BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan
Agama adalah peradilan yang khusus mngadili perkara-perkara perdata dimana
pihanya beragama Islam (muslim). Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), peradilan
agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragam Islam. Perkara-perkara
yang diputus oleh peradilan agama antara lain perceraian, perwalian, pewarisan,
wakaf, dll. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara perdata di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hokum Islam, wakaf, dan shadaqah (Pasal 49 UUPA).
Pengadilan
Agama sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman harus menempatkan dirinya
sebagai lembaga peradilan yang sesungguhnya (court of law) sesuai dengan
kedudukanya yang telah diberikan oleh undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Dengan demikian Pengadilan Agama perlu meningkatkan kualitas
aparatnya sehingga dapat melaksanakan dengan baik dan benar tugas-tugas yang
diberikan kepadanya. Adapun yang harus dilakukan adalah melaksanakan hukum yang
acara dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. [1]
Hukum
acara yang berlakudalam peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku
dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam UUPA (Pasal 54
UUPA). Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah diajukanya
permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut
ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UUPA)
Permohonan
perkara yang diajukan, menurut ketentuan pasal 31 ayat (1), sekurang-kurangnya
harus memuat, pertama, identitas pemohon yaitu setidak-tidaknya nama dan alamat
serta status hukumnya. Setelah penggugat memasukan gugatannya dalam daftar pada
kepaniteraan Pengadilan dan melunasi biaya perkara, kemudian ia tinggal
menunggu pemberitahuan hari sidang. Disinilah merupakan langkah awal untuk
memasuki proses pemeriksaan, sehingga akan diketahui cara dan proses
pemeriksaan di Pengadilan Agama yang sesuai dengan prosedur
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan diatas permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa yang
dimksud dengan perceraian?
2. Bagaimanakah
proses dan prosedur pemeriksaan perkara di Peradilan Agama?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui pengertian perceraian
2. Untuk
mengetahui proses dan prosedur pemeriksaan perkara di Peradilan Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Perceraian
Perceraian ialah penghapusan perkawainan
dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal
abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam
Undang-Undang Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas
keputusan pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang
Perkawinan.[2]
Perceraian biasa disebut “cerai talak”
dan atas keputusan pengadilan disebut “cerai gugat”. Cerai talak perceraian
yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya yang perkawinannya
dilaksanakan menurut agama islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat adalah
perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut
agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam
(penjelasan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya
dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP No. 9).
Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU
No.7/89), sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan
provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera,
misalnya:[3]
1.
Memberikan
ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.
2.
Ijin dapat
diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai
tinggal serumah.
3.
Menentukan
biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh
suami.
4.
Menentukan
hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
5.
Menentukan
hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama
(gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak
sebelum perkawinan dahulu.
B.
Pemeriksaan Perkara
Perceraian
Setelah
penggugat memasukan gugatannya dalam daftar pada kepaniteraan Pengadilan dan
melunasi biaya perkara, kemudian ia tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang.
Gugatan itu tidak akan didaftar apabila biaya perkara belum dibayar (Pasal 121
(4) HIR, 145 (4) Rbg).
Adapun
proses pemeriksaan perkara diantaranya:
1. Persiapan Persidangan
a) Penetapan
Majelis Hakim
(1) Dalam waktu 3
(tiga) hari kerja setelah proses registrasi perkara diselesaikan, Petugas Meja
II menyampaikan berkas gugatan/permohonan kepada Wakil Panitera untuk
disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.
(2) Selambat-lambatnya
dalam waktu 3 (tiga) hari kerja ketua pengadilan menetapkan Majelis Hakim yang
akan menyidangkan perkara tersebut.[4]
b) Penunjukan
Panitera Sidang
Panitera
pengadilan dapat menunjuk dirinya sendiri atau Panitera Pengganti untuk
membantu Majelis Hakim dalam menangani perkara.
c) Penetapan Hari
Sidang
(1) Perkara yang
sudah ditetapkan Majelis Hakimnya segera diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim
yang ditunjuk.
(2) Ketua Majelis
Hakim setelah mempelajari berkas selama 7 (tujuh) hari kerja harus sudah menetapkan
hari sidang.
(3) Dalam
menetapkan hari sidang, Ketua Majelis Hakim harus memperhatikan jauh/dekatnya
tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan tempat persidangan.
(4) Pemeriksaan
perkara cerai dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
surat guguatan/permohonan didaftarkan di Pengadilan Agama. (Pasal 68 (1) dan 80
(1) UU No. 7/1989).
d) Pemanggilan
Para Pihak
(1) Pemanggilan
para pihak untuk menghadap sidang dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti
kepada para pihak atau kuasanya di tempat tinggalnya.
