Saturday, April 28, 2018

Makalah Istishab


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu dia antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
Dalam istilah ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
Oleh karena itu di dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian istishab, macam-macam istishab, kehujjahan serta kaidah istishab.

B.     Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian istishab?
2.      Jelaskan macam-macam istishab dan contohnya?
3.      Apa kehujjahan istishab?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian istishab
2.      Memahami macam-macam istishab
3.      Memahami kehujahan dan alasan penolakan al istishab
4.      Memahami kaidah-kaidah istishab

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa ialah pengakuan kebersamaan. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan suatu hukum yang ada pada waktu yang lalu sebelum datang hukum atau dalil yang merubahnya. Dengan kata lain, Istishab adalah menjadikan satu hukum satu peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan hukum itu.[1]
Menurut istilah ahli usul fiqh, Istishab adalah : “membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil yang lain mengubahnya.”
Dan ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan istishab  diantaranya yaitu : Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, dalam buku Methodologi Ijtihad Hukum Islam bememberikan defenisi tentang Istishab yaitu : “bahwa ketetapan masa lampau tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengubahnya.” Artinya, ketentuan masa lampau tetap berlaku hingga sekarang selama tidak terdapat dalil-dalil hukum baru yang mengubah kedudukan hukum lampau tersebut.[2]

B.     Macam-Macam Istishab
1.      Istishab Aql
Istishab Aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama sehingga ulama  membedakan ajaran agama menjadi dua bagian, yaitu, Ibadah (tidak sepenuhnya sama dengan fiqih ibadah) dan Muamalah (tidak sepenuhnya sama dengan fiqih Muamalah).
Dalam bidang Agama, ulama Ushul Fiqih menentukan kaidah “hukum pokok adalah haram.” Atas dasar kaidah ini, ibadah tidak dapat ditambah dan dikurangi tampa ada petunjuk dari Allah dan rasul-Nya. Sebab sampai sekarang ini, tidak terdapat ulama yang mewajibkan melakukan sholat fardhu enam (6) waktu selain yang lima waktu berdasarkan sumber hukum islam.[3]
Dalam hal Muamalah, ushul fiqih membuat sebuah kaidah yang berbunyi:  ”Al-aslu fiil asya’il ibahati.” Artinya : Hukum pokok sesuatu adalah boleh. Yaitu selama tidak ada ketentuan khusus yag mengharamkan atau menghalalkan nya.
Misalnya, Hukum Makan dan Minum, kerna tidak ada seorang ulama pun yang melarang untuk makan dan minum kerna tidak ada dalil Nash Al-qur’an dan As-sunnah yang melarangnya.
2.      Istishab Syara’
Istishab Syara’ adalah sesuatu perbuatan yang tegak karna perintah Allah dan rasul-Nya serta tidak ada dalil yang mengubah perintah tersebut. Misalnya, wudhu’ dan jumlah rokaat sholat. Seseorang yang hendak berwudhu’ untuk melaksanakan sholat merupakan perintah yang datang dari Nash (Al-qur’an dan As-sunnah).
Apabila seseorang merasa tidak yakin bahwa whudu’nya batal atau tidak, orang tersebut tidak perlu mengambil whudu’ kembali dari keterangan fakta diatas ulama ushul fiqih mengemukakan: ”Al-yakinu laa yaajalu biisakki.” Artinya : segala sesuatu yang meyakinkan tidak akan hilang keraguannya.
Kemudian ulama ushul fiqih mengemukakan sumber hukum (dalil) bahwa apabila tidak terdapat ketentuan hukum dalam Nash Al-qur’an dan As-sunnah termasuk ketentuan ijtihat lainnya maka semua boleh (ibadah).
Sebagaimana kaidah Ushuliyah yang berbunyi: ”Al-aslu fiil asya’il ibahati.” Artinya : Hukum pokok sesuatu adalah boleh.

3.      Istishab al-baroa’ah Al-ashiliyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas.[4]
4.      Istishab Al-ibaha al-ashiliyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia, sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٩
Artinya : Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
5.      Istishab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
Yaitu : istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yang mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
6.      Istishab al-Washfi
Yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.

C.    Kehujjahan & Alasan Penolakahn Al-Istishhab
Mengenai kehujjahan Istishhab para ulama berbeda pendapat ada yang menerima al-istishhab dan ada yang menolak al-istishhab. Argumen ulama yang menerima Istishhab adalah bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku di antara mereka, ia dapat dijadikan dasar menentukan hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mengubahnya, hal ini sesuai dengan Al-quran surah Al-baqarah ayat 29.
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٩
Artinya : “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ulama yang menerima al-istishhab dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :[5]
1.       Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iyyah dan hanafiah berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada nas atau dalil dari Al-quaran, hadist, ijmak, qias. Hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya.
2.       Sebagian ulama Hanafi’ah dan Syafi’yyah. Berpendapat bahwa istishhab bukanlah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan untuk menentukan hukumnya sekarang ini, ia memerlukan dalil.
3.       Jumhur ulama hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menetapkan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain. Dan ulama ini menolak Istishab dalam bentuk istishab Aql (akal).
Sedangkan argument ulama yang menolaknya kehujjahan istishab adalah bahwa penentuan halal, haram, dan sucinya sesuatu memerlukan dalil, yang dalil itu tidak dapat kecuali dari “syar’i’’. Dalil-dalil syar’i tercakup dalam nas Alquran dan Sunnah, ijma’, dan Qias. Dan istishhab tidak termasuk diantara sumber-sumber hukum syar’i.
Istishhab merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Dan para ahli ilmu ushul fiqih berkata seungguhnya istishhab merupakn akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang mengubahnya.
Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum. Oleh karena itu istishab hanya menjadi hujjah untuk melangsungkan hokum yang telah ada, tidak untuk menetapkan hukum baru yang sebelumnya belum ada.

D.    Kaidah-kaidah Istishab
Para ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishab, diantaranya adalah:
الاصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya: adalah kasus orang yang hilang diatas.
الاصل فى الأشياء الأباحة
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.[6]
اليقين لايزال بالسك
Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini, maka seseorang yang telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu apakah telah batal atau belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia telah berwudu, dan wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melakukan pengecualian dalam masalah shalat.Menurutnya apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, apabila seseorang ragu dalam masalah wudunya, maka ia wajib berwudu kembali.
الأصل فى الذ مة البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.[7]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari bab pembahasan pada bab II dapat pemakalah simpulkan bahwa Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada.
Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah kami, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqih, (Ad-Dar Al-Kuwaitiyah,1999, cet:XI)

Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta, 2002, cet I UII)

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung, 2001)

Rizal Qosim, Pengalaman Fiqih, (Yogyakarta,2009,cet I)

Ansari, Hukum Syara’ sumber-sumbernya, (Jakarta,cet:III)

Rasyid Sulaiman. Hukum Fikih Lengkap.(CV At-Tahiriyah:Jakarta. 1966)

Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001)



[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqih, (Ad-Dar Al-Kuwaitiyah,1999, cet:XI) hal.121
[2] Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta, 2002, cet I UII) hal.35
[3] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung, 2001) hal:18
[4] Rizal Qosim, Pengalaman Fiqih, (Yogyakarta,2009,cet I) hal.47- 49
[5] Ansari, Hukum Syara’ sumber-sumbernya, (Jakarta,cet:III) hal:93-111
[6] Rasyid Sulaiman. Hukum Fikih Lengkap.(CV At-Tahiriyah:Jakarta. 1966)
[7] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314

No comments:

Post a Comment