BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Filsafat
merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk membantu
individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan.
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada
tindakan yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan
tindakan seseorang untuk mencapai tujuan.
Filsafat
membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat abstrak
ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk faham
betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan dan
mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.
Sistematika
filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian yaitu;
epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh
pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala
sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang
membahas tentang guna pengetahuan. Sehingga, mempelajari ketiga cabang tersebut
sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan
pembahansannya.
Ketiga
teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya saja
berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi sebagai
teori pengetahuan membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana
kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain. Ontologi membahas tentang
apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan
daya pikir. Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas tentang
pengetahuan kita akan pengetahuan di atas, klasifikasi, tujuan dan
perkembangannya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah makalah ini adalah :
1.
Apa yang dimaksud dengan ontologi?
2.
Apa yang dimaksud dengan Epistemologi?
3.
Apa yang dimaksud dengan Aksiologi?
C. Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan
makalah ini adalah :
1.
Apa yang dimaksud dengan ontologi
2.
Apa yang dimaksud dengan Epistemologi
3.
Apa yang dimaksud dengan Aksiologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Istilah
ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta
berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.[1]
Namun
pada dasarnya term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius
pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika menjadi dua,
yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai
istilah lain dari ontologi.
Bidang
pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada yang mungkin ada, yang
boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori
tentang keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah kerealan, real artinya
kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya,
keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan
keadaan yang meberubah.
Ontologi
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang
berbeda dimana entitas (wujud) dari
kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi)
dapat dikatakan ada dalam rangka tradisional. ontologi dianggap sebagai teori
mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya
akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.[2]
Ontologi
sering diindetikan dengan metafisika yang juga disebut proto-filsafia atau
filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasanya adalah hakikat
sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab akibat, realita, atau Tuhan dengan segala
sifatnya.[3]
Dengan
demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau dalam dari segala sesuatu yang ada. Para
ahli memberikan pendapatnya tentang realita itu sendiri, diantaranya Bramel. Ia
mengatakan bahwa ontologi ialah interpretasi tentang suatu realita dapat
bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang
berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya, tetapi jika ditanyakan bahanya
pastilah meja itu substansi dengan kualitas materi, inilah yang dimaksud dari
setiap orang bahwa suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan
jika berada di dua dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca
indra kita nampaknya cukup nyata atau real.
Adapun
mengenai objek material ontologi ialah yang ada, yaitu ada individu, ada umum,
ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi
dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada. Objek
formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas, bagi pendekatan kualitif,
realitas tranpil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya menjadi telaah monism,
paralerisme atau plurarisme.
Fungsi
dan manfaat mempelajari ontologi sebagai cabang filsafat ilmu antara lain:
Pertama
: berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan,
konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar
keilmuan antara lain:
1. dunia ini ada,
dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar-benar ada.
2. dunia empiris
itu dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindera.
3. fenomena yang
terdapat di di dunia ini berhubungan satu dengan lainnya secara kausal.
Kedua: Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang
integral, komphrehensif dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji hal-hal
yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan dapat
memperoleh gambaran tentang objek telaahannya, namun pada kenyataannya kadang
hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang parsial dan
terpisah-pisah. Jika terjadi seperti itu, ilmuwan berarti tidak mampu
mengintegrasikan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan lain.
Ketiga: Ontologi memberikan masukan informasi untuk mengatasi
permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Pembagian objek
kajian ilmu yang satu dengan lainnya kadang menimbulkan berbagai permasalahan,
di antaranya ada kemungkinan terjadinya konflik perebutan bidang kajian,
misalnya ilmu bioetika itu masuk disiplin etika atau disiplin biologi.
Kemungkinan lain adalah justru terbukanya bidang kajian yang sama sekali belum
dikaji oleh ilmu apa pun. Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu memetakan
batas-batas kajian ilmu. Dengan demikian berkembanglah ilmu-ilmu yang dapat
diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau dari abad ke abad.
B. Epistemologi
Dalam
belajar filsafat, kita akan menemui banyak cabang kajian yang akan membawa kita
pada fakta dan betapa kaya dan beragam kajian filsafat itu. Sebenarnya yang
terpenting adalah bagaimana kita semua
memahami apa saja yan menjadi kajan filsafat,
cabang-cabang filsafat. Albuerey Castel membagi masalah filsafat menjadi enam
bagian yaitu, teologis, metafisika, epistemologi, etika, plitik dan sejarah.[4]
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya suatu pengetahuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali pemaknaan
atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam memberikan pemaknaan
terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga
memberikan pemaknaan yang berbeda ketika mngungkapkannya.
Akan
tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian epistemologi, maka perlu
diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu. Epistemologi berdasarkan akar
katanya episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori).
Secara
terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan
dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas
pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.[5]
Beberapa
ahli yang mencoba mengungkapkan definisi daripada epistemologi adalah P.
Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh
lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin, beliau
mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar
dan pengandaian – pengandaian serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang
memiliki pengetahuan.
Dagobert
D. Runes. Seperti yang di tulis Mujamil Qomar, beliau memaparkan bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas, sumber, struktur,
metode-metode, dan validitas pengetahuan. Sedangkan menurut Azyumardi Azra, beliau menambahkan bahwa
epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian, pengertian, struktur, metode,
dan validitas ilmu pengetahuan. Walaupun dari kedua pemaparan di atas terdapat
sedikit perbedaan, namun keduanya memberikan pengertian yang sederhana dan
relatif mudah di pahami. Mudhlor ahmad merinci menadi enam aspek yaitu,
hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas dan
saran pengetahuan.
