BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
era globalisasi ini terdapat berbagai dampak pada masyarakat, baik yang positif
maupun yang negatif. Dampak positif globalisasi adalah perkembangan teknologi
yang semakin canggih sehingga mempermudah seseorang untuk memperoleh berbagai
informasi yang tidak terbatas. Informasi dapat berupa hiburan, pengetahuan dan
teknologi, yang diperoleh dan berbagai cara seperti : TV, Video, Film-Film,
Internet dan sebagainya. Kemudahan informasi memang memuaskan keinginan tahu kita
serta dapat mengubah nilai dan pola hidup seseorang, termasuk sikap orang tua
terhadap anaknya dan pola asuh yang diterapkan dalam mendidik anak.
Sedangkan
dampak negatif yang ditakuti adalah gaya hidup “Barat”, yang sangat menonjolkan
sifat individualistik dan bebas. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak
timbulnya masalah psikososial pada remaja seperti penyalah gunaan narkotika dan
obat terlarang, perilaku seks bebas dan menyimpang, kriminalitas anak,
perkelahian masal (tawuran), sehingga banyak mengakibatkan kegagalan
pendidikan, atau kegagalan dibidang lain. Dampak negatif era globalisasi ini
lebih cepat diadopsi oleh anak- anak sehingga mereka sangat rentan terhadap
pengaruh negatif globalisasi tersebut.
Bagaimana
semua informasi dan pengaruh asing itu agar tidak berdampak buruk? Sebagai
orang tua tentu berharap mereka dapat menyaring informasi apa yang berguna yang
patut dicontoh dan apa yang dapat merugikan yang harus dijauhinya. Kepandaian
anak dan remaja dalam menyiasati hal tersebut tentu tidak lepas dan peran orang
tua dalam memberikan pola asuh dan pendidikan yang tepat bagi anak- anaknya.
Anak
merupakan masa depan keluarga bahkan bangsa oleh sebab itu perlu dipersiapkan
agar kelak menjadi manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan berguna bagi
dirinya, keluarga dan bangsanya. Seharusnya perlu dipersiapkan sejak dini agar
mereka mendapatkan pola asuh yang benar saat mengalami proses pertumbuhan dan
perkembangan. Pola asuh yang baik menjadikan anak berkepribadian kuat, tak
mudah putus asa, dan tangguh menghadapi tekanan hidup. Maka dari itu kami akan
menyusun makalah yang berjudul “Pola Pengasuhan Anak Dalam Keluarga”.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari pola asuh anak dalam keluarga?
2. Apa sajakah
gaya dari pola asuh anak dalam keluarga?
3. Apa sajakah
macam-macam dari pola asuh anak dalam keluarga secara umum?
4. Bagaimanakah
fungsi keluarga dalam menerapkan pola asuh terhadap anak dalam keluarga?
5. Bagaimanakah
cara mengasuh anak dalam keluarga?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari pola asuh anak dalam keluarga.
2. Untuk
mengetahui gaya dari pola asuh anak dalam keluarga.
3. Untuk
mengetahui macam-macam dari pola asuh anak dalam keluarga secara umum.
4. Untuk
mengetahui fungsi keluarga dalam menerapkan pola asuh terhadap anak dalam
keluarga.
5. Untuk
mengetahui cara mengasuh anak dalam keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Dari Pola Asuh Anak Dalam Keluarga
Pengertian
pola asuh anak dalam keluarga bisa ditelusuri dari pedoman yang dikeluarkan
oleh Tim Penggerak PKK Pusat (1995), yakni : usaha orang tua dalam membina anak
dan membimbing anak baik jiwa maupun raganya sejak lahir sampai dewasa (18
tahun). Selain itu, yang dimaksud dengan
pola asuh adalah kegiatan kompleks yang meliputi banyak perilaku spesifik
yang bekerja sendiri atau bersama yang memiliki dampak pada anak. Tujuan utama
pola asuh yang normal adalah menciptakan kontrol. Meskipun tiap orang tua
berbeda dalam cara mengasuh anaknya, namun tujuan utama orang tua dalam
mengasuh anak adalah sama yaitu untuk mempengaruhi, mengajari dan mengontrol
anak mereka.
