BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Suatu studi yang
menyeluruh belum ada dan dalam penelitian tentang aliran modernis pada bab
tentang abad 18-19 juga hanya berfungsi
sebagai titik tolak saja. Bahkan sering mengambil alih pemikiran para tokoh
aliran reformis, yaitu bahwa Islam pada abad 18-19 itu sedang tennggelam dalam
suasana yang suram, beku, kolot dan tidak setia lagi kepada ajaran Islam yang
murni. Pintu ijtihad sudah ditutup dan sikap taqlid pun telah menguasai
pendapat umum. Memang dalam mukaddimahnya, Deliar Noer dan Alfian juga menyebut
pembukaan kanal Suez dan bertambahnya jumlah orang yang naik haji. Jadi sebenarnya
pada abad 18-19 itu hubungan antara Indonesia dengan Makkah makin lama makin
erat, dan khusus dari kota itu datang pula dorongan untuk memurnikan ajaran
Islam di Indonesia.
Ketika pusat-pusat
kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara,
pusat-pusat kekuasaan ini seolah-olah berlomba-lomba melahirkan para ulama’
besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya.
Ini terjadi pada abad ke 18-19 M. Dalam makalah ini akan menyajikan gambaran pembaruan
Islam di Indonesia abad 18-19 dan peran Syekh Nawawi al-Bantani dalam periode
abad 19.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pembaruan Islam bidang tasawuf abad 19 M di Indonesia?
2.
Siapa
tokoh dalam pembaruan Islam abad 19 di Indonesia yang mengajarkan tentang
ilmu tasawuf?
3.
Bagaimana
Peran Syekh Nawawi al-Bantani dalam pembaruan Islam Abad 19 di Indonesia?
4.
Bagaimana
biografi tentang Syekh Nawawi al-bantani?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui gambaran yang lebih jelas tentang pembaruan Islam di bidang tasawuf di
Indonesia pada abad 19 M.
2.
Untuk
mengetahui tokoh dalam pembaruan Islam di Indonesia yang mengajarkan ilmu
tentang tasawuf pada abad 19.
3.
Untuk
mengetahui peran Syekh Nawawi al-Bantani dalam pembaruan Islam di Indonesia
pada abad 19.
4.
Untuk
mengetahui biografi lengkap tentang Syekh Nawawi al-Bantani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembaruan
Islam Bidang Tasawuf di Indonesia Abad 19
Pembaruan Islam di
wilayah Melayu-Indonesia dimulai sejak abad ke 17, dan bukannya awal abad ke 19
atau awal abad ke 20, seperti yang diyakini beberapa sarjana. Hamka dan
Federspiel, misalnya percaya pembaruan Islam dimulai di Nusantara bersamaan
dengan bangkitnya Gerakan Padri di Sumatera Barat pada permulaan abad ke 19.
Meski Geertz mengakui, apa yang dinamakannya “Islam yang lebih persis” atau
“Islam skripturalis” telah diperkenalkan di Nusantara sebelum abad ke 19, dia
berpendapat bahwa “Islam skripturalis” itu mencapai momentum hanya setelah
tahun 1810-an dengan kebangkitan, misalnya di Sumatera Barat, apa yang diistilahkannya
“segerombolan kaum fanatik agama”, yang naik darah karena heterodoksi dalam
adat istiadat setempat. Dalam acuan kepada Gerakan Padri ini, Geertz dengan
jelas memandang pembaruan Islam dengan cara yang terlalu sederhana.[1]
Gerakan Padri
sesungguhnya bermula dari jaringan ulama’. Kelahiran dan pertumbuhan gerakan
ini mencerminkan proses yang rumit dari penyebaran gagasan-gagasan pembaruan,
termasuk “tarik tambang” antara pembaruan dan faktor-faktor lokal seperti adat
istiadat. Gerakan Padri merupakan contoh bagus mengenai bagaimana pembaruan
yang dibangkitkan jaringan ulama’ menemukan manifestasi ekstremnya di
Nusantara.
Pada abad ke 18-19,
terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syari’ah. Ini memberi dampak
besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan dan
tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada
aktivisme keduniaan. Pada abad 18 dan 19 Masehi proses ortodoksi ini mendorong
lahirnya gerakan anti kolonial yang merata di seluruh kepulauan Nusantara.
Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir abad ke
18, yaitu Wahabisme yang semakin memperkuat kecenderungan pada syari’at dan
fiqh. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan
ini Islam muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu
proses islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin
mengukuhkan diri sebagai faktor integratif atau pemersatu bangsa Indonesia. [2]
B.
