Friday, April 27, 2018

Makalah Pemikiran Islam Tentang Jiwa


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Puncak kelebihannya bisa lebih mulia dari malaikat, dan titik terendah kekurangannya lebih hina dari binatang . Tetapi dibalik kelebihan dan kekurangannya itu, manusia adalah makhluk yang penuh misteri. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul begitu banyak kajian, penelitian ataupun pemikiran tentang manusia dalam segala aspeknya. Salah satunya adalah tentang jiwa.
Pemahaman tentang jiwa pada manusia merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat. Plato banyak menghabiskan waktunya melakukan penelitian tentang jiwa. Bahkan Sokrates mencurahkan seluruh pemikirannya untuk mengetahui kemisterian jiwa, sebagaimana dalam ungkapannya “kenalilah dirimu”. Dua kata inilah, ia memulai filsafatnya dan dengan dua kata ini pulalah ia mengakhiri hidupnya.
Kenyataan yang tidak dapat dinyalahi bahwa persoalan jiwa adalah salah satu rahasia Tuhan yang ada pada diri hamba-Nya, ia hadir menjadi teka-teki yang belum terpecahkan secara sempurna, tetapi menimbulkan banyak pendapat. Oleh karena itu, kajian tentang jiwa merupakan suatu hal yang urgen untuk dilakukan.
Banyak literatur mengatakan bahwa hampir seluruh realitas terdiri dari dua sisi yang berbeda tetapi saling melengkapi. Seperti halnya sebuah uang logam, dikatakan satu realitas jika kedua sisinya ada. Ketidak-adaan salah satu sisinya, menjadikan uang logam tersebut tidak menjadi satu uang logam. Melainkan sebelah uang logam. Begitupun realitas yang lain, dikatakan satu realitas jika lengkap kedua sisinya. Ada yang mengatakan terdiri dari esensi dan eksistensi, ada juga yang mengatakan terdiri dari jasmani dan rohani, ada juga yang mengatakan jiwa dan raga.
Namun pada praksisnya, keberadaan sisi yang satu sering diragukan. Hal ini terjadi, karena keberadaannya bersifat abstrak. Sehingga sulit untuk dibuktikan secara empiris. Apalagi setelah konsep ilmiah yang disepakati, mengharuskan unsur empiris sebagai syarat sesuatu dikatakan benar secara ilmiah.
Jiwa, sebagai salah satu bagian dari realitas yang bersifat abstrak sudah sering menjadi bahan kajian para ilmuwan terutama filosof. Kebaradaannya yang bersifat abstrak mengharuskan filosof memutar rasio untuk menemukan konsep pemikiran yang utuh dalam menjelaskannya. Terlebih lagi bagi para pemikir muslim yang sudah memiliki konsep jelas mengenai keberadaan jiwa dalam lieratur keislaman, namun masih memerlukan pembuktian.

B.     Rumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam makalah ini adalah, Kajian kritis terhadap pemikiran Islam tentang jiwa dalam filsafat Islam. selanjutnya akan diurai dalam beberapa sub-pokok bahasan. Di antaranya ;
1.      Apa yang dimaksud dengan jiwa?
2.      Bagaimana persepsi Al-Qura’an terhadap Jiwa?
3.      Bagaimana pandangan filosof muslim tentang jiwa?





BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengetian Jiwa
Secara leksikografis, jiwa merupakan kata benda yang berarti roh manusia, nyawa; seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama yang menjadi semangat; maksud sebenarnya, isi yang sebenarnya, arti yang tersirat, buah hati, kekasih, orang (dalam perhitungan penduduk). Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah , atau hati (qalb) dan sanubari (damir), padanya ada rahasia yang tersembunyi . Juga berarti ruh, saudara, ‘indahu (kepemilikan).[1]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwasanya jiwa kadangkala diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir.
Jauhar tersebut merupakan substansi yang berbeda dengan badan ini, ia bukan badan tetapi merupakan makna antara substansi dan makna, demikian menurut Al-Hariri yang diriwayatkan dari Ja’far bin Mubasyir . Jauhar tersebut menurut Aristoteles adalah jauharun basit (sederhana, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar) menyebar ke setiap yang memiliki ruh pada alam ini, agar supaya makhluk dapat bekerja dan mengatur urusan-urusannya.
Dalam ensiklopedi Arab, kata ruh (ra-wa-ya) memiliki keluasan makna dan keumuman hukum. Dengan kasrah, al-rih artinya hembusan angin. Dengan fathah, al-raha berarti tenang/ istirahat, al-raih artinya hembusan udara ketika bernafas. Ruh juga berarti awal kehidupan yang padanyalah kehidupan jiwa .
Dari penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa jiwa adalah sesuatu yang maujud (ada), tetapi bagaimana wujudnya? Inilah yang berbeda di kalangan para filosof, theologi dan ahlu sunnah dan tasawwuf. Jika sebagian golongan ahlu hadits dan tasawwuf meyakini jiwa berbeda dengan ruh, maka sebagian yang lain dari para filosof Muslim justru menganggap jiwa dan ruh itu adalah sinonim. Letak perbedaan tersebut bisa dipahami karena adanya perbedaan pada disiplin ilmu. sehingga berbeda pula sudut pandangnnya.

