BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang sanggup
berkomunikasi lewat bahasa dan berbicara. yang lebih mencirikan hakikat manusia
sebagai manusia penuh adalah kepandaian dan keterampilan dalam berbicara.
Pengetahuan bahasa saja belum cukup! Kebesaran dan kehebatan seseorang sebagai
manusia juga ditentukan oleh kepandaiannya dalam berbahasa, keterampilannya
mengungkapkan pikiran secara tepat dan meyakinkan. Seni keterampilan berbicara
sering disebut dengan Retorika.
Persoalan berbicara tak dapat dilepaskan
sejak sejarah manusia mulai diperkenalkankan. Bahkan Allah SWT memiliki sifat
kalam artinya Maha Berfirman. Itulah sebabnya Nabi Musa ketika lidahnya kurang
begitu fasih berbicara, maka Allah membimbing dia dengan seubua doa: rabbis rahli
shadri wayassirli amri wahlul uqdatam millisani yafqahu qauli (QS. Thaha (20).
Sebagai umat Islam, kita diberi tanggung
jawab untuk berdakwah, mengajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan sesuai
ajaran Islam. tapi ketika kita berdakwah atau berbicara dengan orang lain,
terkadang apa yang kita sampaikan membuat orang tersinggung, bahkan merasa
antipati terhadap saran atau nasihat kita. Sesuatu yang sesungguhnya baik bila
disalapahami atau bahkan dianggap buruk jika disampaikan secara tidak tepat. Maka
seni berbicara (retorika) menjadi penting.
Dalam berkomunikasi khususnya dakwah,kita
harus bisa mengerti keadaan orang itu. Dalam perkataan juga harus mempunyai
etika, lembut, baik, benar dan rendah hati serta tidak tergesa-gesa dan
terkesan memaksakan kehendak, karna untuk merubah seseorang ke hal yng baik itu
membutuhkan proses dan bimbingan.
Lalu, apakah ada hadits yang membahas
tentang bagaimana seni berbicara (retorika) ? Untuk itu, dalam makalah ini
penulis akan memberikan beberapa hadits yang sekiranya bisa dijadikan landasan
atau acuan bagaimana beretorika dalam islam sebagai proses dakwah
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana seni
berbiacar dalam dakwah?
2. Bagimana Seni
Berbicara (Retoroika) Dalam Praktik?
3. Bagiaman Kesan
Seni Berbicara (Retorika) Rasulullah Saw?
C.
Tujuan Pembahasan
1. untuk
mengetahui seni berbiacar dalam dakwah
2. untuk mengetahui Berbicara
(Retoroika) Dalam Praktik
3. untuk mengetahui Kesan
Seni Berbicara (Retorika) Rasulullah Saw
1.
BAB II
PEMBAHASN
A.
Seni Berbicara Dalam Dakwah
1.
Definisi Seni Berbicara (retorika)
Seni
berbicara (Retorika) adalah suatu gaya/teknik berbicara baik yang dicapai
berdasarkan bakat alami (Talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika
diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses
komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara
secara lancar tanpa jalan fikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu
kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan
mengesankan. Retorika mencakup ingatan yang kuat , daya kreasi dan fantasi yang
tinggi ,teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang
tepat. Ber-retorika juga harus dapat dipertanggung jawabakan disertai pemilihan
kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan
siapa lawan bicara yang dihadapi.[1]
Titik
tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau
kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan
tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi informasi). Berbicara
adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu pembicaraan
setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia
mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.
Dalam
berdakwah, seni berbicara (retorika) dapat diartikan dengan teknik dan
kepandaian menyampaikan ajaran Islam secara lisan guna terwujudnya situasi dan
kondisi yang Islami seperti yangdikehendaki oleh Allah dan Rasulnya.
2.
