BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan
untuk mengendalikan masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan
terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem
hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri.
Sama halnya Islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan fiqh. Hukum
Islam bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang sempit; ia mencakup seluruh
bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik dan ekonomi. Ia bersumber dari wahyu
Illahi. Wahyu menentukkan norma dan konsep dasar hukum Islam serta dalam banyak
hal merintis dobrakan terhada adat dan sistem hukum kesukuan Arab pra-Islam.
Sekarang, dalam melakukan ijtihad, ruang
lingkup qiyas haruslah diperluas untuk menjadikannya lebih praktis dan mujarrab
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Untuk membuka pintu ijtihad, yang
merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini, ijtihad harus dilaksanakan oleh
para ahli yang berkompeten dengan bekerja sama dengan pemerintah (yang Islamis)
sehingga ia dapat diberlakukan menjadi perundang-undangan; kalau tidak ia akan
tetap tinggal bersifat teoritis semata-mata dan perbenturan antara para ahli
dan pemerintah akan terus berlangsung.
Karena ijma’ memantapkan dirinya hanya secara bertahap dan hampir secara
tak terasa bersamaan dengan jalannya waktu. Oleh karena itu, dalam makalah ini
kami akan menyajikan mengenai ijtihad
dalam hukum Islam.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan
masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang
dimaksud dengan ijtihad ?
2. Bagimana
kedudukan ijtihad?
3. Apa saja metode
dalam ijtihad?
C. Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui pengertian ijtihad
2. Untuk memahami
kedudukan ijtihad
3. Untuk memahami metode
ijtihad
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad dan Lapangan Ijtihad
Ada tiga istilah dalam bahasa Arab yang hampir
sama artinya dalam bahasa Indonesia. Ketiga istilah tersebut yaitu ijtihad,
jilmd, dan mujahadah. Wacana ijtihad biasa dipakai dalam ushul fiqh dan
terkadang pula dalam pemikiran. Wacana jihad biasa dipakai dalam fikih yang
lebih ditekankan pada kemampuan fisik dalam menegakkan agama Allah. Sedangkan
mujahadah biasa dipakai dalam tasawuf yang menekankan kemampuan rohaniah.[1]
Dari segi bahasa arti Ijtihad adalah
“mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan”. Mengerjakan apa saja yang dilakukan dengan
penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya. Kata ijtihad memang tidak
digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah.
Sedangkan menurut arti istilah yang disebut dengan ijtihad ialah “mengerjakan
segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum-hukum
syariah. [2]
Pada dasarnya kata ijtihad artinya berusaha
sungguh- sungguh. Kata ijtihad hampir sama dengan kata jihad yang artinya
berjuang. Tetapi kedua istilah tersebut berkembang membentuk konsep
sendiri-sendiri.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid,
sedangkan orang yang jihad dan mujahadah disebut mujahid. Karena ketiga akar
kata tersebut sama, maka tafsiran maknanya tergantung konteks ayat Al-Qur'an.
Dalam salah satu ayat Al-Qur'an, jihad dimaknai jihad melawan orang kafir,
(QS Al-Furqan [25]: 52). Dalam ayat lain, jihad dimaknai jihad menuju Allah,
(QS Al-Ankabut [29]: 69). Oleh karena itu, artinya bisa berupa materi atau
nonmateri; fisik atau jiwa. Sedangkan ijtihad berkaitan dengan intelektual.
Hadis yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabbal; ajtahid bi ra'yi (Aku akan
berijtihad dengan akal pikiran).
Kata ijtihad dapat berarti nl-thaqnh
(kemampuan, kekuatan) atau berarti n1-imsyaqqah (kesulitan, kesukaran).
Dikatakan demikian, karena lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang sukar
dan berat. Orang yang mampu melakukan ijtihad adalah orang yang benar-benar
pakar. Berkaitan dengan itu, isu pintu ijtihad tertutup karena semakin banvak
orang yang serampangan dalam ijtihad,
Pintu ijtihad terus terbuka sejak dahulu hingga
sekarang bahkan sampai yang akan datang. Tetapi, isu pintu ijtihad tertutup
dalam lapangan fikih terasa hingga sekarang, sehingga kita hanya mengenal empat
mazhab terkenal dalam sejarah yang hasil-hasil ijtihad mereka dipakai terus
terutama di kalangan Sunni. Kita, seakan-akan segala keputusan fikih tidak sah
kalau tidak menurut salah satu mazhab tersebut.