B.     Konsep Dasar mengenai Jiwa
Diantara Filosof muslim yang memiliki konsep matang mengenai kejiwaan adalah Ibn Sina (980-1037M) . Sehingga tidak jarang, pemikirannya mengenai jiwa diadopsi dan dijadikan referensi oleh tokoh-tokoh selanjutnya. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.[2]
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita temukan dari buku - buku yang khusus untuk permasalahan kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Menurut ibnu Sina, Jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata. Definisi ini sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Aristoteles pada waktu sebelumnya. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu dengan keberadaannya, tabiat jenis menjadi manusia.
Jiwa merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang mana dengan adanya jiwa suatu spesies (jins) menjadi manusia yang berinteraksi dengan nyata. Artinya jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebaliknya, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa. Karena, ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku.
Jiwa juga merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik atau bagi tubuh alamiah dan bukan bagi tubuh buatan. Yang dimaksud Ibnu Sina dengan mekanistik adalah bahwa fisik melaksanakan kesempurnaannya yang kedua atau sifatnya yang berkaitan dengan manusia yang tidak lain dari berbagai perilaku atau fungsinya dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.
Pemikir (filosof) pertama -dalam sejarah islam- pun ikut memberikan buah pemikirannya mengenai jiwa. Al-kindi, memberikan defenisi jiwa sebagai “kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan” . Namun ia menolak pendapat Aristotoles yang mengatakan bahwa jiwa manusia tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk.
Menurut Al-Kindi, jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Allah. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Jiwa menentang keinginan hawa nafsu, apabila nafsu mendorong manusia melakukan kejahatan, maka jiwalah yang menentangnya. Artinya bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu berbeda dengan nafsu yang dilarang.
Sedangkan, menurut al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs¬ atau jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan – pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr.
Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).

C.     Jiwa dalam Al-Quran
Dalam al-Quran, kita sering menememukan istilah nafsu, yang sering diartikan pada hal yang serba negative. Nafsu, dapat juga diartikan sebagai jiwa seperti dalam tinjauan kedua bahasa tersebut di atas. Al Quran menyebut kata nafs dalam beberapa bentuk kata jadian, dalam bentuk mufrad, nafs disebutkan sebanyak 77 kali tanpa idlafah dan 65 kali bentuk idlafah, dan dalam bentuk jamaknya (nufus) disebutkan sebanyak 2 kali. Sedangkan dalam bentuk jamak (anfus) sebanyak 158 kali.
Dalam bahasa arab, kata nafs memiliki banyak arti. Nafsun (kata mufrad) jama’nya, anfus atau Nufusun dapat diartikkan ruh, nyawa, tubuh dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak, tetapi dalam pembahasan di tulisan ini terminologi nafs akan dikaji dalam pengertiannya yang di maksud dalam al Quran. Kata nafs dalam al Quran semua dalam bentuk kata ism (kata benda) yakni nafss, nufus dan anfus.
Pada masa awal turunnya al Quran kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia. Namun pada dasarnya kata nafs memiliki aneka makna, antara lain : a). Sebagai diri atau seseorang (QS. Ali imran/ 3:6, QS. Yusuf/ 12: 54, QS. Adz-dzaariyaat/ 51: 21). b)sebagai diri Tuhan (QS. Al-An’am/ 6:12, 54). c). Sebagai person sesuatu (QS. Furqaan/ 25 : 3). d). Sebagai roh (QS. Al An’am/ 6 : 93). e). Sebagai jiwa (QS. Asy-syams/ 97 : 7, QS. Al- Fajr/ 89: 27). f). Sebagai totalitas manusia (QS. Al-ma’idah/ 5 : 32, QS. Al-Qashash/ 28: 19, 33). g). Sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku (QS. Ar-Ra’d/ 13 :11, QS. Al-Anfal/8 :53).
Dalam konteks manusia, gagasan nafs digunakan untuk merujuk pengertian dari totalitas manusia, sesuatu dalam diri manusia yang mempengaruhi perbuatannya, atau nafs sebagai sesuatu dalam diri manusia. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa al Quran memandang jiwa manusia sebagai totalitas dari beberapa bagian yang terpisah.
Dari beberapa penjelasan diatas, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa jiwa merupakan esensi dari manusia, kesempurnaan pertama, dan mempengaruhi sikap serta gerak dari manusia yang actual.

