BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Puncak kelebihannya bisa lebih
mulia dari malaikat, dan titik terendah kekurangannya lebih hina dari binatang
. Tetapi dibalik kelebihan dan kekurangannya itu, manusia adalah makhluk yang
penuh misteri. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul begitu banyak kajian,
penelitian ataupun pemikiran tentang manusia dalam segala aspeknya. Salah
satunya adalah tentang jiwa.
Pemahaman tentang
jiwa pada manusia merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat. Plato
banyak menghabiskan waktunya melakukan penelitian tentang jiwa. Bahkan Sokrates
mencurahkan seluruh pemikirannya untuk mengetahui kemisterian jiwa, sebagaimana
dalam ungkapannya “kenalilah dirimu”. Dua kata inilah, ia memulai filsafatnya
dan dengan dua kata ini pulalah ia mengakhiri hidupnya.
Kenyataan yang tidak
dapat dinyalahi bahwa persoalan jiwa adalah salah satu rahasia Tuhan yang ada
pada diri hamba-Nya, ia hadir menjadi teka-teki yang belum terpecahkan secara
sempurna, tetapi menimbulkan banyak pendapat. Oleh karena itu, kajian tentang
jiwa merupakan suatu hal yang urgen untuk dilakukan.
Banyak
literatur mengatakan bahwa hampir seluruh realitas terdiri dari dua sisi yang
berbeda tetapi saling melengkapi. Seperti halnya sebuah uang logam, dikatakan
satu realitas jika kedua sisinya ada. Ketidak-adaan salah satu sisinya,
menjadikan uang logam tersebut tidak menjadi satu uang logam. Melainkan sebelah
uang logam. Begitupun realitas yang lain, dikatakan satu realitas jika lengkap
kedua sisinya. Ada yang mengatakan terdiri dari esensi dan eksistensi, ada juga
yang mengatakan terdiri dari jasmani dan rohani, ada juga yang mengatakan jiwa
dan raga.
Namun
pada praksisnya, keberadaan sisi yang satu sering diragukan. Hal ini terjadi,
karena keberadaannya bersifat abstrak. Sehingga sulit untuk dibuktikan secara
empiris. Apalagi setelah konsep ilmiah yang disepakati, mengharuskan unsur
empiris sebagai syarat sesuatu dikatakan benar secara ilmiah.
Jiwa,
sebagai salah satu bagian dari realitas yang bersifat abstrak sudah sering
menjadi bahan kajian para ilmuwan terutama filosof. Kebaradaannya yang bersifat
abstrak mengharuskan filosof memutar rasio untuk menemukan konsep pemikiran
yang utuh dalam menjelaskannya. Terlebih lagi bagi para pemikir muslim yang
sudah memiliki konsep jelas mengenai keberadaan jiwa dalam lieratur keislaman,
namun masih memerlukan pembuktian.
B.
Rumusan Masalah
Pokok
permasalahan dalam makalah ini adalah, Kajian kritis terhadap pemikiran Islam
tentang jiwa dalam filsafat Islam. selanjutnya akan diurai dalam beberapa
sub-pokok bahasan. Di antaranya ;
1. Apa yang dimaksud
dengan jiwa?
2. Bagaimana persepsi
Al-Qura’an terhadap Jiwa?
3.
Bagaimana pandangan filosof muslim tentang jiwa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian Jiwa
Secara
leksikografis, jiwa merupakan kata benda yang berarti roh manusia, nyawa;
seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama yang menjadi semangat; maksud
sebenarnya, isi yang sebenarnya, arti yang tersirat, buah hati, kekasih, orang
(dalam perhitungan penduduk). Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam
kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu
kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut
bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah , atau hati (qalb) dan
sanubari (damir), padanya ada rahasia yang tersembunyi . Juga berarti ruh,
saudara, ‘indahu (kepemilikan).[1]
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwasanya jiwa kadangkala diartikan sebagai
sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan
tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu
yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai
jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir.
