BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan
dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan
instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah
sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era
reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era
reformasi dari pada era sebelum reformasi.[1] Perlu
diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup
bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM
terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita
sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang
HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”.
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang
melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu
anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. hakikat Hak Asasi
Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia
secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara
individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan
negara.
Berdasarkan
beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang
beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
1. HAM tidak perlu
diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara
otomatis.
2. HAM berlaku untuk
semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik
atau asal usul sosial, dan bangsa.
3. HAM tidak bisa
dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak
orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang
tidak melindungi atau melanggar HAM.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang
apakah HAM itu, bagaimana pemikiran-pemikiran dalam perkembangannya, mari kita
lihat dalam uraian di bawah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan Hak Asasi Manusia?
2.
Bagaimana perkembangan
HAM di Indonesia?
3.
Bagaimana
sejarah nasional tentang HAM?
4.
Bagaimana
undang-undang yang mengatur tentang HAM?
5.
Apa saja
contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
C.
Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan HAM
2. Mengetahui perkembangan HAM di Indonesia
3. Untuk mengetahui sejarah nasional tentang HAM
4. Untuk mengetahui undang-undang yang mengatur
tentang HAM
5. Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hak Azasi Manusia
HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia,tanpa
hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.Menurut John Locke
HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
sebagai hak yang kodrati. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[2]
Ruang lingkup HAM meliputi: Hak pribadi: hak-hak persamaan hidup,
kebebasan, keamanan, dan lain-lain;
1.
Hak milik
pribadi dan kelompok sosial tempat seseorang berada;
2.
Kebebasan
sipil dan politik untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; serta
3.
Hak-hak
berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.
Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya
menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi
kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemerintah (Aparatur
Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan negara. Dapat ditarik kesimpulan
tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :[3]
1.
HAM tidak
perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia
secara otomatis.
2.
HAM
berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,
pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
3.
HAM tidak
bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar
hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum
yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.[4]
Menurut John
Locke
HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha
Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian,
maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap
manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.[5]
HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia,tanpa
hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.Menurut John Locke
HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
sebagai hak yang kodrati. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[6]
Menurut Prof.
Dr. A. Gunawan Setiardja
HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya,
jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.
Menurut UU
no. 39 tahun 1999
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan di lindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat
manusia.
Dari beberapa pengertian mengenai HAM di atas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang
bersifat kodrati sebagai anugerah Tuhan dan hak-hak itu harus dihormati dan
dijunjung tinggi oleh siapa pun. Penghormatan dan perlindungan terhadap HAM
diwujudkan dengan menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui
keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan
perorangan dengan kepentingan umum.
B.
Perkembangan
HAM di Indonesia
Hak Asasi Manusia di Indonesia
bersumber dan bermuara pada Pancasila, yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat
jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila
dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan
garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi
bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan
dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini
disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara
multak tanpa memperhatikan hak orang lain.Setiap hak akan dibatasi oleh hak
orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang
lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Negara Republik Indonesia mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak
yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Berbagai instrumen
hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni: [7]
1. Undang – Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia
3. Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
Di Indonesia
secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan
menjadi sebagai berikut :
1.
Hak – hak
asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat,
kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
2.
Hak – hak
asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak
untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
3.
Hak – hak
asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,
hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai
politik.
4.
Hak asasi
untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of
legal equality).
5.
Hak – hak
asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk
memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
6.
Hak asasi
untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural
rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan,
dan peradilan.
Secara konkret
untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia
sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998.
C.
Sejarah
HAM di Indonesia
1.
Periode
Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Perkembangan
HAM di Indonesia muncul dengan lahirnya beberapa organisasi pergerakan
nasional, antara lain Budi Utomo yang menyerukan kebebasan. Dalam konteks
pemikiran HAM Budi Utomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan
mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah
kolonial maupun yang dimuat surat kabar Goeroe Desa.[8]
Selanjutnya
pemikiran HAM pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh para tokoh
organisasi seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamonjak, Ahmad Soebardjo, A. A.