(2) Apabila para
pihak tidak dapat ditemui di tempat tinggalnya, maka surat panggilan diserahkan
pada Lurah/Kepala Desa untuk diteruskan kepada yang bersangkutan.
(3) Tenggang waktu
antara panggilan para pihak dengan hari sidang paling sedikit 3 (hari) kerja.
(4) Apabila tempat
kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat
kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemanggilan dilaksanakan dengan melihat
jenis perkaranya, yaitu : [5]
(a) Perkara di
bidang perkawinan : Dipanggil dengan pengumuman di media masa sebanyak 2 (dua)
kali tayangan dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dengan
pengumuman kedua. Dan tenggang waktu antara pengumuman terakhir dengan
persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan (Pasal 27 PP.9/1975
jo. Pasal 139 KHI).
(b) Perkara yang
berkenaan dengan harta : Dipanggil melalui Bupati/Walikota dalam wilayah
yurisdiksi Pengadilan Agama setempat dengan menempelkan surat panggilan pada
papan pengumuman Bupati/Walikota dan papan pengumuman Pengadilan Agama (Pasal
390 (3) HIR/Pasal 718 (3) RBg).
(c) Pemanggilan
terhadap tergugat/termohon yang berada di Luar Negri dikirim melalui Departemen
Luar Negri cq. Dirjen dan Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negri dengan
tembusan disampaikan kepada KBRI di Negara yang bersangkutan.
2. Pelaksanaan
Persidangan
a) Acara di
Pengadilan Agama
Hukum
acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. (Pasal
54 UU No. 7/1989).
b) Tahapan
Persidangan
(1) Upaya
Perdamaian dan Mediasi (Pasal 82 UU No. 9/1975 dan PERMA No. 1/2008).
(2) Pembacaan Surat
Gugatan/Permohonan.
(3) Jawaban,
Reflik, Duflik.
(4) Pembuktian.
(5) Khusus perkara
perceraian dengan alasan perselisihan perlu didengar keterangan/saksi dari
keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak (Pasal 22 PP. 9/1975 jo. Pasal
UU No. 7/1989).[6]
(6) Kesimpulan.
(7) Putusan.
c) Pelaksanaan
Putusan.
(1) Perkara Cerai
Talak.
(a) Setelah putusan
berkekuatan hukum tetap, Ketua Majelis menetapkan hari sidang penyaksian ikrar
talak.
(b) Pemohon dan
termohon dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. Dan termohon mengucapkan
ikrar talak.
(c) Jika termohon
telah dipanggil secara sah tidak datang atau tidak mengirim wakinya untuk
datang, pemohon dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya termohon.
(d) Jika pemohon
dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian
ikrar talak, tidak datang menghadap atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah
dipanggil secara sah, maka gugurlah kekuatan putusan tersebut (Pasal 70 UU No.
7/1989).
(2) Perkara yang
berkenaan dengan Harta
(a) Jika putusan
telah berkekuatan hukum tetap, dan para pihak tidak mau melaksanakan isi
putusan tersebut dengan suka rela, maka pihak yang dimenangkan putusan tersebut
mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama.
(b) Eksekusi
dilaksanakan oleh Jurusita.
(3) Pokok-pokok Isi
Berita Acara Persidangan
Berita
acara persidangan pengadilan merupakan akta otentik karena dibuat oleh pejabat
yang berwenang untuk itu, dan isinya adalah berupa ihwal secara lengkap
mengenai pemeriksaan perkara dalam persidangan yang dijadikan pedoman hakim
dalam menyusun putusan. Berita acara itu harus ditandatangani Ketua Majelis dan
Panitera Sidang. Adapun keberadaan Berita Acara Persidangan Pengadilan Agama
adalah : [7]
(a) Fungsi
(1) Sebagai akta
otentik.
(2) Sebagai dasar
Hakim dalam menyusun putusan..
(3) Sebagai
dokumentasi dan informasi keilmuan.
(b) Isi Berita
Acara
Hal-hal yang harus dimuat dalam Berita Acara Persidangan
(1) Pengadilan yang
memeriksa.
(2) Hari, Tanggal,
Bulan dan Tahun.
(3) Identitas dan
kedudukan pihak dalam perkara.
(4) Susunan majelis
hakim dan panitera siding.
(5) Pernyataan
siding dibuka dan terbuka untuk umum
(6) Keterangan
kehadiran dan ketidakhadian para pihak.
(7) Upaya
mendamaikan.
(8) Pernyataan
sidang tertutup untuk umum.
(9) Pembacaan surat
gugatan.
(10) Pemeriksaan
pihak-pihak.
(11) Pernyataan
sidang terbuka untuk umum pada waktu penundaan sidang terhadap sidang yang
sebelumnya dinyatakan tertutup untuk umum.
