Friday, April 27, 2018

Makalah Hak Asasi Manusia


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi.[1] Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”.
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
1.      HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
2.      HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
3.      HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang apakah HAM itu, bagaimana pemikiran-pemikiran dalam perkembangannya, mari kita lihat dalam uraian di bawah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia?
2.      Bagaimana perkembangan HAM di Indonesia?
3.      Bagaimana sejarah nasional tentang HAM?
4.      Bagaimana undang-undang yang mengatur tentang HAM?
5.      Apa saja contoh pelanggaran HAM di Indonesia?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan HAM
2.      Mengetahui perkembangan HAM di Indonesia
3.      Untuk mengetahui sejarah nasional tentang HAM
4.      Untuk mengetahui undang-undang yang mengatur tentang HAM
5.      Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di Indonesia




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Hak Azasi Manusia
HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia,tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.Menurut John Locke HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[2]
Ruang lingkup HAM meliputi: Hak pribadi: hak-hak persamaan hidup, kebebasan, keamanan, dan lain-lain;
1.      Hak milik pribadi dan kelompok sosial tempat seseorang berada;
2.      Kebebasan sipil dan politik untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; serta
3.      Hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.
Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemerintah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan negara. Dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :[3]
1.      HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
2.      HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
3.      HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.[4]
Menurut John Locke
HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.[5]
HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia,tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.Menurut John Locke HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[6]
Menurut Prof. Dr. A. Gunawan Setiardja
HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.
Menurut UU no. 39 tahun 1999
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan di lindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.
Dari beberapa pengertian mengenai HAM di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang bersifat kodrati sebagai anugerah Tuhan dan hak-hak itu harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapa pun. Penghormatan dan perlindungan terhadap HAM diwujudkan dengan menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum.

B.     Perkembangan HAM di Indonesia
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila, yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni: [7]
1.      Undang – Undang Dasar 1945
2.      Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
3.      Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
1.      Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
2.      Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
3.      Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
4.      Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of legal equality).
5.      Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
6.      Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.

C.     Sejarah HAM di Indonesia
1.      Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Perkembangan HAM di Indonesia muncul dengan lahirnya beberapa organisasi pergerakan nasional, antara lain Budi Utomo yang menyerukan kebebasan. Dalam konteks pemikiran HAM Budi Utomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun yang dimuat surat kabar Goeroe Desa.[8]
Selanjutnya pemikiran HAM pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh para tokoh organisasi seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamonjak, Ahmad Soebardjo, A. A. Maramis dsb. Pemikiran para tokoh tersebut lebih menitik beratkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
Kemudian Serikat Islam, organisasi kaum santri yang dipelopori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis, menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi sosial.
Sedangkan pemikiran HAM dalam pandangan Partai Komunis Indonesia sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat produksi.
Pemikiran HAM yang paling menonjol pada Indische Partij yaitu pemikiran yang menekankan pada hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan  yang sama dan hak kemerdekaan.[9]
Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi dalam perdebatan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Perdebatan ini berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dan untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak mengeluarkan pendapat, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dengan demikian gagasan pemikiran HAM di Indonesia telah menjadi perhatian besar dari para tokoh pergerakan bangsa dalam rangka penghormatan dan penegakan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai akar sejarah yang kuat.
2.      Periode Setelah Kemerdekaan
Periode 1945-1950
Pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka, berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, dan kebebasan menyampaikan pendapat terutama dalam parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945. Komitmen terhadap HAM pada awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Presiden tanggal 1 November 1945 yang menyatakan:  “... sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat dari pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.”
Hal yang sangat penting kaitannya dengan HAM adalah dengan adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintah dari sistem presidensil menjadi parlementer.
Periode 1950-1959
Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan karena demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Menurut Prof. Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM:
a.      Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi.
b.      Adanya kebebasan pers.
c.       Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratis.[10]
d.      Kontrol parlemen oleh eksekutif.
e.       Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.
Periode 1959-1966
Periode ini merupakan berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh Demokrasi Terpimpin yang berpusat pada kekuasaan presiden Soekarno. Melalui sistem Demokrasi Terpimpin kekuasaan terpaut pada presiden Soekarno. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen dan bahkan sebaliknya. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang otoriter.
Periode 1966-1998
Sama halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi sebagai produk barat yang individualistis dan bertentangan dengan prinsip gotong-royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Penolakan Orde Lama terhadap konsep universal HAM adalah:
1.      HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya luhur bangsa Indonesia.[11]
2.      Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM yang tertuang dalam rumusan UUD 45.
3.      Isu HAM sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia dengan berakhirnya Orde Baru di bawah kekuasaan rezim Soeharto. Pada tahun ini Soeharto digantikan oleh wakil presiden saat itu yaitu B.J. Habibie.
Pada pemerintahan Habibie perhatian pemerintah terhadap HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan, lahirnya Tap MPR no. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah dalam penegakan HAM.
Kesungguhan pemerintahan Habibie dalam perbaikan pelaksanaan Ham ditunjukkan dengan pencanangan program Ham yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998, yang bersandarkan pada 4 pilar yaitu: [12]
a.      Persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
b.      Diseminari dan pendidikan tentang HAM
c.       Penentuan skala prioritas tentang HAM
d.      Pelaksanaan isi perangkat Internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang0undangan Nasional.
Komitmen Pemerintah dalam penegakan HAM juga ditunjukkan dengan pengesahan UU HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian digabung dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan HAM. Pada tahun 2001, Indonesia juga menandatangani dua protokol hak anak yakni terkait perdagangan anak, prostitusi, dan pornografi anak, serta protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Menyusul kemudian, pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU di antaranya tentang perlindungan anak, penghapusan KDRT, dan penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia tahun2004-2009.


