Sunday, December 2, 2018

Makalah Syar'u Man Qablana


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Al-Qur’an dan sunnah shahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang di syari’atkan Allah SWT kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan telah disampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti.
Al-Qur’an dan sunnah telah memisahkan salah satu diantara hukum ini dalil syar’i, ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan. Tidak disyri’atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil nashih.
Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jema’ah Sahabat atau yang disebut dengan syar’u man qablana dan mazhab shahabat. Mereka itu mengetahui fiqih ilmu pangetahuan dan apa-apa yang biasa yang disampaikan oleh rasul. Memahami Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang terjadi.
Di dalam makalah ini akan kita bahas secara bersama dan kita diskusikan tentang syar’u man qablana, dan semoga dengan pembahasan makalah ini dapat menambah wawasan kita pada mata kuliah Ushul Fiqh.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan syar’u man qablana?
2.      Bagaimana Dasar Syar’u Man Qablana dan Pendapat Para Ulama?
3.      Bagaimana Kehujahan Syar’u Manqablana?
4.      Bagaimana pengelompokan Syar’u Man Qablana?
5.      Apa saja macam-macam  Syar’u Man Qablana?

C.     Tujuan  Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan syar’u man qablana
2.      Untuk mengetahui Dasar Syar’u Man Qablana dan Pendapat Para Ulama
3.      Untuk mengetahui Kehujahan Syar’u Manqablana
4.      Untuk mengetahui pengelompokan Syar’u Man Qablana
5.      Untuk mengetahui macam-macam  Syar’u Man Qablana
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Syar’u Man Qablana
Wahbah Zuhaili mendefinisikan Syar’u man qablana, “hukum-hukum Allah yang di syariatkan kepada umat terdahulu melalui nabi-nabi mereka seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Isa. Pada hakikatnya syari’at samawiyah termasuk syriat umat sebelum kita itu memiliki kesamaan yaitu di turunkan kepada Allah.[1]
Syar’u Man Qablana adalah syariat yang di bawa para rasul dahulu, sebelum Nabi Muhammmadd saw, yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka kepadanya,seperti syariat nabi Ibrahim as, syariat Nabi Musa as, Syariat Nabi Daud as, dan sebagainya.
Syar’u Man Qablana merupakan syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Yang di maksud Syar’u Man Qablana ialah syari’at ayang di turunkan kepada orang orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya islam.[2]
Pada hakikatnya semua syariat samawiyah termasuk syariat umat sebelum kita itu itu memiliki kesamaan yaitu di turunkan oleh Allah .
Secara istilah Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt, yang disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam, mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil yang menghapusnya.

B.     Dasar Syar’u Man Qablana dan Pendapat Para Ulama
Telah di terapkan di atas bahwa syai ri’at terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah di sepakati para ulama. Namun yang di perselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu di wajibkan pada kita sebagaimana di wajibkan pada mereka.
Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat –syariat terdahulu. Demikian pula para ulaama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum Islam yang di cantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi uat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syri’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang di wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam.
Para ulama Fiqih berbeda pendapat tentang hukum-hukum syari’at nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam tidak pula penjelasan yang membatalkannya.[3]
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah:[4]
1.      Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ
 “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
2.      Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123)
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.
Sebagian ulama mengatakan bahwa syariat kita me-nashkan atau menghapus syari’atkita untuk me-nashkan atau menghapus syariat terdahulu, kecuali apabila dalam syari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya me-nashkan syari’at terlebih dahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.[5]
Dan ada pula ulama yang mengatakan bahwa syariat orang terdahulu tidak dapat di jadikan syariat kita. Mereka beralasan bahwa syariat kita telah menghapus syariat-syariat umat terdahulu kecuali dalam syariat kita ada yang menetapkannya.
Lebih lanjut Abdul Wahab Khallaf, menilai bahwa yang terkuat dari kedua pendapat di atasa adalah pendapat dari Juhur ulama h dan ulama Hanafiah serta sebagian syafi’iyah yang menyatakan syar’u man qablan ini di nyatakan sebagai syariat kita. Alasannya syariat kita hanya membatalkan syariat orang terdahulu yang di anggap menyalahi syariat islam saja. Oleh karena itu syar’u man qablana yang di sebut oleh Al-Qur’an tanpa ada penegasan bahwa hukum itu telah di nashkan maka syar’u man qablana itu kedudukannya berlaku bagi umat nabi Muhammad. Karena syar’u man qablana yang di berlakukan hukumnya untuk kita itu pada hakikatnya adalah hukum Illahi di sampaikan oleh Rasul kepada kita selama tidak ada dalil yang membatalkannya. Al-Qur’an hadir membenarkan hukum yang terdapat dalam taurat dan injil. Maka selama tidak ada yang membatalkan maka hukum yang terdapat pada kedua kitab terdahulu itu berlaku juga untuk kita.

