BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masyarakat
madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society
yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada
simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26
September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak
menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang
memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada
prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan
kestabilan masyarakat.
Menurut
Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat
yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang
dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah
(al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum
Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf
sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2:
185).
Perujukan
terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi
masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan
dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat
sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf
nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata
yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka
membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan
fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama
umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam,
menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja,
tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Konsep
masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab
yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan
demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa yang
dimaksud dengan masyarakat madani?
2.
Bagaimana
masyarakat Madani di Indonesia, paradigm dan praktik?
3.
Bagaimana
gerakan social untuk memperkuat masyarakat madani (civic society)?
4.
Bagaimana Gerakan
Sosial Untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)?
5. Bagaimana Pilar Penegak Civil Society?
6.
Bagaimana Organisasi
Non Pemerintah Dalam Ranah Masyarakat Madani?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini
adalah :
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan masyarakat madani
2.
Untuk
mengetahui masyarakat Madani di Indonesia, paradigm dan praktik
3.
Untuk
mengetahui gerakan social untuk memperkuat masyarakat madani (civic society)
4.
Untuk
mengetahui Gerakan Sosial Untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)
5. Untuk mengetahui Pilar Penegak Civil Society
6. Untuk mengetahui Organisasi Non Pemerintah
Dalam Ranah Masyarakat Madani
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Masyarakat Madani
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah
SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S.
Saba’ ayat 15:
لَقَدْ
كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ
ۖ
كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya bagi
kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah
kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
Konsep “masyarakat madani” merupakan
penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali
mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia
oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani
merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad.
Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan
pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.[1]
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah
yang dilahirkan untuk menerjemahkan Pemikiran di luar menjadi “Islami”. Menilik
dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat
Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat
Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan
masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan
modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang
meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang
rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam
buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran
atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu
Allah.
Masyarakat madani merupakan Pemikiran yang
berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang
beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil
society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer.
Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk
menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
B.
Masyarakat
Madani, Paradigma dan Praktik
Terdapat
beberapa strategi yang ditawarakan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya
masyarakat madani dapat terwujud di Indonesia.[2]
1.
Pandangan
intergrasi nasional dan politik. Dalam pandangan ini menyatakan sistem
demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam
masyaraakt yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.
Pandangan
reformasi sitem politik demokrasi. Pandangan yang menekankan pada penekanan
demokrasi tak perlu bergantung pada pada pembangunan ekonomi. Pembangunan
institusi-institusi yang demokratis lebih diutamakan oleh negara dibandingkan
pembangunan ekonomi.
3.
Paradigma
membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi.
Pandangan ini merupakan paradigma alternatif diantara kedua pandangan diatas,
pandangan yang pertama dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi. Pandangan
ini lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara,
khususnya kalangan kelas menengah. Secara teoritis, upaya pendidikan dan
penyadaran politik kelas menengah dapat dianggap sebagai bagian dari proses
penyadaran ideologis warga negara Gramsci (1891-1937).
Untuk mewujudkan masyarakat madani yang
seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma. Ada
tiga paradigma yang mungkin dapat digunakan dalam pengembangan demokrasi pada
masa sekarang:
1.
Memperluas
golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk dapat
berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik dan
ekonomi.
2.
Reformasi
sitem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang
ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
3.
Penyelenggaraan
pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara keseluruhan.[3]
Mahasiswa merupakan salah satu komponen
strategi bangsa Indonesia dalam pengembangan demokrasi dan masyarakat madani.
Peran starategi mahasiwa dalam proses perjuangan reformasi menumbangkan rezim
otoriter selanjutnya ditindaklanjuti dengan keterlibatan mahasiswa dalam proses
demokrasi bangsa dan pengembangan masyarakat madani di Indonesia. Mahasiswa
miliki tugas dan tanggung jawab terhadap nasib masa depan demokrasi dan
masyarakat madani di Indonesia. Sejak demokrasi menghajadkan partisipasi warga
negara menyuarakan aspirasi masyarakat secara santun dan tertib merupakan salah
satu sumbangan penting bagi pembangunan demokrasi berkeadaban di Indonesia.