3.      Sejarah Nasional Hak Asasi Manusia
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. [13]
Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.[14]
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah.
Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain.
Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain. Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. [15]
Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa diciptakan kondisi seperti itu ?
4.      Kewajiban Asasi Manusia
Hakekatnya dalam kehidupan manusia ada dua dimensi kehidupan yaitu dimensi individu dan dimensi sosial. Pada tataran individu, seseorang akan membangun pada dirinya praktek dan pengembangan nilai yang akan mengarahkan berbagai tindakan dirinya dalm upaya mencapai rasa puas diri. Walaupun demikian rasa puas diri yang hendak dicapai dapat dibagi dalam dua gradasi yaitu gradasi pertama adalah adanya kebutuhan dan keinginan yang bersifat individu. Pada gradasi kedua yang bersifat lebih tinggi adalah kesadaran sosial juga mempunyai jenis kebutuhan sosial dan keinginan sosial. Pada tataran individu, cara mencapainya tentu tidak diperkenankan bila kehendak tersebut bila akan dieksekusi  sudah jelas akan merugikan orang lain, demikian pula pada level kehidupan sosial.[16]
Pada tataran praktek, seseorang yang mempunyai self awareness yang akan dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Peran agama yang merupakan rujukan nilai yang akan membentuk dan memancarkan perilakunya disamping akar budayanya, bila diaktualisasikan akan memancarkan pola praktek kewajiban manusia. Dalam konteks atau semangat ini, maka semua agama telah jelas mengajarkan nilai-nilai toleransi dan pembentuk motivasi perilaku luhur, baik untuk tujuan ke-akheratan maupun untuk tujuan ke-duniawi-an.
Demikian pula dalam konstruksi hubungan dan perilaku sosial, misalnya, agama Islam telah memberikan rujukan nilai seperti mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan persoalan, kemudian tolong-menolong dalam hal kebaikan, tanpa melihat perbedaan agama, suku, status sosial dll. Nilai-nilai seperti ini yang perlu dilakukan re-aktualisasinya dalam konstruksi hubungan sosial dalam wadah Indonesia ini sehingga menumbuhkan proses-proses sinergitas-positif. Bila keadaan ini yang terjadi maka proses pensejahteraan bangsa tentu akan lebih terpacu atau lebih akseleratif. Karenanya dimensi hubungan horizontal dalam nilai-nilai agama ini yang perlu mendapat prioritas dalam aktualisasi diri, baik sejak pemahamannya maupun dalam aspek praktikalitasnya. Maka karakter yang membentuk perilaku ini sesungguhnya merupakan kewajiban asasi manusia (KAM) sebagai makhluk ibadah.[17]
Maka dalam sebuah komunitas yang bernama bangsa yang dibangun atas kesamaan nilai-nilai budaya, maka dalam wadah kebangsaan perlu dibangun sebuah konstruksi teologi yang mampu keluar dari kesempitan (aliran) agama dan mampu mendorong umat menyapa baik komunitas internalnya maupun yang di luarnya. Ada dua hal yang potensial yang dapat dicapai dalam pengembangan teologi kebangsaan. Pertama, sikap bahwa manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri, maka dalam kesadaran ini “semangat memberi” (giver) merupakan  sikap  terbaik  sebagai pengganti dari sikap selalu menuntut hak, tanpa diimbangi dengan pengertian adanya kewajiban (taker).
Kedua, dalam beragama dan soal-soal keagamaan, yang mendorong manusia sebagi makhluk ibadah untuk selalu berbuat baik  dapat dikembangkan menjadi perilaku yang baku dan menjadi sikap yang tidak ter-buru-buru atau mudah menggunakan alasan agama untuk menghakimi orang lain.Untuk itu, bila dengan berbagai kejadian yang ada didunia ini dapat dianggap sebagai sedang terjadinya krisis nilai, yang merupakan akar dari berbagai krisis yang ada, maka bila digunakan teori seven habit-nya Covey, maka pada tataran : Kemauan – Mengutamakan yang Utama (First Thing First- Yang penting dan mendesak) dengan penjelasan sebgai berikut :
Kemampuan manusia berupa kemauan apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup teratur – mengutamakan yang utama, dan penuh displin dalam membuat tata letak antara prioritas utama, kepentingan, dan urgensitas. Keteraturan dan displin tidak dapat diraih tanpa kemauan keras untuk merebut tanggung jawab. Orang yang tahu tata letak akan membuat kebiasaan hidup efektif.
Pada level aktualisasi yang  rendah, kemampuan ini akan menghasilkan kebiasaan hidup berupa mentalitas jalan-pintas, atau the simple answer, menolak tanggung jawab hidup sehingga tidak terjadi keteraturan. Membesar-besarkan hal yang kecil dan mengabaikan hal yang menjadi benih-benih   peristiwa besar  (kebocoran atau kemampetan talang).  Orang yang malas tidak berarti hidupnya efektif meskipun ia menolak bertanggung jawab karena pada dasarnya hidup ini tidak memberi pilihan antara  bertanggung jawab atau tidak, melainkan harus bertanggung jawab. [18]
Maka dalam hal ini dalam asumsi sedang terjad globalisasi krisis nilai, maka nilai utama atau First Thing First yang harus ditegakkan saat ini adalah mulai dengan menegakkan dan mempraktekkan “kewajiban asasi manusia” atau (KAM). Marilah bangsa indonesia membangun identitas karakternya dengan semaraknya praktek moralitas giver, sebagai manifestasi ari kesadaran nilai KAM.