Peran
Syekh Nawawi Al-Bantani Dalam Bidang Tasawuf
Syekh Nawawi
al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah salah satu ulama besar dari
Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran islam melewati
aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Beliau lahir di desa
Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H
atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang.
[3]
1.
Kelahiran
dan Kematian Syekh Nawawi
Dari beberapa referensi yang penulis baca, terutama yang berbicara
tentang perjalanan hidup Syekh Nawawi al-Bantani, tidak disebutkan mengenai
tanggal berapa Syekh Nawawi ini dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa
referensi hanya bulan dan tahun
kelahirannya saja yaitu pada bulan Muharam (dalam kalender Hijriyah) dan
bulan Desember (dalam kalender Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang
tahun kelahiran Syekh Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari seorang
penulis bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syekh Nawawi lahir pada tahun
1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.
Semua referensi yang membahas tentang Syekh Nawawi al-Bantani
nampaknya sepakat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1230 H, namun yang agak
keliru dari apa yang dituliskan oleh Chaidar adalah mengenai tahun kelahirannya
dalam tahun Masehi, yang kemudian menjadi sasaran kritikan dari penulis lainnya seperti Yuyun Rodiana.
Yuyun Rodiana mengatakan bahwa jika dilihat dari persesuaian antara tahun
Hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H itu sama dengan tahun 1814 atau 1815 M,
jelasnya adalah bulan Muharam 1230 H sama dengan bulan Desember 1814 M. Akan
tetapi jika kelahiran Syekh Nawawi al-Bantani ini adalah setelah bulan Muharam,
maka tahun Masehinya adalah 1815 M, persisnya adalah antara bulan Januari dan
November 1815 M. Demikianlah mengenai
tahun kelahiran Syekh Nawawi al-Bantani, walaupun terjadi beberapa perbedaan,
namun itu bukanlah perbedaan yang rumit, karena hanya berkisar pada masalah
penetapan tahun Masehi saja. Beliau wafat di Makkah tanggal 25 Syawal 1314 H
bertepatan tahun 1897 M.[4]
2.
Garis
Keturunan Syekh Nawawi
Jika ditinjau dari segi nasab, maka akan kita ketahui bahwa nasab
Syekh Nawawi al-Bantani ini bersambung hingga Sunan Gunung Jati yang telah
mashur dikenal sebagai salah satu wali penyebar islam di Nusantara. Dari Sunan
Gunung Jati pun jika kita tinjau lebih jauh, maka garis keturunannya akan
sampai kepada Rasulullah. Ayah Syekh Nawawi al-Bantani ini bernama K.H. Umar
yang merupakan salah satu ulama’ di desa Tanara dan juga sebagai pemimpin
masjid serta pesantren di desa tersebut.
Berikut ini adalah silsilah keluarga Syekh Nawawi: Syekh Nawawi bin
Kyai Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Kyai Jamad bin Ki Janta bin Ki
Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arsyi (pangeran Suryararas)
bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja
Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin
Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin
Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa
an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal
Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidatuna Fathimah az-Zahra binti Muhammad
Rasulullah.
3.
Peran
Syekh Nawawi Pada Abad ke 19
Sama sekali tidak mengherankan, bahwa Syekh Nawawi
al-Bantani cukup senang dengan kesulitan yang dialami oleh pihak Belanda di
Aceh, dan dalam pembicaraan pribadi dia tidak setuju dengan pegawai pensiunan
yang berpendapat bahwa daerah Jawa harus diperintah oleh orang Eropa. Andaikata
kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam
yang independen akan didirikan di sana, pastilah dia akan menerima berita itu
dengan gembira tanpa mempersoalkan apakah pemberontakan itu betul-betul
merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang tidak teratur.
Ketika Seorang Arab dari Batavia di Indonesia, negara di
mana tarekat tersebar secara sangat luas, yang sangat keras menentang tarekat,
yaitu Sayid Usman bin Yahya, mengirim kepadanya suatu brosur yang polemis dan
tajam terhadap sistem yang durhaka ini supaya Syekh Nawawi menyetujui isinya,
memang ulama’ Banten ini tidak mau menolak untuk menyokong posisi Sayid ini
dengan beberapa kata yang manis. Kemudian Sayid Usman dari kata-kata ini
berkesimpulan bahwa Nawawi menyetujui sepenuhnya, jelas tidak sesuai dengan
kenyataan. Memang, Sayid Usman sangat keras menyerang gejala tarekat tanpa menyebut
salah satu tarekat dengan namanya. Hanya sejauh mana kritik ini betul menentang
suatu tarekat yang kongkrit, Nawawi juga bisa menyetujuinya. Tetapi dalam
penerapan salah satu kriteria yang diterima oleh kedua-duanya masih terjadi
perbedaan yang cukup besar, dan kenyataan ini sama sekali tidak disebut dalam
brosur yang begitu polemis.