Jauhar
tersebut merupakan substansi yang berbeda dengan badan ini, ia bukan badan
tetapi merupakan makna antara substansi dan makna, demikian menurut Al-Hariri
yang diriwayatkan dari Ja’far bin Mubasyir . Jauhar tersebut menurut
Aristoteles adalah jauharun basit (sederhana, tidak tersusun, tidak panjang dan
tidak lebar) menyebar ke setiap yang memiliki ruh pada alam ini, agar supaya
makhluk dapat bekerja dan mengatur urusan-urusannya.
Dalam
ensiklopedi Arab, kata ruh (ra-wa-ya) memiliki keluasan makna dan keumuman
hukum. Dengan kasrah, al-rih artinya hembusan angin. Dengan fathah, al-raha
berarti tenang/ istirahat, al-raih artinya hembusan udara ketika bernafas. Ruh
juga berarti awal kehidupan yang padanyalah kehidupan jiwa .
Dari
penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa jiwa adalah sesuatu yang maujud
(ada), tetapi bagaimana wujudnya? Inilah yang berbeda di kalangan para filosof,
theologi dan ahlu sunnah dan tasawwuf. Jika sebagian golongan ahlu hadits dan
tasawwuf meyakini jiwa berbeda dengan ruh, maka sebagian yang lain dari para
filosof Muslim justru menganggap jiwa dan ruh itu adalah sinonim. Letak
perbedaan tersebut bisa dipahami karena adanya perbedaan pada disiplin ilmu.
sehingga berbeda pula sudut pandangnnya.
B. Konsep Dasar mengenai Jiwa
Diantara Filosof muslim yang
memiliki konsep matang mengenai kejiwaan adalah Ibn Sina (980-1037M) . Sehingga
tidak jarang, pemikirannya mengenai jiwa diadopsi dan dijadikan referensi oleh
tokoh-tokoh selanjutnya. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang
telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu
sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.[2]
Ibnu Sina memberikan
perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat
kita temukan dari buku - buku yang khusus untuk permasalahan kejiwaan ataupun
buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Menurut ibnu Sina, Jiwa
adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna
sehingga menjadi manusia nyata. Definisi ini sejalan dengan definisi yang
diberikan oleh Aristoteles pada waktu sebelumnya. Pengertian kesempurnaan
menurut Ibnu Sina adalah sesuatu dengan keberadaannya, tabiat jenis menjadi
manusia.
Jiwa merupakan kesempurnaan
awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang mana dengan adanya
jiwa suatu spesies (jins) menjadi manusia yang berinteraksi dengan nyata.
Artinya jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebaliknya, tubuh sendiri
merupakan prasyarat bagi definisi jiwa. Karena, ia bisa dinamakan jiwa jika
aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku.
Jiwa juga merupakan
kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik atau bagi tubuh
alamiah dan bukan bagi tubuh buatan. Yang dimaksud Ibnu Sina dengan mekanistik
adalah bahwa fisik melaksanakan kesempurnaannya yang kedua atau sifatnya yang
berkaitan dengan manusia yang tidak lain dari berbagai perilaku atau fungsinya
dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai tubuh
yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.
Pemikir (filosof) pertama
-dalam sejarah islam- pun ikut memberikan buah pemikirannya mengenai jiwa.
Al-kindi, memberikan defenisi jiwa sebagai “kesempurnaan jisim alami yang organis
yang menerima kehidupan” . Namun ia menolak pendapat Aristotoles yang
mengatakan bahwa jiwa manusia tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk.
Menurut Al-Kindi, jiwa
adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan
lebar). Jiwa mempunyai arti penting dan mulia. Substansinya berasal dari
substansi Allah. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan
jasad. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Jiwa menentang keinginan hawa nafsu,
apabila nafsu mendorong manusia melakukan kejahatan, maka jiwalah yang
menentangnya. Artinya bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu berbeda dengan
nafsu yang dilarang.
Sedangkan, menurut
al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya menyatakan bahwa manusia mempunyai
identitas esensial yang tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs¬ atau jiwanya.
Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri
yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan –
pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau
al-amr.
Hal ini menunjukkan bahwa
esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah
sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak
berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam
penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua
substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak
berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.
Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua
disebut jiwa (al-nafs).