Maramis dsb. Pemikiran para tokoh tersebut lebih menitik beratkan pada hak
untuk menentukan nasib sendiri.
Kemudian
Serikat Islam, organisasi kaum santri yang dipelopori oleh H. Agus Salim dan
Abdul Muis, menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak
dan bebas dari penindasan dan diskriminasi sosial.
Sedangkan
pemikiran HAM dalam pandangan Partai Komunis Indonesia sebagai partai yang
berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan
menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat produksi.
Pemikiran
HAM yang paling menonjol pada Indische Partij yaitu pemikiran yang menekankan
pada hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.[9]
Pemikiran
HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi dalam perdebatan Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan
Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain.
Perdebatan ini berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum,
hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan untuk memeluk agama dan kepercayaan,
hak berserikat, hak berkumpul, hak mengeluarkan pendapat, hak mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan. Dengan demikian gagasan pemikiran HAM di
Indonesia telah menjadi perhatian besar dari para tokoh pergerakan bangsa dalam
rangka penghormatan dan penegakan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai
akar sejarah yang kuat.
2.
Periode
Setelah Kemerdekaan
Periode 1945-1950
Pada
periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka,
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, dan kebebasan
menyampaikan pendapat terutama dalam parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam
hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945. Komitmen terhadap HAM pada awal
kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Presiden tanggal 1 November
1945 yang menyatakan: “... sedikit hari
lagi kita akan mengadakan pemilihan umum bukti bahwa bagi kita cita-cita dan
dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan
negara kita. Mungkin sebagai akibat dari pemilihan itu pemerintah akan berganti
dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.”
Hal
yang sangat penting kaitannya dengan HAM adalah dengan adanya perubahan
mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintah dari sistem presidensil
menjadi parlementer.
Periode
1950-1959
Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan karena demokrasi parlementer mendapatkan
tempat di kalangan elit politik. Menurut Prof. Bagir Manan, masa gemilang
sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM:
a.
Munculnya
partai-partai politik dengan beragam ideologi.
b.
Adanya
kebebasan pers.
c.
Pelaksanaan
pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratis.[10]
d.
Kontrol
parlemen oleh eksekutif.
e.
Perdebatan
HAM secara bebas dan demokratis.
Periode
1959-1966
Periode ini merupakan berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh
Demokrasi Terpimpin yang berpusat pada kekuasaan presiden Soekarno. Melalui
sistem Demokrasi Terpimpin kekuasaan terpaut pada presiden Soekarno. Presiden
tidak dapat dikontrol oleh parlemen dan bahkan sebaliknya. Akibat langsung dari
model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi
warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan
kebijakan pemerintah yang otoriter.
Periode
1966-1998
Sama halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi
sebagai produk barat yang individualistis dan bertentangan dengan prinsip
gotong-royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Penolakan
Orde Lama terhadap konsep universal HAM adalah:
1.
HAM adalah
produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa
Indonesia.[11]
2.
Bangsa
Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM yang tertuang dalam rumusan UUD
45.
3.
Isu HAM
sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia.
Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia
dengan berakhirnya Orde Baru di bawah kekuasaan rezim Soeharto. Pada tahun ini
Soeharto digantikan oleh wakil presiden saat itu yaitu B.J. Habibie.
Pada pemerintahan Habibie perhatian pemerintah terhadap HAM mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, lahirnya Tap MPR no. XVII/MPR/1998 tentang
HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah dalam penegakan HAM.
Kesungguhan pemerintahan Habibie dalam perbaikan pelaksanaan Ham
ditunjukkan dengan pencanangan program Ham yang dikenal dengan istilah Rencana
Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998, yang bersandarkan pada 4 pilar yaitu: [12]
a.
Persiapan
pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
b.
Diseminari
dan pendidikan tentang HAM
c.
Penentuan
skala prioritas tentang HAM
d.
Pelaksanaan
isi perangkat Internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui
perundang0undangan Nasional.
