Sunday, April 22, 2018

Makalah Islam dan hubunganya dengan Sains, Budaya dan Isu Global


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah
Isu hubungan agama dan sains tidak selalu diisi dengan pertentangan dan ketidaksesuaian Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antar keduanya. Kalangan lain beranggapan bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda, memiliki wilayah masing-masing yang terpisah baik segi objek formal-material (ontologi), metode penelitian (epistemologi), serta peran yang dimainkan (aksiologi).
Di akhir dasawarsa tahun 90-an, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya, berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci). Diskusi dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan teori “Empat Tipologi Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)”. Yang menjadi pemasalahannya adakah titik temu antara agma dan sains.
Sebagaimana agama terakhir, Islam di ketahui memiliki karakteristik yang khas di bandingkan dengan agama-agama datang sebelumnya. Melalui berbagai linteratur yang berbicara tentang islam dapat di jumpai uraian mengenai pengertian agama Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam itu perlu di kaji sejara seksama, Sehingga dapat dihasilkan pemahaman Islam yang komprahensip hal ini perlu dilakukan, karena kualitas pemahaman ke-Islaman seseorang akan mempengarui pola piker, sikap, dan tindakan ke-Islama yang bersangkutan, Kita barang kali sepakat terhadap kualitas ke-Islaman seseorang benar-benar komprahenship dan berkualitas.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan antar islam dan saisn?
2.      Bagaimana hubungan antar islam dan budaya?
3.      Bagaimana hubungan antar islam dan isu global?
C.    Tujuan
1.      Untuk megetahui hubungan antar islam dan saisn
2.      Untuk megetahui  hubungan antar islam dan budaya
3.      Untuk megetahui hubungan antar islam dan isu global



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam dan Sains
Setelah kita mengetahui  perbedaan mendasar antara ilmu dan agama, serta berbagai persoalan yang meraka hadapi, maka kita melihat kemungkinan titik temu antara keduanya. Sebenarnya, ilmu membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa cara.
Pertama, kesadaran kritis dan sikap dan sikap relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk menghancurkan agama, melaikan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari agama.
Kedua, kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.
Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idelismenya secara kongkrit, terutama yang menyangkut kemanusiaan umum.[1]
Sebaliknya, agama dapat membantu ilmu untuk tetap manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkreat yang mesti dihadapinya. Pertama, agama dapat mengigatkan bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenarana, kedua, agama dapat mengingatkan ilmu untuk senantias membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan diatas kemajemukan pengetahuan itu sendiri. Ketiga, agama dapat membantu ilmu mempedalam penjelajahan diwilayah adikodrati atau supranatural. Keempat, agama bisa menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah terjerusu kedalam mentalitas pragmatis-instrumental, yang mengnaggap bahwa sesuat dianggap bernilai sejauh ada manfaatnya dan bisa digunakan untuk kepentingan kita.
Maka, kalau kita bicara integrasi antara keduanya, agaknya itu mesti tetap dibayangkan sebagai sekedar interaksi. Masing-masing tetap layak memiliki otonomi dan kekuatan khasnya sendiri. Mencampurkan keduannya akan menjadi sebuah kekonyolan, yakni teologisasi ilmu, atau empirisasi teologi. Ini kedua-duanya absurd, sebab dengan meneologisasika ilmu, otomatis bobot keilmuan pun akan turun. Sebaliknya, mengempirikan teologi, meskipun bisa, akan menjadi bagai mengempirikkan filsafat. Sebenarnya, seperti halnya filsafat, teologi lebih banyak berurusan dengan tafsir misteri dan makna eksistensial, yang kedalaman maupun keluasannya melebihi wilayah kompetensi ilmu empirik. Dan juga, landasan dasar teologi adalah kitab suci dan realitas supranatural, yang menyebabkan teologi tidak pernah bisa menggunakan nalar dengan keleluasan sebebas penalaran ilmu empirik.[2]
Jika yang dibayangkan adalah interaksi agama dan ilmu, maka yang paling realistis adalah sekadar memberi peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya interaksi itu. Dan iteraksi itu bisa berupa saling mengkritik ataupun saling mendekonstruksi, tetapi ini semata-mata agar ilmu dan agama mampu untuk selalu mentransendensi dirinya sendiri, dengan cara mendobrak ketertutupan atau stagnasi masing-masing.
Hubungan antara sains dan agama tidak selalu harmonis, konflik terjadi ketika teori sains berbentutran dengan ajaran agama yang diterjemahkan secara harpiyah oleh G. Barbour. Lihat saja tragedy ilmuwan Galileo Galilei yang dihukum mati pada tahun 1663 ketika mengeluarkan teori heleosentris dari Necolaus Copernicus. Hal ini dianggap menentang doktrin gereja yang waktu itu menganut paham geosentris dari Ptolemaeus yang didukung oleh Aristoteles. Teori evolusi Darwin dianggap melecehkan doktrin penciptaan Alkitab, sehingga diusulkan untuk dilarang di Arkansas.
Dalam islam, konplik antara sain dan agama juga terjadi walaupun tidak separah itu. Misalnya, ada ulama yang membantah adanya astronot Amerika  bisa mendarat di Bulan, dengan dalih bahwa benda langit itu suci maka tidak mungkin manusia kafir menyentuhnya. Atau mereka yang tetep menolak hasil USG yang bisa mengetahui jenis kelamin janin didalam perut ibunya. Dengan dalih, hanya Allah saja yang bisa tahu apa yang didalam rahim. Ramalan hujan hasil penginderaan satelit cuaca juga ditolak karena hanya Allah saja yang tahu kapan turun hujan. Penafsiran terhadap kitab suci adalah salah satu penyebab konflik tadi. Apalagi bila kosmologi pra-agama dianggap sebagai rukun iman.[3]

