnya dan dari satu akhwal kepada akhwal berikutnya.
Pada masa awal
perjalanan sufinya, Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni menempuh metode ini,
seperti yang dijelaskan oleh adz-Dzahabi dalam menjelaskan biografi Syeikh `Abd
al-Qâdir Jîlâni, bahwa beliau melakukan khalwat, riyadhah, mujahadah,
pengembaraan, tinggal di gua dan padang pasir. Mereka berdalil dengan
apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, bahwa
beliau berkhalwat di gua Hira’.
Kedua: Salat Qadiriyah
Salat
Qadiriyah merupakan salah satu dasar dalam wirid Qadiriyah. Telah diriwayatkan
tentang fadilat dan anjuran terhadapnya dari Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni,
yang mana beliau menulis satu bab khusus dengan judul, “Pasal tentang fadilat
salat antara maghrib dan isya’.”
Ketiga: Hizib Muh
Hizib ini
dinisbatkan kepada Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni yang menulis buku al-Auraad
al-Qadiriyah, dan dikira hizib ini diriwayatkan dari Syeikh `Abd al-Qâdir
Jîlâni yaitu:[10]
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
اَلَّلهُمَّ مَحَا مَحَا مَحَا وَحَا بَحَا حَمَا لاَيُنْصَرُوْنَ. (وَجَعَلنَا
مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ
فَهُمْ لاَيُبْصِرُوْنَ). كهيعص حم عسق لاَيَصْدَعُوْنَ عَنْهَا وَلاَيُنْزَفُوْنَ
يَارَبُّ (ثَلاَثًا) وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ
الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَسَلَّمَ.
Hizib ini
termasuk wirid utama menurut penganut tarekat Qadiriyah dan mereka mengira
bahwa siapa yag membacanya di waktu pagi dan sore sebanyak tiga kali, maka dia
tidak akan terkena bahaya apapun atas seizin Allah.
Dan ada
anggapan bahwa yang membaca wirid tersebut akan mendapat pahala adalah anggapan
yang dusta terhadap Allah karena tidak ada yang mengetahui nilai suatu amal dan
pahalanya kecuali Allah. Sedangkan penilaian kita terhadap pahala suatu amal
yang tidak diriwayatkan syari’at termasuk kebohongan dan mengada-ada.
Keempat: Shalawat Kibrit Ahmar
Penulis
kitab al-Auraad al-Qadiriyah menyebutkan suatu dzikir yang
mencakup shalawat atas Nabi Muhammad saw, yang dinamakannya dengan Shalawat
Kibrit Ahmar, yang dinisbatkan kepada Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni yaitu:
اَلّلهُمَّ اجْعَلْ اَفْضَلَ صَلاَتِكَ اَبَدًا
وَأُنْمَى بَرَاكَاتِكَ سَرْمَدًا وَأُزْكَى تَحِيَّاتِكَ
فَضْلاً وَعَدَدًا عَلَى أَشْرَفِ الْخَلاَئِقِ الإِنْسَانِيَّةِ
وَمَعْدَنِ الدَّقَائِقِ الإِيْمَانِيَّةِ وَطُوْرِ التَّجَلِّيَاتِ
الإِحْسَانِيَّةِ وَمُهْبِطِ الأسْرَارِ لاَرَحْمَانِيَّةَ وَعَرُوْسَ الْمَمْلَكَةِ
الرَّبَّانِيَّةِ شَاهِدًا اَسْرَارِ الأزَلِ وَمُشَاهِدًا نُوْر ِالسَّوَابِقِ
الأَوَّلِ وَتُرْجُمَانِ لِسَانِ الْقَدَمِ وَمَنْبَعِ الْعِلْمِ وَالْحِلْمِ
وَالْحُكْمِ كَظَهْرِ سِرِّ الْوُجُوْدِ الْجُزْئِيِّ وَالْكُلِّى وَإِنْسَانِ
عَيْنِ الْوُجُوْدِ الْعُلْوِى وَالسُّفْلَى رُوْحُ جَسَدِ الْكَوْنَيْنِ
وَعَيْنِ حَيَاةِ الدَّارَيْنِ الْجَوْهَر الشَّرِيْقِ الأَبْدِى وَالّنُوْرِ
الْقَدِيْمِ السَّرْمَدِى الْمَحْمُوْدِ فِى الإِيْجَادِ وَالْوُجُوْدِ الْفَاتِحِ
لِكُلِّ شَاهِدٍ وَمَشْهُوْدٍ نُوْرُ كُلِّ شَيْئٍ وَهُدَاهُ سِرُّ كُلِّ سِرٍّ
وَسُنَّاهُ الَّذِى شَغَفَتْ مِنْهُ الأسْرَارُ وَانْفَلَقَتْ مِنْهُ الأنْوَارُ.
