BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Drama adalah salah satu sastra yang amat
popular hingga sekarang, bahkan di zaman ini telah terjadi perkembangan yang
sangat pesat di bidang drama. Contohnya sinetron, film layar lebar, dan
pertunjukan – pertunjukan lain yang menggambarkan kehidupan makhluk hidup.
Selain itu, seni drama juga telah menjadi lahan bisnis yang luar biasa.
Dalam hal ini, penyelanggara ataupun pemeran
akan mendapat keuntungan financial serta menjadi terkenal, tetapi sebelum
sampai ke situ seorang penyelenggara atau pemeran harus menjadi insan yang
profesionalitas agar dapat berkembang terus.
Ludruk adalah pertunjukan seni theater
tradisional yang berasal dari Jawa timur. Ludruk ini biasanya dipentaskan oleh
satu grup kesenian di panggung besar yang di dalamnya terdapat beberapa pemain.
Cerita yang dibawakan pada pementasan
Ludruk biasanya merupakan cerita rakyat sehari
– hari yang diselingi dengan lawakan, bahkan kritik sosial. Kesenian ini sangat
popular di Jawa timur dan menjadi salah satu warisan kesenian tradisional yang
masih ada hingga sekarang.
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling
populer di Jawa tengah, namun terdapat juga di Jawa Timur. Masyarakat Jawa
Tengah/Timur umumnya sangat mengenal Ketoprak. Seolah-olah Ketoprak menjadi
satu dalam kehidupan masyarakat di Jawa tengah dan mengalahkan kesenian lainnya
seperti Srandul, Emprak dan kesenian rakyat lainnya.
1.2. Rumusan
Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan drama?
2. Apa saja
unsur-unsur dan jenis drama?
3. Apa pengertian
ludruk?
4. Apa pengertian ketoprak?
1.3. Tujuan
Makalah
1. Untuk
mengetahui pengertian darama
2. Untuk memahami
unsur dan jenis drama
3. Untuk memahami
pengertian ludruk
4. Untuk memahami
pengertian ketoprak
5.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Drama
2.1.1. Pengertian
Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai
yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi drama bisa berarti perbuatan
atau tindakan. Arti pertama dari Drama adalah kualitas komunikasi, situasi,
actiom (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan
(axcting), dan ketegangan pada para pendengar.
Arti kedua, menurut Moulton Drama adalah hidup
yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action). Menurut Ferdinand
Brunetierre : Drama haruslah melahirkan kehendak dengan action.
Menurut Balthazar Vallhagen : Drama adalah
kesenian melukiskan sifat dan sifat manusia dengan gerak.
Arti ketiga drama adalah cerita konflik manusia
dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan
percakapan dan action dihadapan penonton (audience). Adapun istilah lain drama
berasal dari kata drame, sebuah kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan
Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas
menengah. Dalam istilah yang lebih ketat, sebuah drama adalah lakon serius yang
menggarap satu masalah yang punya arti penting – meskipun mungkin berakhir
dengan bahagia atau tidak bahagia – tapi tidak bertujuan mengagungkan tragedi.
Bagaimanapun juga, dalam jagat modern, istilah drama sering diperluas sehingga
mencakup semua lakon serius, termasuk didalamnya tragedi dan lakon absurd.
Drama adalah satu bentuk lakon seni yang
bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan
atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action. Meskipun
merupakan satu bentuk kesusastraan, cara penyajian drama berbeda dari bentuk
kekusastraan lainnya. Novel, cerpen dan balada masing-masing menceritakan kisah
yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antara dialog dan narasi, dan
merupakan karya sastra yang dicetak. Sebuah drama hanya terdiri atas dialog;
mungkin ada semacam penjelasannya, tapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk
dijadikan pedoman oleh sutradara. Oleh para ahli, dialog dan tokoh itu disebut
hauptext atau teks utama; petunjuk pementasannya disebut nebentext atau tek
sampingan.
Contoh;
Chaterina ( bergegas masuk, membawa berita
bagus ); Raina ! ( ia mengucapkan Raina, dengan tekanan pada i ) Raina ! ( ia
menunjuk ketempat tidur, berharap menemukan Raina disitu ) Mengapa, di mana….!
( Raina menoleh kedalam ruangan).