B.     Islam dan Budaya
Dari segi kebahasaan Isalm berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat sentosa dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk Aslama yang berarti berserah diri dalam kedamaian.
Adapun pengertian Islam dalam segi istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari nabi Muhammad SAW.[4]
Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hokum, moral adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dan ada juga kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batil (akal budi) manusia kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasi kebudayaan.
Dari pengertian penjelasan di atas kata Islam dekat dengan arti agama begitu juga hubungan agama dan kebudayaan dalah dua bidang yang dapat di bedakan tetapi tidak dapat di pisahkan. Agam bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya di dasarkan pada agama, tidak pernah sebaliknya.
Oleh karena itu agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pada tingakat praktis, Agam Islam merupakan produk budaya karena ia tumbuh dan berkembang melalui pemikiran ulama’ dengan cara ijtihad, Disamping itu, Ia tumbuh dan berkembang karena terjadi interaksi social masyarakat.[5]

C.    Islam dan Isu Global
Isu Globalisasi  merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika umat islam menutup diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan mengggali kuburan untuk kematiannya sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya sama halnya menjelma manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi. Untuk tidak terjebak pada keduanya, umat islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak zaman dahulu, umat islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain, ketika mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang filosof muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan kita agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini tentu mengandung anjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn Rusyd juga meneguhkan dengan untkapannya, “kita perlu menelaah apa yang diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus berhati-hati dan menghindarinya”.
Dengan begitu secara otomatis Ibn Rusyd mengiinkan umat islam untuk mengkritisi segala yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu dengan memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan modern kita tidak gagap, kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin rasanya menolak secara membabi-buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Dengan penyikapan yang kritis ini, kita dalam satu sisi kita tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.[6]
Banyak kalangan bingung memahami Islam dan Muslim. Pemimpin kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil; namun Osama Bin Laden dan teroris Muslim lainnya secara global membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden Goerge W Bush menyebut Islam sebagai agama damai; penginjil Franklin Graham memandang Islam sebagai agama setan. Samuel Huntington, profesor ternama dari Harvad dan penulis The Clash of Civilizations menulis “Islam berlumur darah di luar dan dalam”. Tetapi sebagaimana dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam telah menunjukkan lewat kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras.
Satu paragrap diatas menunjukkan realitas multi wajah Islam dan Muslim dewasa ini. Di sisi lain, makna implisit yang terkandung dalam satu paragrap diatas diatas adalah bahwasanya kehidupan beragama kita (Islam) tengah berada di bawah bayang-bayang globalisasi. Ketergantungan hidup terhadap globalisasi, pada gilirannya akan berpengaruh terhadap “cara pandang” (paradigma) beragama kita. Lalu muncul pertanyaan, sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya mampu bertahan di tengah kehidupan global yang modern? Di tengah kuatnya arus skularisasi?