Komitmen Pemerintah dalam penegakan HAM juga ditunjukkan dengan
pengesahan UU HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian
digabung dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen
Kehakiman dan HAM. Pada tahun 2001, Indonesia juga menandatangani dua protokol
hak anak yakni terkait perdagangan anak, prostitusi, dan pornografi anak, serta
protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata.
Menyusul kemudian, pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan
UU di antaranya tentang perlindungan anak, penghapusan KDRT, dan penerbitan
Keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia tahun2004-2009.
3.
Sejarah Nasional Hak Asasi Manusia
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan
sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat
kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam
Perang Dunia II. Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar
(antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua
bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. [13]
Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling
menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar
negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka
peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke
dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa
menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai
setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya
mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi
HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah
intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah
bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah
mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi
Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk
mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang
bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya,
bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar
nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar
belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi
ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk
semua.[14]
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai
contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis
dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak
(Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat,
maka Raja harus mengalah.
Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih,
maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot
sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang
diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka
mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM
sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol
karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan
hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi.
Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights
mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights
sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan
masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa
kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang
lain.
Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing
hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh :
seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu
memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu
dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak
perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa
dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan
masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan
masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan
tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi
tidak memperkosa hak-hak orang lain. Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM
di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya,
Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam
implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya
negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. [15]
Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak
terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik,
sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja
berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi
yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal
itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik
dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi
tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan
kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu
tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat
yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Oleh
karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa
diciptakan kondisi seperti itu ?
4. Kewajiban Asasi
Manusia
Hakekatnya dalam kehidupan manusia ada dua dimensi
kehidupan yaitu dimensi individu dan dimensi sosial. Pada tataran individu,
seseorang akan membangun pada dirinya praktek dan pengembangan nilai yang akan
mengarahkan berbagai tindakan dirinya dalm upaya mencapai rasa puas diri.
Walaupun demikian rasa puas diri yang hendak dicapai dapat dibagi dalam dua
gradasi yaitu gradasi pertama adalah adanya kebutuhan dan keinginan yang
bersifat individu. Pada gradasi kedua yang bersifat lebih tinggi adalah
kesadaran sosial juga mempunyai jenis kebutuhan sosial dan keinginan sosial.
Pada tataran individu, cara mencapainya tentu tidak diperkenankan bila kehendak
tersebut bila akan dieksekusi sudah
jelas akan merugikan orang lain, demikian pula pada level kehidupan sosial.[16]
Pada tataran praktek, seseorang yang mempunyai self
awareness yang akan dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Peran
agama yang merupakan rujukan nilai yang akan membentuk dan memancarkan
perilakunya disamping akar budayanya, bila diaktualisasikan akan memancarkan
pola praktek kewajiban manusia. Dalam konteks atau semangat ini, maka semua
agama telah jelas mengajarkan nilai-nilai toleransi dan pembentuk motivasi
perilaku luhur, baik untuk tujuan ke-akheratan maupun untuk tujuan
ke-duniawi-an.
Demikian pula dalam konstruksi hubungan dan perilaku
sosial, misalnya, agama Islam telah memberikan rujukan nilai seperti mekanisme
musyawarah dalam menyelesaikan persoalan, kemudian tolong-menolong dalam hal
kebaikan, tanpa melihat perbedaan agama, suku, status sosial dll. Nilai-nilai
seperti ini yang perlu dilakukan re-aktualisasinya dalam konstruksi hubungan
sosial dalam wadah Indonesia ini sehingga menumbuhkan proses-proses
sinergitas-positif. Bila keadaan ini yang terjadi maka proses pensejahteraan
bangsa tentu akan lebih terpacu atau lebih akseleratif. Karenanya dimensi
hubungan horizontal dalam nilai-nilai agama ini yang perlu mendapat prioritas
dalam aktualisasi diri, baik sejak pemahamannya maupun dalam aspek
praktikalitasnya. Maka karakter yang membentuk perilaku ini sesungguhnya
merupakan kewajiban asasi manusia (KAM) sebagai makhluk ibadah.[17]
Maka dalam sebuah komunitas yang bernama bangsa yang
dibangun atas kesamaan nilai-nilai budaya, maka dalam wadah kebangsaan perlu
dibangun sebuah konstruksi teologi yang mampu keluar dari kesempitan (aliran)
agama dan mampu mendorong umat menyapa baik komunitas internalnya maupun yang
di luarnya. Ada dua hal yang potensial yang dapat dicapai dalam pengembangan
teologi kebangsaan. Pertama, sikap bahwa manusia tidak mungkin dapat hidup
sendiri, maka dalam kesadaran ini “semangat memberi” (giver) merupakan sikap
terbaik sebagai pengganti dari
sikap selalu menuntut hak, tanpa diimbangi dengan pengertian adanya kewajiban
(taker).
