BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara
lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998),
dan ke-109 (1999).
Menurut
survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia
berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia
(2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari
lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki
abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut
bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah
satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan
terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran
baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain.
Yang
kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan.
Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita
membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang
dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh
karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia
yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah
kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan
di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,
baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang
mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di
berbagai bidang.
Kualitas
pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari
20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036
SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah
pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia
pendidikan yaitu:
1.
Rendahnya
sarana fisik,
2.
Rendahnya
kualitas guru,
3.
Rendahnya
kesejahteraan guru,
4.
Rendahnya
prestasi siswa,
5.
Rendahnya
kesempatan pemerataan pendidikan,
6.
Rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7.
Mahalnya
biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di
atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “Identifikasi
Maslah pendidikan, analisis dinamika dalam pendidikan, praktek lapangan
manajemen pendidikan”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
permasalahan pendidikan di Indonesia?
2.
Bagaimana
analisis dinamakan pendidikan?
3.
Bagaimana
praktek manajemen pendidikan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui permasalahan pendidikan di Indonesia
2.
Untuk
mengetahui analisis dinamakan pendidikan
3.
Untuk mengetahui
praktek manajemen pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Identifikasi Permasalahan Pendidikan di Indonesiia
Seperti
yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal
ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru
tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada
siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi
guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru
lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman
mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang
mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan
berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak
guru-guru berpengalaman yang pensiun.[1]
Sarana
pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di
Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk
di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang
benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan
mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya,
antara lain guru dan sekolah.
Di
bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia secara umum, yaitu:
1.
Efektifitas
Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang
memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan
dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik
(dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan
keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah.
Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah
satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm
kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan
pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai
gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah
terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin
tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan
formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya
manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut,
yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan
dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang
menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil
pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh
orang lain.[2]
2.
Efisiensi
Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari
suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan
jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik
tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika
kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya,
hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia
adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan,
mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses
pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya
manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah
menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia
relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak
mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan
di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan
rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia,
masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita
lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika
dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya,
ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan
diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika
kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang
menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga
pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas
juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga,
karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi
pendidikan formal yang dinilai kurang.[3]
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam
meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem
pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
3.
Standardisasi
Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita
ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan
diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang
dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka
yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang
harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi
standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan
kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan
terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an
kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan
baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan
Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk
meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya
bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh
standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan
tersebut.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan
di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang
menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.[4]
a)
Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk
sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
b)
Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan
guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai
cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang
rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
c)
Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam
pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji,
tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang
berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
d)
Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
e)
Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi
masalah ketidakmerataan tersebut.[5]
f)
Rendahnya
Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS
(1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka
yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan
15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta
anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
g)
Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha.
B.
Analisis Dinamika Pendidikan
Sampai saat ini 88,8 persen sekolah di
indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan
minimal. Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru,
bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran
dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang Sekolah Dasar
(SD) baru 3,29% dari 146.904 yang masuk kategori sekolah standar nasional,
51,71% katekori standar minimal dan 44,84% dibawah standar pendidikan minimal.
pada jenjang SMP 28,41% dari 34.185, 44,45% berstandar minimal dan 26% tidak
memenuhi standar pelayanan minimal. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan
di indonesia tidak terpenuhi sarana prasarananya.
Menurut kami dengan melihat data di atas
ternyata pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan, ironis bila
dengan adanya data semacam itu akan mampu memupuk daya kreativitas dan
menfasilitasi bakat maupun minat siswa dalam mengembangkan diri.
Selanjutnya yang perlu di perhatikan adalah
adalah Kurikulum Dan Sekolah. Bagi ahli Sosiologi kurikulum adalah lebih dari
pada tex-bok,lebih dari pada subjek matter, lebih dari pada rangkaian, dan
bahkan lebih dari pada pelajaran khusus. Menurut Brown; kurikulum merupakan
situasi kelompok yang tersedia bagi guru dan pengurus sekolah (administrator)
untuk membuat tinkah laku yang berubah di dalam arus yang tidak putus-putusnya
dari anak-anak dan pemuda yang melalui pintu sekolah.
Dalam hal ini Brown mengambil suatu
kesimpulan: bahwa ada 3 prinsip sosiologi tertentu di dalam memandang subjek
matter secara keseluruhan.
1. Bahwa
perubahan kurikulum itu bersifat gradual “berangsur-angsur; sedikit demi
sedikit”, mencerminkan nilai dasar kulturil dari masyarakat, dan pada saat yang
sama menunjukan pekerjaan yang efektif dalam pengarahan nilai-nilai yang paling
tinggi.