D.    Pembagian Jiwa
Sama dengan al-Farabi, Ibn Sina membagi jiwa kepada tiga bagian:
1.      Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2.      Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
a)      Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
b)      Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
c)      Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
d)      Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
e)      Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
3.      Jiwa manusia (jiwa rasional), yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
a)      Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b)      Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik.
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
1.      Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni.
2.      Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
3.      Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
4.      Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat didalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat diatas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
Dari paham ini, ada indikasi bahwa jiwa manusia-lah yang akan menghadapi perhitungan kelak dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Hal ini yang menjadi salah satu bahan kritikan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikir islam yang lain dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.
Dalam kajian al-Quran Secara garis besar menggolongkan nafsu manusia dalam beberapa golongan , antara lain :
1.      Nafsu Ammaroh, yaitu jiwa yang belum mampu membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan tercela. Ia sering berkhianat dan iapun harus menerima dengan apa yang telah diperbuat dalam firman Allah yang berbunyi: Innan nafsa la’ammarotun bissu’.
2.      Nafsu laawwamah, adalah jiwa apabila telah melaksanakan suatu perbuatan dosa, ia menyesal, ia tidak berani berbuat secara terang-terangan.
3.      Nafsu Musawalah; adalah jiwa yang telah mampu membedakan, namun ia tetap melaksanakan perbuatan baik dan buruk.
4.      Nafsu Muthma’inah adalah: jiwa yang telah memperoleh tuntunan dan pemelihraan yang baik.
5.      Nafsu Mulhamah jiwa yang telah memperoleh ilham dari Allah, ia memperoleh ilmu dihiasi akhlak mahmudah dan menjadi sumber sabar, syukur, tabah dan ulet.
6.      Nafsu Radhiyah adalah jiwa yang ridha memperoleh kesejahteraan, mensyukuri nikmat Allah dan qana’ah dengan apa yang telah diperoleh.
7.      Nafsu Mardhiyah adalah jiwa yang diridhai dalam dirinya selalu berzikir, ikhlas dan memperoleh kemuliaan.
8.      Nafsu Kamilah adalah jiwa yang sempurna.
Secara garis besarnya bahwa nafsu dibagi menjadi dua yaitu: Nafsu yang taat melaksanakan perintah-perintah Allah meninggalkan semua larangan-laranganNya. Kedua adalah nafsu yang cenderung melawan ketentuan-ketentuan Allah, keinginan-keinginannya selalu yang berlawanan.

