Monday, September 24, 2018

Makalah Tentang Masyarakat Madani


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan masyarakat madani?
2.      Bagaimana masyarakat Madani di Indonesia, paradigm dan praktik?
3.      Bagaimana gerakan social untuk memperkuat masyarakat madani (civic society)?
4.      Bagaimana Gerakan Sosial Untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)?
5.      Bagaimana Pilar Penegak Civil Society?
6.      Bagaimana Organisasi Non Pemerintah Dalam Ranah Masyarakat Madani?
C.     Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan masyarakat madani
2.      Untuk mengetahui masyarakat Madani di Indonesia, paradigm dan praktik
3.      Untuk mengetahui gerakan social untuk memperkuat masyarakat madani (civic society)
4.      Untuk mengetahui Gerakan Sosial Untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)
5.      Untuk mengetahui Pilar Penegak Civil Society
6.      Untuk mengetahui Organisasi Non Pemerintah Dalam Ranah Masyarakat Madani
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.[1]
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan Pemikiran di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.
Masyarakat madani merupakan Pemikiran yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).

B.     Masyarakat Madani, Paradigma dan Praktik
Terdapat beberapa strategi yang ditawarakan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya masyarakat madani dapat terwujud di Indonesia.[2]
1.          Pandangan intergrasi nasional dan politik. Dalam pandangan ini menyatakan sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyaraakt yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.          Pandangan reformasi sitem politik demokrasi. Pandangan yang menekankan pada penekanan demokrasi tak perlu bergantung pada pada pembangunan ekonomi. Pembangunan institusi-institusi yang demokratis lebih diutamakan oleh negara dibandingkan pembangunan ekonomi.
3.          Paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi. Pandangan ini merupakan paradigma alternatif diantara kedua pandangan diatas, pandangan yang pertama dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi. Pandangan ini lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah. Secara teoritis, upaya pendidikan dan penyadaran politik kelas menengah dapat dianggap sebagai bagian dari proses penyadaran ideologis warga negara Gramsci (1891-1937).
Untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma. Ada tiga paradigma yang mungkin dapat digunakan dalam pengembangan demokrasi pada masa sekarang:
1.      Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk dapat berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik dan ekonomi.
2.      Reformasi sitem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
3.      Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara keseluruhan.[3]
Mahasiswa merupakan salah satu komponen strategi bangsa Indonesia dalam pengembangan demokrasi dan masyarakat madani. Peran starategi mahasiwa dalam proses perjuangan reformasi menumbangkan rezim otoriter selanjutnya ditindaklanjuti dengan keterlibatan mahasiswa dalam proses demokrasi bangsa dan pengembangan masyarakat madani di Indonesia. Mahasiswa miliki tugas dan tanggung jawab terhadap nasib masa depan demokrasi dan masyarakat madani di Indonesia. Sejak demokrasi menghajadkan partisipasi warga negara menyuarakan aspirasi masyarakat secara santun dan tertib merupakan salah satu sumbangan penting bagi pembangunan demokrasi berkeadaban di Indonesia. Demokrasi ini tak mungkin tercapai tanpa praktik-praktik demokrasi yang santun dikalangan warga negara, demokrasi tidak lain merupakan sebuah sarana untuk mewujudkan masyarakat madani.[4]
Lebih tegasnya sebagaimana tertera dalam strategi menurut Hikam (1999) dibawah ini:
1.      Pemetaan atau identifikasi permasalahan dasar menyangkut perkembangan masyarakat madani, khususnya kelompok-kelompok strategis di dalamnya harus mendapat prioritas. Pada tahap ini diupayakan penelitian atau pengkajian yang mendalam baik secara umum maupun khusus terhadap potensi-potensi yang ada dalam masyarakat untuk menumbuh-kembangkan masyarakat madani. Umpamanya pemetaan terhadap segmen-segmen kelas menengah yang diangap dapat menjadi basis bagi tumbuhnya masyarakat madani berikut organisasi didalamnya.  Kajian dan penelitian semacam ini sangat penting agar kita dapat dengan segera melakkan proses recovery dan penataan kembali setelah munculnya kesempatan karena jatuhnya rezim otoriter.
2.      Menggerakkan potensi-potensi yang telah ditemukan tersebut sesuai dengan bidang-bidang atau garapan masing-masing. Misalnya bagaimana menggerakkan komunitas pesantren di wilayah-wilayah pedesaan agar mereka ikut memperkuat basis ekonomi dan sosial lapisan bawah. Dalam tahapan ini, jelas harus terjadi reorientasi dalam model pembangunan sehingga proses penggerakan sumber daya dilapisan bawah tidak lagi berupa eksploitasi karena pola top-down. Justru dalam tahapan ini  sekaligus diusahakan untuk menghidupkan dan mengaktifkan keswadayaan masyarakat yang selama ini terbungkam. Pendekatan yang digunakan adalah  pendekatan parsipatoris karena. Pada tingkat kelas menengah, tahapan kedua ini diarahkan kepada penumbuhan kembali jika entrepreneur yangsejati sehingga akan muncul sebuah kelas menengah yang mandiri dan tangguh.
