Wednesday, April 18, 2018

MAKALAH_DRAMA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Drama adalah salah satu sastra yang amat popular hingga sekarang, bahkan di zaman ini telah terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang drama. Contohnya sinetron, film layar lebar, dan pertunjukan – pertunjukan lain yang menggambarkan kehidupan makhluk hidup. Selain itu, seni drama juga telah menjadi lahan bisnis yang luar biasa.
Dalam hal ini, penyelanggara ataupun pemeran akan mendapat keuntungan financial serta menjadi terkenal, tetapi sebelum sampai ke situ seorang penyelenggara atau pemeran harus menjadi insan yang profesionalitas agar dapat berkembang terus.
Ludruk adalah pertunjukan seni theater tradisional yang berasal dari Jawa timur. Ludruk ini biasanya dipentaskan oleh satu grup kesenian di panggung besar yang di dalamnya terdapat beberapa pemain. Cerita yang dibawakan pada pementasan
Ludruk biasanya merupakan cerita rakyat sehari – hari yang diselingi dengan lawakan, bahkan kritik sosial. Kesenian ini sangat popular di Jawa timur dan menjadi salah satu warisan kesenian tradisional yang masih ada hingga sekarang.
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer di Jawa tengah, namun terdapat juga di Jawa Timur. Masyarakat Jawa Tengah/Timur umumnya sangat mengenal Ketoprak. Seolah-olah Ketoprak menjadi satu dalam kehidupan masyarakat di Jawa tengah dan mengalahkan kesenian lainnya seperti Srandul, Emprak dan kesenian rakyat lainnya.

1.2. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan drama?
2.      Apa saja unsur-unsur dan jenis drama?
3.      Apa pengertian ludruk?
4.      Apa pengertian ketoprak?

1.3. Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian darama
2.      Untuk memahami unsur dan jenis drama
3.      Untuk memahami pengertian ludruk
4.      Untuk memahami pengertian ketoprak

