BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang Masalah
Isu
hubungan agama dan sains tidak selalu diisi dengan pertentangan dan
ketidaksesuaian Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antar keduanya.
Kalangan lain beranggapan bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat
ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda, memiliki wilayah masing-masing
yang terpisah baik segi objek formal-material (ontologi), metode penelitian
(epistemologi), serta peran yang dimainkan (aksiologi).
Di
akhir dasawarsa tahun 90-an, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya,
berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci).
Diskusi dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan teori “Empat Tipologi
Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)”. Yang menjadi
pemasalahannya adakah titik temu antara agma dan sains.
Sebagaimana
agama terakhir, Islam di ketahui memiliki karakteristik yang khas di bandingkan
dengan agama-agama datang sebelumnya. Melalui berbagai linteratur yang
berbicara tentang islam dapat di jumpai uraian mengenai pengertian agama Islam,
berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam itu perlu di kaji sejara seksama,
Sehingga dapat dihasilkan pemahaman Islam yang komprahensip hal ini perlu
dilakukan, karena kualitas pemahaman ke-Islaman seseorang akan mempengarui pola
piker, sikap, dan tindakan ke-Islama yang bersangkutan, Kita barang kali
sepakat terhadap kualitas ke-Islaman seseorang benar-benar komprahenship dan
berkualitas.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
hubungan antar islam dan saisn?
2. Bagaimana
hubungan antar islam dan budaya?
3. Bagaimana
hubungan antar islam dan isu global?
C. Tujuan
1. Untuk megetahui
hubungan antar islam dan saisn
2. Untuk
megetahui hubungan antar islam dan
budaya
3. Untuk megetahui
hubungan antar islam dan isu global
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam dan Sains
Setelah
kita mengetahui perbedaan mendasar
antara ilmu dan agama, serta berbagai persoalan yang meraka hadapi, maka kita
melihat kemungkinan titik temu antara keduanya. Sebenarnya, ilmu membantu agama
merevitalisasi diri dengan beberapa cara.
Pertama,
kesadaran kritis dan sikap dan sikap relitas yang dibentuk oleh ilmu sangatlah
berguana untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk
menghancurkan agama, melaikan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari
agama.
Kedua,
kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil sebuah kesimpulan yang dipupuk
dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk
tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan.
Ketiga,
lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa
tanggap memikirkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu
menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat,
temuan-temuan ilmu pengetahuan dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama
untuk makin mewujudkan idelismenya secara kongkrit, terutama yang menyangkut
kemanusiaan umum.[1]
Sebaliknya,
agama dapat membantu ilmu untuk tetap manusiawi, dan selalu menyadari
persoalan-persoalan konkreat yang mesti dihadapinya. Pertama, agama dapat
mengigatkan bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenarana, kedua,
agama dapat mengingatkan ilmu untuk senantias membela nilai kehidupan dan
kemanusiaan bahkan diatas kemajemukan pengetahuan itu sendiri. Ketiga, agama
dapat membantu ilmu mempedalam penjelajahan diwilayah adikodrati atau
supranatural. Keempat, agama bisa menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah
terjerusu kedalam mentalitas pragmatis-instrumental, yang mengnaggap bahwa
sesuat dianggap bernilai sejauh ada manfaatnya dan bisa digunakan untuk
kepentingan kita.
Maka,
kalau kita bicara integrasi antara keduanya, agaknya itu mesti tetap
dibayangkan sebagai sekedar interaksi. Masing-masing tetap layak memiliki
otonomi dan kekuatan khasnya sendiri. Mencampurkan keduannya akan menjadi
sebuah kekonyolan, yakni teologisasi ilmu, atau empirisasi teologi. Ini
kedua-duanya absurd, sebab dengan meneologisasika ilmu, otomatis bobot keilmuan
pun akan turun. Sebaliknya, mengempirikan teologi, meskipun bisa, akan menjadi
bagai mengempirikkan filsafat. Sebenarnya, seperti halnya filsafat, teologi
lebih banyak berurusan dengan tafsir misteri dan makna eksistensial, yang
kedalaman maupun keluasannya melebihi wilayah kompetensi ilmu empirik. Dan
juga, landasan dasar teologi adalah kitab suci dan realitas supranatural, yang
menyebabkan teologi tidak pernah bisa menggunakan nalar dengan keleluasan
sebebas penalaran ilmu empirik.[2]
Jika
yang dibayangkan adalah interaksi agama dan ilmu, maka yang paling realistis
adalah sekadar memberi peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya interaksi
itu. Dan iteraksi itu bisa berupa saling mengkritik ataupun saling
mendekonstruksi, tetapi ini semata-mata agar ilmu dan agama mampu untuk selalu
mentransendensi dirinya sendiri, dengan cara mendobrak ketertutupan atau
stagnasi masing-masing.