C. Jiwa dalam Al-Quran
Dalam al-Quran, kita sering
menememukan istilah nafsu, yang sering diartikan pada hal yang serba negative.
Nafsu, dapat juga diartikan sebagai jiwa seperti dalam tinjauan kedua bahasa
tersebut di atas. Al Quran menyebut kata nafs dalam beberapa bentuk kata
jadian, dalam bentuk mufrad, nafs disebutkan sebanyak 77 kali tanpa idlafah dan
65 kali bentuk idlafah, dan dalam bentuk jamaknya (nufus) disebutkan sebanyak 2
kali. Sedangkan dalam bentuk jamak (anfus) sebanyak 158 kali.
Dalam bahasa arab, kata nafs
memiliki banyak arti. Nafsun (kata mufrad) jama’nya, anfus atau Nufusun dapat
diartikkan ruh, nyawa, tubuh dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak,
tetapi dalam pembahasan di tulisan ini terminologi nafs akan dikaji dalam
pengertiannya yang di maksud dalam al Quran. Kata nafs dalam al Quran semua
dalam bentuk kata ism (kata benda) yakni nafss, nufus dan anfus.
Pada masa awal turunnya al
Quran kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia. Namun
pada dasarnya kata nafs memiliki aneka makna, antara lain : a). Sebagai diri
atau seseorang (QS. Ali imran/ 3:6, QS. Yusuf/ 12: 54, QS. Adz-dzaariyaat/ 51:
21). b)sebagai diri Tuhan (QS. Al-An’am/ 6:12, 54). c). Sebagai person sesuatu
(QS. Furqaan/ 25 : 3). d). Sebagai roh (QS. Al An’am/ 6 : 93). e). Sebagai jiwa
(QS. Asy-syams/ 97 : 7, QS. Al- Fajr/ 89: 27). f). Sebagai totalitas manusia
(QS. Al-ma’idah/ 5 : 32, QS. Al-Qashash/ 28: 19, 33). g). Sebagai sisi dalam
manusia yang melahirkan tingkah laku (QS. Ar-Ra’d/ 13 :11, QS. Al-Anfal/8 :53).
Dalam konteks manusia,
gagasan nafs digunakan untuk merujuk pengertian dari totalitas manusia, sesuatu
dalam diri manusia yang mempengaruhi perbuatannya, atau nafs sebagai sesuatu
dalam diri manusia. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa al Quran memandang
jiwa manusia sebagai totalitas dari beberapa bagian yang terpisah.
Dari beberapa penjelasan
diatas, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa jiwa merupakan esensi
dari manusia, kesempurnaan pertama, dan mempengaruhi sikap serta gerak dari
manusia yang actual.
D. Pembagian Jiwa
Sama dengan al-Farabi, Ibn
Sina membagi jiwa kepada tiga bagian:
1.
Jiwa
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2.
Jiwa
binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya
menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di
otak dan terdiri dari:
a)
Indra
bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
b)
Indra
penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
c)
Indra
pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
d)
Indra
penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar
tersebut.
e)
Indra
pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
3.
Jiwa
manusia (jiwa rasional), yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang
disebut akal. Akal terbagi dua:
a) Akal praktis, yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b) Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni,
yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam
materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat
tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa
berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh
materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam
jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan
berkembang dengan baik.
Akal teoritis mempunyai
empat tingkatan:
1.
Akal
potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti
murni.
2.
Akal
bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
3.
Akal
aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
4.
Akal
perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan
dimiliki filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang
dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana
dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai
binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia
dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat.
Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat
didalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia
kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi
perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa
binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia
mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap
untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah,
sebagaimana dilihat diatas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap
arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya
akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada
kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi
penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan
matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti
dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia
ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan
kedua jiwa di atas fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang
bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di
dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal,
jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah
dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah
dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
Dari paham ini, ada indikasi bahwa jiwa
manusia-lah yang akan menghadapi perhitungan kelak dan tidak adanya pembangkitan
jasmani. Hal ini yang menjadi salah satu bahan kritikan al-Ghazali (1058-1111
M) terhadap pemikir islam yang lain dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.