2. Subjek matter
(“bahan”) di sekolah pasti berfungsi dalam hubungan dengan orang dewasa, dan
serempak dengann itu di sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan
3. perkembangan
anak.
4. Subjek matter
pasti terus menerus merubah mnuju pada yang efektif dari tujuan social yang
telah di tentukan.
Dari segelintir permasalah yang perlu di
perhatikan dalam pendidikan di Indonesia di anataranya adalah:
Pertama; terkait masalahan kurikulum,
kurikulum harus di sesuaikan dengan tujuan pendidikan. Adapun tujuan umum
pendidikan Nasional ialah:
1. Misi nasional
yang mencakup pembinaan mental.
a) Mental Pancasila
b) Kesatuan dan
persatuan bangsa
c) Pertahanan
nasional.
2. Misi social
budaya yang meliputi pembinaan:
a) Kebudayaan
nasional
b) Hak asasi
manusia
c) Ruf of law
(berpegang pada hukum)
3. Misi
pembangunan dan modernisasin yang menyangkut pembinaan :
a) Rasionalitas,
efisiensi, produktifitas
b) Ilmu
pengetahuan dan teknologi
Kedua ; permasalahan Putus sekolah, putus
sekolah merupakan predikat yang di beriakan kepada mantan peserta didik yang
tidak mampu menyelesaiakn suatujenjang pendidikan, sehingga tidak dapat
melanjutkan jenjang studinya ke jenjang pendidikan berikutnya, misalnya seorang
warga masyarakat/anak yang hanya mengikuti pendidikan di sekolah dasar sampai
kelas 5 (lima), di sebut sebagai putus sekolah SD (belum tamat SD/ tanpa STTB).
Demikian juga seorang warga masyarakat yang ber-STTB SD kemudian mengikuti
pendidikan di SMP sampai kelas 2 (dua) saja, di sebut putus sekolah SMP, dan
seterusnya.
Bila warga masyarakat telah tamat
SD/SMP/SMTA/PT dan memiliki STTB/ ijazah Negara yang sah, maka ia di sebut
berpendidikan yang tertinggi SD/SMP/SMTA/PT, sehingga jika ia bekerja sebagai
pegawai negeri sipil (PNS) ia memperoleh efek sipil sesuia undang-undang nomor
8tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian repeblik Indonesia.[6]
Dari situ bila kita melihat data anak putus
sekolah Anggota Komisi X DPR RI Raihan Iskandar
menyebutkan ada sekitar 10,268 juta siswa yang tak menuntaskan jenjang
SD dan SMP. Di sisi lain, ada sekitar 3,8 juta siswa yang tak dapat melanjutkan
ke jenjang SMA[6] .
Fakta di atas menarik dicermati. Pada tahun
2012 ini, anak putus sekolah masih dimungkinkan terjadi. Faktor ekonomi
kerapkali menjadi hambatan. Meskipun ada bantuan operasional sekolah (BOS),
dana tersebut ternyata belum mampu mengatasi anak putus sekolah. Mendikbud,
Mohammad Nuh, malah akan meningkatkan dana BOS tahun 2012 untuk menekan siswa
drop out dan tak dapat melanjutkan sekolah.
Harus diakui persoalan kemiskinan di negeri
ini masih pelik. Siswa dari keluarga miskin cenderung menjadi korban dari
mahalnya biaya pendidikan di sekolah. Ukuran mahal dan tidak mahal memang
relatif, namun kenyataan menunjukkan sebagian masyarakat belum mampu menopang
tuntutan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya. Padahal, setiap anak
bangsa dari kalangan mana pun berhak mengembangkan kemampuan dan kapasitas dirinya
melalui penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berkualitas. Pertanyaan,
apakah anak menempuh pendidikan di sekolah hanya tanggung jawab negara?
Dalam konstitusi, negara memang berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya. UUD 1945 Pasal 31 (2) malah
menegaskan kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar warga negaranya.
Mengacu pada UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
pendidikan dasar adalah SD/MI dan SMP/MTs. Bahkan, dalam Bab VIII Pasal 34 (2)
UU tersebut disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.
Ketiga ; Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita
yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya
Dua ; Rendahnya Kualitas Guru Keadaan guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di
Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada
umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa
memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan
mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara
kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk.
Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD
1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru
ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau
sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah
yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga
hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan
simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik
menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran
yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak
memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih
banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru
yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan
seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan
SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia
sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi
seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara
seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti
kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan
kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para
siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya
faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik
sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar
memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung
jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih
rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Dan masih banyak permasalahan dalam
pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis hanya menyebutkan
beberapa masalah dari beberapa permasalahan pendidikan di Indonesia.
C.