Hubungan
antara sains dan agama tidak selalu harmonis, konflik terjadi ketika teori
sains berbentutran dengan ajaran agama yang diterjemahkan secara harpiyah oleh
G. Barbour. Lihat saja tragedy ilmuwan Galileo Galilei yang dihukum mati pada
tahun 1663 ketika mengeluarkan teori heleosentris dari Necolaus Copernicus. Hal
ini dianggap menentang doktrin gereja yang waktu itu menganut paham geosentris
dari Ptolemaeus yang didukung oleh Aristoteles. Teori evolusi Darwin dianggap
melecehkan doktrin penciptaan Alkitab, sehingga diusulkan untuk dilarang di
Arkansas.
Dalam
islam, konplik antara sain dan agama juga terjadi walaupun tidak separah itu.
Misalnya, ada ulama yang membantah adanya astronot Amerika bisa mendarat di Bulan, dengan dalih bahwa
benda langit itu suci maka tidak mungkin manusia kafir menyentuhnya. Atau
mereka yang tetep menolak hasil USG yang bisa mengetahui jenis kelamin janin
didalam perut ibunya. Dengan dalih, hanya Allah saja yang bisa tahu apa yang
didalam rahim. Ramalan hujan hasil penginderaan satelit cuaca juga ditolak
karena hanya Allah saja yang tahu kapan turun hujan. Penafsiran terhadap kitab
suci adalah salah satu penyebab konflik tadi. Apalagi bila kosmologi pra-agama
dianggap sebagai rukun iman.[3]
B. Islam dan
Budaya
Dari
segi kebahasaan Isalm berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat sentosa dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah
menjadi bentuk Aslama yang berarti berserah diri dalam kedamaian.
Adapun
pengertian Islam dalam segi istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber
pada wahyu yang datang dari Allah SWT bukan berasal dari manusia dan bukan pula
berasal dari nabi Muhammad SAW.[4]
Kebudayaan
adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang
berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hokum, moral adat istiadat, dan
segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dan ada
juga kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batil (akal
budi) manusia kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan
(usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk
hasi kebudayaan.
Dari
pengertian penjelasan di atas kata Islam dekat dengan arti agama begitu juga
hubungan agama dan kebudayaan dalah dua bidang yang dapat di bedakan tetapi
tidak dapat di pisahkan. Agam bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan
waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah
dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya di
dasarkan pada agama, tidak pernah sebaliknya.
Oleh
karena itu agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa
merupakan ekspresi hidup keagamaan, dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa
pada tingakat praktis, Agam Islam merupakan produk budaya karena ia tumbuh dan
berkembang melalui pemikiran ulama’ dengan cara ijtihad, Disamping itu, Ia
tumbuh dan berkembang karena terjadi interaksi social masyarakat.[5]
C. Islam dan
Isu Global
Isu Globalisasi
merupakan fenomena yang tak terbantahkan
kedatangannya. Jika umat islam menutup diri dan acuh tak acuh sama halnya
dengan mengggali kuburan untuk kematiannya sendiri, sedangkan membuka diri
tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya sama halnya menjelma manusia
robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi. Untuk tidak
terjebak pada keduanya, umat islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan
yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak
zaman dahulu, umat islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain,
ketika mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang
filosof muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan
kita agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini
tentu mengandung anjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian hari.
Ibn Rusyd juga meneguhkan dengan untkapannya, “kita perlu menelaah apa yang
diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur
mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan
senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita
harus berhati-hati dan menghindarinya”.
Dengan
begitu secara otomatis Ibn Rusyd mengiinkan umat islam untuk mengkritisi segala
yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu
dengan memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan
modern kita tidak gagap, kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam
sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin
rasanya menolak secara membabi-buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat
bagi umat manusia. Dengan penyikapan yang kritis ini, kita dalam satu sisi kita
tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tidak
terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.[6]
Banyak
kalangan bingung memahami Islam dan Muslim. Pemimpin kaum Muslim mengatakan
bahwa Islam adalah agama damai dan adil; namun Osama Bin Laden dan teroris
Muslim lainnya secara global membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden
Goerge W Bush menyebut Islam sebagai agama damai; penginjil Franklin Graham
memandang Islam sebagai agama setan. Samuel Huntington, profesor ternama dari
Harvad dan penulis The Clash of Civilizations menulis “Islam berlumur darah di
luar dan dalam”. Tetapi sebagaimana dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam
telah menunjukkan lewat kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi
beragama dan kemitraan ras.