Dalam kajian al-Quran Secara garis besar
menggolongkan nafsu manusia dalam beberapa golongan , antara lain :
1. Nafsu Ammaroh, yaitu jiwa yang belum mampu
membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan tercela. Ia sering berkhianat
dan iapun harus menerima dengan apa yang telah diperbuat dalam firman Allah
yang berbunyi: Innan nafsa la’ammarotun bissu’.
2. Nafsu laawwamah, adalah jiwa apabila telah
melaksanakan suatu perbuatan dosa, ia menyesal, ia tidak berani berbuat secara
terang-terangan.
3. Nafsu Musawalah; adalah jiwa yang telah mampu
membedakan, namun ia tetap melaksanakan perbuatan baik dan buruk.
4. Nafsu Muthma’inah adalah: jiwa yang telah
memperoleh tuntunan dan pemelihraan yang baik.
5. Nafsu Mulhamah jiwa yang telah memperoleh ilham
dari Allah, ia memperoleh ilmu dihiasi akhlak mahmudah dan menjadi sumber
sabar, syukur, tabah dan ulet.
6. Nafsu Radhiyah adalah jiwa yang ridha memperoleh
kesejahteraan, mensyukuri nikmat Allah dan qana’ah dengan apa yang telah
diperoleh.
7. Nafsu Mardhiyah adalah jiwa yang diridhai dalam
dirinya selalu berzikir, ikhlas dan memperoleh kemuliaan.
8. Nafsu Kamilah adalah jiwa yang sempurna.
Secara garis besarnya bahwa nafsu dibagi menjadi
dua yaitu: Nafsu yang taat melaksanakan perintah-perintah Allah meninggalkan
semua larangan-laranganNya. Kedua adalah nafsu yang cenderung melawan
ketentuan-ketentuan Allah, keinginan-keinginannya selalu yang berlawanan.
E. Dalil Keberadaan Jiwa
Ada empat dalil yang
dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :
1. Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di
tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut
adalah gerak dan pengenalan. Gerak ada dua macam yaitu :
a)
Gerak
paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan
yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
b)
Gerak
bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
(1)
Gerak
sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
(2)
Gerak
yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi,
sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang
terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas
bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya
penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak
tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh
semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan
ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada
lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan
atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi
kelemahan – kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut
dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda
tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu macam, sedang benda – benda
tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka
tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerak
melawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi
unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat
(mesin ) yang bergerak dengan gerak yang berlawanan dengan hukum alam, namun
seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa
atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama
biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis
dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan
dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab – kitab yang dikarang pada masa
kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan
sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas
segi – segi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.
2.
Dalil
Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang
membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang
dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya
keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan,
tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
3.
Dalil
Kelangsungan (kontinuitas)
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang
berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada
hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus
oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi
beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami
perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama
lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi
karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limpahan dari sumber yang satu dan
beredar sekitar titik tarik yang tetap.
4.
Dalil
Orang Terbang atau Tergantung di Udara
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan
yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut
didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya
untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut :
“Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun
jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa
yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam
kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau
perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga
tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun
orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar
dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak
mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya
adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga
dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan
dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul
dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda
sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil
Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda
mengharuskan adanya perkara – perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat
melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar
kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita
ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang
kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang
wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya
menyaksikan adanya jiwa tersebut.
4.
Perbedaan
Jiwa dengan Ruh
Pembahasan mengenai perbedaan antara jiwa dengan
ruh, penulis anggap sangat diperlukan. Karena sering orang merasa rancu antara
keduanya. Kadang orang merasa bahwa ruh merupakan kata lain dari jiwa dan
begitu sebaliknya. Dengan beberapa alas an, penulis menyimpulkan bahwa jiwa
berbeda dengan ruh. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang menyebabkan Ruh dan Jiwa
berbeda. Yang pertama, karena substansinya. Yang kedua, karena fungsinya. Dan
yang ketiga, karena sifatnya.
