Thursday, April 19, 2018

MAKALAH_IJTIHAD


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan untuk mengendalikan masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri. Sama halnya Islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan fiqh. Hukum Islam bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang sempit; ia mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik dan ekonomi. Ia bersumber dari wahyu Illahi. Wahyu menentukkan norma dan konsep dasar hukum Islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhada adat dan sistem hukum kesukuan Arab pra-Islam.
Sekarang, dalam melakukan ijtihad, ruang lingkup qiyas haruslah diperluas untuk menjadikannya lebih praktis dan mujarrab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Untuk membuka pintu ijtihad, yang merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini, ijtihad harus dilaksanakan oleh para ahli yang berkompeten dengan bekerja sama dengan pemerintah (yang Islamis) sehingga ia dapat diberlakukan menjadi perundang-undangan; kalau tidak ia akan tetap tinggal bersifat teoritis semata-mata dan perbenturan antara para ahli dan pemerintah akan terus berlangsung.  Karena ijma’ memantapkan dirinya hanya secara bertahap dan hampir secara tak terasa bersamaan dengan jalannya waktu. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menyajikan  mengenai ijtihad dalam hukum Islam.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
2.      Bagimana kedudukan ijtihad?
3.      Apa saja metode dalam ijtihad?
C.     Tujuan  
Tujuan dalam makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian ijtihad
2.      Untuk memahami kedudukan ijtihad
3.      Untuk memahami metode ijtihad

4.       
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Ijtihad dan Lapangan Ijtihad
Ada tiga istilah dalam bahasa Arab yang hampir sama artinya dalam bahasa Indonesia. Ketiga istilah tersebut yaitu ijtihad, jilmd, dan mujahadah. Wacana ijtihad biasa dipakai dalam ushul fiqh dan terkadang pula dalam pemikiran. Wacana jihad biasa dipakai dalam fikih yang lebih ditekankan pada kemampuan fisik dalam menegakkan agama Allah. Sedangkan mujahadah biasa dipakai dalam tasawuf yang menekankan kemampuan rohaniah.[1]
Dari segi bahasa arti Ijtihad adalah “mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan”.  Mengerjakan apa saja yang dilakukan dengan penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya. Kata ijtihad memang tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah. Sedangkan menurut arti istilah yang disebut dengan ijtihad ialah “mengerjakan segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum-hukum syariah. [2]
Pada dasarnya kata ijtihad artinya berusaha sungguh- sungguh. Kata ijtihad hampir sama dengan kata jihad yang artinya berjuang. Tetapi kedua istilah tersebut berkembang membentuk konsep sendiri-sendiri.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, sedangkan orang yang jihad dan mujahadah disebut mujahid. Karena ketiga akar kata tersebut sama, maka tafsiran maknanya tergantung konteks ayat Al-Qur'an. Dalam salah satu ayat Al-Qur'an, jihad dimaknai jihad melawan orang   kafir, (QS Al-Furqan [25]: 52). Dalam ayat lain, jihad dimaknai jihad menuju Allah, (QS Al-Ankabut [29]: 69). Oleh karena itu, artinya bisa berupa materi atau nonmateri; fisik atau jiwa. Sedangkan ijtihad berkaitan dengan intelektual. Hadis yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabbal; ajtahid bi ra'yi (Aku akan berijtihad dengan akal pikiran).
Kata ijtihad dapat berarti nl-thaqnh (kemampuan, kekuatan) atau berarti n1-imsyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dikatakan demikian, karena lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang sukar dan berat. Orang yang mampu melakukan ijtihad adalah orang yang benar-benar pakar. Berkaitan dengan itu, isu pintu ijtihad tertutup karena semakin banvak orang yang serampangan dalam ijtihad,
Pintu ijtihad terus terbuka sejak dahulu hingga sekarang bahkan sampai yang akan datang. Tetapi, isu pintu ijtihad tertutup dalam lapangan fikih terasa hingga sekarang, sehingga kita hanya mengenal empat mazhab terkenal dalam sejarah yang hasil-hasil ijtihad mereka dipakai terus terutama di kalangan Sunni. Kita, seakan-akan segala keputusan fikih tidak sah kalau tidak menurut salah satu mazhab tersebut.
Sehubungan beratnya lapangan ijtihad, Al-Ghazali menekankan bahwa ijtihad hanya berlaku pada upaya-upaya yang sulit dilakukan, sedangkan pekerjaan yang ringan tidak dapat dikatakan ijtihad1. Demikian juga Al-Syaukani mengatakan bahwa ijtihad yaitu pengerahan kemampuan dalam aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.
Bertolak dari pandangan demikian, Al-Syaukani melihat bahwa ijtihad secara umum memiliki makna segenap mencurahkan daya intelektual dan bahkan spiritual dalam menghadapi suatu kegiatan atau permasalahan yang sukar. Berkaitan dengan spiritual, Ibnu Taimiyah melihat bahwa upaya sungguh-sungguh kaum sufi dalam kepatuhan kepada Tuhan merupakan bentuk ijtihad, dan para sufi itu adalah mujtahid-mujtahid pada bidang tersebut.[3]
Berdasarkan pendapat Al-Ghazali, Al-Syaukani dan Ibnu Taimiyah di atas, dapat diketahui bahwa ijtihad menyangkut segala bidang keilmuan Islam seperti ilmu fikih, ilmu tasawuf, ilmu kalam dan filsafat. Bahkan aplikasi hasil-hasil ijtihad dapat menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kedokteran, dan lain-lain.
Menurut Muhammad Iqbal, ijtihad merupakan prinsip gerakan susunan Islam. Dalam institusi hukum, ijtihad berarti usaha serius untuk memanfaatkan pertimbangan akal dalam penetapan masalah hukum.4 Pertimbangan akal sehat dalam institusi hukum berkembang sesuai dengan kebutuhan riil di bidang hukum. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari tuntutan yang muncul akibat perubahan situasi sosial.[4]
Namun, ijtihad tidak boleh terlepas dari Al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai sumber pokok. Pakar Muslim, umumnya menerima dan meyakini bahwa dalam kedua sumber itu sudah tercakup segala kepentingan manusia. Paling tidak, mereka sepakat bahwa prinsip-prinsip pokok sudah ada di dalamnya berdasarkan keterangan ayat Al-Qur'an, (QS Al- An'am [6]: 38; Al-Nahl [16]: 89). Teknisnya mungkin tidak ada semuanya. Menciptakan prinsip jauh lebih bermutu ketimbang menentukan teknisnya, karena dalam prinsip harus mampu menjangkau segala kemungkinan yang akan terjadi, segala waktu dan tempat. Itulah Al-Qur'an dan al- Sunnah mencakup prinsip-prinsip yang menjangkau segala ruang dan waktu, bahkan akhirat pun sudah disentuh dan dijelaskannya. Untuk mewujudkan teknisnya diserahkan pada manusia melalui ijtihad-ijtihad.
Eratnya ijtihad dengan Al-Qur'an dan al-Sunnah mendorong para mujtahid untuk melihat terlebih dahulu pada Al-Qur'an kemudian al-Sunnah, baru berijtihad. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan hukum dari Al-Qur'an dan al-Sunnah tersebut.
Jadi,  ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan intelektual dan spiritual untuk mengeluarkan hukum yang ada dalam Al-Qur'an atau al-Sunnah, sehingga hukum tersebut dapat diterapkan dalam lapangan kehidupan manusia sebagai solusi atas persoalan-persoalan umat. Sukar tidaknya masalah yang dihadapi tergantung kepada tinggi rendahnya kualitas intelektual dan spiritual seorang mujtahid. Jadi, bukan masalahnya yang sukar dan berat sebagaimana dikemukakan Al-Ghazali dan Al-Syaukani di atas, tetapi kualitas mujtahidnya. Zaman sekarang tidak muncul hasil-hasil ijtihad baru, karena rendahnya kualitas mujtahid dibandingkan dengan para pendiri Imam iMazhab. Tadi bukan tertutupnya pintu ijtihad, tetapi tertutupnya pintu intelektual dan spiritual manusia itu sendiri.
Dilihat dari pelaksanaanya, ijtihad dapat dibagi atas dua macam, yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad jama'i. Ijtihad firdhi merupakan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid secara pribadi. Sedangkan ijtihad jamci'i adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara kelompok. Namun pada hakikatnya, ijtihad jama'i tersebut, tetap dilakukan oleh akal orang per orang, hanya saja dalam merumuskan satu masalah secara bekerja sama.