B. Gaya Dari
Pola Asuh Anak Dalam Keluarga
Gaya
pola asuh memiliki 2 elemen penting, yaitu : parental responsiveness (respons
orang tua) dan parental demandingness (tuntutan orang tua).[1]
1.
Parental Responsiveness (respons orang tua)
Respons orang tua adalah orang tua yang secara
sengaja dan mengatur dirinya sendiri untuk sejalan, mendukung dan menghargai
kepentingan dan tuntutan anaknya.
2.
Parental demandingness (tuntutan orang tua)
Tuntutan orang tua adalah orang tua menuntut
anaknya untuk menjadi bagian dari keluarga dengan pengawasan, penegakkan
disiplin dan tidak segan memberi hukuman jika anaknya tidak menuruti.
Selain respons dan tuntutan, gaya pola asuh
juga ditentukan oleh faktor yang ketiga, yaitu kontrol psikologis (menyalahkan,
kurang menyayangi atau mempermalukan).
C. Macam-Macam
Pola Asuh Anak Dalam Keluarga Secara Umum
Secara
individual, orang tua memiliki hubungan yang khas dengan anak namun para
peneliti telah mengidentifikasikan 3 macam pola asuh yang umum. Ketiga pola
asuh ini telah terbukti berhubungan dengan perilaku dan kepribadian anak.
Pembagian 3 macam pola asuh secara umum ini dinamakan : Authoritative,
Authoritarian, dan Permissive.
1.
Pola asuh Authoritative/Demokrasi
Pola asuh ini ditandai dengan orang tua yang
memberikan kebebasan yang memadai pada anaknya tetapi memiliki standar perilaku
yang jelas. Mereka memberikan alasan yang jelas dan mau mendengarkan anaknya
tetapi juga tidak segan untuk menetapkan beberapa perilaku dan tegas dalam
menentukan batasan. Mereka cenderung memiliki hubungan yang hangat dengan
anaknya dan sensitive terhadap kebutuhan dan pandangan anaknya. Mereka cepat
tanggap memuji keberhasilan anaknya dan memiliki kejelasan tentang apa yang
mereka harapkan dan anaknya.[2]
Pola asuh yang paling baik adalah jenis
Authoritative. Anak yang diasuh dengan pola ini tampak lebih bahagia, mandiri
dan mampu untuk mengatasi stress. Mereka juga cenderung lebih disukai pada
kelompok sebayanya, karena memiliki ketrampilan sosial dan kepercayaan diri
yang baik.
2. Pola asuh
Authoritarian/Otoriter
Pola asuh ini cukup ketat dengan apa yang
mereka harapkan dan anaknya dan hukuman dan perilaku anak yang kurang baik juga
berat. Peraturan diterapkan secara kaku dan seringkali tidak dijelaskan secara
memadal dan kurang memahami serta mendengarkan kemamuan anaknya. Penekanan pola
asuh ini adalah ketaatan tanpa bertanya dan menghargai tingkat kekuasaan.
Disiplin pada rumah tangga ini cenderung kasar dan banyak hukuman.
Anak dan orang orang tua yang Authoritarian
cenderung untuk lebih penurut, taat perintah dan tidak agresif, tetapi mereka
tidak memiliki rasa percaya diri dan kemampuan mengontrol dirinya terhadap
teman sebayanya. Hubungan dengan orang tua tidak juga dekat. Pola asuh jenis
ini terutama sulit untuk anak laki-laki, mereka cenderung untuk lebih pemarah
dan kehilangan minat pada sekolahnya lebih awal. Anak dengan pola asuh ini
jarang mendapat pujian dan orang tuanya sehingga pada saat mereka tumbuh
dewasa, mereka cenderung untuk melakukan sesuatu karena adanya imbalan dan
hukuman, bukan karena pertimbangan benar atau salah.