Perbedaan yang pertama, pada substansinya. Jiwa dan
Ruh berbeda dari segi kualitas ‘dzat’nya. Jiwa digambarkan sebagai dzat yang
bisa berubah-ubah kualitas: naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih,
dan seterusnya. Sedangkan Ruh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik dan
suci, berkualitas tinggi. Bahkan digambarkan sebagai 'turunan' dari Dzat Ketuhanan.
Tingginya kualitas Ruh itu tergambar dari 2 hal,
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Hijr (15) : 29. Yang pertama, ditunjukkan
oleh tunduknya malaikat kepada manusia. Dan yang kedua, ditunjukkan oleh
penggunakan 'kata ganti' KU, yang menggambarkan bahwa Allah mengakui betapa
dekatNya dzat yang bernama Ruh itu dengan Allah. Yang kedua, ketinggian dzat
yang disebut Ruh itu terlihat dari bagaimana Allah mengatakannya sebagai Ruh
Ku. Tidak pernah Allah, dalam firmanNya, menggunakan kata ganti kepunyaan 'KU'
untuk Jiwa. Misalnya, mengatakan 'JiwaKU'. Tetapi Dia menggunakan kata ganti
kepunyaan itu, untuk menggambarkan Ruh.
Perbedaan yang kedua, antara Jiwa dan Ruh adalah
pada fungsinya. Jiwa digambarkan sebagai ‘sosok’ yang bertanggung jawab atas
segala perbuatan kemanusiaannya bukan Ruh. Ruh adalah dzat yang selalu baik dan
berkualitas tinggi. Sebaliknya Hawa Nafsu adalah dzat yang berkualitas rendah
dan selalu mengajak kepada keburukan. Sedangkan Jiwa adalah dzat yang bisa
memilih kebaikan atau keburukan tersebut. Maka, Jiwa harus bertanggung jawab
terhadap pilihannya itu.
Dan yang ketiga, Perbedaan itu ada pada sifatnya.
Jiwa bisa merasakan kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, kebahagiaan,
ketentraman, ketenangan, dan kedamaian. Sedangkan Ruh bersifat stabil dalam
'kebaikan' tanpa mengenal perbandingan. Ruh adalah kutub positif dari sifat
kemanusiaan. Sebagai lawan dari sifat setan yang negatif. Jadi, Jiwa adalah
akibat. Bukan penyebab. Penyebab utama adalah masuknya Ruh ke dalam badan,
kemudian muncullah Jiwa sebagai interaksi antara Ruh dengan Badan.
C.
Pengertian Fisik/badan/tubuh/jasmani/raga/benda
Dalam
kamus besar filsafat fisik atau badan merupakan:
1. Dipaka sebagai
sinonim dengan obyek material atau materi. Misalnya: “benda yang sedang bergerak akan tetap
bargerak”
2. Menunjukkan komposisi
materi dari manusia untuk di bedakan dari pikiran, roh atau jiwa.
3. Hal-hal yang dapat
diamati secara inderawi di sekeliling kita disebut benda(bodies).
4. Ciri umum dari semua
benda adalah keluasan (kuantitas) dan mengisi suatu ruang tertentu.
5.
Kompenetrasi benda-benda sebenarnya berarti bahwa
beberapa benda menempati ruang yang sama. Sebenarnya, kompenetrasi ini mustahil
meskipun tidak mengandung kontradiksi di dalam dri sendiri (inner
contradiction). Tidak ada kompenetrasi( dalam pengertian filosofis) dalam
larutan kiamiawi atau di dalam persenyawaan gas-gas yang berlainan.
D.
Jiwa Dalam Al-Quran
Kata
jiwa di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian
(perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا, al-Ism
(kata benda), baik isim al-nakirah نفس, Isim al-ma’rifah المتنافسون ,
mufrad نفسا ataupun
jamak الأنفس,
serta yang bergandengan dengan damir seperti نفسي, أنفسكم .
Dengan
jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa
lafaz al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam,
yakni:
1.
Al-Qalb (Hati), terdapat pada Q.S.
Qaf : 16
وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ
مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ...
2.
Minkum (dari kalian) terdapat pada
Q.S. Al-Taubah : 128
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم...
3.
Al-Insan (manusia), terdapat pada
Q.S. al-Maidah : 32
مَنْ
قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ
النَّاسَ جَمِيعًا...