Urgensi Seni Berbicara (retorika)
Seni
berkomunikai, yang dalam pembahasan ini adalah seni berbicara (Retorika)
dibutuhkan dalam medan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain,
atau dengan kata lain; retorika adalah suatu penunjang terjalinnya suatu
komunikasi di dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan kita adalah
pelaksanaan komunikasi islam sebagai suatu dakwah, dimana dengan seni dan
kepandaian berbicara kita berusaha mempengaruhi orang lain, supaya mereka dapat
mengalihkan pikirannya dari pikiran- pikiran yang munkar kepada pikiran-pikiran
yang sesuai jalan Allah, juga termasuk ideologi, pengetahuan, perilaku dan
perbuatannya.[2]
Salah
satu faktor komunikasi adalah lisan, yakni berbicara secara langsung kepada
massa yang dihadapi. Meskipun timbul berbagai alat komunikasi(media) yang lebih
modern, namun retorika masih tetap menjadi keharusan. Bicara masih sangat
dominan disamping adanya amalan kerja atau konkrit. Berbicara yang baik dan
tepat, dapat memberikan warna didalam setiap pembicaraan, akan sangat mempengaruhi
jiwa pendengar, dapat menggetarkan jiwa mereka, membuat mereka sedih, marah,
bersemangat, sadar, dan lain- lain sikap yang dapat timbul.
Maka
oleh karena itu, kecakapan bicara yang dapat mempengaruhi serta dapat
menggetarkan jiwa manusia, hingga dapat berbuat sesuai dengan tujuan yang akan
kita capai, adalah merupakan suatu seni. Demikianlah, maka didalam melakukan
komunikasi Islam-pun perlu dilengkapi dengan seni berbicara. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya retorika dalam berkomunikasi.
B.
Seni Berbicara (Retoroika) Dalam Praktik
Penyampaian ajaran islam secara lisan
umumnya dilakukan dengan ceramah, pidato, atau khutbah, meskipun ada juga yang
dalam bentuk dialog. Untuk bisa berceramah dan berkhutbah dengan baik, ada tiga
bagian yang hendak kita bahas, yaitu :
1.
Persiapan
Apapun
kegiatan yang hendak kita lakukan, persiapan merupakan sesuatu yang amat
penting. Dalam berceramah atau berdakwah, persiapan menjadi lebih penting lagi
bagi pemula atau siapa saja yang belum berpengalaman. Adapun langkah- langkah
yang harus dipersiapkan adalah sebagai berikut.[3]
a)
Mentalitas
yang memadai
Persiapan mental dalam berdakwah
(ceramah/pidato) adalah dengan menumbuhkan kedalam jiwa kita rasa percaya diri
yang tinggi.
b)
Memahami
latar belakang jamaah\
Memahami latar belakang jamaah memiliki
arti yang sangat penting agar kita tahu gambaran keadaan jamaah. Dari sini kita
bisa menentukan tema apa yang perlu diangkat atau disinggung.
Ali bin Abi Thalib berkata :
حد ثوا الناس بما يعرفون اتحبون ا ن يكذبون الله ورسوله
“Berbicaralah dengan
orang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka, apakah engkau suka Allah dan
Rasulnya didustakan ?”
Dari Aisyah ra, beliau berkata :
امرنا رسول لله صلى ا
لله عليه وسلم ان ننزل النا س منا زلهم
“Rasulullah SAW Memerintahkan kepada kami
untuk menempatkan manusia sesuai kedudukannya”
c)
Menentukan
masalah
Ceramah yang baik adalah ceramah dengan
permasalahan atau pembahasan yang jelas, sehingga ceramah itu sendiri tidak
simpang siur, karena punya target pembahasan yang jelas.
d)
Mengumpulkan
bahan
Setelah tema ditentukan, langkah
berikutnya adalah mengumpulkan bahan agar pembahasan materi ceramah bisa
disampaikan dengan wawasan yang luas dan ilustrasi yang tepat.
e)
Menyusun
sistematika
Untuk memudahkan pembahasan perlu disusun
sistematika uraian materi pembahasan dengan sub-sub bahasan berikut dalil dan
data lainnya yang menguatkan argumentasi.
f)
Menjaga dan
mempersiapkan kondisi fisik
Di samping kesiapan akal dengan mengusai
materi yang hendak dibahas, seorang penceramah juga harus menjaga dan juga
mempersiapkan kondisi fisiknya agar tetap prima selama berlangsungnya ceramah.
Demikian juga dengan penggunaan pakaian yang pantas untuk dikenakan agar
menyenangkan mata orang yang memperhatikan sehingga menjadi enak dilihat.
2.