3. Pola asuh
Permissive/Permisif
Orang tua pada kelompok ini membiarkan anaknya
untuk menampilkan dirinya dan tidak membuat aturan yang jelas serta kejelasan
tentang perilaku yang mereka harapkan. Mereka seringkali menenima atau tidak
peduli dengan perilaku yang buruk. Hubungan mereka dengan anaknya adalah hangat
dan menerima. Pada saat menetukan batasan, mereka mencoba untuk memeberikan
alasan kepada anaknya dan tidak menggunakan kekuasaan untuk mencapai keinginan
mereka.
Hasil pola asuh dan orang tua permisif tidak
sebaik hasil pola asuh anak dengan orang tua Authoritative. Meskipun anak-anak
ini terlihat bahagia tetapi mereka kurang dapat mengatasi stress dan akan marah
jika mereka tidak memperoleh apa yang mereka inginkan. Anak-anak ini cenderung
imatur. Mereka dapat menjadi agresif dan dominant pada teman sebayanya dan
cenderung tidak berorientasi pada hasil.
Meskipun hasil penelitian cukup jelas, tetapi
perilaku manusia tidaklah hitam putih. Hampir semua orang tua melakukan ketiga
jenis pola asuh ini.
D. Fungsi
Keluarga Dalam Menerapkan Pola Asuh Terhadap Anak Dalam Keluarga
Pola
asuh di atas harus disesuaikan dengan determinasi yang jelas antara hak dan
kewajiban anak; tetapi terutama hak anak. Hak anak yang dimaksud ialah bermain,
belajar, kasih sayang, nama baik, perlindungan, dan perhatian. [3]
Berdasarkan
pendekatan sosio-kultural, dalam konteks bermasyarakat, keluarga memiliki
fungsi berikut :
1.
Fungsi Biologis. Tempat keluarga memenuhi
kebutuhan seksual ( suami - istri ) dan mendapatkan keturunan (anak); dan
selanjutnya menjadi wahana di mana keluarga menjamin kesempatan hidup bagi
setiap anggotanya. Secara biologis, keluarga menjadi tempat untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan dengan syarat-syarat
tertentu. Berkaitan dengan fungsi ini,
pola asuh anak di bidang kesehatan juga harus mendapat perhatian para orangtua.
Pola hidup sehat perlu diterapkan di dalam keluarga yang bisa dilakukan dengan
cara :
a)
Memberitahukan pada anak untuk mengurangi
konsumsi makanan instan atau cepat saji. mengapa hal ini penting ? Kita tahu,
bahwa di dalam makanan instan terdapat zat pengawet yang jika dikonsumsi secara
berlebihan akan membahayakan bagi kesehatan,
b)
Memberitahukan pada anak untuk berolah raga
secara rutin.
c)
Menyediakan sayuran dan buah bagi anak untuk
dikonsumsi.
d)
Memberitahukan pada anak untuk memperbanyak
minum air putih.
2. Fungsi
Pendidikan. Keluarga diajak untuk mengkondisikan kehidupan keluarga sebagai
“institusi” pendidikan, sehingga terdapat proses saling belajar di antara
anggota keluarga. Dalam situasi ini orangtua menjadi pemegang peran utama dalam
proses pembelajaran anak-anaknya, terutama di kala mereka belum dewasa.
Kegiatannya antara lain melalui asuhan, bimbingan dan pendampingan, dan teladan
nyata. Dalam bidang pergaulan pun, anak tetap dikontrol. Sebagian peserta
mengungkapkan bahwa mereka biasa mengontrol melalui teman si anak, serta
menghubungi ibu/bapak guru melalui HP. Di samping itu, setalah anak pulang
sekolah, para peserta juga memeriksa tas sekolah anak, kalau-kalau si anak
membawa sesuatu yang tidak wajar. Adapun suka-duka para peserta dalam mendidik
anak sangat bervariasi. Sebagian peserta menyatakan sangat senang bila
anak-anak mereka menurut terhadap apa yang mereka sarankan. Namun di sisi lain,
peserta merasa sedih bila si anak terkadang membantah perkataan mereka, ngambek
tidak mau belajar, salah pergaulan dan sebagainya.