4.
Ba’dukum (sebagian di antara
kalian), terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2:54
فَتُوبُوا
إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ
بَارِئِكُمْ...
5.
Al-Ruh (roh), terdapat pada Q.S.
al-Zumar : 42
اللَّهُ
يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا...
6.
Ahli al-Din (ahli agama), terdapat pada
Q.S. Al-Nisa :29
وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا...
7.
Diri manusia, terdapat pada Q.S. al-Nisa : 66
وَلَوْ
أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ
دِيَارِكُمْ...
8.
‘Uqubat (balasan/hukuman),
terdapat pada Q.S. Ali Imran/3 :28
وَيُحَذِّرُكُمُ
اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ...
9.
Al-Umm (ibu), terdapat pada Q.S. Al-Nur
: 12
لَوْلَا
إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا
وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ ...
10. Al-Gaib (gaib), terdapat pada Q.S.
al-Maidah/4: 116
تَعْلَمُ مَا فِي
نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ
الْغُيُوبِ …
E.
Pandangan Filosof Muslim Tentang Jiwa
1. Al-Kindi
Jiwa kata al-Kindi adalah
kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang memiliki kehidupan secara potensial,
dan mengatakan jiwa adalah kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima
kehidupan. Artinya jiwa
merupakan kesempurnaan esensial bagi jisim,yang tanpanya jisim tidak berfungsi
sama sekali, jisim akan binasa jika telah ditinggalkan jiwa.jadi, hakikat jiwa
menurut al-Kindi adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang,
dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan
jasad atau badan.
Argumen tentang berbedanya jiwa
dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan,maka jiwa
menentangnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa jiwa sebagai yang
melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Al-Kindi ,dalam tulisanya juga,
menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-Quwwat
al-Syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah(al-Quwwat
al-Ghadabiyyat) yang terdapat di dada, dan daya pikir (al-Quawwat
al-Aqliyat) yang berpusat di kepala.
2. Al – Farabi
Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar
dari Akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad.
Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing
keduanya subtansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa.
Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathinqah, yang berasal dari alam Ilahi,
sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan
bergerak. Begitu pula al-Farabi mengemukakan bahwa manusia terdiri
dari dua unsur yakni jasad dan jiwa. Jasad dari alam ciptaan sedangkan jiwa
berasal dari alam perintah.
Bagi al-Farabi,jiwa manusia
mempunyai daya - daya sebagai berikut:
a)
Daya al-Muharrikat (gerak),
yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b)
Daya al-Mudrikat (mengetahui),
yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c)
Daya al-Nathiqat (berpikir),
yang mendorong untuk berpikir secara treoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingakat yaitu:
a)
Akal Potensial (al-hayyulani), ialah akal yang
baru mempunyai potensi berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti dan
bentuk-bentuk dari materinya.
b) Akal Aktual (al-Alq-bi
al-fi’il), akal yang telah dapat melepaskanarti-arti dari materinya,dan
arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya,bukan lagi
dalam bentuk potensial,tetapi telah dalam bentuk aktual.
c) Akial Mustrafad (al-‘aql
al-Mustafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak
di kaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi
dengan akal kesepuluh.
Tentang bahagia dan
sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan filsafat Negara utamanya. Bagi
jiwa yang hidup pada Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan
melaksanakan segala perintahnya, maka jiwa ini, akan kembali ke alam Nufus
(alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara
Fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan
perintahnya, ia akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam
kesengsara. Sementara itu jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni jiwa yang
tidak kenal dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintahnya, ia lenyap
bagaikan jiwa hewan[9].