B.     Kedudukan Ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist.
Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya. [5]
Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan, yaitu:
1.      Golongan 1:
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.
2.      Golongan 2:
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauanya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah.


C.     Metode-metode Ijtihad
Metode-metode  ijtihad yang umum dipergunakan adalah ishtihsan, al-maslahah al-mursalah, istishhab, dan ‘ur. [6]
1.      Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
2.      al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak  karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
Para  ulama fikih yang  mendukung konsep ini mencatat tiga persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
a.       Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).
b.      Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
c.       Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma'). [7]
3.      Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab itu terbagai kepada dua macam;
a.       Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan salah satu produk hukum.
b.      Menetapkan segala hukum yang ada pada masa sekarang, berdasarkan ketetapan hukum pada masa yang lalu. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan hukum.
Contoh istishab: [8]
a.       Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.
b.      Menurut firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ...
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia)." (al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
4.       ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. [9]
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari segi bahasa arti Ijtihad adalah “mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan”.  Mengerjakan apa saja yang dilakukan dengan penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya. Kata ijtihad memang tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah. Sedangkan menurut arti istilah yang disebut dengan ijtihad ialah “mengerjakan segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum-hukum syariah.
Pada dasarnya kata ijtihad artinya berusaha sungguh- sungguh. Kata ijtihad hampir sama dengan kata jihad yang artinya berjuang. Tetapi kedua istilah tersebut berkembang membentuk konsep sendiri-sendiri.
Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan, yaitu:
1.      Golongan 1:
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.
2.      Golongan 2:
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauanya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah.

B.     Saran
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Deden Makbuloh. Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013)

Aminuddin, dkk. Pendidikan Agama Islam: Untuk Perguruan Tinggi Umum. (Bogor, Ghalia Indonesia, 2005)

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999)

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2011)

Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), Ijtihad dalam Sorotan. (Bandung: Mizan. 1988)


[1] Deden Makbuloh. Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h. 207
[2] Aminuddin, dkk. Pendidikan Agama Islam: Untuk Perguruan Tinggi Umum. (Bogor, Ghalia Indonesia, 2005) mh. 63
[3] Deden Makbuloh. Pendidikan Agama Islam.  … h. 209
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999) h. 200
[5] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2011), h.  349
[6] Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), Ijtihad dalam Sorotan. (Bandung: Mizan. 1988) h. 274


No comments:

Post a Comment