Thursday, April 19, 2018

MAKALAH Sejarah Pemikiran Intelektual Islam Indonesia Bidang Tasawuf pada Abad ke-19


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Suatu studi yang menyeluruh belum ada dan dalam penelitian tentang aliran modernis pada bab tentang abad 18-19  juga hanya berfungsi sebagai titik tolak saja. Bahkan sering mengambil alih pemikiran para tokoh aliran reformis, yaitu bahwa Islam pada abad 18-19 itu sedang tennggelam dalam suasana yang suram, beku, kolot dan tidak setia lagi kepada ajaran Islam yang murni. Pintu ijtihad sudah ditutup dan sikap taqlid pun telah menguasai pendapat umum. Memang dalam mukaddimahnya, Deliar Noer dan Alfian juga menyebut pembukaan kanal Suez dan bertambahnya jumlah orang yang naik haji. Jadi sebenarnya pada abad 18-19 itu hubungan antara Indonesia dengan Makkah makin lama makin erat, dan khusus dari kota itu datang pula dorongan untuk memurnikan ajaran Islam di Indonesia.
Ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini seolah-olah berlomba-lomba melahirkan para ulama’ besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke 18-19 M. Dalam makalah ini akan menyajikan gambaran pembaruan Islam di Indonesia abad 18-19 dan peran Syekh Nawawi al-Bantani dalam periode abad 19.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pembaruan Islam bidang tasawuf abad 19 M di Indonesia?
2.      Siapa tokoh dalam pembaruan Islam abad 19 di Indonesia yang mengajarkan tentang ilmu  tasawuf?
3.      Bagaimana Peran Syekh Nawawi al-Bantani dalam pembaruan Islam Abad 19 di Indonesia?
4.      Bagaimana biografi tentang Syekh Nawawi al-bantani?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas tentang pembaruan Islam di bidang tasawuf di Indonesia pada abad 19 M.
2.      Untuk mengetahui tokoh dalam pembaruan Islam di Indonesia yang mengajarkan ilmu tentang tasawuf pada abad 19.
3.      Untuk mengetahui peran Syekh Nawawi al-Bantani dalam pembaruan Islam di Indonesia pada abad 19.
4.      Untuk mengetahui biografi lengkap tentang Syekh Nawawi al-Bantani.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembaruan Islam Bidang Tasawuf di Indonesia Abad 19
Pembaruan Islam di wilayah Melayu-Indonesia dimulai sejak abad ke 17, dan bukannya awal abad ke 19 atau awal abad ke 20, seperti yang diyakini beberapa sarjana. Hamka dan Federspiel, misalnya percaya pembaruan Islam dimulai di Nusantara bersamaan dengan bangkitnya Gerakan Padri di Sumatera Barat pada permulaan abad ke 19. Meski Geertz mengakui, apa yang dinamakannya “Islam yang lebih persis” atau “Islam skripturalis” telah diperkenalkan di Nusantara sebelum abad ke 19, dia berpendapat bahwa “Islam skripturalis” itu mencapai momentum hanya setelah tahun 1810-an dengan kebangkitan, misalnya di Sumatera Barat, apa yang diistilahkannya “segerombolan kaum fanatik agama”, yang naik darah karena heterodoksi dalam adat istiadat setempat. Dalam acuan kepada Gerakan Padri ini, Geertz dengan jelas memandang pembaruan Islam dengan cara yang terlalu sederhana.[1]
Gerakan Padri sesungguhnya bermula dari jaringan ulama’. Kelahiran dan pertumbuhan gerakan ini mencerminkan proses yang rumit dari penyebaran gagasan-gagasan pembaruan, termasuk “tarik tambang” antara pembaruan dan faktor-faktor lokal seperti adat istiadat. Gerakan Padri merupakan contoh bagus mengenai bagaimana pembaruan yang dibangkitkan jaringan ulama’ menemukan manifestasi ekstremnya di Nusantara.
Pada abad ke 18-19, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syari’ah. Ini memberi dampak besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada aktivisme keduniaan. Pada abad 18 dan 19 Masehi proses ortodoksi ini mendorong lahirnya gerakan anti kolonial yang merata di seluruh kepulauan Nusantara. Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir abad ke 18, yaitu Wahabisme yang semakin memperkuat kecenderungan pada syari’at dan fiqh. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan ini Islam muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu proses islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin mengukuhkan diri sebagai faktor integratif atau pemersatu bangsa Indonesia. [2]