E.     Dalil Keberadaan Jiwa
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :
1.      Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan. Gerak ada dua macam yaitu :
a)      Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
b)      Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
(1)   Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
(2)   Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu macam, sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerak melawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab – kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi – segi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.
2.      Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
3.      Dalil Kelangsungan (kontinuitas)
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limpahan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.
4.      Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara – perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.
4.      Perbedaan Jiwa dengan Ruh
Pembahasan mengenai perbedaan antara jiwa dengan ruh, penulis anggap sangat diperlukan. Karena sering orang merasa rancu antara keduanya. Kadang orang merasa bahwa ruh merupakan kata lain dari jiwa dan begitu sebaliknya. Dengan beberapa alas an, penulis menyimpulkan bahwa jiwa berbeda dengan ruh. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang menyebabkan Ruh dan Jiwa berbeda. Yang pertama, karena substansinya. Yang kedua, karena fungsinya. Dan yang ketiga, karena sifatnya.
Perbedaan yang pertama, pada substansinya. Jiwa dan Ruh berbeda dari segi kualitas ‘dzat’nya. Jiwa digambarkan sebagai dzat yang bisa berubah-ubah kualitas: naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih, dan seterusnya. Sedangkan Ruh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik dan suci, berkualitas tinggi. Bahkan digambarkan sebagai 'turunan' dari Dzat Ketuhanan.
Tingginya kualitas Ruh itu tergambar dari 2 hal, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Hijr (15) : 29. Yang pertama, ditunjukkan oleh tunduknya malaikat kepada manusia. Dan yang kedua, ditunjukkan oleh penggunakan 'kata ganti' KU, yang menggambarkan bahwa Allah mengakui betapa dekatNya dzat yang bernama Ruh itu dengan Allah. Yang kedua, ketinggian dzat yang disebut Ruh itu terlihat dari bagaimana Allah mengatakannya sebagai Ruh Ku. Tidak pernah Allah, dalam firmanNya, menggunakan kata ganti kepunyaan 'KU' untuk Jiwa. Misalnya, mengatakan 'JiwaKU'. Tetapi Dia menggunakan kata ganti kepunyaan itu, untuk menggambarkan Ruh.
Perbedaan yang kedua, antara Jiwa dan Ruh adalah pada fungsinya. Jiwa digambarkan sebagai ‘sosok’ yang bertanggung jawab atas segala perbuatan kemanusiaannya bukan Ruh. Ruh adalah dzat yang selalu baik dan berkualitas tinggi. Sebaliknya Hawa Nafsu adalah dzat yang berkualitas rendah dan selalu mengajak kepada keburukan. Sedangkan Jiwa adalah dzat yang bisa memilih kebaikan atau keburukan tersebut. Maka, Jiwa harus bertanggung jawab terhadap pilihannya itu.
Dan yang ketiga, Perbedaan itu ada pada sifatnya. Jiwa bisa merasakan kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, kebahagiaan, ketentraman, ketenangan, dan kedamaian. Sedangkan Ruh bersifat stabil dalam 'kebaikan' tanpa mengenal perbandingan. Ruh adalah kutub positif dari sifat kemanusiaan. Sebagai lawan dari sifat setan yang negatif. Jadi, Jiwa adalah akibat. Bukan penyebab. Penyebab utama adalah masuknya Ruh ke dalam badan, kemudian muncullah Jiwa sebagai interaksi antara Ruh dengan Badan.

C.     Pengertian Fisik/badan/tubuh/jasmani/raga/benda
Dalam kamus besar filsafat fisik atau badan merupakan:
1.      Dipaka sebagai sinonim dengan obyek material atau materi. Misalnya: “benda yang sedang bergerak akan tetap bargerak”
2.      Menunjukkan komposisi materi dari manusia untuk di bedakan dari pikiran, roh atau jiwa.
3.      Hal-hal yang dapat diamati secara inderawi di sekeliling kita disebut benda(bodies).
4.      Ciri umum dari semua benda adalah keluasan (kuantitas) dan mengisi suatu ruang tertentu.
5.      Kompenetrasi benda-benda sebenarnya berarti bahwa beberapa benda menempati ruang yang sama. Sebenarnya, kompenetrasi ini mustahil meskipun tidak mengandung kontradiksi di dalam dri sendiri (inner contradiction). Tidak ada kompenetrasi( dalam pengertian filosofis) dalam larutan kiamiawi atau di dalam persenyawaan gas-gas yang berlainan.

D.    Jiwa Dalam Al-Quran
Kata jiwa di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian (perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا, al-Ism (kata benda), baik isim al-nakirah نفس, Isim al-ma’rifah المتنافسون , mufrad نفسا  ataupun jamak الأنفس, serta yang bergandengan dengan damir seperti نفسيأنفسكم .
Dengan jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa lafaz al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam, yakni:
1.      Al-Qalb (Hati), terdapat pada Q.S. Qaf : 16
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ  ...
2.      Minkum (dari kalian) terdapat pada Q.S. Al-Taubah : 128
 لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم...
3.      Al-Insan (manusia), terdapat pada Q.S. al-Maidah : 32
 مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا...
4.      Ba’dukum (sebagian di antara kalian), terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2:54
 فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ...
5.      Al-Ruh (roh), terdapat pada Q.S. al-Zumar : 42
 اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا...
6.      Ahli al-Din (ahli agama), terdapat pada Q.S. Al-Nisa :29
 وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا...
7.      Diri manusia, terdapat pada Q.S. al-Nisa : 66
 وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ...
8.       Uqubat (balasan/hukuman), terdapat pada Q.S. Ali Imran/3 :28
 وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ...
9.      Al-Umm (ibu), terdapat pada Q.S. Al-Nur : 12
 لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ ...
10.  Al-Gaib (gaib), terdapat pada Q.S. al-Maidah/4: 116
تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ 