Fase-fase dalam kurung diatas adalah petunjuk
permainan untuk sutradara dan pemain. Ini memandu para aktor dan sutradara
maupun tetang penataan perlengkapan panggung. George Bernard Shaw ( 1856 – 1950
), pelopor realisme dalam sejarah drama Inggris, memberi petunjuk secara
panjang lebar pada nebentext-nya yang ditemukan dalam kebanyakan naskahnya
karena ia tidak ingin interprestasi lakon-lakonnya menyeleweng dari apa yang
sebenarnya ia kehendaki.
Tidak adanya narasi dalam drama bisa digantikan
oleh akting para pemain yang, dengan menghubunkan diri mereka sendiri dengan
perlengkapan, perlampuan dan iringan musik, menciptakan suasan dan menghidupkan
panggung itu menjadi dunia yang amat nyata. Disamping itu, penjelasan tentang
tokoh disampaikan melalui dialog antara tokoh yang membicarakan tokoh lain.
Pada puisi, daya ekpresi dan irama mentepati posisi yang dominan. Oleh karena
itu, puisi tidak bercerita. Jika balada bertumpu pada narasi, sebab sebenarnya
balada adalah kisah, atau cerita yang dinyanyikan. Contohnya, mahabarata dan
ramayana dalam bentuk tembang. Puisi yang dibaca dengan baik menjadi dramatik,
seperti yang dilakukan Rendra, aktor baik. Maka “Tidak tidak diragukan lagi
drama kadang dianggap diambil dari kata dramen yang berarti sesuatu untuk
dimainkan.”Mungkin drama memperoleh hampir semua efektivitasnya dari
kemampuannya untuk mengatur dan menjelaskan pengalaman manusia. Oleh karenanya,
drama, seperti halnya karya sastra pada umumnya, dapat dianggap sebagai
interprestasi penulis lakon tentang hidup. Unsur dasar drama-perasaan,hasrat,
konflik dan rekonsilasi merupakan unsur utama pengalaman manusia.
Dalam kehidupan nyata, semua pengalaman
emosional tersebut merupakan kumpulan berbagai kesan yang saling ada
hubungannya. Bagaimanapun juga, dalam drama, penulis lakon mampu mengorganisir
semua pengalaman ini ke dalam satu pola yang bisa dipahami. Penonton melihat
materi kehidupan nyata yang disajikan dalam bentuk yang padat makna dengan
menghapus hal-hal yang tidak penting dan memberi tekanan kepada hal-hal yang
penting.
Penulis lakon menulis drama untuk dipentaskan,
ia menulis drama itu dengan membayangkan action dan ucapan para aktor diatas
panggung. Jadi ucapan dan action yang terwujud dalam dialog itu adalah bagian
paling penting, yang tanpa itu drama bukan benar-benar sebuah lakon. Karena
itu, sebuah drama mewujudkan action, emosi, pemikiran, karakterisasi, yang
perlu digali dari dialog-dialog itu. Adalah satu keharusan bagi seorang
sutradra untuk menganalisis drama sebelum memanggugkan drama itu.
2.1.2. Unsur-unsur
Drama
Unsur-unsur dalam drama meliputi :
1. Tema : gagasan/ide/dasar cerita.
2. Alur : tahapan cerita yang bersambungan.
Meliputi Pemaparan, pertikaian, penggawatan, klimaks, peleraian. Dilihat dari
cara menyusun : alur maju/lurus, alur mundur, alur sorot balik, alur gabungan.
3. Tokoh :
Pemain/orang yang berperan dalam cerita.
Tokoh dilihat dari watak : protagonis, antagonis, dan tritagonis
Tokoh dilihat dari perkembangan watak : tokoh bulat dan tokoh datar. Tokoh
dilihat dari kedudukan dalam cerita : tokoh utama(sentral) dan tokoh bawahan
(sampingan).
4. Latar : bagian dari cerita yang menjelaskan
waktu dan tempat kejadian ketikatokoh
mengalami peristiwa
Latar terbagi dalam :
a. latar
sosial : latar yang berupa, waktu,
suasana, masa, bahasa.
b. latar
fisik : latar yang berupa
benda-benda di sekitar tokoh misal, rumah, ruang tamu, dapur, sawah, hutan,
pakaian/ baju.