B.     Peran Syekh Nawawi Al-Bantani Dalam Bidang Tasawuf
Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang. [3]
1.      Kelahiran dan Kematian Syekh Nawawi
Dari beberapa referensi yang penulis baca, terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syekh Nawawi al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syekh Nawawi ini dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun  kelahirannya saja yaitu pada bulan Muharam (dalam kalender Hijriyah) dan bulan Desember (dalam kalender Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang tahun kelahiran Syekh Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari seorang penulis bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syekh Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.
Semua referensi yang membahas tentang Syekh Nawawi al-Bantani nampaknya sepakat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1230 H, namun yang agak keliru dari apa yang dituliskan oleh Chaidar adalah mengenai tahun kelahirannya dalam tahun Masehi, yang kemudian menjadi sasaran kritikan  dari penulis lainnya seperti Yuyun Rodiana. Yuyun Rodiana mengatakan bahwa jika dilihat dari persesuaian antara tahun Hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H itu sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, jelasnya adalah bulan Muharam 1230 H sama dengan bulan Desember 1814 M. Akan tetapi jika kelahiran Syekh Nawawi al-Bantani ini adalah setelah bulan Muharam, maka tahun Masehinya adalah 1815 M, persisnya adalah antara bulan Januari dan November 1815 M.  Demikianlah mengenai tahun kelahiran Syekh Nawawi al-Bantani, walaupun terjadi beberapa perbedaan, namun itu bukanlah perbedaan yang rumit, karena hanya berkisar pada masalah penetapan tahun Masehi saja. Beliau wafat di Makkah tanggal 25 Syawal 1314 H bertepatan tahun 1897 M.[4]
2.      Garis Keturunan Syekh Nawawi
Jika ditinjau dari segi nasab, maka akan kita ketahui bahwa nasab Syekh Nawawi al-Bantani ini bersambung hingga Sunan Gunung Jati yang telah mashur dikenal sebagai salah satu wali penyebar islam di Nusantara. Dari Sunan Gunung Jati pun jika kita tinjau lebih jauh, maka garis keturunannya akan sampai kepada Rasulullah. Ayah Syekh Nawawi al-Bantani ini bernama K.H. Umar yang merupakan salah satu ulama’ di desa Tanara dan juga sebagai pemimpin masjid serta pesantren di desa tersebut.
Berikut ini adalah silsilah keluarga Syekh Nawawi: Syekh Nawawi bin Kyai Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Kyai Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arsyi (pangeran Suryararas) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidatuna Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah.
3.      Peran Syekh Nawawi Pada Abad ke 19
Sama sekali tidak mengherankan, bahwa Syekh Nawawi al-Bantani cukup senang dengan kesulitan yang dialami oleh pihak Belanda di Aceh, dan dalam pembicaraan pribadi dia tidak setuju dengan pegawai pensiunan yang berpendapat bahwa daerah Jawa harus diperintah oleh orang Eropa. Andaikata kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam yang independen akan didirikan di sana, pastilah dia akan menerima berita itu dengan gembira tanpa mempersoalkan apakah pemberontakan itu betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang tidak teratur.
Ketika Seorang Arab dari Batavia di Indonesia, negara di mana tarekat tersebar secara sangat luas, yang sangat keras menentang tarekat, yaitu Sayid Usman bin Yahya, mengirim kepadanya suatu brosur yang polemis dan tajam terhadap sistem yang durhaka ini supaya Syekh Nawawi menyetujui isinya, memang ulama’ Banten ini tidak mau menolak untuk menyokong posisi Sayid ini dengan beberapa kata yang manis. Kemudian Sayid Usman dari kata-kata ini berkesimpulan bahwa Nawawi menyetujui sepenuhnya, jelas tidak sesuai dengan kenyataan. Memang, Sayid Usman sangat keras menyerang gejala tarekat tanpa menyebut salah satu tarekat dengan namanya. Hanya sejauh mana kritik ini betul menentang suatu tarekat yang kongkrit, Nawawi juga bisa menyetujuinya. Tetapi dalam penerapan salah satu kriteria yang diterima oleh kedua-duanya masih terjadi perbedaan yang cukup besar, dan kenyataan ini sama sekali tidak disebut dalam brosur yang begitu polemis.