Sehubungan beratnya lapangan ijtihad,
Al-Ghazali menekankan bahwa ijtihad hanya berlaku pada upaya-upaya yang sulit
dilakukan, sedangkan pekerjaan yang ringan tidak dapat dikatakan ijtihad1.
Demikian juga Al-Syaukani mengatakan bahwa ijtihad yaitu pengerahan kemampuan
dalam aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.
Bertolak dari pandangan demikian, Al-Syaukani
melihat bahwa ijtihad secara umum memiliki makna segenap mencurahkan daya
intelektual dan bahkan spiritual dalam menghadapi suatu kegiatan atau
permasalahan yang sukar. Berkaitan dengan spiritual, Ibnu Taimiyah melihat
bahwa upaya sungguh-sungguh kaum sufi dalam kepatuhan kepada Tuhan merupakan
bentuk ijtihad, dan para sufi itu adalah mujtahid-mujtahid pada bidang
tersebut.[3]
Berdasarkan pendapat Al-Ghazali, Al-Syaukani
dan Ibnu Taimiyah di atas, dapat diketahui bahwa ijtihad menyangkut segala
bidang keilmuan Islam seperti ilmu fikih, ilmu tasawuf, ilmu kalam dan
filsafat. Bahkan aplikasi hasil-hasil ijtihad dapat menyangkut aspek-aspek kehidupan
manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kedokteran, dan
lain-lain.
Menurut Muhammad Iqbal, ijtihad merupakan
prinsip gerakan susunan Islam. Dalam institusi hukum, ijtihad berarti usaha
serius untuk memanfaatkan pertimbangan akal dalam penetapan masalah hukum.4
Pertimbangan akal sehat dalam institusi hukum berkembang sesuai dengan
kebutuhan riil di bidang hukum. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
tuntutan yang muncul akibat perubahan situasi sosial.[4]
Namun, ijtihad tidak boleh terlepas dari
Al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai sumber pokok. Pakar Muslim, umumnya menerima
dan meyakini bahwa dalam kedua sumber itu sudah tercakup segala kepentingan
manusia. Paling tidak, mereka sepakat bahwa prinsip-prinsip pokok sudah ada di
dalamnya berdasarkan keterangan ayat Al-Qur'an, (QS Al- An'am [6]: 38; Al-Nahl
[16]: 89). Teknisnya mungkin tidak ada semuanya. Menciptakan prinsip jauh lebih
bermutu ketimbang menentukan teknisnya, karena dalam prinsip harus mampu
menjangkau segala kemungkinan yang akan terjadi, segala waktu dan tempat.
Itulah Al-Qur'an dan al- Sunnah mencakup prinsip-prinsip yang menjangkau segala
ruang dan waktu, bahkan akhirat pun sudah disentuh dan dijelaskannya. Untuk
mewujudkan teknisnya diserahkan pada manusia melalui ijtihad-ijtihad.
Eratnya ijtihad dengan Al-Qur'an dan al-Sunnah
mendorong para mujtahid untuk melihat terlebih dahulu pada Al-Qur'an kemudian
al-Sunnah, baru berijtihad. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan hukum dari
Al-Qur'an dan al-Sunnah tersebut.
Jadi, ijtihad
adalah mengerahkan segenap kemampuan intelektual dan spiritual untuk
mengeluarkan hukum yang ada dalam Al-Qur'an atau al-Sunnah, sehingga hukum
tersebut dapat diterapkan dalam lapangan kehidupan manusia sebagai solusi atas
persoalan-persoalan umat. Sukar tidaknya masalah yang dihadapi tergantung
kepada tinggi rendahnya kualitas intelektual dan spiritual seorang mujtahid.
Jadi, bukan masalahnya yang sukar dan berat sebagaimana dikemukakan Al-Ghazali
dan Al-Syaukani di atas, tetapi kualitas mujtahidnya. Zaman sekarang tidak
muncul hasil-hasil ijtihad baru, karena rendahnya kualitas mujtahid
dibandingkan dengan para pendiri Imam iMazhab. Tadi bukan tertutupnya pintu
ijtihad, tetapi tertutupnya pintu intelektual dan spiritual manusia itu
sendiri.