Demokrasi ini tak mungkin tercapai tanpa praktik-praktik demokrasi yang santun
dikalangan warga negara, demokrasi tidak lain merupakan sebuah sarana untuk
mewujudkan masyarakat madani.[4]
Lebih tegasnya sebagaimana tertera dalam
strategi menurut Hikam (1999) dibawah ini:
1.
Pemetaan
atau identifikasi permasalahan dasar menyangkut perkembangan masyarakat madani,
khususnya kelompok-kelompok strategis di dalamnya harus mendapat prioritas.
Pada tahap ini diupayakan penelitian atau pengkajian yang mendalam baik secara
umum maupun khusus terhadap potensi-potensi yang ada dalam masyarakat untuk
menumbuh-kembangkan masyarakat madani. Umpamanya pemetaan terhadap
segmen-segmen kelas menengah yang diangap dapat menjadi basis bagi tumbuhnya
masyarakat madani berikut organisasi didalamnya. Kajian dan penelitian semacam ini sangat
penting agar kita dapat dengan segera melakkan proses recovery dan penataan
kembali setelah munculnya kesempatan karena jatuhnya rezim otoriter.
2.
Menggerakkan
potensi-potensi yang telah ditemukan tersebut sesuai dengan bidang-bidang atau
garapan masing-masing. Misalnya bagaimana menggerakkan komunitas pesantren di
wilayah-wilayah pedesaan agar mereka ikut memperkuat basis ekonomi dan sosial
lapisan bawah. Dalam tahapan ini, jelas harus terjadi reorientasi dalam model
pembangunan sehingga proses penggerakan sumber daya dilapisan bawah tidak lagi
berupa eksploitasi karena pola top-down. Justru dalam tahapan ini sekaligus diusahakan untuk menghidupkan dan
mengaktifkan keswadayaan masyarakat yang selama ini terbungkam. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan parsipatoris
karena. Pada tingkat kelas menengah, tahapan kedua ini diarahkan kepada
penumbuhan kembali jika entrepreneur yangsejati sehingga akan muncul sebuah
kelas menengah yang mandiri dan tangguh.
Potensi demikian sudah cukup besar dengan
semakin bertambah banyaknya generasi muda yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman
dalam bisnis yang berlingkup global.
Para profesional muda ini, menurut pengamatan akan menjadi tulang punggung
utama kelas menengah baru yang memiliki kepedulian besar terhadap kemandirian
dan pemberdayan. Hal ini terbukti antara lain dengan munculnya kelompok
solidaritas profesional muda yang mendukung gerakan reformasi. Mereka menuntut
transparansi dan kemandirian dalam dunia bisnis di samping menunjukkan
kepedulian terhadap nasib rakyat jelata di lapisan bawah. Hal yang sama berlaku
juga bagi organisasi kemasyarakatan yang telah berjasa menjadi saluran aspirasi
masyarakat selama ini, seperti organisasi-organisasi sosial keagamaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat.[5]
Pengembangan kelompok ini sangat penting
artinya karena merekalah yang biasanya berada di garis depan dalam membela
nasib kaum tertindas. Melalui aktivitas-aktivitas mereka, misalnya,
permasalahan sosial seperti kemiskinan. Kelompok inilah yang menyuarakan
aspirasi masyarakat tertindas baik secara langsung kepada pemerintah ataupun
kepada publik secara keseluruhan.
Pihak lain yang penting untuk dilibatkan
pada tahapan ini adalah media massa yang berperan sebagai wilayah publik bebas yang menjadi tempat transaksi wacana publik. Media massa yang tidak
terkontrol secara ketat dan selalu dalam ancaman pemberangusan oleh negara
merupakan instrumen bagi proses pengembangan masyarakat madani. Sebab disana
dimungkinkan penyaluran aspirasi dan pembentukan opini mengenai permasalahan
yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan publik, di samping sebagai alat
kontrol terhadap kekuasaan negara.