5.       
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Drama
2.1.1.      Pengertian Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan. Arti pertama dari Drama adalah kualitas komunikasi, situasi, actiom (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (axcting), dan ketegangan pada para pendengar.
Arti kedua, menurut Moulton Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action). Menurut Ferdinand Brunetierre : Drama haruslah melahirkan kehendak dengan action.
Menurut Balthazar Vallhagen : Drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat manusia dengan gerak.
Arti ketiga drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (audience). Adapun istilah lain drama berasal dari kata drame, sebuah kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat, sebuah drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting – meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak bahagia – tapi tidak bertujuan mengagungkan tragedi. Bagaimanapun juga, dalam jagat modern, istilah drama sering diperluas sehingga mencakup semua lakon serius, termasuk didalamnya tragedi dan lakon absurd.
Drama adalah satu bentuk lakon seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action. Meskipun merupakan satu bentuk kesusastraan, cara penyajian drama berbeda dari bentuk kekusastraan lainnya. Novel, cerpen dan balada masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antara dialog dan narasi, dan merupakan karya sastra yang dicetak. Sebuah drama hanya terdiri atas dialog; mungkin ada semacam penjelasannya, tapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan pedoman oleh sutradara. Oleh para ahli, dialog dan tokoh itu disebut hauptext atau teks utama; petunjuk pementasannya disebut nebentext atau tek sampingan.
Contoh;
Chaterina ( bergegas masuk, membawa berita bagus ); Raina ! ( ia mengucapkan Raina, dengan tekanan pada i ) Raina ! ( ia menunjuk ketempat tidur, berharap menemukan Raina disitu ) Mengapa, di mana….! ( Raina menoleh kedalam ruangan).
Fase-fase dalam kurung diatas adalah petunjuk permainan untuk sutradara dan pemain. Ini memandu para aktor dan sutradara maupun tetang penataan perlengkapan panggung. George Bernard Shaw ( 1856 – 1950 ), pelopor realisme dalam sejarah drama Inggris, memberi petunjuk secara panjang lebar pada nebentext-nya yang ditemukan dalam kebanyakan naskahnya karena ia tidak ingin interprestasi lakon-lakonnya menyeleweng dari apa yang sebenarnya ia kehendaki.
Tidak adanya narasi dalam drama bisa digantikan oleh akting para pemain yang, dengan menghubunkan diri mereka sendiri dengan perlengkapan, perlampuan dan iringan musik, menciptakan suasan dan menghidupkan panggung itu menjadi dunia yang amat nyata. Disamping itu, penjelasan tentang tokoh disampaikan melalui dialog antara tokoh yang membicarakan tokoh lain. Pada puisi, daya ekpresi dan irama mentepati posisi yang dominan. Oleh karena itu, puisi tidak bercerita. Jika balada bertumpu pada narasi, sebab sebenarnya balada adalah kisah, atau cerita yang dinyanyikan. Contohnya, mahabarata dan ramayana dalam bentuk tembang. Puisi yang dibaca dengan baik menjadi dramatik, seperti yang dilakukan Rendra, aktor baik. Maka “Tidak tidak diragukan lagi drama kadang dianggap diambil dari kata dramen yang berarti sesuatu untuk dimainkan.”Mungkin drama memperoleh hampir semua efektivitasnya dari kemampuannya untuk mengatur dan menjelaskan pengalaman manusia. Oleh karenanya, drama, seperti halnya karya sastra pada umumnya, dapat dianggap sebagai interprestasi penulis lakon tentang hidup. Unsur dasar drama-perasaan,hasrat, konflik dan rekonsilasi merupakan unsur utama pengalaman manusia.
Dalam kehidupan nyata, semua pengalaman emosional tersebut merupakan kumpulan berbagai kesan yang saling ada hubungannya. Bagaimanapun juga, dalam drama, penulis lakon mampu mengorganisir semua pengalaman ini ke dalam satu pola yang bisa dipahami. Penonton melihat materi kehidupan nyata yang disajikan dalam bentuk yang padat makna dengan menghapus hal-hal yang tidak penting dan memberi tekanan kepada hal-hal yang penting.
Penulis lakon menulis drama untuk dipentaskan, ia menulis drama itu dengan membayangkan action dan ucapan para aktor diatas panggung. Jadi ucapan dan action yang terwujud dalam dialog itu adalah bagian paling penting, yang tanpa itu drama bukan benar-benar sebuah lakon. Karena itu, sebuah drama mewujudkan action, emosi, pemikiran, karakterisasi, yang perlu digali dari dialog-dialog itu. Adalah satu keharusan bagi seorang sutradra untuk menganalisis drama sebelum memanggugkan drama itu.
2.1.2.      Unsur-unsur Drama
Unsur-unsur dalam drama meliputi :
1.      Tema        : gagasan/ide/dasar cerita.
2.      Alur          : tahapan cerita yang bersambungan. Meliputi Pemaparan, pertikaian, penggawatan, klimaks, peleraian. Dilihat dari cara menyusun : alur maju/lurus, alur mundur, alur sorot balik, alur gabungan.
3.      Tokoh       :  Pemain/orang yang berperan dalam cerita.
Tokoh dilihat dari watak : protagonis, antagonis, dan tritagonis
Tokoh dilihat dari perkembangan watak : tokoh bulat dan tokoh datar. Tokoh dilihat dari kedudukan dalam cerita : tokoh utama(sentral) dan tokoh bawahan (sampingan).
4.      Latar        : bagian dari cerita yang menjelaskan waktu dan tempat kejadian ketikatokoh  mengalami peristiwa
Latar terbagi dalam :
a.       latar sosial       : latar yang berupa, waktu, suasana,  masa, bahasa.
b.      latar fisik         : latar yang berupa benda-benda di sekitar tokoh misal, rumah, ruang tamu, dapur, sawah, hutan, pakaian/ baju.
5.      Amanat    :  pesan atau sisipan nasihat yang disampaikan pengarang melalui tokoh dan konflik dalam suatu cerita.
            Hal mendasar yang membedakan antara karya sastra puisi, prosa, dan drama adalah pada bagian dialog. Dialog adalah komunikasi antar tokoh yang dapat dilihat (bila dalam naskah drama) dan didengar langsung oleh penonton, apabila dalam bentuk drama pementasan.
2.1.3.       Jenis-jenis Drama
Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu drama baru dan drama lama.
1.      Drama Baru / Drama Modern
Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan kepada mesyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari.
2.      Drama Lama / Drama Klasik
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya. Macam-Macam Drama Berdasarkan Isi Kandungan Cerita :
a.       Drama Komedi: Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
b.      Drama Tragedi: Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
c.       Drama Tragedi Komedi: Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
d.      Opera: Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
e.       Lelucon / Dagelan: Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.
f.        Operet / Operette: Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek.
g.       Pantomim: Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan.
h.       Tablau: Tablau adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik wajah pelakunya.
i.         Passia: Passie adalah drama yang mengandung unsur agama / relijius.
j.        Wayang: Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang. Dan lain sebagainya.