Bila merujuk pada anasir-anasir para sosiolog bahwasanya agama akan sulit untuk bertahan di abad dua puluh satu, cukup membuat risau masyarakat beragama. Lihat saja penggalan kalimat terkenal “agama adalah candu” yang dianggap menjadi saripati konsepsi Marxis tentang gejala keagamaan. Ungkapan yang sama dapat kita temukan dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, juga Hencrich Heine.
Meski demikian, sampai hari ini; hari dimana kita hidup di abad dua puluh satu, menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama khususnya Islam masih menampakkan eksistensinya. Tidak berniat menisbikan ramalan sosiolog diatas, tapi fakta statistikal membeberkan bahwa Islam adalah agama dengan penganut terbesar di dunia hari ini. Dan porsi terbesar dari 1,5 miliyar warga muslim dunia bukanlah bangsa Arab, melainkan Asia atau Afrika.Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam bahkan hingga Eropa dan Amerika.[7]
Dalam kondisi yang demikian, untuk menjaga eksistensinya di era globalisasi Islam harus mampu menemukan posisi yang strategis dan memberikan sikap yang tegas terhadap banjir bandang globalisasi. Sikap yang bisa diambil oleh Islam dalam memandang globalisasi adalah mendukung, menolak, atau kompromi.
Dampak globalisasi bagi dunia islam
1.      Dampak positif :
Dampak positif, misalnya, makin mudahnya kita memperoleh informasi dari luar sehingga dapat membantu kita menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan masalah yang kita hadapi.  (Misalnya, melalui internet kini kita dapat mencari informasi dari seluruh dunia tanpa harus mengeluarkan banyak dana seperti dulu.  Demikian pula, dalam hal tenaga kerja, dana, maupun barang).  Di bidang ekonomi, perdagangan bebas antar negara berarti makin terbukanya pasar dunia bagi produk-produk kita, baik yang berupa barang atau jasa (tenaga kerja).
2.      Dampak negatif:
Dampak negatif yang paling nyata adalah perbenturan nilai-nilai asing, yang masuk lewat berbagai cara, dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa kita.  Mengingat agama Islam adalah agama yang berdasarkan hukum (syari’ah), maka perbenturan nilai itu akan amat terasa di bidang syari’ah ini.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Di abad dua puluh satu ini, kehidupan manusia seakan tidak berjarak dan terus menerus melakukan interaksi yang intensif secara global. Fakta ini mengantarkan manusia dalam meraih sederet perubahan sosial yang banyak dipengaruhi oleh proses globalisasi. Di banyak bidang termasuk agama, pengaruh globalisasi begitu kental.
Ada pengaruh yang baik dan juga pengaruh yang kurang baik, dan dalam keadaan ambiguitas yang demikian kehadiran agama dengan spirit keagamaan dan dengan mengusung norma-norma serta nilai-nilai agama begitu dibutuhkan denagn maksud agar kehidupan sosial manusia dapat bertahan dalam koridor-koridor yang telah di gariskan Tuhan melalui firmannya dalam kitab suci agama-agama.

B.     Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis. Amiin



DAFTAR PUSTAKA

Zainal Abiding Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama “Interpretasi Dan Aksi”, PT Mizan Pustaka, cet. 1, 2005, Bandung)

Bambang Pranggono, Sains Menggali Inspirasi Ilmiah, (Ide Islami, Bandung, 2006)

Nata, Abuddin. Metedologi Study Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo. 1998)

Esposito. Jhon L, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat, (Bandung : Mizan Pustaka, 2010)




[1] Zainal Abiding Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama “Interpretasi Dan Aksi”, PT Mizan Pustaka, cet. 1, 2005, Bandung) h, 21
[2] Zainal Abiding Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama “Interpretasi Dan Aksi … h, 24
[3] Bambang Pranggono, Sains Menggali Inspirasi Ilmiah, (Ide Islami, Bandung, 2006) h. 32
[4] Nata, Abuddin. Metedologi Study Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo. 1998) h. 55
[5] Nata, Abuddin. Metedologi Study Islam.  … h. 57
[6] Esposito. Jhon L, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat, (Bandung : Mizan Pustaka, 2010) h. 117
[7] Esposito. Jhon L, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat,  … h. 119

No comments:

Post a Comment