(12) Penundaan
sidang pada hari, tanggal, bulan, tahun, jam dengan penjelasan perintah hadir
melalui relaas dan atau dipanggil melalui relaas.
(13) Pernyataan
sidang diskors untuk musyawarah Majelis Hakim.
(14) Pernyataan
sidang dibuka untuk membaca putusan.
(15) Pernyataan
sidang ditutup.
(16) Penendatanganan
oleh Ketua Majelis dan Panitera / Panitera Pengganti.
Materi Persidangan harus dibuat dalam persidangan.
(1) Jawab menjawab.
(2) Pemeriksaan
alat-alat bukti.
(3) Keterangan saksi
ahli (jika ada).
(4) Kesimpulan
apabila dikehendaki para pihak. [8]
Susunan Kalimat
(1) Menggunakan
kalimat langsung, yakni kalimat tanya jawab langsung antara Majelis Hakim
dengan para pihak, para saksi, atau penerjemah.
(2) Menggunakan
kalimat tidak langsung, maksudnya adalah kalimat yang disusun oleh panitera
pengganti adalah dari tanya jawab antara Majelis Hakim dengan para pihak atau
saksi.
Format Berita Acara
Terdapat
dua format berita acara persidangan, yang biasa dipilih yaitu :
(1) Format Balok,
yaitu pengetikan dengan membagi halaman kertas menjadi dua bagian, bagian kiri
untuk pertanyaan, sedangkan bagian kanan untuk jawaban.
(2) Format iris
talas, sebagaimana format balok, namun semakin kebawah bagian pertanyaan
semakin menyempit, sedangkan bagian jawaban semakin melebar seperti iris talas.
Materi Berita Acara Persidangan
(1) Yang ditulis
hanyalah yang relevan saja.
(2) Berita acara
harus sudah selesai sebelum memasuki sidang berikutnya.
(3) Kesalahan
tulisan harus direnvoi.
(4) Sebagai dasar
menyusun putusan oleh Hakim.
(5) Pengetikan
Putusan
Teknik
pengetikan putusan diatur secara khusus, untuk itu dapat dilakukan sebagai
berikut :
(a) Menggunakan
kertas folio.
(b) Margin kiri : 4
Cm, Margin atas : 3 Cm, Margin kanan : 2,3 Cm, Margin bawah : 3 Cm.
(c) Kata P U T U S
A N dengan huruf capital, direnggangkan hurufnya satu tust dan berada ditengah.
(d) Tulis Nomor :
/Pdt. /20 /PA…., ditulis ditengah kertas bagian atas.
(e) Penulisan
kalimat : BISMILLAHIRROHMANIRROHIM, DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA, TENTANG DUDUK PERKARANYA, TENTANG HUKUMNYA, ditulis dengan huruf
capital dan berada ditengah.
(f) Penulisan kata
“M E N G A D I L I” ditulis dengan huruf capital, berjarak hurufnya satu tust
dan berada ditengah
(g) Alinia baru
dimulai dengan 7 (tujuh) tust, berjarak dua spasi, husus untuk DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, dibawahnya dijarak empat spasi.
(h) Nama
penggugat/tergugat ditulis dengan huruf kapital, disambung dengan identitas
yang ditulis dengan huruf kecil, dan baris berikutnya ditulis lebih masuk 35
tust.
(i) Setiap ahir halaman
pada susun kanan bawah ditulis kata yang mengawali pada halaman berikutnya.
(j) Isi amar
putusan dimulai 7 tust dari margin kiri.
(k) Penulisan HAKIM
KETUA, HAKIM ANGGOTA, PANITERA PENGGANTI, berikut nama-namanya ditulis dengan
huruf capital juga.
(l) Rincian biaya
perkara ditulis pada halaman terakhir tiga cm dari margin bawah.
(m) Apabila ada
yang harus diperbaiki karena :
(1) ST/Sah dit :
bila terjadi kesalahan/perubahan/tambahan.
(2) SC/Sah dic:
bila terjadi pencoretan.
(3) SG/Sah dlg :
bila ingin diganti.
(4) Baik dalam SC,
ST dan SG harus diparaf juga oleh Majlis Hakim.
(n) Kata SALINAN
dalam salinan putusan ditulis pada sudut kiri atas halaman pertama. Pada lembar
terahir dengan posisi pada sebelah kanan dari rincian biaya perkara ditulis
sebagai berikut :
Untuk salinan yang sama
bunyinya
Oleh :
PANITERA PENGADILAN
AGAMA……
(o) Salinan putusan
ditanda tangani oleh panitera, dan panitera pengganti memaraf pada sebelah
kanan kalimat PANITERA PANGADILAN AGAMA …………., Sedangkan wakil panitera memaraf
pada sebelah kiri.