Dengan tumbuhnya media massa yang memiliki
kebebasan cukup luas, maka kehidupan publik akan senantiasa mengalami
penyegaran dan masyarakat pun memiliki ruang untuk mengutarakan aspirasinya.
Tentu saja, media massa juga memerlukan pengawasan dari publik sehingga ia
tidak menjadi alat manipulasi kepentingan si pemilik, baik bagi penyebaran
gagasan-gagasan dan informasi tertentu maupun sebagai bagian dari bisnis. Media
massa yang tidak terkontrol sama sekali justeru akan memiliki kemampuan agenda
setting yang sangat kuat sehinga bisa mendistorsi kehidupan politik.[6]
Dalam upaya pengembangan jangka panjang adalah mengupayakan agar
seluruh elemen masyarakat madani memiliki kapasitas kemandirian yang tinggi
sehingga secara bersamaan dapat
mempertahankan kehidupan demokrasi. Dalam kaitan ini, agaknya kita perlu
merenungkan kesimpulan John Keane dalam Democracy and Civil Society
(1988) dikutip oleh Azyumardi Azra, bahwa
;Demokrasi bukanlah musuh bebuyutan ataupun teman kental kekuasaan negara.
3.
Demokrasi
menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat sipil secara tidak
berlebihan ataupun terlalu sedikit. Sementara itu, tatanan yang lebih
demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara, dan juga tidak bisa
diciptakan tanpa kekuasaan negara. Masyarakat madani yang seperti ini dapat
menjadi sumber input bagi masyarakat politik, seperti orsospol, birokrasi, dan
sebagainya dalam pengambilan setiap keputusan publik. Pada saat yang sama,
political society juga dapat evakulsi rekruitmen politik dari kelompok-kelompok
dalam masarakat madani sehingga kualitas para politisi dan elite politik akan
sangat tinggi. Hubungan antara masyarakat madani dan political society, dengan demikian adalah
simbiosis mutualisme dan satu sama lain saling memperkuat bukan menegaskan.
Tentu saja diperlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan hubungan semacam
ini, karena situasi ini mengadaikan telah terjadinya kesinambungan antara
negara dan rakyat.
Proses pengembangan masyarakat madani akan
tergantung kesuksesannya kepada sejauhmana format politik pasca reformasi
dibuat. Jika format tersebut hanya mengulangi yang lama, kendati dengan
ornamen-ornamen berbeda, maka pengembangan masyarakat madani juga hanya berupa
angan-angan belaka. Sayangnya, prospek inilah yang tampaknya sedang di atas
angin. Kemungkinan terjadinya pemulihan dan konsolidasu rezim lama masih cukup
besar menyusul menguatnya pemerintah transisi.
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi
dalam rangka pengembangan masyarakat madani di Indonesia, yaitu:[7]
1.
Adanya dua
strategi yang digunakan dalam pembentukan pembentukan masyarakat madani dengan
bealajar dari kasus Eropa Timur, yaitu strategi radikal dan non-radikal. Kedua
strategi ini perlu didiskusikan dikalangnan kekuatan-kekuatan yang menyebut
diri pro-demokrasi di Indonesia, agar tidak terperangkap pada egoisme,
arogansi, dan perpecahan, yang seringkali berakibat lemahnya masyarakat madani
berhadapan kekuatan negara.
2.
Mengenai
realitas sukses perjuangan masyarakat madani di Eropa Timur yang bermuara pada
ancaman bagi integrasi nasional dan nasionallisme di kawasan itu. Masyarakat
madani menekankan keniscayaan bagi otonomi dan kemandirian, tapi tak berarti
gerakan mereka identik dengan separatisme dan anarkisme. Membangun masyarakat
madani berarti membutuhkan kesiapan baik di level elit negara maupun di luar
negara, untuk mengembangkan konsensus yang tidak menyeret negeri ini ke ujung
jurang kehancuran dan perpecahan.
3.