Di samping itu tasawuf yang dipraktekkan oleh Nawawi sendiri pada abad 19 adalah tasawuf yang agak moderat, tasawuf al-Ghazali yang menitikberatkan segi etis di dalam bentuk yang sederhana, seperti diajarkan pada abad-abad yang lalu. Hal ini bisa juga disimpulkan dari karya Nawawi, karena pada tahun 1881 dia menerbitkan sebuah syarh terhadap karya al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, dan di tahun 1884 sebuah syarh terhadap sya’ir tasawuf, karya Zainul Din al-Malabari. Di bawah pengaruh dan bimbingan Syekh Nawawi semakin lama semakin banyak orang Sunda, Jawa dan Melayu ingin mempelajari agama islam lebih mendalam, dan ide-ide agama dan politik dari ajaran Islam dalam bentuk yanng murni dan tinggi yang diperkembangkan lebih luas. [5]
Syekh Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi atau yang lebih dikenal dengan Kyai Nawawi Banten itu sebetulnya bernama asli Muhammad bin Umar Ali bin Arabi. Beliau disebut sebagai Kyai Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi karena beliau berasal dari Tanara, Banten dan tergolong sebagai Ulama’ Jawi atau Ulama’ yang berbangsa Melayu.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pada abad ke 18-19, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syari’ah. Ini memberi dampak besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada aktivisme keduniaan. Pada abad 18 dan 19 Masehi proses ortodoksi ini mendorong lahirnya gerakan anti kolonial yang merata di seluruh kepulauan Nusantara. Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di Arab Saudi pada akhir abad ke 18, yaitu Wahabisme yang semakin memperkuat kecenderungan pada syari’at dan fiqh. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan ini Islam muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu proses islamisasi juga terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin mengukuhkan diri sebagai faktor integratif atau pemersatu bangsa Indonesia.
Ilmu tasawuf yang dipraktekkan oleh Nawawi sendiri pada abad 19 adalah tasawuf yang agak moderat, tasawuf al-Ghazali yang menitikberatkan segi etis di dalam bentuk yang sederhana, seperti diajarkan pada abad-abad yang lalu. Hal ini bisa juga disimpulkan dari karya Nawawi, karena pada tahun 1881 dia menerbitkan sebuah syarh terhadap karya al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, dan di tahun 1884 sebuah syarh terhadap sya’ir tasawuf, karya Zainul Din al-Malabari. Di bawah pengaruh dan bimbingan Syekh Nawawi semakin lama semakin banyak orang Sunda, Jawa dan Melayu ingin mempelajari agama islam lebih mendalam, dan ide-ide agama dan politik dari ajaran Islam dalam bentuk yanng murni dan tinggi yang diperkembangkan lebih luas.



B.     Kritik dan Saran
Demikianlah pemaparan dari makalah saya pribadi, apabila masih banyak kekurangan dalam materi maupun penulisan, saya mohon kesediaan dari pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya. Sebab kritik dan saran dari pembaca dapat saya jadikan sebagai perbaikan pada makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984)

Amin, Ahmad. Islam dari Masa ke Masa. Cet. III; (Bandung: Rosdakarya, 1987)

AS, Asmaran. Pengantar Study Tasawuf. Cet. I; (Jakarta: Raja Grafindo, 1994)


[1] Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984) h. 17
[2] Amin, Ahmad. Islam dari Masa ke Masa. Cet. III; (Bandung: Rosdakarya, 1987) h. 87
[3] Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19.  … h. 21
[4] Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19.  … h. 23
[5] AS, Asmaran. Pengantar Study Tasawuf. Cet. I; (Jakarta: Raja Grafindo, 1994) h. 162

No comments:

Post a Comment