Wirid ini
termasuk wirid mungkar yang tidak saya temukan di buku apapun yang ditulis oleh
Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni. Sehingga tidak mungkin diterima, jika wirid itu dinisbatkan
kepada beliau.[11]
Kelima: Hizib Alif Qaim
Doa ini
dinisbatkan oleh penulis al-Auraad al-Qadiriyah kepada Syeikh
`Abd al-Qâdir Jîlâni. Teks doa tersebut adalah:
اللهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ بِالألِفِ
الْقَائِمِ الَّذِى لَيْسَ مُهْلُهُ سَابِقٌ وَبِالْلاَّمَيْنِ الَّلذَيْنِ
لَمَعَتْ بِهِمَا الأسْرَارُ وَجَعَْتُهُمَا بَيْنَ الْعَقْلِ وَالرُّوْحِ
وَأخَذْتُ عَلَيْهِمَا الْعَْدَ الْوَاثِقَ وَبِالْهَاءِ الْمُحِيْطِ
بِالْعُلُوْمِ الْحَوَامِدِ الْمُتَحَرِّكِ الصَّوَامِتِ النَّوَاطِقِ وَأسْألُكَ
الْوَصْلَ بِالسِّرِّ الضَّيِّ مِنْهُ الْعُقُوْلُ فَهُوَ مِنْ قُرْبِهِ ذُهْلٌ
أَيَتَنَوَّخُ أمْلُوْخٌ مَهِيَاشٌ مَهَايِشُ ...
Wirid ini sama
dengan doa sebelumnya –dalam wirid shalawat Nabi saw- yang di dalamnya
mengandung kata-kata aneh yang tidak dipahami maknanya dan mengandung pula
anggapan-anggapan bathil dalam huruf hijaiyah dan istilah-istilah yang tidak
ada maknanya.
Keenam: Berzikir kepada Allah dengan Lafal Jalalah
saja “Allah” atau dengan Dhamir “Huwa”
Tarekat
Qadiriyah seperti tarekat-tarekat sufi lainnya, melatih zikir kepada Allah
dengan hanya memakai kalimat jalalah tunggal, yaitu dengan mengulang-ulang kata
“Allah” atau dhamir “huwa”. Penulis buku Dhiya’ al-Mustabin
berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berzikir dengan kata
‘Allah’ dan tidak menyuruh untuk menambahnya dengan kalimat apapun pada kata
ini karena itu zikir khusus bagi hamba-hamba-Nya yang dengan mereka Allah
menjaga alam dunia.
Ketujuh: Menjaga Salat-salat Khusus
Mereka menjaga
salat-salat khusus di siang, malam, minggu, bulan Rajab, bulan Sya’ban, dan
sebagainya. Hal yang demikian itu merupakan bid’ah.
C.
Proses Penyebaran Di Indonesia
Selanjutnya
proses masuknya tarekat Qadiriyyah ke Indonesia lewat penyair besar yang
bernama Hamzah Fansuri. Beliau mendapatkan khilafat (ijazah untuk mengajar)
ilmu `Abd al-Qâdir, ketika beliau bermukim di Ayuthia, ibu kota Muangthai (yang
orang Persia dan India dinamakan, dalam bahasa Parsi, Syahr-i Naw, “Kota
Baru”).
Namun ada
pendapat lain bahwa Hamzah Fansuri mendapatkan khilafat di Baghdad,
tetapi yang pasti beliau adalah orang Indonesia pertama yang menganut
tarekat Qadiriyah dan Qadiriyah adalah tarekat pertama yang disebut dalam
sumber-sumber pribumi.[12] Pada waktu itu beliau berziarah ke
makam Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni yang terletak
di kota Baghdad dan barangkali terjadi pembaitannya dalam ilmu
Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni.