3. Fungsi
Religius. Para orangtua dituntut untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan
dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenal kaidah-kaidah agama
dan perilaku keagamaan. Di sini para orangtua diharuskan menjadi tokoh inti dan
panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan
keluarganya. Berkatian dengan pola asuh
anak di bidang agama, banyak orangtua sepakat bahwa agama adalah solusi
terakhir dan tertinggi bagi setiap persoalan hidup anak-anak mereka. Masalahnya
justru terletak pada tantangan yang mereka hadapi dalam mensosialisasikan
ajaran agama dimaksud. Hari-hari ini ada fenomena bahwa agama seakan-akan tidak
lagi menarik perhatian anak-anak. Pesan moral dari kisah-kisah yang mempesona
dari kitab-kitab suci tidak lagi sampai kepada anak-anak di jaman ini. Memang
sih hal ini erat terkait dengan mandegnya progressivitas pihak agama dalam
mencari pola-pola pengajaran terkini. Maka tidak mengherankan bila sebagian
besar orangtua sangat sulit mengajak
anak-anaknya untuk beribadah. Banyak anak justru tidak merasa nyaman di gereja
atau tempat ibadah agamanya. Di titik ini para orangtua harus menyadari fungsi
mereka sebagai teladan atau pemberi
contoh terlebih dahulu. Bagaimana anak akan menurut pada ajakan orangtua bila
si orangtua sendiri tidak menjalankannya.
4. Fungsi
Perlindungan. Fungsi perlindungan dalam keluarga ialah untuk menjaga dan
memelihara anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin
timbul. Baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga. Selama ini dalam mendidik anak, banyak
orangtua mendidik anak-anak mereka dengan sabar dan telaten, agar anak menurut
sesuai dengan yang diinginkan. Namun tidak jarang pula mereka menggunakan
cara-cara yang sedikit otoriter, agar anak tidak bandel dan menurut apa yang
kita perintah. Fungsi perlindungan juga menyangkut pola asuh orangtua di bidang
kesehatan. Pola ini bisa dicermati dari kegiatan keseharian anak, antara lain :
Selama ini ketika anak pulang dari
sekolah langsung pulang ke rumah atau bermain dulu di tempat temannya. Dalam
hal ini juga harus diperhatikan apakah anak tersebut sudah makan siang atau
belum. Artinya kontrol terhadap pola makan anak dijalankan dengan baik. Apabila
anak pulang sampai sore atau malam hari maka orangtua perlu menanyakan kemana
saja seharian anak tersebut. [4]
Selama ini ketika anak pulang dari
sekolah, apakah langsung membantu orangtua atau bermain. Hal ini ditinjau dari
pandangan orangtua jelas tentunya lebih senang ketika anak langsung membantu
orangtua dalam hal pekerjaan di dalam rumah. Lalu bagaimana bila ternyata anak
membantu orangtua dalam arti ikut bekerja mencari uang ? Tentunya hal ini
sebaiknya belum boleh dilakukan oleh anak, mengingat anak masih tumbuh dan
berkembang dan mempunyai hak untuk menikmati dunia bermainnya. Bisa dibayangkan
betapa anak nantinya akan terbebani ketika harus memikirkan pelajaran di
sekolah, namun di sisi yang lain masih harus bekerja mencari uang. Sudah
menjadi kewajiban orangtualah untuk membiayai segala macam keperluan anak
sehari-hari termasuk pula dalam hal biaya sekolah.
Anak dipastikan mandi sehari dua
kali. Dalam hal ini orangtua senantiasa mengontrol apakah anak sudah mandi atau
belum.