Pelaksanaan dakwah
(pidato/ceramah)
Setelah
persiapan dilaksanakan dengan baik, maka berikutnya adalah bagaimana penampilan
saat berdakwah (pidato/ceramah), beberapa hal berikut menjadi sesuatu yang
harus diperhatikan.
a. Tampil mengesankan
Meskipun dalam dakwah kita menuntut
jamaah untuk menggunakan prinsip “ perhatikan apa yang dibicarakan, jangan
perhatikan siapa yang berbicara”, namun penampilan yang mengesankan tetap
diperlukan. Misalnya dengan wajah ceria dan tutur kata yang baik, sebagaimana
dalam hadits :
وعن ا بى ذ ر رضى الله عنه قال : قال لى رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا تحقرن من ا لمعروف شيئا ولو ان تلقى اخا ك بوجه طليق.
(رواه مسلم)
"Dari Abu Dzar ra, ia berkata : Rasulullah bersabda kepada saya :
“ jangan sekali- sekali meremehkan perbuatan baik, walaupun menyambut saudaramu
dengan muka ceria”. (HR. Muslim)
وعن عدى بن حا تم رضى ا لله عنه قال : قال رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم : ا تقو ا النا ر ولو بشق تمر ة . فمن لم يجد فبكلمة طيبة (متفق عليه)
“ Dari Adiy bin Hatim
ra, ia berkata :Rasulullah SAW bersabda : “takutlah kalian terhadap api neraka,
walau hanya dengan menyedekahkan separuh biji kurma. Apabila tidak
mendapatkannya, cukup dengan berkata yang baik” ( HR. Bukhori dan Muslim)
b. Menguasai forum
Penceramah (da’i) Terlebih dahulu
menguasai dirinya sendiri agar tidak gugup atau grogi. Setelah itu, Insya Allah
akan mudah untuk menguasai forum.
Sabda Rasulullah SAW :“sesungguhnya Allah sangat senang jika salah
seorang diantara kamu melakukan sesuatu dengan cara yang tekun(profesional).
Sebagaimana yang disebutkan, sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat sebaik
mungkin dalam segala sesuatu”
c. Jangan menyimpang
Penceramah harus tetap berpijak pada tema
yang sudah dipersiapkan, jangan sampai melebar terlalu jauh dengan membahas
hal- hal yang tidak direncanakan untuk dibahas.
Diriwayatkan ada seorang Arab Badui
berbicara dihadapan Rasulullah dengan panjang lebar, maka beliau bersabda :
و ا ن ا لله عز و جل يكره الا نبغا ق فى ا لكلام،فنضر ا لله و جه ه مرئ او جز فى كلا مه فا قتصر على حا جته
“sesungguhnya Allah Azza wajalla membenci berlebih- lebihan
dalam pembicaraan. Semoga Allah SWT menerangi wajah seseorang yang
mempersingkat pembicaraan sehingga dia meringkas kadar keperluan”
d. Gaya yang orisinil
Penceramah sebaiknya menggunakan gayanya
sendiri. Jangan meniru orang lain. Hal ini akan mempermudah ceramahnya,
sekaligus dapat menjaga wibawanya.[4]
e. Bersikap sederajat
Saat berdakwa (ceramah), sebaiknya
bersikap sederajat, jangan terlalu menggurui.karena itu, dalam menyampaikan
pesan, gunakanlah istilah “kita” bukan “anda”, apalagi “kalian”.
f.
Mengatur
intonasi
Ceramah yang menarik adalah ceramah yang
nadany naik turun. Tidak datar terus atau tidak tinggi terus menerus, apalagi
bila dalam ceamah berkisah tentang dua orang yang berdialog, tentu hrus dapat
dibedakan suara antara tokoh yang satu dengan yang lain.
g. Mengatur tempo
Dalam memberikan ceramah, seorang
penceramah hendaknya mengatur tempo pembicaraan sehingga antara kalimat yang
satu dan kalimat berikutnya diberikan jarak. Dari sini seorang penceramah tidak
berbicara terlalu cepat atau terlalu lambat.
h. Memberi tekanan
Kalimat yang amat penting untuk
dipertegas kepada pendengar, harus diberi tekanan dengan cara mengulang- ulang,
dengan begitu jamaah mendapat kejelasan yang memadai.