2.2. Pengertian Ludruk
Kata ludruk berasal dari kata lodrok (b.Jawa). Kata itu dikategorikan ke dalam bahasa tingkat ngoko yang berarti badhut ‘lawak.’ Kata ludruk juga bermakna jembek, jeblok, gluprut, badut, dan teater rakyat.
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, etc).
Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan "Pak Sakera", seorang jagoan Madura. Sedangkan pada ludruk Malang, pembuka pementasan diwujudkan dengan mendendangkan ‘parikan’ yang berisi tentang keadaan dalam masyarakat sosial, atau permasalahan sosial yang sedang hangat diperbincangkan sesuai dengan judul dan tema yang akan diusung dalam pertunjukan drama tersebut.
Ludruk berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah. Cerita ketoprak sering diambil dari kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat menyampaikan pesan tertentu. Sementara ludruk menceritakan cerita hidup sehari-hari (biasanya) kalangan wong cilik.
Dilihat dari akar historisnya, kesenian ini lahir dari bentuk perlawanan kaum kelas bawah (proletariat) terhadap kekuasaan penjajah. Sebelum Indonesia merdeka, pertunjukan ludruk menjadi media propaganda yang efektif untuk melawan tirani. Karena alasan itulah, ludruk menuntut dan membentuk aturan bahwa semua pemainnya adalah kaum laki-laki, meski dalam pemeranannya ada tokoh wanita. Untuk menyiasati itu, maka tokoh perempuannya diperankan oleh wedo’an (pria yang berdandan layaknya perempuan dalam pementasan ludruk). Tidak terlibatnya perempuan dalam aksi panggung ludruk, bukan berarti sengaja ingin menciptakan hierarki di tubuh ludruk.Namun, alasan ini lebih dititikberatkan pada keadaan yang tidak berpihak pada perempuan.

Dalam situasi perlawanan saat ludruk lahir, pementasan membutuhkan kekuatan laki-laki walaupun pada perkembangannya, kesenian ini sudah ada yang memakai peran wanita asli. Ludruk memiliki kecenderungan egaliter kerakyatan yang tidak membedakan status sosial. Selain itu, ludruk juga menjadi media penyampaian pesan moral, kerukunan, persatuan, dan kesatuan serta penanaman rasa nasionalisme bagi generasi muda, khususnya masyarakat Jawa Timur.

2.3.  Pengertian Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer di Jawa tengah, namun terdapat juga di Jawa Timur. Masyarakat Jawa Tengah/Timur umumnya sangat mengenal Ketoprak. Seolah-olah Ketoprak menjadi satu dalam kehidupan masyarakat di Jawa tengah dan mengalahkan kesenian lainnya seperti Srandul, Emprak dan kesenian rakyat lainnya.
Ketoprak merupakan salah satu kesenian rakyat di Jawa Tengah yang cukup digemari oleh masyarakat setempat. Ketoprak lahir di Solo sekitar akhir abad XIX dan awal abad XX. Ada pula yang mengatakan bahwa ketoprak berasal dari kota Yogyakarta.
Hatley (2008: 19-20) merujuk pendapat Wijaya dan Sutjipto tentang sejarah awal lahirnya ketoprak. Dikatakan bahwa ketoprak muncul pada pertengahan akhir abad XIX di daerah pedalaman antara kota Surakarta dan Yogyakarta. Pada sekitar tahun 1977, ketoprak mulai dikembangkan sebagai bentuk hiburan musikal di beberapa daerah di Jawa, yang dipentaskan pascapanen atau dalam suatu perayaan masyarakat. Musik kothekan digunakan untuk mengiringi pertunjukan tersebut, yaitu dengan menggunakan lesung dan alu. Pertunjukan tersebut dilangsungkan pada malam hari. Satu atau dua orang memukul lesung, beberapa orang memanggil penduduk desa yang lain, beberapa orang yang datang ikut memukul lesung, dan ada pula yang menari. Awal mulanya seperti itu. Lalu pada akhir abad XIX diberi cerita sederhana. Alat musik pun diperbanyak dengan menambahkan kendang, seruling, dan tamburin.
Ketoprak dianggap sebagai kesenian rakyat yang tidak adiluhung. Artinya, kesenian ini merupakan kesenian masyarakat rendah. Berbeda dengan kesenian wayang yang memang sangat adiluhung karena merupakan kesenian yang sangat digemari di kalangan kerajaan. Hatley mengatakan “Ketoprak had no such courtly aura.” Hal ini disebabkan karena ketoprak dipentaskan dengan menyajikan cerita-cerita legenda dan kerajaan pada masa lalu dalam bentuk tradisi lisan yang berkembang di lapisan masyarakat rendah dengan menyampaikan tema-tema yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut dan dikemas secara lucu.
Eko Santosa, dkk mengatakan bahwa salah satu unsur yang paling menonjol dalam ketoprak adalah penggunaan unggah-ungguh bahasa Jawa. Di sana ada tiga tingkatan bahasa Jawa yang digunakan, yaitu ngoko (biasa), krama, dan krama inggil.
Kasim Ahmad sebagaimana dikutip oleh Herman J. Waluyo mengklasifikasikan teater tradisional menjadi tiga, yaitu teater rakyat, teater klasik, dan teater transisi. Sementara ketoprak masuk dalam kategori teater rakyat. Disebutkan pula bahwa salah satu sifat teater rakyat adalah improvisasi, sederhana, spontan, dan menyatu dengan kehidupan rakyat.
Dalam tulisannya yang lain, Kasim Ahmad menyebutkan ciri-ciri teater tradisional yang lain. Salah satu ciri yang esensial dari teater tradisional ialah proses kreatifnya yang didukung oleh sistem kebersamaan, tidak ada penonjolan ndividu sebagai pencipta karya. Teater tradisional didasarkan pada intuisi para pemainnya. Ciri penting yang lain dalam teater tradisional yaitu konsep pertunjukan yang multi media ekspresi yang terpadu.