5. Amanat :
pesan atau sisipan nasihat yang disampaikan pengarang melalui tokoh dan
konflik dalam suatu cerita.
Hal mendasar yang
membedakan antara karya sastra puisi, prosa, dan drama adalah pada bagian
dialog. Dialog adalah komunikasi antar tokoh yang dapat dilihat (bila dalam
naskah drama) dan didengar langsung oleh penonton, apabila dalam bentuk drama
pementasan.
2.1.3. Jenis-jenis Drama
Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua
jenis yaitu drama baru dan drama lama.
1.
Drama Baru / Drama Modern
Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan
untuk memberikan pendidikan kepada mesyarakat yang umumnya bertema kehidupan
manusia sehari-hari.
2.
Drama Lama / Drama Klasik
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya
menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan
dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya. Macam-Macam Drama
Berdasarkan Isi Kandungan Cerita :
a. Drama Komedi: Drama
komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
b. Drama Tragedi: Drama
tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
c. Drama Tragedi
Komedi: Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
d. Opera: Opera
adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
e. Lelucon /
Dagelan: Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka
merangsang gelak tawa penonton.
f.
Operet / Operette: Operet adalah opera yang
ceritanya lebih pendek.
g. Pantomim: Pantomim
adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa
pembicaraan.
h. Tablau: Tablau
adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh
dan mimik wajah pelakunya.
i.
Passia: Passie adalah drama yang mengandung
unsur agama / relijius.
j.
Wayang: Wayang adalah drama yang pemain
dramanya adalah boneka wayang. Dan lain sebagainya.
2.2. Pengertian
Ludruk
Kata ludruk berasal dari kata lodrok (b.Jawa).
Kata itu dikategorikan ke dalam bahasa tingkat ngoko yang berarti badhut
‘lawak.’ Kata ludruk juga bermakna jembek, jeblok, gluprut, badut, dan teater
rakyat.
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari
Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh
sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita
tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya
yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa,
menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang tamu dari daerah
lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa
lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non
intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, etc).
Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan
Tari Remo dan diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan
"Pak Sakera", seorang jagoan Madura. Sedangkan pada ludruk Malang,
pembuka pementasan diwujudkan dengan mendendangkan ‘parikan’ yang berisi
tentang keadaan dalam masyarakat sosial, atau permasalahan sosial yang sedang
hangat diperbincangkan sesuai dengan judul dan tema yang akan diusung dalam
pertunjukan drama tersebut.
Ludruk berbeda dengan ketoprak dari Jawa
Tengah. Cerita ketoprak sering diambil dari kisah zaman dulu (sejarah maupun
dongeng), dan bersifat menyampaikan pesan tertentu. Sementara ludruk
menceritakan cerita hidup sehari-hari (biasanya) kalangan wong cilik.
Dilihat dari akar historisnya, kesenian ini
lahir dari bentuk perlawanan kaum kelas bawah (proletariat) terhadap kekuasaan
penjajah. Sebelum Indonesia merdeka, pertunjukan ludruk menjadi media
propaganda yang efektif untuk melawan tirani. Karena alasan itulah, ludruk
menuntut dan membentuk aturan bahwa semua pemainnya adalah kaum laki-laki,
meski dalam pemeranannya ada tokoh wanita. Untuk menyiasati itu, maka tokoh
perempuannya diperankan oleh wedo’an (pria yang berdandan layaknya perempuan
dalam pementasan ludruk). Tidak terlibatnya perempuan dalam aksi panggung
ludruk, bukan berarti sengaja ingin menciptakan hierarki di tubuh ludruk.Namun,
alasan ini lebih dititikberatkan pada keadaan yang tidak berpihak pada
perempuan.
Dalam situasi perlawanan saat ludruk lahir,
pementasan membutuhkan kekuatan laki-laki walaupun pada perkembangannya,
kesenian ini sudah ada yang memakai peran wanita asli. Ludruk memiliki
kecenderungan egaliter kerakyatan yang tidak membedakan status sosial. Selain
itu, ludruk juga menjadi media penyampaian pesan moral, kerukunan, persatuan,
dan kesatuan serta penanaman rasa nasionalisme bagi generasi muda, khususnya
masyarakat Jawa Timur.