Potensi demikian sudah cukup besar dengan semakin bertambah banyaknya generasi muda yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman dalam bisnis yang berlingkup  global. Para profesional muda ini, menurut pengamatan akan menjadi tulang punggung utama kelas menengah baru yang memiliki kepedulian besar terhadap kemandirian dan pemberdayan. Hal ini terbukti antara lain dengan munculnya kelompok solidaritas profesional muda yang mendukung gerakan reformasi. Mereka menuntut transparansi dan kemandirian dalam dunia bisnis di samping menunjukkan kepedulian terhadap nasib rakyat jelata di lapisan bawah. Hal yang sama berlaku juga bagi organisasi kemasyarakatan yang telah berjasa menjadi saluran aspirasi masyarakat selama ini, seperti organisasi-organisasi sosial keagamaan  dan Lembaga Swadaya Masyarakat.[5]
Pengembangan kelompok ini sangat penting artinya karena merekalah yang biasanya berada di garis depan dalam membela nasib kaum tertindas. Melalui aktivitas-aktivitas mereka, misalnya, permasalahan sosial seperti kemiskinan. Kelompok inilah yang menyuarakan aspirasi masyarakat tertindas baik secara langsung kepada pemerintah ataupun kepada publik secara keseluruhan.
Pihak lain yang penting untuk dilibatkan pada tahapan ini adalah media massa yang berperan sebagai wilayah publik  bebas yang menjadi tempat transaksi  wacana publik. Media massa yang tidak terkontrol secara ketat dan selalu dalam ancaman pemberangusan oleh negara merupakan instrumen bagi proses pengembangan masyarakat madani. Sebab disana dimungkinkan penyaluran aspirasi dan pembentukan opini mengenai permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan publik, di samping sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan negara.
Dengan tumbuhnya media massa yang memiliki kebebasan cukup luas, maka kehidupan publik akan senantiasa mengalami penyegaran dan masyarakat pun memiliki ruang untuk mengutarakan aspirasinya. Tentu saja, media massa juga memerlukan pengawasan dari publik sehingga ia tidak menjadi alat manipulasi kepentingan si pemilik, baik bagi penyebaran gagasan-gagasan dan informasi tertentu maupun sebagai bagian dari bisnis. Media massa yang tidak terkontrol sama sekali justeru akan memiliki kemampuan agenda setting yang sangat kuat sehinga bisa mendistorsi kehidupan politik.[6]
Dalam upaya pengembangan jangka panjang adalah mengupayakan agar seluruh elemen masyarakat madani memiliki kapasitas kemandirian yang tinggi sehingga secara bersamaan  dapat mempertahankan kehidupan demokrasi. Dalam kaitan ini, agaknya kita perlu merenungkan kesimpulan John Keane dalam Democracy and Civil Society (1988) dikutip oleh Azyumardi Azra, bahwa  ;Demokrasi bukanlah musuh bebuyutan ataupun teman  kental kekuasaan negara.
3.      Demokrasi menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat sipil secara tidak berlebihan ataupun terlalu sedikit. Sementara itu, tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara, dan juga tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara. Masyarakat madani yang seperti ini dapat menjadi sumber input bagi masyarakat politik, seperti orsospol, birokrasi, dan sebagainya dalam pengambilan setiap keputusan publik. Pada saat yang sama, political society juga dapat evakulsi rekruitmen politik dari kelompok-kelompok dalam masarakat madani sehingga kualitas para politisi dan elite politik akan sangat tinggi. Hubungan antara masyarakat madani dan  political society, dengan demikian adalah simbiosis mutualisme dan satu sama lain saling memperkuat bukan menegaskan. Tentu saja diperlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan hubungan semacam ini, karena situasi ini mengadaikan telah terjadinya kesinambungan antara negara dan rakyat.
Proses pengembangan masyarakat madani akan tergantung kesuksesannya kepada sejauhmana format politik pasca reformasi dibuat. Jika format tersebut hanya mengulangi yang lama, kendati dengan ornamen-ornamen berbeda, maka pengembangan masyarakat madani juga hanya berupa angan-angan belaka. Sayangnya, prospek inilah yang tampaknya sedang di atas angin. Kemungkinan terjadinya pemulihan dan konsolidasu rezim lama masih cukup besar menyusul menguatnya pemerintah transisi.
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam rangka pengembangan masyarakat madani di Indonesia, yaitu:[7]
1.      Adanya dua strategi yang digunakan dalam pembentukan pembentukan masyarakat madani dengan bealajar dari kasus Eropa Timur, yaitu strategi radikal dan non-radikal. Kedua strategi ini perlu didiskusikan dikalangnan kekuatan-kekuatan yang menyebut diri pro-demokrasi di Indonesia, agar tidak terperangkap pada egoisme, arogansi, dan perpecahan, yang seringkali berakibat lemahnya masyarakat madani berhadapan kekuatan negara.
2.      Mengenai realitas sukses perjuangan masyarakat madani di Eropa Timur yang bermuara pada ancaman bagi integrasi nasional dan nasionallisme di kawasan itu. Masyarakat madani menekankan keniscayaan bagi otonomi dan kemandirian, tapi tak berarti gerakan mereka identik dengan separatisme dan anarkisme. Membangun masyarakat madani berarti membutuhkan kesiapan baik di level elit negara maupun di luar negara, untuk mengembangkan konsensus yang tidak menyeret negeri ini ke ujung jurang kehancuran dan perpecahan.
3.      Lahirnya masyarakat madani di Barat tidak serta merta harus diartikan bahwa hal itu disebabkan di Barat terdapat nilai-nilai yang mendukung proses ke arah sana. Kepentingan bagi Indonesia adalah diperlukan pengkajian yang lebih mendalam untuk mengungkapkan kemungkinan adanya nilai-nilai serupa yang terdapat di masyarakat Indonesia. Sebab bagaimanapun nilai-nilai yang bersifat madani itu merupakan aspirasi universal yanf terdapat dimanapun namun dipengaruhi aspek kultural dan sejarah negara bersangkutan.