C.     Kehujahan Syar’u Manqablana
Syari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk mereka (orang yang sebelum kita) dan juga kepada kita utuk mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh (di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum kita itu bukan syari’at kita.[6]
Seperti syar’iat Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena  najis tidak dapat di sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis. Dua syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad. Allah mengharamkan bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita dengan syari’at kita seperti format ibadah.
Menurut Abu Zahrah bberapa ketentuan yang harus di perhatikan dalam   melihat syari’at orang. Sebelumkita dengan syari’at orang sebelum kita, sehingga syar’u man qablana itu layak untuk diikuti atau d tinggalkan. Untukmemutuskan itu sedikitnya ada tiga hal yang harus jadi pertimbangan :
1.      Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari sumber-sumber Islam, makatidak dapat di jadikan hujan bagi umat Islam. Demikian hasil kesepakatan para fuqaha.
2.      Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka tidak boleh di amalkan. Demikian juga jika terddapat dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat terdahulu, maka syari’at itu khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging bagi orang bani Israil.
3.      Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku untuk kita itu di dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan.[7]
Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak  diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.
Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan
1.      Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang         shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi
2.      Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad.
3.      Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab taurat dan injil

D.    Pengelompokan Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1.      Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum  Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam al-qur’an atau hadis  Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad.  seperti firman allah dalam surat al-an’am (8): 146:
وَعَلَى الَّذيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
شُحُوْ مَهُمَا
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap binatang yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya”.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An’am (6): 145:
قُلْ لاَأَجِدُفِيْ مَاأُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًاعَلَى طَاعِمٍل يَطْعَمُهُ إِلاَّأَنْ يَكُوْنُ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْ حًاأَوْلَحْمَ خِنْزِيْر
2.      Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.                                                    
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa’’.           
Dalam ayat  ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad
3.      Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh.[8]

E.     Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
1.      Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2.      Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
3.      Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita.
Secara garis besar syari’at dapat di kelopokkan menjadi dua, yaitu:
1.      Apa yang di syari’atkan kepada mereka juga di tetapkan kepada kita Nabi Muhammad, baik penetapnnya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti qishash.
2.      Apa yang di syari’atkan kepada mereka tidak di syari’atkan kepada kita. Misalnya yang di syari’atkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus di  potong bagian yang terkena najis tersebut”. Terhaap syari’at jenis kedua isyari’ni pada ulama sepakat untuk tinggalkan, karena syari’at kita telah menghapusnya.
Sebagaian para ulama mengatakan macam-macam syar’u manqablana antara lain:[9]
1.      Syariat yang di peruntukkan bagi umat-umat yangsebelum kita, tetapi Al-Qur’an dan hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkan atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad saw.
2.      Syariat yang di peruntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian menyatakan tidak berlaku lagi bagi umatNabi Muhammad Saw.
3.      Syariat yang di peruntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Al-Qur’an dan hadis menerangkannya kepada kita.
Mengenai bentuk ke tiga yaitu syariat yang di peruntukkan bagi umat-umat sebelum kita,kemudian di terangkan kepada Al-Qur’an dan Hadis, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama malikiyah sebagian ulama syfi’iyahdan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syariat itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh dzimi sama hukumnya dengan membunuh orang islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasrkan 45 surat al maidah mengenai pendapat golongan lain menurut mereka dengan adanya syariat Nabi Muhammad SAW., maka syariat yang sebelumnya di nyatakan mansukh/ tidak berlaku lagi hukumnya.









BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab al-Qur’an. Hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana  ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja.
Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar'u man qablana yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.
Esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang mengandung keselasaran dengan apa yang dibawa Nabi kita Muhammad SAW dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi. Syar’u man qablana dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu :
1.      Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
2.      Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
3.      Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
Para Ulama menggunakan beberapa dalil untuk membuat ketentuan dalam mencari kehujjahan dalil syariat umat yang terdahulu apakah berlaku juga umtuk umat Nabi Muhammad. Maka pada dasarnya syariat yang ditetapkan kepada umat terdahulu dapat dikatakan relatif atau partikuker yang wajib diikuti oleh umat Nabi Muhammad. Artinya berdasarlkan kesepakatan ulama jika syari’at itu ditegaskan kembali oleh ketetapan Allah dan Rosulnya, maka syari’at tersebut wajib untuk diikuti.

B.     Saran
Demikianlah uraian yang singkat tentang pembahasan Syar’u Man Qablana, semoga kita dapat mengambil manfaatnya dan dapat memperaktekannya dalam kehidupan yang semakin berkembang ini. Wallahu A’lam Bi al-Shwab.



DAFTAR PUSTAKA

Satria Effendi, Ushul Fiqh,  (Jakarta: Kencana, 2009)

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,  (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,  jilid 2,  (Jakarta: Kencana, 2009)

Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: pustaka setia, 2010)


[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh,  (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 162
[2] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,  (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 152.
[3] Satria Effendi, Ushul Fiqh,  (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 163
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,  jilid 2,  (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 417
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,  jilid 2,  (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 418
[6] Satria Effendi, Ushul Fiqh,  (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 164
[7] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: pustaka setia, 2010), hlm. 141.
[8] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: pustaka setia, 2010), hlm. 143
[9] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: pustaka setia, 2010), hlm. 144

No comments:

Post a Comment