Di samping itu tasawuf yang dipraktekkan oleh Nawawi
sendiri pada abad 19 adalah tasawuf yang agak moderat, tasawuf al-Ghazali yang
menitikberatkan segi etis di dalam bentuk yang sederhana, seperti diajarkan
pada abad-abad yang lalu. Hal ini bisa juga disimpulkan dari karya Nawawi,
karena pada tahun 1881 dia menerbitkan sebuah syarh terhadap karya al-Ghazali,
Bidayatul Hidayah, dan di tahun 1884 sebuah syarh terhadap sya’ir tasawuf,
karya Zainul Din al-Malabari. Di bawah pengaruh dan bimbingan Syekh Nawawi
semakin lama semakin banyak orang Sunda, Jawa dan Melayu ingin mempelajari
agama islam lebih mendalam, dan ide-ide agama dan politik dari ajaran Islam
dalam bentuk yanng murni dan tinggi yang diperkembangkan lebih luas. [5]
Syekh Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi atau yang
lebih dikenal dengan Kyai Nawawi Banten itu sebetulnya bernama asli Muhammad
bin Umar Ali bin Arabi. Beliau disebut sebagai Kyai Nawawi at-Tanari al-Bantani
al-Jawi karena beliau berasal dari Tanara, Banten dan tergolong sebagai Ulama’
Jawi atau Ulama’ yang berbangsa Melayu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada abad ke 18-19,
terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syari’ah. Ini memberi dampak
besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan dan
tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada
aktivisme keduniaan. Pada abad 18 dan 19 Masehi proses ortodoksi ini mendorong
lahirnya gerakan anti kolonial yang merata di seluruh kepulauan Nusantara.
Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir abad ke
18, yaitu Wahabisme yang semakin memperkuat kecenderungan pada syari’at dan
fiqh. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan
ini Islam muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu
proses islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin
mengukuhkan diri sebagai faktor integratif atau pemersatu bangsa Indonesia.
Ilmu tasawuf yang
dipraktekkan oleh Nawawi sendiri pada abad 19 adalah tasawuf yang agak moderat,
tasawuf al-Ghazali yang menitikberatkan segi etis di dalam bentuk yang
sederhana, seperti diajarkan pada abad-abad yang lalu. Hal ini bisa juga
disimpulkan dari karya Nawawi, karena pada tahun 1881 dia menerbitkan sebuah
syarh terhadap karya al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, dan di tahun 1884 sebuah
syarh terhadap sya’ir tasawuf, karya Zainul Din al-Malabari. Di bawah pengaruh
dan bimbingan Syekh Nawawi semakin lama semakin banyak orang Sunda, Jawa dan
Melayu ingin mempelajari agama islam lebih mendalam, dan ide-ide agama dan
politik dari ajaran Islam dalam bentuk yanng murni dan tinggi yang
diperkembangkan lebih luas.
B.
Kritik
dan Saran
Demikianlah pemaparan
dari makalah saya pribadi, apabila masih banyak kekurangan dalam materi maupun
penulisan, saya mohon kesediaan dari pembaca untuk memberikan kritik dan
sarannya. Sebab kritik dan saran dari pembaca dapat saya jadikan sebagai
perbaikan pada makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek
Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984)
Amin, Ahmad. Islam dari Masa ke Masa.
Cet. III; (Bandung: Rosdakarya, 1987)
AS, Asmaran. Pengantar Study Tasawuf.
Cet. I; (Jakarta: Raja Grafindo, 1994)
[1] Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19. (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984) h. 17
[2] Amin, Ahmad. Islam dari Masa ke Masa. Cet. III; (Bandung:
Rosdakarya, 1987) h. 87
[3] Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19. … h. 21
[4] Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19. … h. 23
[5] AS, Asmaran. Pengantar Study Tasawuf. Cet. I; (Jakarta: Raja
Grafindo, 1994) h. 162
No comments:
Post a Comment