Satu
paragrap diatas menunjukkan realitas multi wajah Islam dan Muslim dewasa ini.
Di sisi lain, makna implisit yang terkandung dalam satu paragrap diatas diatas
adalah bahwasanya kehidupan beragama kita (Islam) tengah berada di bawah
bayang-bayang globalisasi. Ketergantungan hidup terhadap globalisasi, pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap “cara pandang” (paradigma) beragama kita.
Lalu muncul pertanyaan, sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya mampu
bertahan di tengah kehidupan global yang modern? Di tengah kuatnya arus
skularisasi?
Bila
merujuk pada anasir-anasir para sosiolog bahwasanya agama akan sulit untuk
bertahan di abad dua puluh satu, cukup membuat risau masyarakat beragama. Lihat
saja penggalan kalimat terkenal “agama adalah candu” yang dianggap menjadi
saripati konsepsi Marxis tentang gejala keagamaan. Ungkapan yang sama dapat
kita temukan dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, juga
Hencrich Heine.
Meski
demikian, sampai hari ini; hari dimana kita hidup di abad dua puluh satu,
menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama khususnya Islam masih menampakkan
eksistensinya. Tidak berniat menisbikan ramalan sosiolog diatas, tapi fakta
statistikal membeberkan bahwa Islam adalah agama dengan penganut terbesar di
dunia hari ini. Dan porsi terbesar dari 1,5 miliyar warga muslim dunia bukanlah
bangsa Arab, melainkan Asia atau Afrika.Fakta ini menunjukkan bahwa telah
terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam bahkan hingga Eropa dan Amerika.[7]
Dalam
kondisi yang demikian, untuk menjaga eksistensinya di era globalisasi Islam
harus mampu menemukan posisi yang strategis dan memberikan sikap yang tegas
terhadap banjir bandang globalisasi. Sikap yang bisa diambil oleh Islam dalam
memandang globalisasi adalah mendukung, menolak, atau kompromi.
Dampak
globalisasi bagi dunia islam
1. Dampak positif
:
Dampak
positif, misalnya, makin mudahnya kita memperoleh informasi dari luar sehingga
dapat membantu kita menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan
masalah yang kita hadapi. (Misalnya,
melalui internet kini kita dapat mencari informasi dari seluruh dunia tanpa
harus mengeluarkan banyak dana seperti dulu.
Demikian pula, dalam hal tenaga kerja, dana, maupun barang). Di bidang ekonomi, perdagangan bebas antar
negara berarti makin terbukanya pasar dunia bagi produk-produk kita, baik yang
berupa barang atau jasa (tenaga kerja).
2. Dampak negatif:
Dampak
negatif yang paling nyata adalah perbenturan nilai-nilai asing, yang masuk
lewat berbagai cara, dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh sebagian besar
bangsa kita. Mengingat agama Islam
adalah agama yang berdasarkan hukum (syari’ah), maka perbenturan nilai itu akan
amat terasa di bidang syari’ah ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di
abad dua puluh satu ini, kehidupan manusia seakan tidak berjarak dan terus
menerus melakukan interaksi yang intensif secara global. Fakta ini mengantarkan
manusia dalam meraih sederet perubahan sosial yang banyak dipengaruhi oleh
proses globalisasi. Di banyak bidang termasuk agama, pengaruh globalisasi
begitu kental.
Ada
pengaruh yang baik dan juga pengaruh yang kurang baik, dan dalam keadaan
ambiguitas yang demikian kehadiran agama dengan spirit keagamaan dan dengan
mengusung norma-norma serta nilai-nilai agama begitu dibutuhkan denagn maksud
agar kehidupan sosial manusia dapat bertahan dalam koridor-koridor yang telah
di gariskan Tuhan melalui firmannya dalam kitab suci agama-agama.
B. Saran
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah
ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah
ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik
saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
Zainal Abiding Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama
“Interpretasi Dan Aksi”, PT Mizan Pustaka, cet. 1, 2005, Bandung)
Bambang Pranggono, Sains Menggali Inspirasi
Ilmiah, (Ide Islami, Bandung, 2006)
Nata, Abuddin. Metedologi Study Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo. 1998)
Esposito. Jhon L, Masa Depan Islam : Antara
Tantangan Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat, (Bandung : Mizan Pustaka, 2010)
[1] Zainal Abiding Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama “Interpretasi Dan
Aksi”, PT Mizan Pustaka, cet. 1, 2005, Bandung) h, 21
[6] Esposito. Jhon L, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajmukan
dan Benturan Dengan Barat, (Bandung : Mizan Pustaka, 2010) h. 117
[7] Esposito. Jhon L, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajmukan
dan Benturan Dengan Barat, … h. 119
No comments:
Post a Comment