C.     Gerakan Sosial Untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)
Iwan Gardono, mendefinisikan gerakan sosial sebagai aksi organsasi atau kelompok masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan sosial. Pandangan lainnya menyebutkan gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk prilaku politik kolektif non kelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang mapan. Gerakan sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari melalui pembagian tiga ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar (Corporate or market), dan masyarakat sipil. Sidney Torrow melihat political parties berkaitan dengan gerakan politik yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh parpol melalui pemilu.
Geraka ekonnomi berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan publik tersebut. Perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas oleh Habermas melihat gerakan sosial merupakan resitensi progresif terhadap invasi negara dan sistem ekonomi. Jadi salah satu faktor yang membedakan ketiga gerakan ini adalah aktornya, yaitu parpol diranah politik, lobbyist dan perusahaan di ekonomi, dan organisasi masyarakat sipil atau kelompok sosial diranah masyarakat sipil.
Organisasi Nonpemerintah dalam Ranah Masyarakat Madani (Civil Society). LP3ES mendefinisikan organisasi non pemerintah sebagai organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (nongovernment) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (nonprofit), tidak untuk melayani diri sendiri atau anggota-anggota (self-serving), tetapi untuk melayani kepentingan masyaakat yang membutuhkannya. Ada yang memandang bahwa organisasi nonpemerintah (NGO) LSM merupakan wakil dari masyarakat sipil. Sebenarnya, organisasi nonpemerintah merupakan salah satu dari organisasi masyarakat sipil yang berdampingan dengan organisasi massa, terutama organisasi massa keagamaan, organisasi komunitas, organisasi profesi, media, lembaga pendidikan dan lembaga lain yang tidak termasuk pada ranah politik da ekonomi.

