Saturday, April 28, 2018

Makalah Ilmu Umum dan Agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang di lakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat islam akan maju dapat menyusul orang-orang barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak lain adalah proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan yang ada kepada konsep yang hakiki yaitu tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber. Dari ketiga proses inilah kemudian diturunkan aksiologi (tujuan), epistemologi (metodologi), dan ontologi (obyek) ilmu pengetahuan.[1]
Di pandang dari sisi aksiologis (tujuan) ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia.
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka diperlukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, sehingga akan tercapailah kemajuan yang seimbang antara kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan  teknologi dengan kemajuan dalam bidang ilmu agama, moral dan etika.
Sejalan dengan sasaran tersebut, maka pembahasan dalam makalah ini diarahkan pada upaya mendeskripsikan bangunan pohon ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu umum secara utuh dan komprehensif sambil mengupayakan integrasinya dngan menggunakan pendekatan normatif teologis, historis dan filosofis.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan?
2.      Bagaimana bentuk ilmu pengetahuan?
3.      Apa saja syarat-syarat ilmu pengetahuan?
4.      Apa yang dimaksud dengan agama?
5.      Apa saja tujuan, guna dan fungsi agama?
6.      Bagaimana hubungan agama dan ilmu pengetahuan?
7.      Bagaimana integritas antara ilmu pengetahuan dan agama?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa dimaksud dengan ilmu pengetahuan, bentuk dan syarat ilmu pengetahuan
2.      Memahami pengertian agama, tujuan dan fungsi agama
3.      Mengetahui hubungan agama dan ilmu pengetahuan
4.      Mengetahui integritas antara ilmu pengetahuan dan agama




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Ilmu
1.      Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa arab) yang berarti tahu, jadi ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin yang artinnya tahu). Secara terminologis ilmu dan science punya pengertian yang sama yaitu pengetahuan.[2]
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan dan bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan adalah kegiatan spekulatif. Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimental baru akan diukur dari hasilnya, yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen yang lain. Dan demikian, ilmu pengetahuan yidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat penyelidik.[3]
Ilmu pengetahuan juga bisa merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan merumuskan objek material dan objek formal. Upaya penyingkapan realitas dengan memakai dua perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau mensintesikan keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah). Penyingkapan ilmu pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta dan mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan yang bercorak empiristik dengan metode kuantitatif (matematis) lebih dominan menduduki dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini besar kemungkinan karena banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran positivistiknya Auguste Comte yang mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan. Pertama, menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus terlepas dari lingkungan teologik yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan harus bebas dari lingkungan metafisik yang bersifat abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan harus menemukan otonominya sendiri dalam lingkungan positifistik.
Adapun fungsi-fungsi ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
a.       Fungsi deskriptif: menggambarkan ,melukiskan dan memaparkan suatu obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari
b.      Fungsi pengembangan: menemukan hasil ilmu yang baru
c.       Fungsi prediksi: meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga dapat dicari tindakan percegahannya
d.      Fungsi Kontrol: mengendalikan peristiwa yang tidak dikehendaki.
2.      Bentuk Ilmu
Menurut beberapa pakar, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas berfikir dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi langkah-langkahnya. Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah pengetahuan yang sistematis mengenai fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran, pemahaman serta bisa memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.[4]
Secara garis besar, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta dan ilmu humaniora. Ilmu eksakta adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan pada hukum sebab akibat. Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai metode observasi yang digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat validitasnya. Dengan model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta sering mendapatkan hasil yang objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan spesifikasi keilmuan yang membahas sisi kemanusian selain yang bersangkutan dengan biologis maupun fisiologisnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan ini lebih tertitik tekan dalam masalah sosiologis dan psikologisnya.
Menurut Jujun, cabang atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama, yakni filsafat alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi menjadi cabang ilmu-ilmu social (the social sciences). Dari kedua cabang tersebut, klasifikasi keilmuan menjadi kian tak terbatas. Diperkirakan sampai sekarang ini, terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang masih belum banyak dikenal. Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga tidak menutup kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa mencapai ribuan jumlahnya.
Sekian banyak jumlah cabang keilmuan tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi diri menjadi dua kelompok, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hidup (hayat/the biological sciences). Ilmu alam ini bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu ini kemudian membentuk rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya sebagai ilmu fisika yang mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas tentang substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi benda-benda langit dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian membentuk ranting-ranting baru, seperti kalau dalam fisika ada yang namanya mekanik, hidrodinamika, bunyi dan seterusnya yang masih banyak lagi ranting-ranting kecil.
3.      Syarat-syarat Ilmu
Ada lima syarat ilmu pengetahuan, yaitu :[5]
a)      Objektif,  Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
b)      Metodis, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
c)      Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
d)     Universal, Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180ยบ. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
e)      Religius, segala upaya yang dilakukan dalam mencari ilmu digunakan dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Ilmu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