Teori Manajemen Pendidikan
Teori manajemen merupakan istilah umum yang
digunakan secara longgar untuk menunjukkan temuan-temuan riset, kerangka
analisis, proposisi, kepercayaan, pandangan, pengamatan dan usulan yang
semuanya berusaha menjelaskan bagaimana para manajer seharusnya melakukan
pekerjaan manajemen (Huczynski:1996). Teori manajemen adalah bauran dari banyak
hal dari berbagai ragam kontribusi yang tidak tersusun rapi, teori ini dimulai
pada awal abad ke-20. Sedangkan pada teori birokrasi Max Weber disusun dalam
konteks historis-filosofis. Weber adalah ahli sosiolog Jerman (1864-1920) bukan
seorang manajer, insinyur atau konsultan manajemen. Minatnya adalah proses
perubahan sosial, dan khususnya, efek rasionalitas terhadap pemikiran agama dan
kapitalisme. Rasionalitas yang dimaksud Weber adalah semacam aksi atau model
mengorganisasi dimana segala tujuan ditetapkan secara jelas, semua tindakan
kecuali yang di desain untuk meraih tujuan tertentu dieliminasi.
Aplikasi konsep rasionalisme Weber terhadap
konteks organisasi merupakan sesuatu yang menjamin posisi unggul para ilmuwan
dalam pemikiran manajemen modern. Istilah yang diterapkan Weber pada bentuk
organisasi yang dibangun di atas wewenang legal rasional yang murni adalah
‘Birokrasi’. Konsep ini untuk menciptakan suatu dunia yang stabil dan bisa
diramalkan, terkait dengan implikasi dalam manajemen pendidikan islam yakni diantaranya:
birokrasi madrasah harus memiliki spesialisasi dalam arti memiliki visi, misi,
perencanaan program dan strategi pelaksanaan, serta tujuan yang jelas dan
terukur, tinjau ulang aturan yang tidak berkaitan langsung, menjaga
impersonalitas dengan kode etik kebersamaan, serta memiliki pendidik dan tenaga
kependidikan yang penuh waktu bukan sebagai sambilan.
Teori manajemen saintifik Frederieck Winslow
Taylor (identik dengan pengukuran kinerja dan studi waktu dan gerak (time and
motion study) yaitu diantaranya: memfokuskan pada organisasi pertokoan, dan
terhadap teknik-teknik yang bisa digunakan untuk memaksimalkan produktivitas
para pekerja harian dikembangkan pada permulaan abad ke-20, Taylor mendasarkan
karyanya pada studi yang akurat dan saintifik mengenai pekerjaan. Pedoman dasar
yang diciptakanya banyak digunakan dalam mendesain pekerjaan selama abad
keduapuluh. Dalam teori ini memiliki prinsip yaitu: pembagian tugas dan
tanggungjawab antara pihak manajemen dan pihak para pekerja jelas, seleksi dan
pelatihan saintifik terhadap para pekerja, pengembangan suatu cara bekerja yang
terbaik (one best way), serta penerapan insentif ekonomi kepada para pekerja.
Sasaran pada prinsip tersebut untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi
biaya.
D.
Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di
Indonesia
Untuk
mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat
diberikan yaitu:
Pertama,
solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka,
solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal
pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya
biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan
sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer
sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib
dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua,
solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah
kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka,
solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas
dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kualitas
pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan
kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab
utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih
kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
1.
Rendahnya
sarana fisik,
2.
Rendahnya
kualitas guru,
3.
Rendahnya
kesejahteraan guru,
4.
Rendahnya
prestasi siswa,
5.
Rendahnya
kesempatan pemerataan pendidikan,
6.
Rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7.
Mahalnya
biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari
permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta
prestasi siswa.
B.
Saran
Perkembangan
dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem
pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam
segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar
tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan
meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan
semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat
dalam segala bidang di dunia internasional.
DAFTAR PUSTAKA
H. Ahmadi, Sosiologi
Pendidikian, (Jakarta, 2007, Rineka Cipta)
Amin Abdullah
dkk, Sosiologi Reflektif ( Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006).h 107
E.Mulyasa, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Suatu Panduan Praktis, ( Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya, 2007)
Wina Sanjaya, Pembelajaran
dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2008)
[1] H.
Ahmadi, Sosiologi Pendidikian, (Jakarta, 2007, Rineka Cipta) hal,07
[2] Amin
Abdullah dkk, Sosiologi Reflektif ( Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2006).h 107
[3] E.Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Suatu Panduan
Praktis, ( Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007), h.22
[4] E.Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Suatu Panduan
Praktis, … h.25
[5] Amin
Abdullah dkk, Sosiologi Reflektif … h 110
[6] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h.6
No comments:
Post a Comment