2.3. Pengertian Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling
populer di Jawa tengah, namun terdapat juga di Jawa Timur. Masyarakat Jawa
Tengah/Timur umumnya sangat mengenal Ketoprak. Seolah-olah Ketoprak menjadi
satu dalam kehidupan masyarakat di Jawa tengah dan mengalahkan kesenian lainnya
seperti Srandul, Emprak dan kesenian rakyat lainnya.
Ketoprak merupakan salah satu kesenian rakyat
di Jawa Tengah yang cukup digemari oleh masyarakat setempat. Ketoprak lahir di
Solo sekitar akhir abad XIX dan awal abad XX. Ada pula yang mengatakan bahwa
ketoprak berasal dari kota Yogyakarta.
Hatley (2008: 19-20) merujuk pendapat Wijaya
dan Sutjipto tentang sejarah awal lahirnya ketoprak. Dikatakan bahwa ketoprak
muncul pada pertengahan akhir abad XIX di daerah pedalaman antara kota
Surakarta dan Yogyakarta. Pada sekitar tahun 1977, ketoprak mulai dikembangkan
sebagai bentuk hiburan musikal di beberapa daerah di Jawa, yang dipentaskan
pascapanen atau dalam suatu perayaan masyarakat. Musik kothekan digunakan untuk
mengiringi pertunjukan tersebut, yaitu dengan menggunakan lesung dan alu.
Pertunjukan tersebut dilangsungkan pada malam hari. Satu atau dua orang memukul
lesung, beberapa orang memanggil penduduk desa yang lain, beberapa orang yang
datang ikut memukul lesung, dan ada pula yang menari. Awal mulanya seperti itu.
Lalu pada akhir abad XIX diberi cerita sederhana. Alat musik pun diperbanyak
dengan menambahkan kendang, seruling, dan tamburin.
Ketoprak dianggap sebagai kesenian rakyat yang
tidak adiluhung. Artinya, kesenian ini merupakan kesenian masyarakat rendah.
Berbeda dengan kesenian wayang yang memang sangat adiluhung karena merupakan
kesenian yang sangat digemari di kalangan kerajaan. Hatley mengatakan “Ketoprak
had no such courtly aura.” Hal ini disebabkan karena ketoprak dipentaskan
dengan menyajikan cerita-cerita legenda dan kerajaan pada masa lalu dalam
bentuk tradisi lisan yang berkembang di lapisan masyarakat rendah dengan
menyampaikan tema-tema yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat
tersebut dan dikemas secara lucu.
Eko Santosa, dkk mengatakan bahwa salah satu
unsur yang paling menonjol dalam ketoprak adalah penggunaan unggah-ungguh
bahasa Jawa. Di sana ada tiga tingkatan bahasa Jawa yang digunakan, yaitu ngoko
(biasa), krama, dan krama inggil.
Kasim Ahmad sebagaimana dikutip oleh Herman J.
Waluyo mengklasifikasikan teater tradisional menjadi tiga, yaitu teater rakyat,
teater klasik, dan teater transisi. Sementara ketoprak masuk dalam kategori
teater rakyat. Disebutkan pula bahwa salah satu sifat teater rakyat adalah
improvisasi, sederhana, spontan, dan menyatu dengan kehidupan rakyat.
Dalam tulisannya yang lain, Kasim Ahmad
menyebutkan ciri-ciri teater tradisional yang lain. Salah satu ciri yang
esensial dari teater tradisional ialah proses kreatifnya yang didukung oleh
sistem kebersamaan, tidak ada penonjolan ndividu sebagai pencipta karya. Teater
tradisional didasarkan pada intuisi para pemainnya. Ciri penting yang lain
dalam teater tradisional yaitu konsep pertunjukan yang multi media ekspresi
yang terpadu.
2.4. Pendekatan
dalam Kajian Sastra
a. Pendekatan
Mimetik
Pendekatan
mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan realitas
atau kenyataan. Mimetik dalam bahasa yunani “mimesis” yang berarti tiruan.
Dalam pendekatan ini, karya sastra merupakan hasil tiruan atau cermin dari
kehidupan. Dalam mengkaji sebuah karya sastra dengan menggunakan pendekatan
mimetik, dibutuhkan data-data yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang ada
dalam karya sastra tersebut. Contohnya, sebuah cerita yang bersetting abad- 18
diperlukan data- data yang berkaitan realitas kehidupan masyarakat pada masa
tersebut.