B.     Konsep Agama
1.      Pengertian Agama
Kata agama secara testimologi berasal dari bahasa Sansekerta “gam” yang dalam bahasa inggrisnya sama dengan “go” yang berarti pergi. Jadi agama berarti sesuatu yang tidak pergi, langgeng, kekal. Yang dimaksud dengan semua itu adalah Tuhan.
Sedangkan agama dalam bahasa inggris berarti “relegion” yang berarti kedatangan kembali, maksutnya kedatangan wahyu Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud agama adalah ajaran suci bersifat rohani yang menuntun serta mengatur kehidupan manusia. Agama memberi petunjuk bagaimana cara mengadakan hubungan antara manusia denganmanusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan.[6]
2.      Tujuan, Guna, dan Fungsi Agama
Pada dasarnya, manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan yang dapat melahirkan nilai-nilai guna menopang kehidupannya. Selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan, dalam waktu bersamaan juga harus merupakan suatu kebenaran. Demikian juga cara berkepercayaan-pun harus benar. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam dunia nyata ditemukan bentuk-bentuk kepercayaan yang berbeda.
Hal itu dapat menimbulkan  kepercayaan yang mungkin semua salah atau salah satu diantaranya benar. Adapun salah satu kepercayaan yang dapat diakui kebenaraannya adalah kepercayaan terhadap agama.
Agama sebagai sistem kepercayaan (iman), memiliki dua pengertian:
a)      Kepercayaan  (iman) sebagai institusi, yaitu iman yang merupakan bagian (paling pokok) dari agama sendiri, yang berposisi sebagai bentuk kepercayaan yang tertinggi yang diakui kebenarannya. Seperti rukun iman dalam islam;
b)      Kepercayaan (iman) sebagai sikap jiwa, sikap jiwa mempercayai dan menerima sesuatu sebagai benar, yaitu sikap jiwa sami’na wa at}a’na  (kami mendengar dan mematuhi), serta mematuhi firma ilahi dengan sepenuh kedirian, memusatkan segala pengabdian hanya kepada-Nya, menyerahkan diri, hidup dan mati semata-mata untuk-Nya.
Eksistensi agama selain sebagai sistem kepercayaan yang mengharuskan adanya kebenaran, juga sebagai tindakan praktis terhadap aplikasi kepercayaan (iman) yang telah diakui kebenaraanya. Dalam hal ini Ibnu Sina memiliki dua aspek missi, yaitu missi teoritis dan praktis. Missi teoritis berfungsi mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan mengajarkan ajaran dasar keimanan terhadap eksistensi Tuhan, realitas wahyu, dan kenabian serta kehidupan sesudah mati. Adapun missi praktis mengajarkan aspek-aspek praktis agama sebagai tindakan ritual untuk dilaksanakan oleh seseorang yang beriman.
C.    Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Agama
Dalam pandangan saintis, agama dan ilmu pengetahuan mempunyai perbedaan. Bidang kajian agama adalah metafisik, sedangkan bidang kajian sains / ilmu pengetahuan adalah alam empiris. Sumber agama dari tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan dari alam.
Dari segi tujuan, agama berfungsi sebagai pembimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia didunia dan di akhirat. Adapun sains / ilmu pengetahuan berfungsi sebagai sarana mempermudah aktifitas manusia di dunia. Kebahagiaan di dunia, menurut agama adalah persyaratan untuk mencapai kebahagaian di akhirat.[7]
Menurut Amstal, bahwa agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan, eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu pengetahuan selalu mencari yang baru, tidak terikat dengan etika, progesif, bersifat inklusif, dan objektif. Meskipun keduanya memiliki perbedaan, juga memiliki kesamaan, yaitu bertujuan memberi ketenangan. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Misalnya, Tsunami dalam Konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan.
Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung dibalik Tsunami. Adapun menurut ilmu pengetahuan, Tsunami terjadi akibat pergeseran lempengan bumi, oleh karena itu para ilmuwan harus mencari ilmu pengetahuan untuk mendeteksi kapan tsunami akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.