E.     Pandangan Filosof Muslim Tentang Jiwa
1.      Al-Kindi
Jiwa kata al-Kindi adalah kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang memiliki kehidupan secara potensial, dan mengatakan jiwa adalah kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan. Artinya jiwa merupakan kesempurnaan esensial bagi jisim,yang tanpanya jisim tidak berfungsi sama sekali, jisim akan binasa jika telah ditinggalkan jiwa.jadi, hakikat jiwa menurut al-Kindi adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan.
Argumen tentang berbedanya jiwa dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan,maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Al-Kindi ,dalam tulisanya juga, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-Quwwat al-Syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah(al-Quwwat al-Ghadabiyyat) yang terdapat di dada, dan daya pikir (al-Quawwat al-Aqliyat) yang berpusat di kepala.
2.      Al – Farabi
Jiwa manusia beserta materi asalnya  memancar dari Akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya subtansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathinqah, yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Begitu pula al-Farabi  mengemukakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur yakni jasad dan jiwa. Jasad dari alam ciptaan sedangkan jiwa berasal dari alam perintah.  
Bagi al-Farabi,jiwa manusia mempunyai daya - daya sebagai berikut:         
a)           Daya al-Muharrikat (gerak), yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b)           Daya al-Mudrikat (mengetahui), yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c)           Daya al-Nathiqat (berpikir), yang mendorong untuk berpikir secara treoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingakat yaitu:
a)      Akal Potensial (al-hayyulani), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti dan bentuk-bentuk dari materinya.
b)      Akal Aktual (al-Alq-bi al-fi’il), akal yang telah dapat melepaskanarti-arti dari materinya,dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya,bukan lagi dalam bentuk potensial,tetapi telah dalam bentuk aktual.
c)      Akial Mustrafad (al-‘aql al-Mustafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan filsafat Negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan segala perintahnya, maka jiwa ini, akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara Fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan perintahnya, ia akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsara. Sementara itu jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintahnya, ia lenyap bagaikan jiwa hewan[9].
3.      Ibnu Sina
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa yang mendefinisikan jiwa sebagimana Aristoteles mendefinisikan pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jin) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan keberadaanya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu Sina dan Aristoteles berbeda pandangan dalam memahami makna kesempurnaan. Aristoteles memahami kesempurnaan sebagai Potret. Ketika Aristoteles mendifinisikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi Tubuh Alami, maka yang dimaksudkan adalah potret bagi fisik Alami dan Prinsip perbuatanya yang dinamis. Sedangkan kesempurnaan kedua adalah sifat yang berkaitan dengan Manusia seperti pemahaman inderawi bagi manusia dan memotong bagi pedang.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
a)      Jiwa tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, berkembang biak.
b)      Jiwa binatang dengan daya-daya: gerak, menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
c)      Jiwa manusia dengan daya-daya: Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
(1)   Akal materil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walau sedikit pun.
(2)   Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
(3)   Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
(4)   Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini.
4.      Al-Razi
Jiwa universal merupakan al-Mabda al-Qadim al-Sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup yang bergerak, sulit diketahui karena ia tampa rupa, tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta, termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.
Jiwa yang tidak dapat menyucikan dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di dalam materi. Akan tetapi, apilah ia sudah bersih ia dapat kembali ke alam asalnya,saat itu alam hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaanya semula.
Kemudian tentang keterlibatan jiwa dalam mencari pengetahuan yang sempurna, hal itu  merupakan kenikmatan pada hari ini dan kebahagian pada hari yang akan datang (akhirat).ini disebabkan otoritas jiwa terhadap dunia jasadiah dikondisikan oleh hubungan jiwa dengan tubuh[12].mengenai kenyataan bahwa jiwa menerima manefestasi Murni (suci) dan pengetahuan Ilahiyah,ini tidak tergantung pada hubungan jiwa dengan tubuh. Hubungan ini sebagaimana fitrahnya,dapat menjadi suatu rintangan dalam mencapai kesempurnaan. Manakalah hubungan ini terputus maka Manifestasi Ilahiyah yang akan menjadi penerang. Oleh karena itu, bahwa perhatian terhadap suatu bidang yang lebih tinggi,bagi seorang pencari yang menerima Manefestasi Ilahiyah mengharuskan adanya kesempurnaan di hari ini (dunia) dan hari kemudian (akhirat).
5.      Ibnu Miskawai
Jiwa adalah jauhar rohani yang tidak hancur  dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi,ia tidak dapat diraba dengan panca indera karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan ia argument yang dimajukanya ialah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan,seperti warna hitam dan putih, sedangkan badan tidak dapat  demikian.
Pendapat yang terakhir di atas, dimaksudkan Ibnu Miskawaih untuk mematahkan pandangan kaum materialis yang meniadakan jiwa bagi manusia. Ternyata Ibnu  Miskawaih berhasil membuktikan adanya pada diri manusia dengan argumen seperti di atas. Namun, jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Jadi, Ibnu Miskawih mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat di bagi-bagi itu tidak mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun demikian, jiwa dapat menyerap mareri yang kompleks dan nonmateri yang sederhana.