D.    Pilar Penegak Civil Society
Institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Pilar-pilar yang menjadi penegak dalam Civil Society adalah LSM, Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.[8]
1.        Lembaga Swadaya Masyarakat, istitusi yang dibentuk oleh lembaga swadaya masyarakat yang bertugas membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu bertugas mengadakan empowering (pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2.        Pers, merupakan institusi yang penting dalam penegakan Civil Society karena kemungkinannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya.
3.        Supremasi Hukum, setiap warga negara,baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada aturan hukum. Supremasi hukum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasa HAM, sehingga terbentuk kehidupan yang civilized.
4.        Perguruan Tinggi, yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan Civil Society yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai macam kegiatan-kegiatan pemerintah. Menurut Riswanda Immawan, Perguruan Tinggi memiliki tiga peran yang strategis dalam mewujudkan Civil Society, yakni:
a.       Memihak pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis
b.      Membangun political safety net, dengan mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak manipulative
c.       Melakukan penekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santun, saling menghormati demokratis serta meninggalkan cara-cara yang agitatif dan anarkis.
5.        Partai Politik, merupakan wahana bagi warga untuk menyalurkan aspirasi politiknya.

E.     Organisasi Non Pemerintah Dalam Ranah Masyarakat Madani
Istilah Organisasi Non Pemerintah adalah terjemahan NGO (Non- Governmental Organization). Yang telah lama dikenal dalam pergaulan internasional, istilah ini merujuk pada organisasi non negera yang mempunyai kaitan dengan organisasi non pemerintah, istilah ini perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas internasional.[9]
Dalam arti umum, pengertian organisasi non pemerintah mencakup semua organisasi masyarakat yang berada diluar struktur dan jalur formal pemerintah, dan tidak dibentuk oleh atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah, karena cakupan pengertiannya yang luas, penggunaan istilah organisasi non pemerintah sering membingungkan dan juga bias mengaburkan pengertian organisasi atau kelompok masyarakat yang semata-mata bergerak dalam rangka pembangunan sosial-ekonomi masyarakat tingkat bawah, istilah organisasi non pemerintah bagi mereka yang tidak setuju memakai istilah ini berpotensi memunculkan pengertian tidak menguntungkan.
Pemerintah khususnya menolak menggunakan istilah itu dengan alas an makna organisasi non pemerintah terkesan “ memperhadapkan “ serta seolah-olah “ oposan pemerintah, pengertian organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya yang bersifat non pemerintah, di dalamnya bias termasuk serikat kerja, kaum buruh, himpunan para petani atau nelayan, rumah tangga, rukun warga, yayasan sosial, lembaga keagamaan, klub olahraga, perkumpulan mahasiswa, organisasi profesi, partai politik, atau pun asosiasi bisnis swasta. 

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasrkan pembahasan pada bab II  dapat pemakalah  simpulkan bahwa Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Proses pengembangan masyarakat madani akan tergantung kesuksesannya kepada sejauhmana format politik pasca reformasi dibuat. Jika format tersebut hanya mengulangi yang lama, kendati dengan ornamen-ornamen berbeda, maka pengembangan masyarakat madani juga hanya berupa angan-angan belaka. Sayangnya, prospek inilah yang tampaknya sedang di atas angin. Kemungkinan terjadinya pemulihan dan konsolidasu rezim lama masih cukup besar menyusul menguatnya pemerintah transisi.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan tentang masyarakat madani yang dapat kami paparkan, masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya, semoga para pembaca, pendengar dan guru pembimbing dapat memberikan kritik dan sarannya yang bersifat membangun, demi kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Achmad Tirtisudiro, Indonesia dari Reformasi ke Masyarakat Madani, (Jakarta: Media Da’wah, 1999)

Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999)

A. Ubaedillah, dkk. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000)

Eka Vidya Putra, Peningkatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Penerapan Transparansi Dan Akuntabilitas Stud1 Kasus: Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (Kpmm), (Jurnal Pdf: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang, 2006)


[1] Achmad Tirtisudiro, Indonesia dari Reformasi ke Masyarakat Madani, (Jakarta: Media Da’wah, 1999), hlm. 185
[2] Achmad Tirtisudiro, Indonesia dari Reformasi ke Masyarakat Madani, (Jakarta: Media Da’wah, 1999), hlm. 188.
[3] Achmad Tirtisudiro, Indonesia dari Reformasi ke Masyarakat Madani, (Jakarta: Media Da’wah, 1999), hlm. 189
[4] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 145.
[5] A. Ubaedillah, dkk. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 149
[6] A. Ubaedillah, dkk. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 150
[7] A. Ubaedillah, dkk. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 151
[8] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 147
[9] Eka Vidya Putra, Peningkatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Penerapan Transparansi Dan Akuntabilitas Stud1 Kasus: Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (Kpmm), (Jurnal Pdf: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang, 2006), h. 55

No comments:

Post a Comment