Asupan gizi yang dikonsumsi anak
juga harus diperhatikan. Apabila anak setiap hari diberi lauk daging, tentunya
tidak bagus. Akan lebih baik bila diimbangi dengan sayur, buah dan susu. Dalam
arti makanan yang dikonsumsi sehari-hari memenuhi 4 sehat 5 sempurna. Sesekali
anak diberi lauk ikan, telur, tempe, tahu dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar
terdapat variasi menu makanan anak agar anak tidak bosan.
5. Fungsi
Sosialisasi. Para orangtua dituntut untuk mempersiapkan anak untuk menjadi
anggota masyarakat yang baik, kalau tidak mau disebut warga negara kelas satu.
Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara
kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, sehingga
kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga pada gilirannya
anak berpikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya.
6. Fungsi Kasih
Sayang. Keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi
dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai dengan status dan
peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan batin yang
dalam dan kuat ini, harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai
bentuk kasih sayang. Dalam suasana yang penuh kerukunan, keakraban, kerjasama
dalam menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.
7. Fungsi Ekonomis.
Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktivitas
dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan
perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga.
8. Fungsi
Rekreatif. Suasana Rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga
lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai, jauh dari
ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu merasakan kehidupan bebas dari
kesibukan sehari-hari.
9. Fungsi Status
Keluarga. Fungsi ini dapat dicapai apabila keluarga telah menjalankan fungsinya
yang lain. Fungsi keluarga ini menunjuk pada kadar kedudukan (status) keluarga
dibandingkan dengan keluarga lainnya. Dalam mengembangkan anak untuk menjadi
sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan persiapan dan perlakuan
terhadap anak secara tepat sesuai dengan kondisi anak. Sebagai manusia, setiap
anak mempunyai ciri individual yang berbeda satu dengan yang lain. Di samping
itu setiap anak yang lahir di dunia ini berhak hidup dan berkembang semaksimal
mungkin sesuai dengan kondisi yang dimilikinya. Untuk dapat memberi kesempatan
berkembang bagi setiap anak diperlukan pola asuh yang tepat dari orangtuanya,
hal ini mengingat anak adalah menjadi tanggung jawab orangtuanya baik secara
fisik, psikis maupun sosial.
E. Cara
Mengasuh Anak Dalam Keluarga
Mengasuh
anak adalah proses mendidik agar kepribadian anak dapat berkembang dengan baik
dan ketika dewasa menjadi orang yang mandiri dan bertanggung jawab. Mengasuh
anak bukanlah dimulai saat anak dapat berkomunikasi dengan baik, tetapi
dilakukan sendiri mungkin (sejak lahir).[5]
Cara
mengasuh anak sebaiknya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak yaitu :
1.
Sejak lahir sampai 1 tahun
Dalam kandungan, anak hidup serba teratur,
hangat, dan penuh penlindungan. Setelah dilahinkan, anak sepenuhnya bengantung
terutama pada ibu atau pengasuhnya. Pada masa ini anak perlu dibantu untuk
mempertahankan hidupnya. Pencapaian pada tahap ini untuk mengembangkan rasa
percaya pada lingkungannya. Bila nasa percaya tak didapat, maka timbul rasa tak
aman, rasa ketakutan dan kecemasan. Bayi belum bisa bercakap-cakap untuk
menyampaikan keingmnannya, ia menangis untuk menarik perhatian orang.
Tangisannya menunjukkan bahwa bayi membutuhkan bantuan. Ibu harus belajar
mengerti maksud tangisan bayi. Keadaan dimana saat bayi membutuhkan bantuan,
dan mendapat respon yang sesuai akan menimbulkan rasa percaya dan aman pada
bayi. ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi. Dengan pemberian ASI
seorang bayi akan didekap ke dada sehingga merasakan kehangatan tubuh ibu dan
terjalinlah hubungan kasih sayang antara bayi dan ibunya. Segala hal yang dapat
mengganggu proses menyusui dalam hubungan ibu anak pada tahap ini akan
menyebabkan terganggunya pembentukan rasa percaya dan rasa aman.