3. Ibnu Sina
Harus diakui bahwa keistimewaan
pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa yang mendefinisikan jiwa
sebagimana Aristoteles mendefinisikan pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina,
jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jin) menjadi sempurna
sehingga menjadi manusia nyata. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina
adalah sesuatu yang dengan keberadaanya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu Sina dan Aristoteles berbeda
pandangan dalam memahami makna kesempurnaan. Aristoteles memahami kesempurnaan
sebagai Potret. Ketika Aristoteles mendifinisikan jiwa sebagai suatu
kesempurnaan awal bagi Tubuh Alami, maka yang dimaksudkan adalah potret bagi
fisik Alami dan Prinsip perbuatanya yang dinamis. Sedangkan kesempurnaan kedua
adalah sifat yang berkaitan dengan Manusia seperti pemahaman inderawi bagi
manusia dan memotong bagi pedang.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga
bagian :
a)
Jiwa tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh,
berkembang biak.
b) Jiwa binatang dengan
daya-daya: gerak, menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang
ditangkap oleh panca indera.
c) Jiwa manusia dengan
daya-daya: Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya
adalah dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
(1) Akal materil yang
semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walau sedikit
pun.
(2) Intelectual in habits,
yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
(3) Akal actuil,
yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
(4) Akal mustafad yaitu
akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada
daya upaya.
Menurut Ibnu Sina
jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas
dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai
dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini.
4. Al-Razi
Jiwa universal
merupakan al-Mabda al-Qadim al-Sany (sumber kekal yang kedua).
Padanya terdapat daya hidup yang bergerak, sulit diketahui karena ia tampa
rupa, tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula
(materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik, Allah
datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta, termasuk tubuh manusia
yang ditempati roh.
Jiwa yang tidak dapat
menyucikan dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di
dalam materi. Akan tetapi, apilah ia sudah bersih ia dapat kembali ke alam
asalnya,saat itu alam hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaanya
semula.
Kemudian tentang
keterlibatan jiwa dalam mencari pengetahuan yang sempurna, hal
itu merupakan kenikmatan pada hari ini dan kebahagian pada hari yang
akan datang (akhirat).ini disebabkan otoritas jiwa terhadap dunia jasadiah dikondisikan
oleh hubungan jiwa dengan tubuh[12].mengenai kenyataan bahwa jiwa menerima
manefestasi Murni (suci) dan pengetahuan Ilahiyah,ini tidak tergantung pada
hubungan jiwa dengan tubuh. Hubungan ini sebagaimana fitrahnya,dapat menjadi
suatu rintangan dalam mencapai kesempurnaan. Manakalah hubungan ini terputus
maka Manifestasi Ilahiyah yang akan menjadi penerang. Oleh karena itu, bahwa
perhatian terhadap suatu bidang yang lebih tinggi,bagi seorang pencari yang
menerima Manefestasi Ilahiyah mengharuskan adanya kesempurnaan di hari ini
(dunia) dan hari kemudian (akhirat).
5. Ibnu Miskawai
Jiwa adalah jauhar rohani yang
tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang
tidak terbagi-bagi,ia tidak dapat diraba dengan panca indera karena ia bukan
jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan ia
argument yang dimajukanya ialah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang
berlawanan dalam waktu yang bersamaan,seperti warna hitam dan putih, sedangkan
badan tidak dapat demikian.
Pendapat yang terakhir di atas,
dimaksudkan Ibnu Miskawaih untuk mematahkan pandangan kaum materialis yang
meniadakan jiwa bagi manusia. Ternyata Ibnu Miskawaih berhasil
membuktikan adanya pada diri manusia dengan argumen seperti di atas. Namun,
jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi
hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Jadi, Ibnu Miskawih
mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat di bagi-bagi itu tidak mempunyai
unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun demikian, jiwa
dapat menyerap mareri yang kompleks dan nonmateri yang sederhana.
6. Ikwan Al-Shafa’
Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi,
dan Al-Farabi, Ikhwan Ash Shafa’ memandang manusia terdiri dari dua unsur,
yaitu jiwa yang bersifat materi, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah,
air, udara, dan Api. Dalam tulisan mereka dikatakan bahwa masuknya jiwa kedalam
tubuh merupakan hukuman kepada jiwa yang telah melakukan pelanggaran (kisah
Adam a.s dan pasanganya, Hawa). Sehingga, jiwa di usir dari surga yakni alam
rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh.