(p) Setiap halaman
salinan putusan dibubuhi stempel pada kiri atas, kecuali halaman terahir
dibubuhi stempel sebelah kiri tanda tangan panitera.
(q) Format Berita
Acara Persidangan (BAP)
Format BAP harus ditulis
rapi yang meliputi :
(1)
Bentuk dan ukuran huruf harus konsisten dan
rapi dengan menggunakan komputer/mesin ketik.
(2)
Halaman yang sama separuh bagian kiri berisi
pertanyaan, dan separuh bagian kanan berisi jawaban.
(3)
Disusun berurutan berdasar tahapan sidang,
dikelompokkan mulai dari gugatan, jawaban, replik, duplik, alat bukti dari
penggugat, tanggapan dari tergugatatas alat bukti penggugat, alat bukti
tergugat, kesimpulan penggugat, kesimpulan tergugat, sikap penggugat dan
tergugat serta para saksi.
(4)
Apabila terdapat kesalahan tulisan dalam BAP,
cukup direnvoi saja.
(5)
Ditulis posisi/urutan persidangan (sidang
pertama, sidang lanjutan I, sidang lanjutan II dan seterusnya), nomor halaman
sebaiknya berurutan (tidak dipenggal-penggal), dan setiap mau masuk pada
halaman berikutnya ditulis “kata pertama” dalam halaman itu dipojok kanan bawah
yang diikuti titik seperlunya.
(6)
Jika persidangan dilakukan dengan cara
tertulis, maka seluruh jawaban, replik, duplik disalin secara utuh dalam BAP.
(r) Minutering
(penandatanganan) berita acara persidangan.
(1)
BAP harus ditanda tangani oleh hakim ketua
majlis dan panitera sidang. 207
(2)
Panitera sidang berkewajiban membuat BAP,
sedangkan Hakim ketua majlis bertanggung jawab atas kebenarannya.
(3)
Apabila hakim ketua majlis berhalangan untuk
menandatangani BAP, beralih pada hakim anggota majlis yang lebih senior,208 Dan
apabila panitera sidang berhalamgan untuk menandatanganinya, maka cukup
dijelaskan dalam BAP itu 209.
(4)
Penandatanganan BAP dilakukan sebelum sidang
berikutnya.
(s) Pembuatan BAP
pelaksanaan ikrar talak.
(1)
Format dan isinya sama dengan BAP perkara
biasa.
(2)
Harus ditulis kehadiran dan ketidakhadiran para
pihak.
(3)
Apabila ada yang tidak hadir maka terlebih
dahulu dibacakan relas oleh hakim ketua majlis.
(4)
Harus dicatat keadaan istri pada saat ikrar
talak diucapkan oleh pemohon apakah istri dalam keadaan haidh, suci hamil,
monopouse, qobla dukhul, bakda dukhul, dan lain-lain.
(5)
Harus ditulis redaksi “Ikrar Talak”.
(6)
Harus ditulis “Amar penetapan hakim”.
(7)
Harus ditulis bahwa “sidang penyaksian ikrar
talak terbuka untuk umum”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mengingat
begitu pentingnya proses pemeriksaan dalam setiap perkara yang diajukan ke
Pengadilan Agama maka dapat diketahui proses pemeriksaan di Peradilan Agama
adalah sebagai berikut:
1. Penetapan
Majelis Hakim
2. Penunjukan
Panitera Sidang
3. Penetapan Hari
Sidang
4. Pemanggilan
Para Pihak
5. Pelaksanaan
Persidangan
a. Acara di
Pengadilan Agama
b. Tahapan
Persidangan
c. Pelaksanaan
Putusan.
Pelaksanaan proses perkara yang benar dan
sesuai prosedur akan memudahkan proses berperkara dari awal hingga pelaksanaan
putusan yang menjadikan pelaksanaan hokum yang benar dan sesuai dengan aturan.
B.
Saran
Demikianlah
pembahasan makalah mengenai pemeriksaan perkara Perceraian, semoga dapat
bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi
untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia (Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru,
2002)
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT
Intermasa, 1989)
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 1991),
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Putra
Grafika, 2006), cet. IV
Retno Wulan Sutantio
dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum
Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Mandar
Maju, Bandung, 2005)
[1]
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam
Indonesia (Palu: Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, 2002), h. 906
[2] Subekti,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta :
PT Intermasa, 1989), hlm.42.
[3] Sudarsono,
Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta :
PT Rineka Cipta, 1991), hlm.116.
[4] Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Putra Grafika, 2006), cet. IV, h. 386.
[8] Retno
Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Mandar Maju, Bandung, 2005) h.3
No comments:
Post a Comment