2. Usia 1 – 3
tahun
Pada tahap ini umumnya anak sudah dapat
berjalan. Ia mulai menyadari bahwa gerakan badannya dapat diatur sendiri,
dikuasai dan digunakannya untuk suatu maksud. Tahap ini merupakan tahap
pembentukan kepercayaan diri.
Pada tahap ini, akan tertanam dalam diri anak
perasaan otonomi diri, makan sendiri, pakai baju sendiri dll. Orang tua
hendaknya mendorong agar anak dapat bergerak bebas, menghargai dan meyakini
kemampuannya. Usahakan anak mau bermain dengan anak yang lain untuk mengetahui
aturan permainan. Hal ini jadi dasar terbentuknya rasa yakin pada diri dan
harga diri di kemudian hari.
3. Usia 3 – 6
tahun (prasekolah)
Tahap ini anak dapat meningkatnya kemampuan
berbahasa dan kemampuan untuk melakukan kegiatan yang bertujuan, anak mulai
memperhatikan dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya.
Anak bersifat ingin tahu, banyak bertanya, dan
meniru kegiatan sekitarnya, libatkan diri dalam kegiatan bersama dan
menunjukkan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu tapi tidak mementingkan hasilnya,
mulai melihat adanya perbedaan jenis kelamin kadang-kadang terpaku pada alat
kelaminnya sendiri.
Pada tahap ini ayah punya peran penting bagi
anak. Anak laki-laki merasa lebih sayang pada ibunya dan anak perempuan lebih
sayang pada ayahnya. Melalui peristiwa ini anak dapat mengalami perasaan
sayang, benci, iri hati, bersaing, memiliki, dll. Ia dapat pula mengalami
perasaan takut dan cemas. Pada masa ini, kerjasama ayah-ibu amat penting
artinya.
4. Usia 6 – 12
tahun
Pada usia ini teman sangat penting dan
ketrampilan sosial mereka semakin berkembang. Hubungan mereka menjadi lebih
baik dalam berteman, mereka juga mudah untuk mendekati teman baru dan menjaga
hubungan pertemanan yang sudah ada.
Pada usia ini mereka juga menyukai kegiatan
kelompok dan petualangan, keadaan ini terjadi karena terbentuknya identifikasi
peran dan keberanian untuk mengambil risiko. Orang tua perlu membimbing mereka
agar mereka memahami kemampuan mereka yang sebenarnya dan tidak melakukan
tindakan yang berbahaya.
Anak pada usia ini mulai tertarik dengan
masalah seks dan bayi, sehingga orang tua perlu untuk memberikan informasi yang
dianggap sensitive ini secara
Dalam perkembangan keterampilan mentalnya,
mereka dapat mempertahankan ketertarikannya dalam waktu yang lama dan kemampuan
menulis mereka baik. Anak pada usia ini seringkali senang membaca buku ilmu
pengetahuan atau CD ROM. Mereka menikmati mencari dan menemukan informasi yang
menarik minat mereka.
Anak mulai melawan orang tuanya, mereka menjadi
suka berargumentasi dan tidak suka melakukan pekerjaan rumah. Orang tua perlu
secara bijaksana menjelaskann pada mereka tugas dan tanggung jawabnya.
Keberhasiln pada masa kanak akhir terlihat, jika mereka dapat berkarya dan
produktif dikemudian hari.
5. Usia 12 – 18
tahun
Masa remaja bervariasi pada setiap anak, tapi
pada umumnya berlangsung antara usia 11 sampai 18 tahun. Di dalam masa remaja
pembentukan identitas diri merupakan salah satu tugas utama, sehingga saat masa
remaja selesai sudah terbentuk identitas diri yang mantap.
Pertanyaan yang sering pada masa remaja saat
pembentukan identitas diri adalah : siapakah saya?, serta : kemanakah arah
hidup saya? Jika masa remaja telah berakhir dan pertanyaan itu tidak dapat
dijawab dan diselesaikan dengan baik, dapat terjadi apa yang dinamakan : krisis
identitas, pada krisis identitas terjadi dapat menimbulkan
kebingungan/kekacauan identitas dirinya. Unsur-unsur yang memegang peran
penting dalam pembentukan identitas diri adalah : pembentukan suatu rasa
kemandirian, peran seksual, identifikasi gender, dan peran sosial serta
perilaku.