Dilihat dari pelaksanaanya, ijtihad dapat
dibagi atas dua macam, yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad jama'i. Ijtihad firdhi
merupakan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid secara pribadi. Sedangkan
ijtihad jamci'i adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara
kelompok. Namun pada hakikatnya, ijtihad jama'i tersebut, tetap dilakukan oleh
akal orang per orang, hanya saja dalam merumuskan satu masalah secara bekerja
sama.
B. Kedudukan
Ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad
adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas
dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist.
Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni
hal-hal yang telah tegas dalilnya. [5]
Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua
golongan, yaitu:
1. Golongan 1:
Berpendapat bahwa,
tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah tersebut
Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.
2. Golongan 2:
Berpendapat bahwa yang benar itu
hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauanya dengan hukum Allah,
sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah.
C. Metode-metode
Ijtihad
Metode-metode ijtihad yang umum dipergunakan adalah
ishtihsan, al-maslahah al-mursalah, istishhab, dan ‘ur. [6]
1. Istihsan
Istihsan menurut bahasa
berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam
meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan
qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian
pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat
dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum
peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya
ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap
kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan
lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari
dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana
yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
2. al-Maslahatul
Mursalah
Al-mashlahatul mursalah
adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula
terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.
Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan
atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah
semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk
mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.
Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah
Imam Hanbali dan Imam Malik.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini mencatat tiga
persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
a. Mashlahah itu
harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang
mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau
kemelaratan).
b. Mashlahah itu
tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi
harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
c. Hasil penalaran
mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan
oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma'). [7]
3. Istishhab
'Istishhab menurut
bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut
istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum
tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa
yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim,
istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu
peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah
ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala
ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku
hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian
istishhab yang dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab itu
terbagai kepada dua macam;
a. Segala hukum
yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang,
kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab
merupakan salah satu produk hukum.
b. Menetapkan
segala hukum yang ada pada masa sekarang, berdasarkan ketetapan hukum pada masa
yang lalu. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan
hukum.
Contoh istishab: [8]
a. Telah terjadi
perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan
berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu
maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan
C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan
hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B,
adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.
b. Menurut firman
Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ...
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu
(manusia)." (al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang
ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah
atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan
sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau
mengecualikannya.
4. ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang
telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut
adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada
perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa
diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat,
karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan
di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada
sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam
(jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat
jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima
barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya.
Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad
jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah
menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual
beli, maka salam itu dibolehkan. [9]
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan
ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara
kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada
suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para
mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama.
Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian
seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal
ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka
mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga
merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma'
masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah
menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah
biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segi bahasa arti Ijtihad adalah
“mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan”. Mengerjakan apa saja yang dilakukan dengan
penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya. Kata ijtihad memang tidak
digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah.
Sedangkan menurut arti istilah yang disebut dengan ijtihad ialah “mengerjakan
segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum-hukum syariah.
Pada dasarnya kata ijtihad artinya berusaha
sungguh- sungguh. Kata ijtihad hampir sama dengan kata jihad yang artinya
berjuang. Tetapi kedua istilah tersebut berkembang membentuk konsep
sendiri-sendiri.
Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan,
yaitu:
1. Golongan 1:
Berpendapat bahwa,
tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena dalam masalah tersebut
Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.
2. Golongan 2:
Berpendapat bahwa yang
benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauanya dengan hukum
Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah.
B. Saran
Demikian makalah ini penulis susun, semoga
dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis
berharap kepada pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Deden Makbuloh. Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013)
Aminuddin, dkk. Pendidikan Agama Islam: Untuk Perguruan Tinggi Umum. (Bogor,
Ghalia Indonesia, 2005)
Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999)
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta:
AMZAH, 2011)
Ahmad Azhar
Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), Ijtihad dalam Sorotan. (Bandung: Mizan. 1988)
[2] Aminuddin,
dkk. Pendidikan Agama Islam: Untuk Perguruan Tinggi Umum. (Bogor, Ghalia
Indonesia, 2005) mh. 63
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1999)
h. 200
[6] Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), Ijtihad dalam
Sorotan. (Bandung: Mizan.
1988) h. 274
No comments:
Post a Comment