D.    Tinjauan Normatif Teologis Tentang Integrasi Ilmu Agama Dan Ilmu Umum
Tinjauan normatif teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu cara memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari tuhan sebagaimana terdapat di dalam wahyu yang di turunkan-Nya. Melalui tinjauan ini manusia akan dibawa kepada suatu keadaan melihat masalah berdasarkan perspektif tuhan dalam batas-batas yang dapat di pahami manusia. Artinya manusia akan memiliki pegangan yang kokoh dalam melihat suatu masalah.
Tinjauan normatif teologis ini perlu dilakukan untuk membangkitkan komitmen dan melihat sesuatu   dalam perspektif yang ideal sebagaimana di kehendaki oleh Tuhan dalam firman-firman-Nya. [8]
1.      Pandangan AL-qur’an dan as-sunnah tentang ilmu-ilmu agama dan     ilmu-ilmu umum
Al-Qur’an dan as-sunnah sesungguhnya tidak membedakan antara  ilmu agama dan ilmu umum, yang ada dalam AL-qur’an adalah ilmu pembagian adanya ilmu agama islam dan ilmu umum adalah merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajianya.
a.       Jika objek kajian ontologisnya yang dibahas adalah wahyu (al-qur’an) dan hadits dengan menggunakan metode ijtihad, maka yang dihasilkanya adalah ilmu-ilmu agama seperti; teologi, tafsir, tasawuf dan lain-lain
b.      Jika objek kajian ontologisnya yang dibahas adalah jagad raya seperti; langit, bumi beserta isinya dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium pengukuran, penimbangan dan lain-lain. maka yang dihasilkanya adalah ilmu-ilmu alam seperti; ilmu fisika, biologi, kimia, astronomi dan sebagainya.
c.       Jika objek kajian ontologisnya adalah prilaku sosial dalam segala aspeknya, dengan menggunakan metode penelitian sosial maka yang akan dihasilkan adalh ilmu sosial seperti; ilmu politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Ilmu-ilmu tersebut seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber-sumber Ilmu-ilmu tersebut berupa wahyu. Dengan demikian para ilmuwan dalam berbagai bidang ilmu tersebut sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan.
2.      Pandangan AL-qur’an dan as-sunnah tentang integrasi  ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menurut pandangan alqur’an dan al-sunnah sesungguhnya tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum. Yang ada hanya ilmu itu sendiri dan seluruhnya bersumber dari Allah swt.
Namun dilihat dari sifat dan jenisnya sulit dihindari adanya paradigma ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, atau paling tidak paradigma tersebut hanya untuk kepentingan teknis dalam membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Dalam berbagai literatur kita temukan paradigma agama sebagai berikut:

Ilmu agama
Ilmu umum
Berasal dari Tuhan
Bersifat absolut
Bersifat pasti
Tidak terbatas masa berlakunya
Berlaku sepanjang zaman
Bertolak dai keyakinan
Berasal dari manusia
Bersifat nisbi
Bersifat relatif
Bersifat terbatas
Berlaku dalam kurun waktu tertentu saja
Bertolak dari keragu-raguan

Tabel di atas menunjukkan bahwa paradigma agama dan paradigm ilmu umum berbeda, selain ada perbedaan juga ada persamaannya. Perbedaannya terletak bahwa pada ilmu agama ada keterikatan yang kuat pada agama, sedangkan pada ilmu umum keterikatan tersebut tidak ada. Sedangkan persamaannya terletak pada keadaanya yang bersifat relatif, dapat berubah, dapat diperdebatkan, tidak selamanya benar dan seterusnya sebagaimana juga terdapat pada ilmu pengetahuan umum.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari bab pembahasan pada bab II dapat kami simpulkan bahwa Ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa arab) yang berarti tahu, jadi ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin yang artinnya tahu). Secara terminologis ilmu dan science punya pengertian yang sama yaitu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan dan bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan adalah kegiatan spekulatif.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah kami, semoga bermanfaat. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005)

C.A Qadir, Ilmu pengetahuan dan Metodenya, (Jakakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995)

Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987)

Elvinaro Ardianto, Filsafat Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekkatama Media, 2007)

Endang Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1979)

Abudinnata,dkk,  Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003)


[1] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005) halm. 4
[2] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), h.29
[3] C.A Qadir, Ilmu pengetahuan dan Metodenya, (Jakakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1995),h.39    
[4] Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987),h.169 
[5] Endang Saifudin…Ibid, halm. 171
[6] Elvinaro Ardianto, Filsafat Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekkatama Media, 2007), h.23
[7] Endang Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h.10
[8] Abudinnata,dkk,  Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003)

No comments:

Post a Comment