Lahirnya
masyarakat madani di Barat tidak serta merta harus diartikan bahwa hal itu
disebabkan di Barat terdapat nilai-nilai yang mendukung proses ke arah sana.
Kepentingan bagi Indonesia adalah diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
untuk mengungkapkan kemungkinan adanya nilai-nilai serupa yang terdapat di
masyarakat Indonesia. Sebab bagaimanapun nilai-nilai yang bersifat madani itu
merupakan aspirasi universal yanf terdapat dimanapun namun dipengaruhi aspek
kultural dan sejarah negara bersangkutan.
C.
Gerakan
Sosial Untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)
Iwan
Gardono, mendefinisikan gerakan sosial sebagai aksi organsasi atau kelompok
masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan sosial. Pandangan
lainnya menyebutkan gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk prilaku politik
kolektif non kelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam
stabilitas cara hidup yang mapan. Gerakan sosial dapat dipadankan dengan
perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari melalui pembagian tiga
ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar (Corporate or market), dan
masyarakat sipil. Sidney Torrow melihat political parties berkaitan dengan gerakan
politik yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh
parpol melalui pemilu.
Geraka
ekonnomi berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan
kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan publik tersebut. Perbedaan
ketiga ranah tersebut dibahas oleh Habermas melihat gerakan sosial merupakan
resitensi progresif terhadap invasi negara dan sistem ekonomi. Jadi salah satu
faktor yang membedakan ketiga gerakan ini adalah aktornya, yaitu parpol diranah
politik, lobbyist dan perusahaan di ekonomi, dan organisasi masyarakat sipil
atau kelompok sosial diranah masyarakat sipil.
Organisasi
Nonpemerintah dalam Ranah Masyarakat Madani (Civil Society). LP3ES
mendefinisikan organisasi non pemerintah sebagai organisasi atau kelompok dalam
masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah
(nongovernment) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (nonprofit), tidak
untuk melayani diri sendiri atau anggota-anggota (self-serving), tetapi
untuk melayani kepentingan masyaakat yang membutuhkannya. Ada yang memandang
bahwa organisasi nonpemerintah (NGO) LSM merupakan wakil dari masyarakat sipil.
Sebenarnya, organisasi nonpemerintah merupakan salah satu dari organisasi
masyarakat sipil yang berdampingan dengan organisasi massa, terutama organisasi
massa keagamaan, organisasi komunitas, organisasi profesi, media, lembaga
pendidikan dan lembaga lain yang tidak termasuk pada ranah politik da ekonomi.
D.
Pilar
Penegak Civil Society
Institusi
yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi
kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang tertindas. Pilar-pilar yang menjadi penegak dalam Civil
Society adalah LSM, Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.[8]
1.
Lembaga
Swadaya Masyarakat, istitusi yang dibentuk oleh lembaga swadaya masyarakat yang
bertugas membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang
tertindas. Selain itu bertugas mengadakan empowering (pemberdayaan) kepada
masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari,
seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan
masyarakat.
2.
Pers,
merupakan institusi yang penting dalam penegakan Civil Society karena
kemungkinannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang
dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang
berkenaan dengan warga negaranya.
3.
Supremasi
Hukum, setiap warga negara,baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun
sebagai rakyat, harus tunduk kepada aturan hukum. Supremasi hukum memberikan
jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan
kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasa HAM,
sehingga terbentuk kehidupan yang civilized.
4.
Perguruan
Tinggi, yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa)
merupakan bagian dari kekuatan sosial dan Civil Society yang bergerak
pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi
berbagai macam kegiatan-kegiatan pemerintah. Menurut Riswanda Immawan,
Perguruan Tinggi memiliki tiga peran yang strategis dalam mewujudkan Civil
Society, yakni:
a.
Memihak
pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang
demokratis
b.
Membangun
political safety net, dengan mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara
objektif dan tidak manipulative
c.
Melakukan
penekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santun, saling menghormati
demokratis serta meninggalkan cara-cara yang agitatif dan anarkis.
5.