D.    UU yang mengatur HAM di Indonesia :
Undang-Undang tentang HAM di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Adapun hak-hak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 199 tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Hak untuk hidup (Pasal 4)
b. Hak untuk berkeluarga (Pasal 10)
c. Hak untuk mengembangkan diri (Pasal 11, 12, 13, 14, 15, 16)
d. Hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17, 18, 19)
e. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)
f. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35)
g. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42)
h. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)
i. Hak wanita (Pasal 45-51)
j. Hak anak (Pasal 52-66)

E.     Contoh Pelanggaran Ham Di Indonesia
Pelanggaran Ham Oleh Mantan Gubernur Tim-Tim[19]
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik.
Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares. Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.[20]
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas.
BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang bersifat kodrati sebagai anugerah Tuhan dan hak-hak itu harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapa pun.
Perkembangan pemikiran HAM di Eropa diawali dengan lahirnya Magna Charta telah menghilangkan hak absolut raja yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut raja seperti menciptakan hukum tetapi tidak terkait dengan peraturan yang mereka buat menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai organisasi dan politik seperti, Budi Utomo, Indiche Partij, Partai Komunis, Serikat Islam dsb.
B.     Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
DAFTAR PUSTAKA


Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Kemasyarakatan. (Jakarta Selatan, ICCE, 2006)

Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan.  (Paradigma. Jogjakarta, 2007)

Azra,Azyumardi. Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. (ICCE UIN.Jakarta)

Winarno. Pendidikan Kewarganegaraan. (PT. Bumi Aksara, JakartaL 2010)

Mawlana Abdul A’la Mawdudi. Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam. (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2011)

Samsul Wahidin. Pokok-pokok Kewarganegaraan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)

Kuntjoro Purbopranoto, Praditya. HAM dan  Pancasila (Jakarta, PT. Grasindo, 2008)

Sunoto Aldi, PKn. (Bandung: Rieneka Cipta, 1999)

Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta)

Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. (Jakarta: Kencana, 2008)


[1] Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Kemasyarakatan. (Jakarta Selatan, ICCE, 2006) h. 252
[2] Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan.  (Paradigma. Jogjakarta, 2007) h. 67
[3] Azra,Azyumardi. Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. (ICCE UIN.Jakarta) h. 139
[4] Winarno. Pendidikan Kewarganegaraan. (PT. Bumi Aksara, JakartaL 2010) h. 28
[5] Mawlana Abdul A’la Mawdudi. Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam. (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 252
[6] Samsul Wahidin. Pokok-pokok Kewarganegaraan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 199
[7] Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan.  (Paradigma. Jogjakarta, 2007) h. 70
[8] Kaelan. Pendidikan Kewarganegaraan.  (Paradigma. Jogjakarta, 2007) h. 72
[9] Kuntjoro Purbopranoto, Praditya. HAM dan  Pancasila (Jakarta, PT. Grasindo, 2008) h. 135
[10] Kuntjoro Purbopranoto, Praditya. HAM dan  Pancasila (Jakarta, PT. Grasindo, 2008) h. 137
[11] Sunoto Aldi, PKn. (Bandung: Rieneka Cipta, 1999) h. 23
[12] Sunoto Aldi, PKn. (Bandung: Rieneka Cipta, 1999) h. 25
[13] Kuntjoro Purbopranoto, Praditya. HAM dan  Pancasila (Jakarta, PT. Grasindo, 2008) h. 141
[14] Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta) h. 35
[15] Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta) h. 38
[16] Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta) h. 34
[17] Zaelani, Endang Sukaya. Pendidikan Kewarganegaraan. (Paradigma.Jogjakarta) h. 35
[18] Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. (Jakarta: Kencana, 2008) h. 22
[19] Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. (Jakarta: Kencana, 2008) h. 26
[20] Abdul Rozak, Wahdi Sayuti, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. (Jakarta: Kencana, 2008) h. 27

No comments:

Post a Comment