Am
Syaifudin menyebutkan bahwa epistemologi
mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa
kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita
ketahui, dan sampai manakah batassannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas
menjadi dua masalah pokok, masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
1. Ruang Lingkup
Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi,
bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu,
makrifat dan pengetahuan.Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:[6]
a) Cakupan pokok
bahasan,
Yakni
apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian
khusus seperti ilmu hushûlî.Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan
setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Makna leksikal
ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang
hakiki, sains, teknologi, keterampilan,kemahiran dan juga meliputi ilmu-ilmu
seperti hudhûrî, hushûlî,ilmu Tuhan, ilmu para malaikat dan ilmu manusia.
2) Ilmu adalah
kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam
filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
3) Ilmu yang hanya
dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
4) Ilmu adalah
pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan
belum diyakini.
5) Ilmu ialah
kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas
eksternal.
6) Ilmu ialah
kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak
berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
7) Ilmu ialah
kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
b) Sudut
pembahasan
Yakni
apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana
subyek ini dibahas,karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika,
dan psikologi.Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu.
Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu.
Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi
pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok
kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan
ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan
adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari
aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut
pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang
perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam
epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan
observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan.Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî
dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian,
ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa
dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.[7]
2. Aliran-aliran
Epistemologi
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa
aliran. Aliran-aliran tersebut mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia
memperoleh pengetahuan. Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber
pengetahuan yaitu aliran:
a) Rasionalisme,
yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber pengetahuan manusia ialah pikiran,
rasio dan jiwa.
b) Empirisme,
yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman
manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh panca inderanya.
c) Kritisme
(transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia
itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan
hakikat pengetahuan manusia inklusif di dalamnya aliran-aliran:
a) Realisme, yaitu
aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia adalah gambaran yang baik
dan tepat tentang kebenaran. Dalam pengetahuan yang baik tergambar kebenaran
seperti sesungguhnya.
b) Idealisme,
yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah kejadian dalam jiwa
manusia, sedangkan kanyataan yang diketahui manusia semuanya terletak di luar
dirinya.
C. Aksiologi
Aksiologi
membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal,
teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan
status metafisik dari nilai.[8]
Aksiologi
sebagai cabang filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai,
pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.
Nilai
Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung kualitas-kualitas
pengirisan didalam dirinya, sedangkan nilai instrumentalnya ialah pisau yang
baik adalah pisau yang dapat digunakan untuk mengiris, jadi dapat menyimpulkan
bahwa nilai Instrinsik ialah nilai yang yang dikandung pisau itu sendiri atau
sesuatu itu sendiri, sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai sesuatu yang
bermanfaat atau dapat dikatakan Niai guna.
Aksiologi
terdiri dari dua hal utama, yaitu:
1.
Etika : bagian filsafat nilai dan penilaian yang
membicarakan perilaku orang. Semua prilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari
penilaian. Jadi, tidak benar suatu prilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih
tepat, prilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik.
2.
Estetika : bagian filsafat tentang nilai dan
penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. Indah dan
jelek adalah pasangan dikhotomis, dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara
esensial adalah pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan
nyaman pada suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya.[9]
Aksiologi
memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang
negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur
kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah :
1. Menjaga dan
memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka
prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi
pada kepentingan langsung.
2. Dalam pemilihan
objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat
manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan
dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan
kepentingan politik.
3. Pengembangan
pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat
dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan
ilmu dan temuan-temuan universal.
D. Metafisika
1. Pengertian
Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang
mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Dimana
metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan
dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu
‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’? Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal
atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam? Secara
garis besar, pandangan filsafat terkait dengan pokok soal tersebut dapat
dikelompokan antara monisme dan pluraisme, yang baik monisme maupun pluralisme
dapat bersifat spiritualistis ataupun materialistis.
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato
dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang
dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran metafisika mengklaim
bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia. Seolah – olah
akal budi memiliki kualitas “ampuh” untuk menyibak semua realitas mendasar dari
segala yang ada.[10]
Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah
bagian kajian filsafat yang paling abstrak dan dalam pandangan sementara orang
merupakan bagian yang paling “tinggi” karena berurusan dengan realitas yang
paling utama, berurusan dengan “apa yang sungguh-sungguh ada” yang membedakan
sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin ataukah tidak. Sekalipun
demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus
dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya. Dengan
demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi
teori tentang realita.
2. Tafsiran
Metafisika
Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran
metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam
ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat
lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran
seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir
tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain faham diatas, ada juga paham
yang disebut paham naturalisme. Paham ini sangat bertentangan dengan paham
supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang
terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui. Penganut
faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut
hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola
bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau disodok
oleh tongkat bilyard.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah
ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta
berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan, term ontologi
pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf.
Menurut
etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi,
epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan
validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.
Aksiologi
membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal,
teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan
status metafisik dari nilai.
B. Saran
Dengan
demikian, menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin ilmu yang
berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan
kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi
kesejahteraan hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
A.
Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara: 2001)
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003)
Jalaluddin Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)
[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm.118
[2] A. Susanto, Filsafat
Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara: 2001), hlm. 91
[3] A. Susanto, Filsafat
Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara: 2001), hlm. 92
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 28
[8] Jalaluddin Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 104
No comments:
Post a Comment