2.4. Pendekatan dalam Kajian Sastra
a.      Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan realitas atau kenyataan. Mimetik dalam bahasa yunani “mimesis” yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini, karya sastra merupakan hasil tiruan atau cermin dari kehidupan. Dalam mengkaji sebuah karya sastra dengan menggunakan pendekatan mimetik, dibutuhkan data-data yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang ada dalam karya sastra tersebut. Contohnya, sebuah cerita yang bersetting abad- 18 diperlukan data- data yang berkaitan realitas kehidupan masyarakat pada masa tersebut.
Karena pendekatan mimetik menghubungkan karya sastra dengan realitas, maka kemudian muncul anggapan bahwa karya merupakan cerminan dari realitas, sehingga hakikat karya sastra yang bersifat fiktif sering kali dilupakan. Hal ini sangat berbeda dengan makna karya sastra yang merupakan hasil karangan fiktif pengarang.
b.      Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra tersebut. Pendekatan ekspresif muncul pada abad ke-18 dan 19, yaitu ketika para pengritik mencoba menyelami jiwa penyair melalui puisi- puisinya.
Dalam mengkaji sebuah karya sastra dengan pendekatan ekspresif diperlukan data-data yang berhubungan dengan sastrawan yang membuat karya sastra tersebut, seperti dimana dia tinggal, dimana dia dilahirkan, kapan dia hidup, bagaimana latar belakang pendidikan, keluarga, sosial, budaya, agama, dan lain sebagainya. Dengan adanya data tersebut, akan lebih mudah dalam mengkaji karya sastra tersebut, seperti pengaruh waktu pengarang hidup dengan isi karya sastra yang dibuatnya. Dengan gambaran waktu yang sama antara waktu pengarang hidup dengan waktu yang terdapat dalam karya sastra tersebut membuat hasil karya sastra tersebut menjadi lebih hidup dibandingkan dengan karya sastra dimana waktu dalam karya sastra tersebut berbeda dengan waktu si pengarang hidup.
Kelemahan dari pendekatan ekspresif adalah kecenderungan untuk selalu menyamakan realitas dalam karya sastra tersebut dengan realitas yang dialami oleh sastrawan. Padahal dalam kenyataannya tidak semua karya sastra merupakan cerminan realitas si pengarang.
c.       Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut. Contohnya dalam novel Atheis dimana Hasan ombang–ambingkan keimanannya. Hal tersebut dapat dikaji nilai kereligiusannya.
d.      Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur koherensi (antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat) dan kebenaran sendiri. Unsur intrinsik yang dikaji dengan menggunakan pendekatan objektif dapat berupa diksi, bahasa kiasan, citraan, bunyi, persajakannya dan lain-lain.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Drama adalah satu bentuk lakon seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action. Drama dalam masyarakat kita mempunyai dua arti, yaitu drama dalam arti luas dan drama dalam arti sempit. Dalam arti luas, drama adalah semua bentuk tontonan yang mengandung cerita yang dipertunjukkan di depan orang banyak.
Unsur-unsur intrinsik yaitu tokoh, penokohan, setting, tema, alur atau plot, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik dalam drama adalah unsur yang tampak, seperti adanya dialog atau percakapan. Namun, unsur-unsur ini bisa bertambah ketika naskah sudah dipentaskan. Seperti panggung, properti, tokoh, sutradara, dan penonton.
Jenis-jenis drama dapat diklasifikasikan berdasarkan isi ceritanya (drama tragedy, melodrama, komedi dagelan). Berdasarkan cara penyajiannya (closed drama, drama treatikal, drama radio, drama televisi). Berdasarkan bentuknya (sandiwara, teater rakyat, opera, sendratari, pantomim, operet, tableau, passie, wayang, minikata). Dan menurut masanya drama ada drama baru dan drama lama.
Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu prolog, epilog, monolog, dan dialog. Selain itu juga ada tata panggung, pemeran, kostum, dan suara yang perlu diperhatikan.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan mengenai drama, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA


Noor, Redyanto, dkk, 2004, Pengantar Pengkajian Sastra, Semarang: fasindo

Yuli eti, Nunung, dkk, 2005, Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Klaten: Intan Pariwara

No comments:

Post a Comment