Partai Politik,
merupakan wahana bagi warga untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
E.
Organisasi
Non Pemerintah Dalam Ranah Masyarakat Madani
Istilah
Organisasi Non Pemerintah adalah terjemahan NGO (Non- Governmental
Organization). Yang telah lama dikenal dalam pergaulan internasional, istilah
ini merujuk pada organisasi non negera yang mempunyai kaitan dengan organisasi
non pemerintah, istilah ini perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas
internasional.[9]
Dalam
arti umum, pengertian organisasi non pemerintah mencakup semua organisasi
masyarakat yang berada diluar struktur dan jalur formal pemerintah, dan tidak
dibentuk oleh atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah, karena cakupan
pengertiannya yang luas, penggunaan istilah organisasi non pemerintah sering
membingungkan dan juga bias mengaburkan pengertian organisasi atau kelompok
masyarakat yang semata-mata bergerak dalam rangka pembangunan sosial-ekonomi
masyarakat tingkat bawah, istilah organisasi non pemerintah bagi mereka yang
tidak setuju memakai istilah ini berpotensi memunculkan pengertian tidak
menguntungkan.
Pemerintah
khususnya menolak menggunakan istilah itu dengan alas an makna organisasi non
pemerintah terkesan “ memperhadapkan “ serta seolah-olah “ oposan pemerintah,
pengertian organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya yang bersifat non
pemerintah, di dalamnya bias termasuk serikat kerja, kaum buruh, himpunan para
petani atau nelayan, rumah tangga, rukun warga, yayasan sosial, lembaga
keagamaan, klub olahraga, perkumpulan mahasiswa, organisasi profesi, partai
politik, atau pun asosiasi bisnis swasta.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasrkan
pembahasan pada bab II dapat
pemakalah simpulkan bahwa Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar
Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Proses
pengembangan masyarakat madani akan tergantung kesuksesannya kepada sejauhmana
format politik pasca reformasi dibuat. Jika format tersebut hanya mengulangi
yang lama, kendati dengan ornamen-ornamen berbeda, maka pengembangan masyarakat
madani juga hanya berupa angan-angan belaka. Sayangnya, prospek inilah yang
tampaknya sedang di atas angin. Kemungkinan terjadinya pemulihan dan
konsolidasu rezim lama masih cukup besar menyusul menguatnya pemerintah
transisi.
B.
Saran
Demikianlah
pembahasan tentang masyarakat madani yang dapat kami paparkan, masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya, semoga para pembaca, pendengar
dan guru pembimbing dapat memberikan kritik dan sarannya yang bersifat
membangun, demi kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad
Tirtisudiro, Indonesia dari Reformasi ke Masyarakat Madani, (Jakarta:
Media Da’wah, 1999)
Adi Suryadi
Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan
Cita-cita Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999)
A. Ubaedillah,
dkk. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani,
(Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000)
[1] Achmad Tirtisudiro, Indonesia dari Reformasi ke Masyarakat
Madani, (Jakarta: Media Da’wah, 1999), hlm. 185
[2] Achmad Tirtisudiro, Indonesia dari Reformasi ke Masyarakat
Madani, (Jakarta: Media Da’wah, 1999), hlm. 188.
[3] Achmad Tirtisudiro, Indonesia dari Reformasi ke Masyarakat
Madani, (Jakarta: Media Da’wah, 1999), hlm. 189
[4] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, teori, dan
relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1999), h. 145.
[5] A. Ubaedillah, dkk. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM &
Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 149
[6] A. Ubaedillah, dkk. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM &
Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 150
[7] A. Ubaedillah, dkk. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM &
Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 151
[8] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, teori, dan relevansinya
dengan Cita-cita Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h.
147
[9] Eka Vidya Putra, Peningkatan Kapasitas Organisasi Masyarakat
Sipil Dalam Penerapan Transparansi Dan Akuntabilitas Stud1 Kasus: Konsorsium
Pengembangan Masyarakat Madani (Kpmm), (Jurnal Pdf: Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang, 2006), h. 55
No comments:
Post a Comment