6.      Ikwan Al-Shafa’
Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash Shafa’ memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang bersifat materi, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah, air, udara, dan Api. Dalam tulisan mereka dikatakan bahwa masuknya jiwa kedalam tubuh merupakan hukuman kepada jiwa yang telah melakukan pelanggaran (kisah Adam a.s dan pasanganya, Hawa). Sehingga, jiwa di usir dari surga yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh.
Jiwa  manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembanganya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembanganya, maka di bantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
7.      Al-Ghazali
Manusia menurut Al-Gazali  diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah makahluk spuiritual rabbania yang sangat halaus (latifah rabbaniyah). Istilah- istilah yang digunakn Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs dan ‘aql.
8.      Ibnu Bajjah
Setiap manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaiman jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmani dan alat-alat rohani. Alat-alat jasmani diantaranya ada berupa berupa buatan dan ada pula yang merupakan alamiah seperti kaki dantangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu daria alat buatan,yang diserbut juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri( al-harr al-gaharisa atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdara.
9.      Ibnu Thufail
Jiwa manusia, menurut Ibnu Thufail adalah makhluk yang tertinggal martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan tersusun atas unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun jiwa bukan jizim dan bukan pula suatu daya yang ada di jalan jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
10.  Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mencoba menggambarkan kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkap sebagi berikut:
“…perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah  ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa bekerja pada saat tidur denga cara membuat tidak bekerja organ-organ tubuhnya,tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti  maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian  akan sama dengan keadaabnya pada saat tidur ….dan bukti inilah  yang dapat dipahami oleh seluruh orang  dan yang cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsunganya hidup dari pada pada ujiwa itu adalah satu hal yang pasti. Dan hal ini pun terang gambling dari firman Tuhan,’Tuhan mengambil jiwa – jiwa pada saat kematiannya untu kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yangbelum mati pada saat tidur mereka.



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
1.      jiwa kadangkala diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir.
2.      Beberapa pandangan al-Qur’an tentang jiwa diantaranya:
a.       Al-Qalb (Hati), terdapat pada Q.S. Qaf : 16
b.      Minkum (dari kalian) terdapat pada Q.S. Al-Taubah : 128
c.       Al-insan (manusia), terdapat pada Q.S. al-Maidah : 32
d.      Ba’dukum (sebagian di antara kalian), terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2:54
e.       Al-ruh (roh), terdapat pada Q.S. al-Zumar : 42
f.        Ahli al-din (ahli agama), terdapat pada Q.S. Al-Nisa :29
g.       Diri manusia, terdapat pada Q.S. al-Nisa : 66
h.        ‘Uqubat (balasan/hukuman), terdapat pada Q.S. Ali Imran/3 :28
i.         Al-umm (ibu), terdapat pada Q.S. Al-Nur : 12
j.        Al-gaib (gaib), terdapat pada Q.S. al-Maidah/4: 116
3.      Beberapa filosof Muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, al-Kindi, Ibnu Bajjah berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. Hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa.
B.     Saran
Dengan adanya makalah ini semoga dapat menambah wawasan pemakalah dan pembaca mengenai “Pandanga Filosof Islam tentang Jiwa”. Dan kami sangat mengarapkan kepada para pelajar untuk senantiasa memanfaatkan makala ini sebagai bahan bacaan.
Dan apabila dalam pembuatan makalah ini yang sangat sederhana, tentulah banyak suatu kekurangan dan kesalahan yang akan timbul. Maka dari itu kami sebagai penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar menjadi bahan pembelajaran bagi penyusun makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA


Nihaya dan Nasir Siola. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Alauddin Press. 2010.
Al-Razi, Imam. Ruh dan Jiwa. Surabaya: Risalah Gusti. 2001.
Supriadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pusataka Setia, 2009.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.


[1] Lorens Bagus,Kamus Filsafat,(cet.2,Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2000), h.107
[2] H.Nihaya dan Nasir Siola, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Alauddin Press, 2010) hlm. 61

No comments:

Post a Comment