وعن عا ئسة رضى ا لله عنها قا لت : كا ن كلا م رسول ا لله صلى ا لله عليه و سلم كلا م فصلا تفهمه كل من يسمعه (رواه ابو داود)
"Dari Aisyah ra, ia berkata : “perkataan Rasulullah
adalah ucapan yang sangat jelas, jika orang lain mendengarnya, pasti dapat
memahaminya”. (HR. Abu Daud)
i.
Memelihara
kontak dengan jamaah
Ceramah yang sudah berlangsung lebih dari
30 menit biasanya melelahkan jamaah. Oleh karena itu, kontak dengan jamaah
jangan sampai terputus, misalnya dengan bertanya, memberi humor yang segar dan
relevan.[5]
j.
Pengembangan
bahasan
Untuk menambah daya tarik dalam
pembahasan, diperlukan pengembangan bahasa. Pertama, penjelasan, yakni
keterangan tambahan yang sederhana dan tidak terlalu rinci. Kedua, memberikan
contoh yang relevan dengan pembahasan sehingga masalah yang dibahas akan
menjadi tambah jelasbdan konkret. Ketiga, memberikan analogi, yaitu
perbandingan antara dua hal, baik untuk menunjukkan persamaan maupun perbedaan.
Keempat, memberikan testimoni, yakni mengutip, baik ayat, hadits, kata mutiara,
keterangan para ahli, buku, dll.
k. Memberi kesimpulan
Bila diperlukan, penceramah dapat
memberikan kesimpulan dari uraiannya, lalu lanjutkan dengan kalimat penutup
3.
Langkah- Langkah Sesudah Berdakwah (pidato/ceramah)
Meskipun
ceramah sudah berlangsung dengan baik menurut sang penceramah, ada beberapa hal
yang harus dilakukan. Pertama, turun dari podium dan berbicara dengan tenang
menuju tempat duduk semula. Kedua, kalau perlu mencari informasi tentang
respons jamaah. Ketiga, mengevaluasi ceramah yang sudah disampaikan.
Demikianlah
secara umum dakwah (ceramah)yang baik. Bagi yang ingin pandai berceramah tentu
saja harus banyak berlatih, baik sendiri atau bersama- sama. Untuk mudah
mengeluarkan kata- kata yang baik tentu harus memiliki banyak perbendaharaan
kata- kata dan hal itu dapat diperoleh melalui banyak membaca maupun banyak
mendengar retorika orang lain.
C.
Kesan Seni Berbicara (Retorika) Rasulullah Saw
Pada diri Rasulullah SAW terdapat contoh
yang baik dalam seni berbicara atau pidato (retorika). Rasulullah adalah
seorang orator yang ulung yang dapat memikat hati para pendengar (audience)
atau umatnya. Kata- katanya ringkas tetapi padat, berapi-api yang dapat
membangkitkan semangat perjuangan bagi para sahabat dan umatnya. Nabi sukses
dalam retorikanya, antara lain karena beliau praktis dalam melaksanakan
keharusan- keharusan yang mesti dilakukan oleh orator.
1.
Perhatian
terhadap auditorium dan audience
Auditorium adalah tempat menyampaikan
pembicaraan dakwah atau ceramah, biasanya dilakukan didalam ruangan(masjid)
atau di ruang terbuka (lapangan). Seorang da’i, harus teliti memperhatikan
masalah auditorium karena sangat mempengaruhi kemantapan para audience (mad’u)
dalam menerima pelajaran atau pesan dakwah. Untuk itu kebersihan dan kenyamanan
auditorium harus benar- benar diperhatikan. Rasulullah, menyuruh mebersihkan
masjid dan menjauhkan segala bau yang kurang sedap, malah lebih dari itu masjid
harus dijauhkan dari tempat- tempat pembuangan sampah.
Di dalam memberikan dakwah, Rasulullah cukup serius
memperhatikan audience, dimana beliau dapat menilai siapa- siapa hanya
setengah- setengah, dan siapa- siapa yang acuh tak acuh. Menurut riwayat
Bukhari dari Abu Waqi Ak- Laitsi, antara lain : sewaktu Nabi sedang duduk dalam
masjid bersaMa dengan orang banyak, datang tiga orang umat. Yang dua orang
masuk ke dalam masjid dan memasuki majlis Rasulullah dan satu orang lagi tidak
turut masuk. Keduanya berdiri, yang seorang lagi duduk saja dibelakang orang
banya. Setelah Rasulullah selesai berbicara dan ketiga orang tadi berlalu, maka
beliau berkata : “ yang seorang mencari tempat kepada Allah, maka diberi tempat
kepadaAllah, yang seorang lagi merasa
malu, maka malu pula Allah kepadanya, dan yang lain membelakangi saja, maka Allah
membelakangi pula padanya”.[6]
2.