Kedua, dalam beragama dan soal-soal keagamaan, yang
mendorong manusia sebagi makhluk ibadah untuk selalu berbuat baik dapat dikembangkan menjadi perilaku yang baku
dan menjadi sikap yang tidak ter-buru-buru atau mudah menggunakan alasan agama
untuk menghakimi orang lain.Untuk itu, bila dengan berbagai kejadian yang ada
didunia ini dapat dianggap sebagai sedang terjadinya krisis nilai, yang
merupakan akar dari berbagai krisis yang ada, maka bila digunakan teori seven
habit-nya Covey, maka pada tataran : Kemauan – Mengutamakan yang Utama (First
Thing First- Yang penting dan mendesak) dengan penjelasan sebgai berikut :
Kemampuan manusia berupa kemauan apabila diaktualkan
secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup teratur – mengutamakan yang
utama, dan penuh displin dalam membuat tata letak antara prioritas utama,
kepentingan, dan urgensitas. Keteraturan dan displin tidak dapat diraih tanpa
kemauan keras untuk merebut tanggung jawab. Orang yang tahu tata letak akan
membuat kebiasaan hidup efektif.
Pada level aktualisasi yang rendah, kemampuan ini akan menghasilkan
kebiasaan hidup berupa mentalitas jalan-pintas, atau the simple answer, menolak
tanggung jawab hidup sehingga tidak terjadi keteraturan. Membesar-besarkan hal
yang kecil dan mengabaikan hal yang menjadi benih-benih peristiwa besar (kebocoran atau kemampetan talang). Orang yang malas tidak berarti hidupnya
efektif meskipun ia menolak bertanggung jawab karena pada dasarnya hidup ini
tidak memberi pilihan antara bertanggung
jawab atau tidak, melainkan harus bertanggung jawab. [18]
Maka dalam hal ini dalam asumsi sedang terjad
globalisasi krisis nilai, maka nilai utama atau First Thing First yang harus
ditegakkan saat ini adalah mulai dengan menegakkan dan mempraktekkan “kewajiban
asasi manusia” atau (KAM). Marilah bangsa indonesia membangun identitas
karakternya dengan semaraknya praktek moralitas giver, sebagai manifestasi ari
kesadaran nilai KAM.
D.
UU
yang mengatur HAM di Indonesia :
Undang-Undang tentang HAM di Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Adapun hak-hak yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 199 tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Hak untuk hidup (Pasal
4)
b. Hak untuk berkeluarga
(Pasal 10)
c. Hak untuk mengembangkan
diri (Pasal 11, 12, 13, 14, 15, 16)
d. Hak untuk memperoleh
keadilan (Pasal 17, 18, 19)
e. Hak atas kebebasan
pribadi (Pasal 20-27)
f. Hak atas rasa aman
(Pasal 28-35)
g. Hak atas kesejahteraan
(Pasal 36-42)
h. Hak turut serta dalam
pemerintahan (Pasal 43-44)
i. Hak wanita (Pasal
45-51)
j. Hak anak (Pasal 52-66)
E.