Karena
pendekatan mimetik menghubungkan karya sastra dengan realitas, maka kemudian
muncul anggapan bahwa karya merupakan cerminan dari realitas, sehingga hakikat
karya sastra yang bersifat fiktif sering kali dilupakan. Hal ini sangat berbeda
dengan makna karya sastra yang merupakan hasil karangan fiktif pengarang.
b. Pendekatan
Ekspresif
Pendekatan
ekspresif merupakan pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra memfokuskan
perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra tersebut. Pendekatan
ekspresif muncul pada abad ke-18 dan 19, yaitu ketika para pengritik mencoba
menyelami jiwa penyair melalui puisi- puisinya.
Dalam
mengkaji sebuah karya sastra dengan pendekatan ekspresif diperlukan data-data
yang berhubungan dengan sastrawan yang membuat karya sastra tersebut, seperti
dimana dia tinggal, dimana dia dilahirkan, kapan dia hidup, bagaimana latar
belakang pendidikan, keluarga, sosial, budaya, agama, dan lain sebagainya.
Dengan adanya data tersebut, akan lebih mudah dalam mengkaji karya sastra
tersebut, seperti pengaruh waktu pengarang hidup dengan isi karya sastra yang
dibuatnya. Dengan gambaran waktu yang sama antara waktu pengarang hidup dengan
waktu yang terdapat dalam karya sastra tersebut membuat hasil karya sastra
tersebut menjadi lebih hidup dibandingkan dengan karya sastra dimana waktu
dalam karya sastra tersebut berbeda dengan waktu si pengarang hidup.
Kelemahan
dari pendekatan ekspresif adalah kecenderungan untuk selalu menyamakan realitas
dalam karya sastra tersebut dengan realitas yang dialami oleh sastrawan.
Padahal dalam kenyataannya tidak semua karya sastra merupakan cerminan realitas
si pengarang.
c. Pendekatan
Pragmatik
Pendekatan
pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk
menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral
agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra
berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya.
Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka
semakin baik karya sastra tersebut. Contohnya dalam novel Atheis dimana Hasan
ombang–ambingkan keimanannya. Hal tersebut dapat dikaji nilai kereligiusannya.
d. Pendekatan
Objektif
Pendekatan
objektif merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu
sendiri. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan
intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur koherensi (antara unsur-unsur
pembentuknya ada jalinan erat) dan kebenaran sendiri. Unsur intrinsik yang
dikaji dengan menggunakan pendekatan objektif dapat berupa diksi, bahasa
kiasan, citraan, bunyi, persajakannya dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Drama adalah satu bentuk lakon seni yang
bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan
atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action. Drama
dalam masyarakat kita mempunyai dua arti, yaitu drama dalam arti luas dan drama
dalam arti sempit. Dalam arti luas, drama adalah semua bentuk tontonan yang
mengandung cerita yang dipertunjukkan di depan orang banyak.
Unsur-unsur intrinsik yaitu tokoh, penokohan,
setting, tema, alur atau plot, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik dalam
drama adalah unsur yang tampak, seperti adanya dialog atau percakapan. Namun,
unsur-unsur ini bisa bertambah ketika naskah sudah dipentaskan. Seperti
panggung, properti, tokoh, sutradara, dan penonton.
Jenis-jenis drama dapat diklasifikasikan
berdasarkan isi ceritanya (drama tragedy, melodrama, komedi dagelan).
Berdasarkan cara penyajiannya (closed drama, drama treatikal, drama radio,
drama televisi). Berdasarkan bentuknya (sandiwara, teater rakyat, opera,
sendratari, pantomim, operet, tableau, passie, wayang, minikata). Dan menurut
masanya drama ada drama baru dan drama lama.
Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu prolog,
epilog, monolog, dan dialog. Selain itu juga ada tata panggung, pemeran,
kostum, dan suara yang perlu diperhatikan.
B. Saran
Demikianlah pembahasan mengenai drama, semoga
dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi
untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Noor,
Redyanto, dkk, 2004, Pengantar Pengkajian Sastra, Semarang: fasindo
Yuli eti,
Nunung, dkk, 2005, Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Klaten: Intan
Pariwara
No comments:
Post a Comment