Podium dan
audience
Agar pembicara (da’i) lebih menonjol tempatnya
dari para audience, maka Rasulullah sendiri telah menggunakan podium (mimbar)
yang terbuat dari kayu. Mengenai posisi podium dan posisi audience di zaman
Nabi, dijelaskan dalam Hadits :
عن ابي سعيد الخدرى قال
: ان انبي ص
. م خلس ذات يوم على المنير وجلسنا حوله.
“dari Abu Sa’id Al- Khudri katanya : sesungguhnya Nabi
SAW pada suatu hari duduk diatas mimbar dan kami duduk mengelilinginya.” (HR
Bukhari)
Dengan
posisi yang dijelaskan oleh hadits tersebut, memungkinkan para pendengar bisa
menangkap materi dakwah dengan sebaik- baiknya.
3.
Isi pidato
(pesan dakwah)
Menurut riwayat Ibnu Majah, beliau
menjelaskan apabila Rasulullah akan memulai suatu pembicaraan atau ketika
Rasulullah naik mimbar, selalu meberi
salam.
Dengan keterangan diatas, menunjukkan bahwa
sunah pidato itu mulai dengan salam, kemudian puji- pujian kepada Allah dan
Tasyahud lalu memasuki materi dakwah.
قال جا بر :كا ن رسو ل لله ص م يحطب قائماويجلس بين الخطبتين ويقراءاياتويذكر الناس.
“Telah berkata Jabir : Adalah Rasulullah SAW
Berkhotbah dengan berdiri, dan ia duduk diantara dua khotbah dan ia baca
beberapa ayat dan ia ingatkan manusia” (HR Ahmad dan Muslim)
Jika Nabi berkhotbah, biasanya tidak panjang
tidak bertele- tele, melainkan pendek tetapi padat dan mudah dipahami. Dalam
hadits dijelaskan :
قال جابر: كان رسول لله ص م. لايطيل الموعظة اليوم الجمعة انما هو كلمات بسيراة.
“Telah berkata Jabir : adalah Rasulullah SAW
tidak memanjangkan nasihat pada hari Jum’at Khotbahnya itu hanya beberapa
kalimat yang mudah”. (HR Abu Dawud)
Adapun tentang sikap pembicara (da’i) :
“telah berkata Jabir
: Adalah Rasulullah bila berkhotbah,merah dua matanya dan keras suaranya dan
sangat berangnya, sehingga seolah- olah beliau seorang pemimpin tentara yang
berkata : Ingat ! musuh akan menyerang kamu pada waktu pagi dan pada waktu
petang” (HR Muslim).
Riwayat ini menunjukkan bahwa sikap dan sifat
Nabi dikala berpidato yang menggambarkan semangat beliau yang berapi-api.
Di dalam retorika modern dijelaskan adanya “Repetition” yaitu hukum ulangan, sebagai contoh : pukullah-pukullah untuk kedua kalinya dengan keras dan terus pukul,akhirnya akan menjadi keyakinan.
Di dalam retorika modern dijelaskan adanya “Repetition” yaitu hukum ulangan, sebagai contoh : pukullah-pukullah untuk kedua kalinya dengan keras dan terus pukul,akhirnya akan menjadi keyakinan.
Mengenai hal ini Rasulullah bersabda :
عن انس عن النبى ص
م انه كا ن ا ذا تكلم بكلمة ا عا د
ها ثلا ثا حتى تفهم
“Dari Anas : Sesungguhnya Nabi apabila mengucapkan suatu
kata-kata diulangnya sampai tiga kali, sehingga orang mengerti maksudnya” (HR
Bukhari)
Mengulang
perkataan tiga kali, tentu tidak terus menerus, tetapi hanya pada suatu keadaan
yang dipandang perlu, supaya audience benar- benar mengerti.