Jiwa manusia bersumber
dari jiwa universal. Dalam perkembanganya jiwa manusia banyak dipengaruhi
materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembanganya, maka di
bantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
7. Al-Ghazali
Manusia menurut
Al-Gazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa
dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah makahluk spuiritual
rabbania yang sangat halaus (latifah rabbaniyah). Istilah- istilah yang
digunakn Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs dan ‘aql.
8. Ibnu Bajjah
Setiap manusia mempunyai satu
jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaiman jasmani. Jiwa adalah
penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat
jasmani dan alat-alat rohani. Alat-alat jasmani diantaranya ada berupa berupa
buatan dan ada pula yang merupakan alamiah seperti kaki dantangan. Alat-alat
alamiah ini lebih dahulu daria alat buatan,yang diserbut juga oleh Ibnu Bajjah
dengan pendorong naluri( al-harr al-gaharisa atau roh insting. Ia terdapat pada
setiap makhluk yang berdara.
9. Ibnu Thufail
Jiwa manusia, menurut Ibnu
Thufail adalah makhluk yang tertinggal martabatnya. Manusia terdiri dari dua
unsur, yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan tersusun atas
unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun jiwa bukan jizim dan bukan pula
suatu daya yang ada di jalan jisim. Setelah badan hancur atau mengalami
kematian, jiwa lepas dari badan, dan jiwa yang pernah mengenal Allah selama
berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
10. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mencoba menggambarkan
kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup,
begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah
yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkap sebagi berikut:
“…perbandingan antara
kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa
jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa bekerja pada saat tidur denga
cara membuat tidak bekerja organ-organ tubuhnya,tetapi keberadaan atau
kehidupan jiwa tidaklah terhenti maka sudah semestinya keadaanya
pada saat kematian akan sama dengan keadaabnya pada saat tidur ….dan
bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan
yang cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan
menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsunganya
hidup dari pada pada ujiwa itu adalah satu hal yang pasti. Dan hal ini pun
terang gambling dari firman Tuhan,’Tuhan mengambil jiwa – jiwa pada saat
kematiannya untu kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yangbelum mati pada
saat tidur mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. jiwa kadangkala
diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri
manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung
arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik
manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir.
2. Beberapa pandangan
al-Qur’an tentang jiwa diantaranya:
a.
Al-Qalb (Hati), terdapat pada Q.S. Qaf : 16
b. Minkum (dari kalian)
terdapat pada Q.S. Al-Taubah : 128
c. Al-insan (manusia),
terdapat pada Q.S. al-Maidah : 32
d. Ba’dukum (sebagian di
antara kalian), terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2:54
e. Al-ruh (roh),
terdapat pada Q.S. al-Zumar : 42
f.
Ahli al-din (ahli agama), terdapat pada Q.S. Al-Nisa
:29
g. Diri manusia,
terdapat pada Q.S. al-Nisa : 66
h. ‘Uqubat (balasan/hukuman), terdapat pada Q.S.
Ali Imran/3 :28
i.
Al-umm (ibu), terdapat pada Q.S. Al-Nur : 12
j.
Al-gaib (gaib), terdapat pada Q.S. al-Maidah/4: 116
3. Beberapa filosof
Muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, al-Kindi, Ibnu Bajjah
berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa
adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. Hubungan kesatuan
jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak
dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang
berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa.
B.
Saran
Dengan
adanya makalah ini semoga dapat menambah wawasan pemakalah dan pembaca mengenai
“Pandanga Filosof Islam tentang Jiwa”. Dan kami sangat mengarapkan
kepada para pelajar untuk senantiasa memanfaatkan makala ini sebagai bahan
bacaan.
Dan apabila
dalam pembuatan makalah ini yang sangat sederhana, tentulah banyak suatu
kekurangan dan kesalahan yang akan timbul. Maka dari itu kami sebagai penyusun
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar menjadi
bahan pembelajaran bagi penyusun makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nihaya dan Nasir
Siola. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Alauddin Press. 2010.
Al-Razi, Imam. Ruh
dan Jiwa. Surabaya: Risalah Gusti. 2001.
Supriadi, Dedi. Pengantar
Filsafat Islam. Bandung: Pusataka Setia, 2009.
Zar,
Sirajuddin. Filsafat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2004.
No comments:
Post a Comment