Contoh
Pelanggaran Ham Di Indonesia
Pelanggaran Ham Oleh Mantan Gubernur Tim-Tim[19]
Abilio Jose Osorio Soares, mantan
Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di
Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun
penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga
menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar
berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu
keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari
kambing hitam atau tumbal politik.
Beberapa hal yang dapat disimak dari
keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.Pertama, vonis hakim
terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No
26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa
pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan
menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama
dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa
menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio
Soares. Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim
ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila
terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal
10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala
tuduhan.[20]
Kedua, publik dapat merasakan suatu
perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut
karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI
dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose
Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat
Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan
selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki
oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar
HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah
melanggar atau menindas HAM orang lain.Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan
dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM
baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan
suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana
terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang
melekat pada setiap manusia yang bersifat kodrati sebagai anugerah Tuhan dan
hak-hak itu harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapa pun.
Perkembangan pemikiran HAM di Eropa
diawali dengan lahirnya Magna Charta telah menghilangkan hak absolut raja yang
membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut
raja seperti menciptakan hukum tetapi tidak terkait dengan peraturan yang
mereka buat menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan
secara hukum.
Perkembangan pemikiran HAM di
Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai organisasi dan politik seperti,
Budi Utomo, Indiche Partij, Partai Komunis, Serikat Islam dsb.
B.
Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus
mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita
juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan
dinjak-injak oleh orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra. Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, dan Kemasyarakatan. (Jakarta Selatan, ICCE, 2006)
Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma. Jogjakarta, 2007)
Azra,Azyumardi. Demokrasi Hak Asasi
Manusia Masyarakat Madani. (ICCE UIN.Jakarta)
Winarno. Pendidikan Kewarganegaraan. (PT.
Bumi Aksara, JakartaL 2010)
Mawlana Abdul A’la Mawdudi. Hak-hak
Asasi Manusia dalam Islam. (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2011)
Samsul Wahidin. Pokok-pokok
Kewarganegaraan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Kuntjoro Purbopranoto, Praditya. HAM
dan Pancasila (Jakarta, PT.
Grasindo, 2008)
Sunoto Aldi, PKn. (Bandung: Rieneka
Cipta, 1999)
Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan
Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta)
Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk. Pendidikan
Kewarganegaraan. (Jakarta: Kencana, 2008)
[1] Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra. Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Kemasyarakatan. (Jakarta Selatan, ICCE, 2006) h. 252
[2] Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma. Jogjakarta, 2007) h. 67
[3] Azra,Azyumardi. Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani.
(ICCE UIN.Jakarta) h. 139
[4] Winarno. Pendidikan Kewarganegaraan. (PT. Bumi Aksara,
JakartaL 2010) h. 28
[5] Mawlana Abdul A’la Mawdudi. Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam. (Yogyakarta:
Sinar Grafika, 2011) h. 252
[6] Samsul Wahidin. Pokok-pokok Kewarganegaraan. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010) h. 199
[7] Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma. Jogjakarta, 2007) h. 70
[8] Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma. Jogjakarta, 2007) h. 72
[9] Kuntjoro Purbopranoto, Praditya. HAM dan Pancasila (Jakarta, PT. Grasindo, 2008) h.
135
[10] Kuntjoro Purbopranoto, Praditya. HAM dan Pancasila (Jakarta, PT. Grasindo, 2008)
h. 137
[11] Sunoto Aldi, PKn. (Bandung: Rieneka Cipta, 1999) h. 23
[12] Sunoto Aldi, PKn. (Bandung: Rieneka Cipta, 1999) h. 25
[13] Kuntjoro Purbopranoto, Praditya. HAM dan Pancasila (Jakarta, PT. Grasindo, 2008)
h. 141
[14] Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta)
h. 35
[15] Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta)
h. 38
[16] Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta)
h. 34
[17] Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta)
h. 35
[18] Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan.
(Jakarta: Kencana, 2008) h. 22
[19] Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan.
(Jakarta: Kencana, 2008) h. 26
[20] Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan.
(Jakarta: Kencana, 2008) h. 27
No comments:
Post a Comment