Indikasi bahwa
tarekat Qadiriyyah bertahan di Aceh setelah Hamzah. Sekitar tahun 1645, Syeikh
Yusuf Makassar singgah di Aceh dalam perjalanannya di Sulawesi ke Makkah dan ia
masuk tarekat Qadiriyah disana, seperti yang ditulisnya dalam Risalah Safinah
al-Najat.[13]
Akan tetapi
ada pengaruh dari tarekat Qadiriyah sudah sejak lama di Jawa sebelum Hamzah
Fansuri, walaupun kita tidak mempunyai informasi yang tepat. Menurut tradisi
rakyat daerah Cirebon, Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni sendiri pernah datang
ke Jawa, bahkan orang dapat menunjukkan kuburannya.[14]
Juga terdapat
indikasi lain bahwa pengaruh Qadiriyah ada di Banten dengan adanya pembacaan
kitab-kitab Manaqib Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni pada
kesempatan tertentu yang sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan
beragama di sana. Dan dalam Serat Centhini, salah seorang
tokohnya bernama Danadarma, mengaku pernah belajar kepada “Seh Kadir Jalena” di
perguruan di Gunung Karang di Banten. Dari indikasi-indikasi di atas, agaknya,
menunjukkan bahwa “ilmu Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni” telah diajarkan
di Cirebon dan Banten, setidak-tidaknya sejak abad ke-17.
Apa sebetulnya
“ilmu Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni” yang telah diajarkan di Aceh dan Jawa? Pada
masa pengislaman Jawa pertama kali yang diajarkan oleh guru-guru yang menguasai
ilmu-ilmu kesaktian dan kekebalan itu lebih disegani daripada yang lain. Oleh
karena itu, ilmu-ilmu itu yang diajarkan para wali terutama Sunan Kalijaga dan
Sunan Kudus. Dalam tradisi rakyat di hampir seluruh dunia Islam, kekebalan
dihubungkan dengan nama wali besar, Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni dan Ahmad
Rifa’i (yang sering dianggap murid Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni). Tidak
mengherankan kalau mereka ( terutama Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni) populer di
kalangan orang Jawa, yang sangat tertarik kepada kekuatan magis. Sebuah naskah
tasawuf yang sederhana dari Jawa Barat menyebut Syeikh `Abd al-Qâdir Jîlâni
sebagai sumber ilmu makrifat yang diajarkan oleh para wali di Jawa.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari bab
pembahasan pad bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa Tarikat Qadariyah yang
didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jaelani memiliki kontribusinya
besar terhadap spiritualitas Islam memang amat penting. Ia mendirikan
suatu gerakan yang amat kuat dalam membentuk budaya spiritual Islam sampai saat
ini.
proses
masuknya tarekat Qadiriyyah ke Indonesia lewat penyair besar yang bernama
Hamzah Fansuri. Beliau mendapatkan khilafat (ijazah untuk mengajar) ilmu `Abd
al-Qâdir, ketika beliau bermukim di Ayuthia, ibu kota Muangthai (yang orang
Persia dan India dinamakan, dalam bahasa Parsi, Syahr-i Naw, “Kota Baru”).
B.
Saran
Demikianlah
pembahasan makalah kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan
saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
M. Hilman
Anshary, Resonansi Spiritual Wali Quthub Syekh Abdul Qadir al-Jailani,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2004)
Martin van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999)
Moh. Saifulloh
Al-Azis, Manaqib, (Surabaya : Terbit Terang)
Seyyed Hussein
Nasr (ed.), Eksiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terj.
(Bandung: Mizan, 2003)
[1] M. Hilman
Anshary, Resonansi Spiritual Wali Quthub Syekh Abdul Qadir al-Jailani, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2004), h. 3.
[2] Seyyed Hussein
Nasr (ed.), Eksiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, terj.
(Bandung: Mizan, 2003), h. 13.
[5] M. Hilman
Anshary, Resonansi Spiritual Wali Quthub Syekh Abdul Qadir al-Jailani
(Bagdad-Iraq),(Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 1.
[12] Martin van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), cet. III, h. 207-208.
No comments:
Post a Comment