Sedangkan
untuk menjaga kebebasan audience, diterangkan :
“Dari Abu Wail,
katanya : Abdullah bin Umar memberi pelajaran kepada orang- orang banyak pada
tiap- tiap hari kamis. Ada seorang lelaki berkata : Hai Abu Abdurrahman ! saya
mengharap supaya tuan mengajar kami tiap hari, jawab Abdullah : sesungguhnya
yang menjadi halangan ialah, karena nanti akan membuat tuan- tuan bosan (jemu).
Saya suka memilih waktu yang baik untuk memberi pelajaran, sebagaimana Nabi
juga memilih waktu yang baik untuk mengajar kami, menjaga supaya kami jangan
bosan”. (HR Bukhari)
Dari riwayat ini dapat diambil pelajaran,
bahwa kitta hendaknya memahami jiwa massa, yakni mengerti batas kesanggupan
audience (mad’u) didalam menerima dakwah (mendengarkan ceramah), jangan sampai
mad’u merasa bosan.
Oleh karena itu perlu menetapkan waktu yang
tepat, didalam mengadakan suatu ceramah atau komunikasi. Demikian juga lebih
baik pembicaraan dihentikan sebelum audience (mad’u) menjadi jemu. Adapun
audience yang sudah jemu masih teus di isi atau diberi ceramah, akan
menimbulkan antipati, yang sudah barang tentu akan merugikan komunikator
(da’i).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kecakapan bicara yang dapat mempengaruhi
serta dapat menggetarkan jiwa manusia, hingga dapat berbuat sesuai dengan
tujuan yang akan kita capai, adalah merupakan suatu seni. Demikianlah, maka
didalam melakukan komunikasi Islam-pun perlu dilengkapi dengan seni berbicara
(retorika).
Penyampaian ajaran islam secara lisan
umumnya dilakukan dengan ceramah, pidato, atau khutbah, meskipun ada juga yang
dalam bentuk dialog. Untuk bisa berdakwah dengan baik, ada tiga bagian yang
hendak kita bahas, yaitu :
1. Persiapan, meliputi : Mentalitas yang memadai,
Memahami latar belakang jamaah, Menentukan masalah, Mengumpulkan bahan,
Menyusun sistematika, serta Menjaga dan mempersiapkan kondisi fisik.
2.
Pelaksanaan dakwah (pidato/ceramah), diantaranya : Tampil
mengesankan, Menguasai forum, Jangan menyimpang, Gaya yang orisinil, Bersikap
sederajat, Mengatur intonasi, Mengatur tempo, Memberi tekanan, Memelihara
kontak dengan jamaah, Pengembangan bahasan, Memberi kesimpulan.
3.
Langkah-
Langkah Sesudah Berdakwah (pidato/ceramah), yaitu : Pertama, turun dari podium
dan berbicara dengan tenang menuju tempat duduk semula. Kedua, kalau perlu
mencari informasi tentang respons jamaah. Ketiga, mengevaluasi ceramah yang
sudah disampaikan.
Pada diri Rasulullah SAW terdapat contoh
yang baik dalam seni berbicara atau pidato (retorika). Rasulullah adalah
seorang orator yang ulung yang dapat memikat hati para pendengar (audience)
atau umatnya. Kata- katanya ringkas tetapi padat, berapi-api yang dapat
membangkitkan semangat perjuangan bagi para sahabat dan umatnya. Nabi sukses
dalam retorikanya, antara lain karena beliau praktis dalam melaksanakan
keharusan- keharusan yang mesti dilakukan oleh orator.
B.
Saran
Demikian makalah ini yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan
kritik dari pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah
selanjutnya. Terima kasih, semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Toha, Kuswata, Komunikasi Islam
Dari Zaman Ke Zaman, (Jakarta
: Arikha Media Cipta, 1990)
Ahmad, Yani, Bekal Menjadi Khatib dan
Mubaligh, (Jakarta : Al- Qalam,2005)
M,Munir, Metode Dakwah, (Jakarta : Kencana,2009)
Wahidin, Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah,
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2011)
[1] Agus
Toha, Kuswata, Komunikasi Islam Dari Zaman Ke Zaman, (Jakarta :
Arikha Media Cipta, 1990)
Hal 103
No comments:
Post a Comment