Berkembangnya masa remaja terlihat saat Ia
mulai mengambil berbagai macam nilai-nilai etik, baik dan orang tua, remaja
lain dan ia menggabungkannya menjadi suatu sistem nilai dan dirinya sendiri.
Pada masa remaja, numah merupakan landasan
dasar (base), sedangkan ‘dunianya” adalah sekolah maka bagi remaja hubungan
yang paling penting selain dengan keluarganya adalah dengan teman sebaya.
Pengertian dari rumah sebagai landasan dasar adalah, anak dalam kehidupan
seahari-hani tampaknya ia seolah-olah sangat bergantung kepada teman sebayanya,
tapi sebenarnya Ia sangat membutuhkan dukungan dan orang tuanya yang sekaligus
harus berfungsi sebagai pelindung di saat ia mengalami krisis, baik dalam
dirinya atau karena faktor lain. Pada masa ini penting sekali sikap keluarga
yang dapat berempati, mengerti, mendukung, dan dapat bersikap komunikatif dua
anak dengan sang remaja dalam pembentukan identitas diri remaja itu.[6]
Dengan berakhirnya masa remaja dan memasuki
usia dewasa, terbentuklah dalam suatu identias diri. Keberhasilan yang
diperoleh atau kegagalan yang dialami dalam proses pencapaian kemandirian
merupakan pengaruh dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Kegagalan keluarga
dalam memberikan bantuan/dukungan itu secara memadai, akan berakibat dalam
ketidak mampuan anak untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan emosinya.
Sedangkan keberhasilan keluarga dalam pembentukan remaja telah mengambil
nilai-nilai etik dari orang tua dan agama, ia mengambil nilai-nilai apa yang
terbaik bagi dia dan masyarakat pada umumnya. Jadi penting bagi orang tua untuk
memberi teladan yang baik bagi remaja, dan bukan hanya menuntut remaja
berperilaku baik, tapi orang tua sendiri tidak berbuat demikian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan
apa yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh anak dalam
keluarga adalah usaha orang tua dalam membina anak dan membimbing anak baik
jiwa maupun raganya sejak lahir sampai dewasa (18 tahun). Selanjutnya, gaya
pola asuh memiliki 2 elemen penting, yaitu : parental responsiveness (respons
orang tua) dan parental demandingness (tuntutan orang tua).
Adapun
macam-macam pola asuh anak dalam keluarga yaitu: pola demokrasi, pola otoriter,
dan pola permisif. Untuk menerapkan macam-macam dari pola asuh tersebut ada
beberapa fungsi keluarga diantaranya: fungsi biologis, fungsi pendidikan,
fungsi religius, fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi, fungsi kasih sayang,
fungsi ekonomi, fungsi rekreatif dan fungsi status keluarga. Selain itu, cara
mengasuh anak dalam keluarga hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan
anak.
B. Saran
Kami
menyarankan kepada para orang tua agar lebih memperhatikan terkait dengan
masalah pola asuh anak dalam keluarga hal ini mungkin merupakan PR yang besar
bagi semua orang tua karena pada saat ini banyak terjadinya konflik-konflik
serta kurangnya rasa simpati dan empati dari anak dalam pergaulan tersebut
disebabkan oleh pola asuh anak dalam keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth B.
2013. Perkembangan Anak. Jilid 2 Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrok, John W. 2007.
Perkembangan Anak edisi sebelas. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga
Ahmadi, Abu. 2001.
Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta
Dariyo, Agoes. 2005.
Psikologi Perkembangan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prasetya, G Tembong.
2003. Pola Pengasuhan Ideal. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Gunarsa, Singgih. Psikologi Perkembangan. (
Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2000)
No comments:
Post a Comment